Anda di halaman 1dari 23

Referat

ANTIJAMUR SISTEMIK DALAM DERMATOLOGI DAN


VENEREOLOGI

Oleh:
Nur Haniyyah, S.Ked
04084821719186

Pembimbing:
Dr. dr. Yuli Kurniawati, Sp.KK (K), FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Judul

ANTIJAMUR SISTEMIK DALAM DERMATOLOGI DAN


VENEREOLOGI

Oleh:
Nur Haniyyah, S.Ked
04084821719186

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 24 Juli 28 Agustus 2017.

Palembang, Agustus 2017


Pembimbing,

Dr. dr. Yuli Kurniawati, Sp.KK (K), FINSDV

2
Antijamur Sistemik dalam Dermatologi dan Venereologi
Nur Haniyyah, S.Ked
Pembimbing Dr. dr. Yuli Kurniawati, Sp.KK (K), FINSDV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venerologi
FK Unsri/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2017

PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir, pengetahuan dan kebutuhan mengenai obat antijamur
meningkat seiring dengan meningkatnya kasus infeksi jamur.1 Infeksi jamur pada kulit,
rambut dan kuku merupakan masalah infeksi yang umum ditemui. Infeksi jamur disebut
mikosis dan dibagi menjadi mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan mikosis sistemik.
Mikosis superfisialis umumnya menyerang kulit, rambut, dan kuku. Mikosis subkutan
menyerang otot dan jaringan ikat dibawah kulit, sedangkan mikosis sistemik melibatkan
organ tubuh baik secara primer maupun oportunistik.2,3
Penelitian mengenai obat antijamur saat ini telah mengalami perkembangan pesat.
Klasifikasi obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya dibagi atas obat antijamur topikal
4
dan sistemik. Obat antijamur topikal diindikasikan pada infeksi jamur dengan area yang
terbatas dan pasien yang memiliki kontraindikasi dengan antijamur sistemik. Antijamur
sistemik diberikan pada mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan sistemik.5

Pengobatan secara sistemik tidak jarang dibutuhkan meski infeksi jamur superfisialis
memiliki respon baik terhadap obat antijamur topikal. Obat antijamur sistemik sangat
membantu meningkatkan efektivitas pengobatan. Pertimbangan dalam penggunaan antijamur
sistemik antara lain hasil kultur, angka kesembuhan, harga, komplikasi, interaksi obat,
kenyamanan, usia, keadaan umum, serta riwayat medis pasien. Pengetahuan mengenai
farmakokinetik dan farmakodinamik obat dapat membantu memperkirakan efektivitas obat
maupun kemungkinan efek samping.5
Referat ini akan membahas mengenai jenis obat antijamur sistemik, mekanisme kerja,
indikasi, dosis, dan efek samping. Diharapkan referat ini dapat menambah pengetahuan dan
menjadi dasar dalam penatalaksanaan infeksi jamur.

3
TARGET KERJA OBAT ANTIJAMUR
Obat antijamur bekerja pada 3 target, yaitu sterol membran sel jamur, sintesis asam
nukleat, dan unsur dinding sel jamur yaitu kitin, -glukan, dan manoprotein1 (Gambar 1).

Gambar 1. Target kerja obat antijamur.6

Sterol Membran Plasma: Ergosterol dan Sintesis Ergosterol


Dalam menjaga integritas struktur sel jamur, membran sel tersusun atas ergosterol.
Ergosterol merupakan komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur dan
fungsinya dengan cara mengatur cairan dan keseimbangan dinding membran. Ergosterol tidak
terdapat pada sel mamalia sehingga menjadikannya sebagai target terapi obat antijamur. 7

Sintesis Asam Nukleat


Flusitosin (5-fluorocytosine, 5FC) adalah obat anti jamur yang mempunyai target pada
sintesis asam nukleat. 5FC masuk ke dalam membran sel melalui sitosin perminase yang akan
diubah menjadi 5-fluorourasil melalui sitosin deaminase, dan selanjutnya diubah menjadi 5-
fluorouridin trifosfat yang bergabung pada RNA jamur sehingga terjadi terminasi dini rantai
RNA. Trifosfat juga akan diubah menjadi 5-fluorodeoksiuridin monofosfat, yang
menyebabkan inhibisi sintesis timidilat, sehingga mengganggu sintesis DNA. 7

4
Unsur Dinding Sel Jamur: Glukan
Dinding sel jamur tersusun dari manoprotein, kitin, serta dan glukan yang
memiliki banyak fungsi, seperti menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran
ion, dan interaksi dengan mekanisme pertahanan tubuh pejamu. Ekinokandin menghambat
sintesis -1,3 glukan, sehingga mengganggu integritas struktur dan bentuk sel serta
mengakibatkan lisis sel secara osmosis. 2(zakiah)

Gambar 2. Mekanisme kerja agen antijamur sistemik. 8

Sebagian besar obat antijamur dalam pengobatan klinis menggunakan sasaran ergosterol pada
membran sel jamur, biosintesis ergosterol, atau biosintesis (1,3)--D-glukan, komponen
utama dari dinding sel jamur. Ergosterol berfungsi sebagai analog kolesterol jamur dalam sel
mamalia dan berfungsi memodulasi fluiditas membran, integritas, dan beberapa fungsi enzim
pengikat membran. Mayoritas obat antijamur menggunakan sasaran ergosterol atau biosintesis
dan memanfaatkan perbedaan komposisi membran plasma sel jamur. Dinding sel jamur
adalah struktur kaku terdiri dari (1,3)--D-glukan kovalen berhubungan dengan (1,6)--D-

5
glukan dan kitin. Polimer ini membentuk ikatan hidrogen antara rantai polisakarida yang
berdekatan untuk menghasilkan jaringan tiga dimensi yang sulit dari mikrofibril.6
Komponen penting dari semua membran sel jamur adalah ergosterol. Ergosterol
merupakan sterol utama membran sel jamur. Prekursor utama pembentuk ergosterol ialah
skualen dan lanosterol. Skualen epoksidase merupakan enzim pengubah skualen menjadi
lanosterol. Golongan allilamin bekerja dengan menghambat enzim skualen epoksidase dan
mencegah sintesis ergosterol. 9
Lanosterol diubah oleh enzim 14--demetilase menjadi 14--demetil lanosterol.
Golongan triazol dan imidazol bekerja dengan menghambat enzim 14--demetilase,
mencegah sintesis ergosterol. Enzim 14--demetilase adalah sitokrom P-450 dependen, hal ini
menjelaskan peran triazol dan imidazol sebagai "enzim inhibitor" dalam fase I sistem
metabolisme obat.9

PENGGOLONGAN OBAT ANTIJAMUR DAN PRINSIP PENGOBATAN


Obat antijamur umumnya digolongkan sebagai berikut:
(1) Polien, bekerja dengan mengganggu membran sel jamur melalui ikatan pada ergosterol,
dan menimbulkan lubang pada membran sel, sehingga materi sitoplasmik keluar, dan
menyebabkan kematian sel;
(2) Azol, bekerja dengan menghambat sintesis ergosterol, yang merupakan sterol utama
membran sel jamur, melalui inhibisi enzim sitokrom P-450 yaitu enzim lanosterol demetilase.
Inhibisi ini akan mengganggu integritas membran sel dan menyebabkan kematian sel;
(3) Alilamin dan benzilamin, bekerja mengganggu sintesis ergosterol melalui inhibisi enzim
skualen epoksidase. Golongan ini bersifat fungisidal terhadap dermatofit tapi fungistatik
terhadap jamur lain, karena akumulasi skualen intraselular akan mengakibatkan kematian sel;
(4) Ekinokandin, bekerja menghambat sintesis (1,3)--D-glukan yang merupakan komponen
esensial dinding sel jamur;
(5) lain-lain, seperti griseofulvin, tolnaftat dan lain-lain. 5

Dalam mengobati infeksi jamur, harus diperhatikan prinsip pengobatan yaitu : 5


1. Pemilihan obat antijamur ditentukan antara lain oleh luas dan keparahan penyakit, lokasi
lesi, infeksi penyerta atau terdapat potensi interaksi obat, efikasi pengobatan, harga dan
kemudahan didapat serta kemudahan pemakaian.
2. Obat antijamur sistemik digunakan pada infeksi jamur superfisial luas

6
3. Obat antijamur sistemik dapat digunakan untuk terapi preventif pada pasien imunosupresi
4. Spesies jamur penyebab dapaaat menentukan lama pengobatan dan jenis obat yang
digunakan.

KELOMPOK ALILAMIN
TERBINAFIN
Terbinafin hidroklorid adalah obat antijamur topikal dan sistemik golongan alilamin.
Terbinafin mencapai stratum korneum pertama kali melalui sebasea, kemudian bergabung
dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi pasif ke dermis-epidermis, tetapi terbinafin
tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat ekrin.10

Mekanisme kerja
Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang berfungsi
sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel jamur sehingga
menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang utama pada membran
plasma sel jamur). Terbinafin menyebabkan berkurangnya ergosterol yang berfungsi
mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur sehingga pertumbuhan berhenti (efek
fungistatik) dan dengan adanya penumpukan squalene yang banyak di dalam sel jamur dalam
bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan pada membran sel jamur (efek
fungisidal). 10

Aktifitas spektrum
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit
yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s tetapi bersifat fungisidal
terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp.,
Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenxkii dan beberapa
dermatiaceous moulds.11

Indikasi
Berdasarkan US Food and Drug Administration terbinafin digunakan pada
onikomikosis akibat dermatofita dan Candida sp, tinea pedis, tinea korporis, tinea kruris, tinea
kapitis, tinea versikolor, dan kandidiasis intertriginosa.6

7
Farmakokinetik
Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada dermis,
epidermis, jaringan lemak dan kuku. Terbinafin diabsorpsi di traktus gastrointestinal,
mencapai konsentrasi puncak di serum kisaran 0,8-1,5 mg/L setelah pemberian 2 jam dengan
250 mg dosis tunggal. Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat.10
Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum kemudian
bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermis-epidermis, tetapi
terbinafin tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat ekrin. Terbinafin yang diberikan secara
sistemik akan menetap di dalam kulit dengam konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit
selama 2-3 pekan setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dapat terdeteksi pada bagian
distal nail plate dalam waktu 1 pekan setelah pengobatan dan kadar obat yang efektif dicapai
setelah 4 pekan pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka
waktu yang lama setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dimetabolisme di hepar dan
metabolit tidak aktif akan dieksresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak
20%.11

Dosis
Sistemik terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku.
Dosis terbinafin sistemik untuk dewasa yaitu 250 mg/hari, tetapi pada pasien dengan
gangguan hepar atau fungsi ginjal (kreatinin klirens < 50 ml/menit atau konsentrasi serum
kreatinin > 300 mol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis tersebut. Pengobatan tinea
pedis selama 2 pekan, tinea korporis dan kruris selama 1-2 pekan, sedangkan infeksi pada
kuku tangan selama 6 pekan dan kuku kaki selama 12 pekan (Tabel 1).10,12

Tabel 1. Terbinafin dosis rejimen10


Dewasa Anak-anak
Onikomikosis Kuku tangan : 250 mg/hr x 6 pekan 3-6 mg/khg/hr x 6-12 pekan
Kuku kaki : 250 mg/hr x 12 pekan
Tinea kapitis 250 mg/hr x 2-8 pekan < 25 kg : 125 mg/hari x 6 pekan
25-35 kg : 187.5 mg/hari x 6 pekan
>35kg : 250mg/hari x pekan

Tinea korporis, tinea kruris 250 mg/hr x 1-2 pekan 2-6 mg/kg/hr x 1-2 pekan
Tinea pedis (mokasin) 250 mg/hr x 2 pekan
Dermatitis seboroik 250 mg/hr x 4-6 pekan

Efek samping

8
Efek samping terbinafin pada gastrointestinal antara lain diare, dispepsia, dan nyeri
abdomen. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar kronik
atau aktif.13

KELOMPOK AZOL
Diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1944, antijamur azol berperanan
penting dalam penatalaksanaan infeksi jamur. Kelompok azol dapat dibagi menjadi dua
kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol. Kelompok imidazol (ketokonazol,
mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua nitrogen dan kelompok triazol (itrakonazol,
flukonazol, varikonazol, dan posakonazol) mengandung tiga nitrogen.14,15 Kedua kelompok
ini memiliki spektrum dan mekanisme aksi yang sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat
dan efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti
berusaha mengembangkan golongan triazol daripada imidazol.8

Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang


merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja
dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P 450, C-14--demethylase yang bertanggung
jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding sel jamur
menjadi permeabel dan terjadi penghancuran jamur. 15,16

KETOKONAZOL
Ketokonazol diperkenalkan tahun 1970 merupakan antijamur golongan imidazol
pertama yang diberikan secara sistemik. Ketokonazol tidak lagi digunakan sebagai lini
pertama untuk pengobatan infeksi dermatofitosis atau kandidiasis.10

Indikasi
Ketokonazol dapat menghambat aktivitas jamur dermatofita, C.albicans, dan M.
furfur. Ketokonazol efektif digunakan untuk pengobatan tinea pedis, tinea kruris, dan tinea
korporis. Ketokonazol juga dapat digunakan untuk pengobatan kandidiasis kutis dan tinea
versikolor.13

Farmakokinetik

Absorpsi persistemik tiap individu bervariasi.Setelah pemberian persistemik dosis


200,400, dan 800 mg, konsentrasi puncak plasma sekitar 4, 8, 20 g/ml. Waktu paruh
9
tergantung dari peningkatan dosis sekitar 7-8 jam pada dosis 800 mg. Konsentrasi zat aktif
dalam urin sangat rendah. Di dalam darah, 84% ketokonazol terikat dalam plasma protein;
15% terikat pada eritrosit; dan 1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol mencapai keratinosit
secara efisien, dan konsentrasi pada cairan di vagina sama dengan di plasma. Konsentrasi
dalam cairan serebrospinal (CSF) pada pasien meningitis jamur kurang dari 1% dari total
konsentrasi obat di plasma.17

Dosis

Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari sedangkan dosis untuk anak-anak
3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris
selama 2-4 minggu, 5 hari untuk kandida vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida esofagitis,
tinea versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam.15

Efek samping

Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering dijumpai terjadi
pada 20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari. Pemberian pada saat menjelang tidur atau
dalam dosis terbagi dapat mengatasi keadaan ini. Alergi dapat terjadi pada 4% pasien, dan
gatal tanpa rash terjadi sekitar 2% pada pasien yang diterapi ketokonazol.17

Ketokonazol dapat menyebabkan toksisitas pada hepar. Sebaiknya sebelum dan saat
penggunaan ketokonazol, fungsi hati selalu dipantau.4 Efek samping lain yang dapat timbul
berupa iritasi kulit, gatal, dan rasa menyengat. 13

ITRAKONAZOL
Itrakonazol adalah agen antijamur triazol lipofilik dan hampir tidak larut dalam air.
Itrakonazol terionisasi hanya pada pH rendah dan absorpsi maksimal bila dikonsumsi bersama
makanan serta bebas dari obat penekan asam lambung.5

Indikasi
Itrakonazol memiliki manfaat yang luas, sehingga menjadikannya sebagai terapi
pertama pada infeksi akibat kandida dan spesies nondermatofita lainnya. Berdasarkan indikasi
US Food and Drug Administration digunakan pada onikomikosis akibat dermatofita pada
pasien imunokompeten, onikomikosis akibat Candida sp, mikosis sistemik (blastomikosis,

10
histoplasmosis, aspergillosis), terapi antijamur empiris pada febrile neutropenia, kandidiasis
esofagus, tinea korporis, kruris, pedis, dan kapitis.10

Farmakokinetik
Konsentrasi itrakonazol di dalam serum dipengaruhi oleh makanan dan asam lambung.
Absorpsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal (55%) tetapi
absorpsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi bersama makanan.
Pemberian sistemik dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma akan mencapai
0,1-0,2 mg/L dalam waktu 2-4 jam. 10
pendahuluan
Itrakonazol didistribusikan ke kulit melalui difusi pasif dari plasma menuju
keratinosit dimana obat melekat di keratin. Itrakonazol dapat ditemukan dalam keringat
sampai 24 jam setelah pemberian dosis awal. Eksresi terbanyak itrakonazol melalui sebum.
Sejumlah kecil itrakonazol didistribusikan kembali dari kulit dan ke plasma, selanjutnya
itrakonazol dieliminasi melalui stratum korneum. Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol
akan dieksresi di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan dibuang melalui
feces tanpa mengalami perubahan. Itrakonazol dimetabolisme di hati oleh sistem enzim
hepatik sitokrom P-450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan dieksresi oleh empedu
dan urin. Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu bioaktif.
Itrakonazol masih ditemukan pada stratum korneum selama 3-4 minggu setelah penghentian
terapi. Pada model in vivo, efek terapi itrakonazol pada stratum korneum masih ada untuk 2-3
minggu setelah terapi dihentikan. 8

Dosis
Itrakonazol dosis lanjutan sama efektif dengan dosis denyut. Pada onikomikosis kuku
tangan, denyut terapi diberikan selama 2 bulan, sedangkan onikomikosis kuku kaki selama 3
bulan. Itrakonazol merupakan obat kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita
hamil dan menyusui, karena dieksresikan di air susu. Dosis sistemik dapat dilihat pada Tabel
2.10

11
Tabel 2. Itrakonazol dosis rejimen 10
Dewasa Anak-anak
Onikomikosis Kuku tangan : 200 mg 2xsehari 1 Kuku tangan : 5 mg/kg/hari x 1
pekan/bulan , 2 dosis denyut pekan/bulan, 2 dosis denyuta
Kuku kaki : 200 mg/harix12 pekan Kuku kaki : 5 mg/kg/hari x 1
Atau pekan/bulan, 3 dosis denyut
200 mg 2xsehari x 1pekan/bulan, 3
dosis denyut
Tinea kapitis 250 mg/hari x 2-8 pekan Infeksi Trichophyton : 5
mg/kg/hari x 2-4 pekan
Infeksi Mikrosporum : 5
mg/kg/hari x 4-8 pekan
Tinea korporis, tinea kruris, 200 mg 2xseharix1 pekan Dosis berdasarkan berat x 1-4
tinea pedis 100-200mg/hari x 2-4 pekan pekan
Pitiriasis versikolor 200 mg/hari x 5-7 hari, untuk
pencegahan rekuren dengan 200
mg 2xsehari dosis tunggal/bulan
a
Dosis anak-anak berdasarkan berat badan : 100 mg/hari (15-30 mg), 100 mg/hari dapat diganti dengan 200
mg/hari (30-40 kg), 200mg/hari (> 50 kg)

Efek samping

Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, nyeri
abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus, dan ruam alergi. 17
Penelitian efek samping itrakonazol oleh Sharkey dkk., tahun 1991 pada 189 pasien
yang mendapat dosis 50-400 mg per hari, melaporkan bahwa mual dan muntah (10%),
hipertrigliseridemia (9%) hipokalemia (6%), peningkatan serum aminotransferase (5%), rash
(2%) dan efek samping lain (39%). Efek samping lain meliputi insufisiensi adrenal, edema
tungkai bawah, hipertensi, dan pada satu pasien mengalami rhabdomyolisis. Dosis di atas 400
mg perhari tidak direkomendasikan untuk pemberian jangka panjang.17

FLUKONAZOL
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam bentuk
sistemik dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan diperkenalkan pertama kali di Eropa
lalu di Amerika Serikat6,7

Mekanisme kerja

Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu
merupakan suatu inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja dengan menghambat
sistem enzim sitokrom P-450 14--demethylase dan bersifat fungistatik.12

12
Indikasi
Flukonazol menjadi terapi pertama pada kandidiasis mukokutan. Berdasarkan indikasi
US Food and Drug Administration digunakan untuk kandidiasis vaginal, kandidiasis
esofaringeal dan esofagus, meningitis kriptokokus, onikomikosis akibat dermatofita dan
Candida sp, tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, tinea kapitis, pitiriasis versikolor, dan
sporotrikosis.10

Farmakokinetik

Absorpsi paling baik adalah setelah makan dan keadaan perut terisi dan tidak
tergantung dari keasaman lambung. Flukonazol memiliki waktu paruh 25-30 jam, dan
mencapai kadar tetap setelah pemberian sekali sehari selama 7 hari. Flukonazol berikatan
lemah pada protein plasma dan sekitar 90% obat bersirkulasi bebas di dalam plasma. Sekitar
80% obat dieksresikan melalui urin, 2 % feses, dan 11 % dalam bentuk metabolit di urin.10
Kadar flukonazol di dalam CSF, saliva, jaringan vagina, sputum, kulit dilaporkan
sebanding dengan konsentrasi dalam plasma. Gangguan farmakokinetik flukonazol berupa
penurunan plasma klirens ditemukan pada pasien dengan sirosis dan gagal ginjal. Pada bayi
di bawah 3 bulan , flukonazol klirens lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa. 10

Dosis

Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis mukotan.5 Pada


pediatrik digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan Tinea tonsurans dengan dosis
6 mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada
infeksi Mycoplasma canis.6
Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200mg; sediaan
sistemik solusio 10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk sediaan intravena.
Direkomendasikan pada anak-anak <6 bulan.8
Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150 mg dosis tunggal.
Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap pekan selama 6 bulan atau lebih. Tinea
pedis dengan 150 mg tiap pekan selama 3-4 pekan, dengan 75% perbaikan pada pekan ke-4.
Pada terapi onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 pekan lebih utama
dibandingkan flukonazol 150 mg tiap pekan selama 24 pekan. Pada pitiriasis versikolor
digunakan 400 mg dosis tunggal. Pada suatu penelitian open label randomized meneliti
pitiriasis versikolor yang diterapi dengan 400 mg flukonazol dosis tunggal dibandingkan

13
dengan 400 mg itrakonazol, ternyata flukonazol lebih efektif dibandingkan itrakonazol
dengan dosis sama. 8 Dosis sistemik dapat dilihat pada (Tabel 3).
Flukonazol ditoleransi baik oleh geriatrik kecuali dengan gangguan ginjal. Obat ini
termasuk kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui.10

Tabel 3. Flukonazol dosis rejimen 10


Dewasa Anak
Kandidiasis orofaringeal 200 mg sekali, kemudian 6 mg/kg sekali, kemudian 3
100 mg/hari x 14 hari mg/kg/hari x 14 haria
Vaginal kandidiasis 150 mg sekali
Tinea pedis, kruris, atau 150 mg/pekan x 3-4 pekan
korporis
Tinea kapitis 6 mg/kg/hari x 2-6 pekan
a
neonatus 0-14 hari: 6 mg/kg pada hari pertama, diikuti 3 mg/kg setiap 72 jam

Efek samping
Efek samping terjadi pada pasien yang menggunakan obat >7 hari, berupa nausea,
pusing, eritem, dan muntah.7

VORIKONAZOL
Varikonazol merupakan triazol generasi kedua berupa turunan flukonazol dan tersedia
dalam bentuk sistemik maupun parenteral.12

Mekanisme kerja

Varikonazol merupakan inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja pada


enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-- demethylase. Hal ini menyebabkan berkurangnya
ergosterol dan penumpukan methilat sterols yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi
membran jamur.12

Indikasi
Vorikonazol diindikasikan pada penyakit aspergillosis invasif, kandidiasis esofagus,
kandidemia pada pasien non-neutropenik, infeksi kandida di abdomen, ginjal, dinding vesika
urinaria, infeksi jamur yang disebabkan Scedosporium apiospermum dan Furasium spp pada
pasien yang intoleran terhadap terapi lain, serta dapat digunakan sebagai profilaksis infeksi
jamur invasif. 8

14
Farmakokinetik

Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet dan intravena (dalam bahan pembawa
sulfobutyl betadex sodium) dengan pemberian dua kali sehari. Bioavailabilabilitas sistemik
vorikonazol sebesar 96% dan 56% terikat dengan protein. Asam lambung dapat menghambat
absorpsi vorikonazol.12 Konsentrasi maksimal pada plasma terjadi dua jam setelah pemberian
sistemik.11 Vorikonazol dapat mencapai cairan serebrospinal dengan konsentrasi 1-3 g/ml
dengan waktu paruh enam jam dalam darah.17

Dosis

Vorikonazol diberikan secara intravena dalam sediaan 200mg/vial, untuk pemberian


sistemik tersedia 50 mg dan 200 mg, dan suspensi sistemik 40 mg/ml. Vorikonazol digunakan
untuk aspergillosis invasif pada 4 mg/kgBB secara intravena setiap 12 jam atau 100 sampai
200 mg per sistemik setiap 12 jam. Penyesuaian dosis harus dilakukan pada pasien disfungsi
ginjal atau hati.5

Efek samping
Efek samping meliputi ruam, enzim hati tinggi, dan gangguan visual sementara.
Gangguan visual yang umum, terjadi pada 30% dari pasien yang menerima vorikonazol,
termasuk mata kabur dan perubahan penglihatan warna atau kecerahan. Perubahan visual
biasanya terjadi segera setelah pemberian vorikonazol dan hilang dalam waktu 30 menit.12
Vorikonazol dapat ditoleransi baik oleh manusia. Efek toksik vorikonazol yang sering
ditemukan adalah gangguan penglihatan transien (30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik,
pada 10-15% kasus ditemukan adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga dalam pemberian
vorikonazol perlu dilakukan monitor fungsi hepar. Vorikonazol bersifat teratogenik pada
hewan dan kontraindikasi pada wanita hamil.12,17

KELOMPOK ANTIJAMUR POLIEN

AMFOTERISIN B
Amfoterisin B merupakan antibiotik polien yang berasal dari Streptomyces nodosus,
diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan sebagai anti jamur pada manusia di
tahun 1960.17

15
Amfoterisin B deoksikolat (formula konvensional) digunakan untuk pengobatan
infeksi deep mycoses, pemberian secara parenteral sering menimbukkan efek toksik terutama
pada ginjal (nefrotoksik) sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang
toksik terhadap ginjal dengan dasar lipid (lipid-based formations) yaitu (1) Amfoterisin B
liposomal (AmBisome), obat ini diselubungi dengan fosfolipid yang mengandung liposom.
(2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks dengan
fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B dispersi koloid (Amphocil,
Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks dengan kolesterol sulfat yang membentuk
potongan lemak kecil.17

Mekanisme kerja
Amfoterisin B (AMB) berikatan dengan ergosterol sehingga mengakibatkan fungsi
barier membran menjadi rusak, hilangnya unsur sel penting, mengganggu metabolisme
jamur, serta menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur.10

Aktifitas spektrum
Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp.,
Mucorales sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp., Coccidiodiodes immitis, Cryptococcus
neoformans, Histoplasma capsulatum, paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei.
17

Farmakokinetik
Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral (bioavailibilitasnya <
5%) sehingga untuk tetap mempertahankan konsentrasi serum yang adekuat diberikan secara
intravena.10
Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kbBB akan
menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mg/l. Kurang dari 10%
dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah 12 jam pemberian dan > 90% akan
berikatan dengan protein. Sebagian besar ditemukan di hepar (40% dari dosis), paru-paru (6%
dari dosis), ginjal (2% dari dosis), sedangkan di cairan serebrospinal (CSF) < 5 %
konsentrasi darah. Formula konvensional mempunyai waktu paruh fase kedua 24-48 jam dan
waktu paruh fase ketiga 2 minggu.14

16
Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti Amfoterisin B lipid
kompleks (ABLC) akan menghilang dengan cepat dari dalam darah tetapi sebagian kecil
liposom akan menetap di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama.
Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B (AmBisome) yaitu 10-35
mg/L dengan dosis 3 mg/kbBB dan 25-60 mg/L dengan dosis 5 mg/kgBB. Kadar 5-10 mg/L
dapat dideteksi setelah pemberian 24 jam dengan dosis 5 mg/kgBB. Pemberian liposomal
amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam hepar dan limpa
dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi obat pada ginjal lebih
rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B
100-200 jam.14,17
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet) setelah
pemberian perenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional sehingga
distribusi obat pada jaringan lebih cepat, konsentrasi maksimum dicapai 1-2 mg/L setelah
pemberian dosis 5 mg/kgBB selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin B lipid kompleks
menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan paru-paru dibandingkan
dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan
dengan formula konvensional. Waktu paruh amfoterisin B lipid kompleks 170 jam.
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B dispersi koloid (ABCD) sekitar 2 mg/L
dengan dosis 1 mg/kbBB, tetapi kadar obat di dalam darah akan segera menurun setelah
pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang cepat ke jaringan. Pemberian
amfoterisin B dispersi koloid akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar
dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal
lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional.14

Dosis
Kebanyakan pasien dengan infeksi mikosis dalam diberikan dosis 1-2 gr amfoterisin B
deoksikolat selama 6-10 minggu. Orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan
dosis 0,6-1,0 mg/kg BB. Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu dites dengan dosis 1 mg
amfoterisin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-anak
dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian diobservasi dan
dimonitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa
pasien dapat timbul reaksi hipotensi berat atau reaksi anafilaksis. Dosis obat dapat
ditingkatkan > 1mg/kgBB, tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan,

17
konsentrasi di dalam darah akan stabil dan kadar obat di jaringan makin bertambah dan
memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau 72 jam.8
Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kg BB
dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg.kgBB atau lebih. Formula ini harus diberikan
intravena dalam waktu 2 jam, jika ditoleransi baik maka waktu pemberian dapat dipersingkat
menjadi 1 jam. Obat ini berikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g
tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mg/kbBB/hari.14
Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks yaitu 5
mg/kgBB dan diberikan intravena dengan rata-rata 2,5 mg/kbBB/jam. Obat ini pernah
diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping
toksik yang signifikan.14
Dosis awal amfoterisin B dispersi koloid yaitu 1,0 mg/kgBB diberikan intravena
dengan rata-rata 1 mg/kgBB/jam dan jika dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,0-
4,0 mg/kgBB. Obat ini pernah diberikan pada individu dengan dosis kumulatif 3 g tanpa efek
samping toksik yang signifikan.17

Efek samping
Pemberian formula konvensional dengan cara intravena dapat segera menimbulkan
efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku. Biasanya timbul setelah 1-3
jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang, sedangkan efek
lokal flebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan
tubulus ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita
kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari 0,5/kgBb/hari.
Formula konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potasium dan magnesium. Pasien
yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul anemia normokromik dan
normositik sedang.17
Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian amfoterisin B lipid
kompleks dan amfoterisin B dispersi koloid lebih sedikit dibandingkan dengan formula
konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai yaitu demam, menggigil dan hipoksia yang
dilaporkan sekitar 25% penderita yang menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak
menetap. Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek samping dibandingkan
formula konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi serum kreatinin) menunjukkan
kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%, amfoterisin B dispersi

18
koloid sebanyak 15%, amfoterisin B liposomal sebanyak 20% sedangkan formula
konvensional sebanyak 30-50%.8
Efek samping yang lain dari formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan kadar
transaminase, alkalin fosfatase dan konsentrasi serum bilirubin. Pasien yang mendapat
pengobatan liposomal amfoterisin B dijumpai tes fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-
50%, tetapi biasanya tidak menetap.8,17

NISTATIN
Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur, diisolasi dari
Streptomyces nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan kandidiasis oral, nistatin diberikan
tablet nistatin 500.000 unit setiap 6 jam. Suspensi nistatin oral terdiri dari 100.000 unit/ml
yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan dewasa 5
ml.17

KELOMPOK LAIN
GRISEOFULVIN
Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies Penicillium
mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai antijamur pada tumbuhan dan kemudian
diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada hewan. Griseofulvin digunakan
sejak tahun 1958 untuk pengobatan infeksi dermatofita pada manusia. Griseofulvin
merupakan obat antijamur yang pertama diberikan secara sistemik untuk pengobatan
dermatofitosis.7,18

Indikasi
Griseofulvin tidak efektif untuk kandidiasis, infeksi jamur profunda, dan pitiriasis
versikolor. Berdasarkan US Food and Drug Administration, griseofulvin telah diterima
sebagai terapi beberapa infeksi dermatofita. Karena obat ini memiliki spektrum terbatas
dibandingkan agen lain, griseofulvin tidak digunakan sebagai terapi lini pertama untuk infeksi
jamur selain tinea kapitis. Griseofulvin juga dapat digunakan untuk tinea korporis, tinea
kruris, tinea barbae, dan tinea pedis. 10

19
Mekanisme kerja
Griseofulvin merupakan obat antijamur yang bersifat fungistatik, berikatan dengan
protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur sehingga tetap dalam fase metafase.
18

Farmakokinetik
Pemberian griseofulvin secara sistemik dengan dosis 0,5-1 gr akan menghasilkan
konsentrasi puncak di plasma sebanyak 1 mikrogram/ml dalam waktu 4 jam. Griseofulvin
mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih kurang 1 hari dan sekitar 50% dari dosis
sistemik dapat dideteksi di dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam bentuk
metabolit.18
Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong. Mengkonsumsi
griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi dapat meningkatkan absorpsi
mengakibatkan kadar griseofulvin dalam serum akan lebih tinggi. Ketika diabsorpsi,
griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan
ditentukan dengan konsentrasi bebas. Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal
dan keringat serta akan dideposit di sel prekursor keratin kulit (stratum korneum), selanjutnya
terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi akan digantikan dengan
lapisan keratin baru yang lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian griseofulvin
secara sistemik akan mencapai stratum korneum setelah 4-8 jam.7,18
Griseofulvin dimetabolisme di hepar menjadi 6-dimethyl griseofulvin dan akan
dieksresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang dari 1% dari dosis
akan dijumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.18

Dosis
Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu microsize (mikrochryristallin) dan
ultramicrosize (ultramicrochrystallin). Bentuk ultramicrosize penyerapannya pada saluran
pencernaan 1,5 kali cepat dibandingkan dengan bentuk microsize.10
Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea kapitis.
Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh Trychopyton tonsurans.
Dosis pada anak-anak 20-25 mg/kg/hari (microsize), atau 15-20 mg/kg/hari (ultrasize) selama
6-8 pekan.13
Dosis griseofulvin (pemberian secara sistemik) yaitu dewasa 500-1000 mg/ hari
(microsize) dosis tunggal atau terbagi dan 330-375 mg/hari (ultramicrosize) dosis tunggal

20
10
atau terbagi. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2-4 pekan, untuk
tinea kapitis paling sedikit selama 4-6 pekan, untuk tinea pedis selama 4-8 pekan dan untuk
tinea unguium selama 3-6 bulan.10

Tabel 4. Griseofulvin dosis rejimen. 10


Dewasa Anak
Ukuran mikro Ukuran ultra Ukuran mikro Ukuran ultra
mikro mikro
Tinea korporis 500 mg/hari x 2-4 300-375 mg/hari x 2-4 10-20 mg/kg/hari 5-10 mg/kg/hari x
atau kruris pekan pekan x 2-4 pekan 2-4 pekan
Tinea kapitis 500 mg/hari x 4-8 300-375 mg/hari x 4-8 15-20 mg/kg/hari 5-10 mg/kg/hari x
pekan pekan x 6-12 pekan 6-12 pekan
Tinea pedis 750-1,000 mg/hari x 660-750 mg/hari x 4-8 10-2 mg/kg/hari x 5-10 mg/kg/hari x
4-8 pekan pekan 4-8 pekan 4-8 pekan
Onikomikosis 650-1,000 mg/hari x 660-750 mg/hari x 4 10-20 mg/kg/hari 5-10 mg/kg/hari x 4
kuku tangan 4 bulan bulan x 4 bulan bulan
Onikomikosis 750-1,000 mg/hari x 660-750 mg/hari x 6 10-20 mg/kg/hari 5-10 mg/kg/hari x 6
kuku kaki 6 bulan bulan x 6 bulan bulan

Efek samping

Sakit kepala, fatique, pusing, insomnia, parestesia tangan dan kaki, gejala psikotik,
distres epigastrium, mual, muntah, diare, rekasi alergi ringan-berat, proteinuria, nefroisis
hepatotoksisitas, gangguan menstruasi, leukopenia reversibel.17

RINGKASAN
Obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya dibagi atas obat antijamur topikal
dan sistemik. Penggunaan obat antijamur sistemik diberikan pada mikosis superfisialis,
mikosis subkutan dan sistemik. Obat antijamur sistemik utama dengan indikasi dermatologi
yang paling banyak digunakan yaitu terbinafin, triazol, imidazol, dan griseofulvin.
Pengetahuan mengenai farmakokinetik obat antijamur sistemik dapat membantu
memperkirakan efektivitas obat maupun kemungkinan efek samping, maka dari itu sangat
diperlukan pengetahuan yang baik terhadap penggunaan dan mekanisme kerja obat antijamur
sehingga kita dapat memilih obat antijamur sistemik yang terbaik dalam mengobati pasien.

21
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). In: Widaty
S, editor. Dermatomikosis Superfisialis Pedomanan untuk Dokter dan Mahasiswa
Kedokteran. 2th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2013; p. 167-179.
2. Stefan MS, Garg A. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, onychomycosis,
Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS,
Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:
Mc Graw-Hill.2011.p 2277-2297.

3. Hay RJ. Fungal Diseases: Deep Fungal Infections. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General
Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill.2012. p.2312-2328
4. High WA, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p.2677-2684

5. Widaty, Sandra. Obat Antijamur. Dalam :Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali


LM, Widaty S, Ervianti E. Dermatomikosis Superfisialis. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2th ed. 2013. p.167-179

6. Sheppard D, Lampiris HW. Antifungal Agents. In: Katzung BG, Trevor AJ, editors.
Basic and Clinical Pharmacology. 13th ed. New York: McGraw-Hill Education, 2015;
p. 825-832.
7. Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal Therapy. In: Anaissie EJ, McGinnis MR, Pfaller
MA, editors. Clinical Mycology. 2nd ed. London: Churchill Livingstone, 2009; p. 161-
195.
8. Gupta AK. Systemic Antifungal Agents. In: Wolverton SE, editor. Comprehensive
Dermatologic Drug Therapy. 3th ed. New York: Elsevier Inc, 2013; p. 98-119.
9. Shapiro RS, Robbins N, Cowen LE. Regulatory Circuitry Governing Fungal
Development, Drug Resisteance, and Disease.American Society for Microbiology.
2011
10. Jacob R, Konnikov N. Oral Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General
Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill.2012. p.2796-2805
11. Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2211-2217
12. Rubin AI, Bagheri B, Scher RK. Six Novel Antimycotics. Am J Clin Dermatol 2002.
3(2): 71-8
22
13. Phillips RM, Rosen T. Topical Antifungal Agents. In: Wolverton SE, editor.
Comprehensive Dermatologic Drug Therapy. 3th ed. New York: Elsevier Inc. 2013. p.
460-471
14. Onyewu C, Heitman J. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug Combinations.
Anti-Infective Agents in Medicinal Chemistry 2007; 6: 3-15
15. Ashley ES et.al. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical Infectious
Disease D 2006;43 (Suppl 1):28-39.
16. Lesher J. Woody CMC. Antimicrobial drugs. In:Bolognia JL Jorrizo JL, Rapini RP, et
al. Eds. Dermatology 2th Ed, Mosby Elsevier, 2008.
17. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL.
Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11th Ed. New York: Mc
Graw-Hill. 2006
18. Robertson DB, Maibach HL. Special Topic: Dermatologic Pharmacology. In : Katzung BG,
Masters SB, Trevor AJ. Eds. Basic and Clinical Pharmacology 12th ed. United Sstate of
America: Mc Graw-Hill. 2012. p.1680-1719

23

Anda mungkin juga menyukai