Anda di halaman 1dari 5

Kasus :

Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Bali memvonis terdakwa
Margriet Megawe dengan hukuman seumur hidup. Margriet dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan
Angeline, bocah berusia delapan tahun. "Terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan
melakukan pembunuhan berencana, exploitasi anak secara ekonomi, memperlakukan anak secara
diskriminatif," kata Ketua Mejelis Hakim Edward Harris Sinaga, di Denpasar seperti dilaporkan Antara.

Dalam sidang tersebut, Hakim menjerat terdakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan
berencana, Pasal 76 I jo Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan
anak atas perubahan perubahan UU Nomor 23 tahun 2002.Kemudian, Pasal 76 B jo Pasal 77 B
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, Pasal 76 A huruf a jo Pasal 77 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang perlindungan anak.Vonis hakim yang diberikan kepada terdakwa tersebut, sama
dengan tuntutan yang diajukan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang sebelumnya.Hal yang
memberatkan hukuman terdakwa karena, perbuatan terdakwa sadis pada anak yang mengakibatkan anak
mati.

Mendengar putusan hakim tersebut, terdakwa melalui penasehat hukumnya Hotma Sitompoel
menyatakan banding.Dalam dakwaan disebutkan bahwa terdakwa Margriet pada 15 Mei 2015 melakukan
pemukulan terhadap korban hingga kedua telinga dan hidung mengeluarkan darah.Kemudian, pada 16
Mei 2015 Pukul 12.30 Wita, terdakwa Margriet memukul korban dengan tangan kosong dengan tangan
dan membenturkan kepala korban ke tembok sehingga Angeline menangis.Margriet kemudian memanggil
terdakwa Agustay menuju ke kamar terdakwa dan Agustay melihat ibu angkat Angeline itu sedang
memegang rambut korban.Selanjutnya membanting korban ke lantai sehingga korban terjatuh ke lantai
dengan kepala bagian belakang membentur lantai sehingga korban terkulai lemas.

Margriet kemudian mengancam Agustay agar tidak memberitahu kepada orang lain kalau dirinya
memukul Angeline dan dijanjikan imbalan uang Rp200 juta pada 24 Mei 2015, apabila mau mengikuti
keinginnanya. Terdakwa diminta Margriet untuk mengambil kain sprei dan seutas tali untuk diikat ke
leher Angeline.Kemudian, Agustay diperintahkan Margriet mengambil boneka Berbie milik Angeline dan
meletakan ke dada korban.Margriet menyuruh terdakwa membuka baju dan meletakkannya di atas tubuh
Angeline, kemudian menyuruh memperkosanya. Agustay menolak dan berlari ke kamarnya.Agustay
kemudian mencuci tangannya dan membuka celana pendeknya serta mengambil korden warna merah
yang diserahkan kepada terdakwa dan ditaruh di dekat korban.Kemudian, terdakwa menyuruh membakar
rokok dan menyulutnya ke tubuh korban. Agusty tidak mau dan membuang rokok tersebut.
Analisis:

Anak merupakan generasi bangsa yang negara wajib melindungi, memberikan hak-haknya untuk
tetap hidup damai, aman dan sejahtera. Di Indonesia peraturan yang mengatur perihal anak terdapat dalam
beberapa cakupan, namun masih tampak tumpang tindih. Secara hukum ruang lingkup dari kekerasan
seksual terhadap anak masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, maka dalam pandangan hukum pidana
ini yang dimaksud dengan kekerasan seksual terhadap anak adalah kekerasan yang dilakukan orang
dewasa kepada orang berusia di bawah 16 tahun. Pendefinisian tentang anak juga memiliki perbedaan
terutama dalam penetapan usia, yang disesuaikan dengan konteksnya. Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan
menurut definisi World Health Organization (WHO), batasan usia anak adalah sejak anak di dalam
kandungan sampai usia 19 tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada
tahun 1990, Bagian 1 pasal 1, yang dimaksud anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun,
kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih
awal (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2014)..

Bentuk-bentuk kekerasan seksual banyak terjadi namun pada kenyataannya masih banyak yang tidak
mengenalinya bahkan termasuk penegak hukum itu sendiri. Sangat penting untuk diketahui bentuk-bentuk
kekerasan seksual terhadap anak yang memiliki cakupan sangat luas diantaranya, pemerkosaan, sodomi,
seks oral, sexual gesture (serangan seksual secara visual termasuk eksibisionisme), sexsual remark
(serangan seksual secara verbal), pelecehan seksual, pelacuran anak dan sunat kelentit pada anak
perempuan (M. Irsyad Thamrin dan M. Farid 2010, Yuwono, 2015). Sedangkan khusus kekerasan seksual
yang terjadi pada perempuan sendiri hasil pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan selama
15 tahun (1998-2013) mencatat terdapat 15 jenis kekerasan seksual yang terjadi,[5] yakni:
1. Pemerkosaan;
2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan pemerkosaan;
3. Pelecehan seksual;
4. Eksploitasi seksual;
5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual;
6. Prostitusi paksa;
7. Perbudakan seksual;
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;
9. Pemaksaan kehamilan;
10. Pemaksaan aborsi;
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
12. Penyiksaan seksual;
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; dan
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Hukum yang mengatur tentang pelecehan seksual adalah:

Pasal 81

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 289 KUHP

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau
membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang
kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Pasal 290 KUHP

Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:


Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui bahwa orang itu pingsan
atau tidak berdaya;

Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus
diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu
dikawin

Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum
lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain

Pasal 291 KUHP

Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan luka-luka
berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun

Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 290 itu mengakibatkan mati,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 292 KUHP

Orang yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan ornag lain sama kelamin, yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun.

tuntutan hukuman buat pelaku2 pelecehan seksual/pemerkosa/seksual predator anak-anak hanya


maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun, apakah hukuman ini setimpal dengan apa yang anak-anak ini
alami? Apakah 5thn-15thn cukup untuk mereka melupakan yang terjadi pada mereka? Trauma yang
mereka alami tidak akan selesai dalam 5thn, trauma ini akan mereka hadapi seumur hidup mereka, luka
yang mereka alami mungkon secara fisik dapat sembuh, tetapi luka itu tersimpan didalam pikiran mereka
selamanya. Apakah 5-15thn cukup untuk melupakan? Apakah cukup untuk menggantikan apa yang
terjadi pada mereka? Tidak cukup!!!! Karena itu bantu saya agar pelaku ini dihukum seberat-beratnya,
bila seumur hiduppun "luka" ini tidak dapat hilang maka hukuman buat pelaku-pelaku ini pun harus
seumur hidup.

Peran Pelayanan kesehatan dalam upaya pencegahan dan penanggulanan sexual abuse

Pelayanan kesehatan dapat melakukan berbagai kegiatan dan program yang ditujukan pada individu,
keluarga, dan masyarakat.
a. Prevensi primer-tujuan: promosi orangtua dan keluarga sejahtera.
Individu
Pendidikan kehidupan keluarga di sekolah, tempat ibadah, dan masyarakat
Pendidikan pada anak tentang cara penyelesaian konflik
Pendidikan seksual pada remaja yang beresiko
Pendidikan perawatan bayi bagi remaja yang merawat bayi
Pelayanan referensi perawatan jiwa
Pelatihan bagi tenaga profesional untuk deteksi dini perilaku kekerasan.

Keluarga
Kelas persiapan menjadi orangtua di RS, sekolah, institusi di masyarakat
Memfasilitasi jalinan kasih sayang pada orangtua baru
Rujuk orangtua baru pada perawat Puskesmas untuk tindak lanjut (follow up)
Pelayanan sosial untuk keluarga
Komunitas
Pendidikan kesehatan tentang kekerasan dalam keluarga
Mengurangi media yang berisi kekerasan
Mengembangkan pelayanan dukungan masyarakat, seperti: pelayanan krisis, tempat penampungan
anak/keluarga/usia lanjut/wanita yang dianiaya
Kontrol pemegang senjata api dan tajam

b. Prevensi sekunder-tujuan: diagnosa dan tindakan bagi keluarga yang stress


Individu
Pengkajian yang lengkap pada tiap kejadian kekerasan pada keluarga pada tiap pelayanan kesehatan
Rencana penyelamatan diri bagi korban secara adekuat
Pengetahuan tentang hukuman untuk meminta bantuan dan perlindungan
Tempat perawatan atau Foster home untuk korban

Keluarga
Pelayanan masyarakat untuk individu dan keluarga
Rujuk pada kelompok pendukung di masyarakat (self-help-group). Misalnya: kelompok pemerhati
keluarga sejahtera
Rujuk pada lembaga/institusi di masyarakat yang memberikan pelayanan pada korban.

Komunitas
Semua profesi kesehatan terampil memberikan pelayanan pada korban dengan standar prosedur
dalam menolong korban
Unit gawat darurat dan unit pelayanan 24 jam memberi respon, melaporkan, pelayanan kasus,
koordinasi dengan penegak hukum/dinas sosial untuk pelayanan segera.
Tim pemeriksa mayat akibat kecelakaan/cedera khususnya bayi dan anak.
Peran serta pemerintah: polisi, pengadilan, dan pemerintah setempat.
Pendekatan epidemiologi untuk evaluasi
Kontrol pemegang senjata api dan tajam

c. Prevensi tertier-tujuan: redukasi dan rehabilitasi keluarga dengan kekerasan


Individu
Strategi pemulihan kekuatan dan percaya diri bagi korban
Konseling profesional pada individu

Keluarga
Reedukasi orangtua dalam pola asuh anak
Konseling profesional bagi keluarga
Self-help-group (kelompok peduli)

Komunitas
Foster home, tempat perlindungan
Peran serta pemerintah
follow up pada kasus penganiayaan dan kekerasan
Kontrol pemegang senjata api dan tajam

Anda mungkin juga menyukai