Anda di halaman 1dari 39

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hidung

2.1 .1 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk pirami dengan bagian bagian nya dari atas ke
bawah:

1. Pangkal hidung (bridge)


2. Batang hidung (dorsum)
3. Puncak hidung (tip)
4. Ala nasi
5. Kolumel
6. Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit,jaringa ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang hidung terdiri dari 1) tulang
hidng, 2) prosesus frontalis dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 4) tepi anterior kartilago
septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang di pisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri pintu atau lubang kavum nasi bagian depan disebut nares anterior
dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum
nasi dengan nasofaring.

1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan alanasi, tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum . vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dindiing
medial,dinding lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah
septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.

Bagian tulang adalah:

1. Lamina perpendicularis os ethmoidale


2. Vomer
3. Krista nasali os maksila
4. Krista nasalis os palatine

Bagian tulang rawan adalah :


1. Kartilago septum (lamina quadrangularis)
2. Kolumela

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawean dan


periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yang terbesar dan letakya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah media, lebh kecil
lagi konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila


dan labirin ethmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan
bagian dari labirin ethmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3
meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus

2
medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus ethmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus ethmoid.

2.1.2 Batas Rongga Hidung

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os


maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
ditutup oleh lamina cribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga
hidung. Lamina cribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os ethmoid,
tulang ini berlubang-lubang (cribrrosa = saringan) tempat masuknya serabut
serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os
sphenoid.

2.1.3 Pendarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid


anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri
parotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri


maksilaris interna diantara nya ialah ujung arteri palatine mayor dan arteri
spenopalatina yang keluar dari foramen spenopalatina bersama nervus
spenopalatina dan merasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka
media.

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-canag arteri


fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
spenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior, dan arteri palatina
mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Fleksus Kiesselbach letak
nya superficial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak-anak.

3
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena optalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-
vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan factor predisposisis
untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intracranial.

2.1.4 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas ringga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang
berasal dari nervus optalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari maxilla melalui ganglion spenopalatina.
Ganglion spenopalatina, selain membberika persaraffan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut-serabut saraf sensoris dari nervus maxilla (N. V-2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis
dari petrosus profundus. Ganglion spenopalatina terletak dibelakang dan sedikit
diatas ujung posterior konka media.

Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptorpenghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.

2..1.5 Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagian atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel thorak berlapis semu yang
mempunyai sillia (ciliated pseudostratified collumner ephitellium) dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidung terdapat pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel

4
thorak berlapis semu tidak bersillia (pseudostratified collumner non cilliated
ephitellium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel
basal, dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan.

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara, mukosa nya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi
oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Dibawah epitel terdapat
tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan
jaringan limfoid.

Pembuluh darah ada bagian mukosa hidung mempunyai susunan yang


khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan
tersusun secara parallel dan longitudinal. Arteri ini memberikan perdarahan pada
anyaman kapilar periglandula dan subepitel. Pembuluh efferent dari anyaman
kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi
oleh jaringan elastic dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai
spingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darah nya ke pleksus vena
yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung
menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan
mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh
saraf otonom.

2..1.6 Sistem Transpor Mukosilier

Sistem transport mukosilier merupakan system pertahanan aktif rongga


hidung terhadap virus bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama uadara. Efektivitas system tarnspor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas
silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan
kelenjar seromusinosa submukosa.

5
Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan
permukaaannya terdiri dari mucus yang lebih elastic dan banyak mengandung
protein plasma seprti plasama, IgG, IgM dan faktoe komplemen. Sedangkan
cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik,
dan IgA sekretorik (s-IgA).

Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mucus penting untuk pertahanan


local yang bersifat antimicrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan
mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen
saluran nafas, sedangkan IgG bereaksi didalam mukosa dengan memicu reaksi
infalamasi jika terpajan dengan antigen bakteri. Pada sinus maksila, sisitem
transport mukosilier menggerakkan secret sepanjang dinding anterior, medial,
posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau
bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium secret akan lebih
kental tetapi drenasenya lebih cepat untruk mencegah tekanan negative dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukos yang ringan tidak akan menghentikan
atau mengubah transport, dan secret akan melalwati mukosa yang rusak. Tetapi
jika secret lebih kentala secret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek.

Gerakan sistem transport mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan


spiral. Secret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian keatap, dinding
lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus
frontal. Gerakan spiral menuju ke ostimnya terjadi pada sinus sphenoid,
sedangkan pada sinus edmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak
didasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu dindingnya.

Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier. Rute 1


merupakan gabungan sekresi sinus fronta;, maksila dan edmoid anterior. Secret ini
biasanya bergabung di dekat infundibulum edmoid selanjutnya berjalan menuju
tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior
menuju nasofaring melewati bagian ateroinferior orifisium tuba eustachius.
Transfor aktif berlanjut ke batas epitel bersilis dan epitel skumosa pada

6
nasofaring, selanjutnya jatuh kebawah dibantu ddengan gaya gravitasi dan proses
menelan.

Rute ke 2 merupakan gabungan sekresi sinus edmoid posterior dan


sphenoid yang bertemu di resesus sfenoedmoid dan menuju nasofaring pada
bagian posterosuperior orifisium tuba eustachius.

Secret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung
dengan secret rute 1, yaitu diinferior dari tuba eustachius. Sekret pada septum
akan berjalan vertical ke arah bawah terlebih dahulu kemudian kebelakang dan
menyatu di bagian inferior tuba eustachius.

2.2 Anatomi sinus paranasal

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah
septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian
dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina
pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar
dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah
konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah
konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus
yaitu meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar

7
hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal
os palatum (Ballenger 2004; Hilger,1997)

Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior
dan inferior, os nasal, processus frontalis, os maxilla, corpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-
filamen nervus olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan cranial konka superior

2..2.1 Komplek Ostio-meatal


Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara muara saluran dari sinus maxilla,sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.
Daerah rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri
dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang processus uncinatus, reccesus
frontalis, bulla etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dan ostium sinus maxilla.

Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke


posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada
pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior.
Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum (Kennedy et al,
2003; Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993).

Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel


udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat
membengkak sangat besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan
menghambat drainase sinus maksila (Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002;
Stammberger et al, 1993).
Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding
anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi
oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium alami
sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah

8
kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior (Nizar, 2000; Stammberger et
al, 1993).
Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel
etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini
merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini
akan memberi jalan menuju resesus frontal (Shankar et al, 2001; Mangunkusumo,
2000).
Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus
media dan merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media
atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi (Browning, 2007;
Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993).

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak


di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui
ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan
sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus
etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media,
sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus
posterior dan bermuara di meatus superior (Walsh et al, 2006).

2.2.2 Sinus Maxilla


Sinus maxilla merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maxilla bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.Sinus maksila
berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan facial os maksila
yang disebut fossa canina, dinding posterior nya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medial nya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding
superior adalah dasar orbita dan dinding inferior nya ialah processus alveolaris
dan palatum. Yang diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

9
1. Dasar sinus maksila ssangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjl
kedalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit.

2.2.3 Sinus Frontal


Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun
dan akan mencapai usia maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan
kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris,
satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis
tengah. Kurang lebih 15 % orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang (Walsh et al, 2006).
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak
adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari
orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar
ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Punagi, 2008; Kennedy
et al, 2003; Burton, 2000; Amedee, 1993).

2.2.4 Sinus Edmoid


Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari

10
sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid,
yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini
jumlahnya bervariasi (Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media
dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior
biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari
lamina basalis (Walsh et al, 2006).

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut


resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan
resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Walsh et al, 2006)

2.2.5 Sistem Mukosiliar

Seperti pada mukosa hidung, didalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan palut lendir diatasnya. Didalam sinus siliar bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya.

Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosasiliar dari
sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di
infundibulum etmoid di alirkan ke nasofaring didepan muara tuba eustachius.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di recessus
spenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah
sebabnya pada sinusitis didapati secret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum
tentu ada secret di rongga hidung.

11
2.2.7 Fungsi Sinus Paranasal

Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal antara lain:

1. Sebagai Pengatur Kondisi Udara (Air conditioning)


Sinus berfungsi sebagai ruang tambhan untuk memanaskan dan mengatur
kelembapan udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata
tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

2. Sebagai Penahan Suhu (Thermal Insulators)


Sinus paranasal berfungi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita
dan fossa cerebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ-
organ yang dilindungi.

3. Membantu Keseimbangan Kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat seberat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

4. Membantu Resonansi Suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.

12
5. Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

6. Membantu Produksi Mucus


Mucus yang dihasilkan oleh sinud paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.3 Rhinosinusitis

2.3.1 Definisi

Rhinosinusitis kronik adalah inflamasi dari mukosa hidung dan sinus


paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu gejalanya
merupakan hidung tersumbat atau secret hidung selama 12 minggu atau lebih,
serta diikuti ada atau tanpa nyeri tekan di daerah wajah dan penurunan atau hilang
nya daya penghidu.

Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan


sebagai sinusitis maksilaris, sinusitis etmoidalis, sinusitis frontalis, dan sinusitis
sfenoidalis. Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan
sinus etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang.

13
2.3.2 Etiologi

Berbagai macam penyebab rhinosinusitis diantara nya :

1. Virus

Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang menginfeksi


antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%), influenza,
parainfluenza, respiratory synctial virus, adenovirus dan enterovirus.

2. Bakteri
Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis adalah s.
pneumonia dan H.influenza. patogen ini menjadi penyebab utama
terjadinya rhinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian.
Sedangkan patogen yang sering pada rinosinusitis bakteri kronik adalah
staphylococcus aureus. Bakteri anaerob dan bakteri gram negatif.

3. Jamur
Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering di jumpai pada
infeksi virus paranasal dengan cirri khas secret mukopurulen yang
berwarna hijau kecoklatan. Mukormikosis pula merupakan infeksi
opurtunistik ganas yang dapat berkembang menjadi patogenik pada orang
yangmenderita asidosis diabetic dan imunosupresi. Pada penderita ini
dujumpai secret warna pekat, gelap, berdarah dan gambaran konka yang
berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama histoplasmosis,
koksidoimilosis, sporatrikosis, serokoparamikosis, dan biastomikosis
adalah kasus yang jarang mengenai hidung.

4. Alergi
Rhinitis adalah suatu reaksi alergi yang di perantarai oleh immunoglobulin.
Reaksi ini melibatkan suatu antibody, biasanya igE, yang mana bagian Fc
antibody melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau
perkusornya (sel mast,basofik,eosinofil,makrofag). Antubodi ini

14
berinteraksi dengan allergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi
beberapa enzim membrane. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan
pelepasan mediator seperti histamine, prostaglandin dan leukotrien.
Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul, misalnya
edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya
cendrung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian
pula eosinofil, makrofag dan tromboit.

5. Kelainan Anatomi dan Struktur Hidung


Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar
secara local. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat
atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi
septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain didaerah kompleks
osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar.

6. Lingkungan
Udara dingin umumnya menyebabkan vasokontriksi, sedangkan udara
hangat menyebabkan pembengkakakn akibat vasodilatasi. Perubahan suhu
lingkungan yang mendadak dapat merngsang kongesti hidung dan/atau
rinore. Apabila terus menerus terpapar oleh lingkungan yang berpolusi,
udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang lama akan
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia

2.3.3 Patofisiologi
Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar
biasa terhadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri.
Pada dasarnya, factor-faktor local yang memungkinkan penyembuhan mukosa
sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Bila factor anatomi
menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka terbentuk suatu
medium untuk infeksi selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau anaerobic,
akibatnya berupa edema, sumbatan dan infeksi.

15
Sekresi lender yang menetap dalam sinus bisa dipicu oleh 1) obstruksi
mekanik di komplek ostiomeatal karena factor anatomi atau 2) edema mukosa
yang disebabkan oleh berbagai etiologi (misalnya, rhinitis alergi, rhinitis virus,
rhinitis bakteri akur). Stagnasi lender di sinus membentuk media yang kaya untuk
pertumbuhan berbagai patogen. Tahap awal sinusitis sering infeksi virus yang
umumnya berlangsung hingga 10 hari dan yang benar-benar sembuh dalam 99%
kasus. Namun, sejumlah kecil pasien dengan infeksi bakteri akut sekunder dapat
berkembang yang umumnya disebabkan oleh bakteri aerobic ( misalnya,
streptococcus pneumonia, haemophilus influenxe, moraxella catarhalis). Awalnya,
sinusitis akut yang dihasilkan hanya melibatkan satu jenis bakteri aerobic. Dengan
terjadinya infeksi, flora campuran, organism anaerob, dan, kadang-kadang jamur
memberikan kontribusi untuk pathogenesis.

Rhinosinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada rinosinusitis kronik,


sumber infeksi berulang biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis.
Inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan, akibatnya
terjadi gangguan transport mukosiliar, menyebabkan retensi mucus dan
mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus.

2.3.4 Gejala Klinis


Setiap gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi.
The American Academy of Otaolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS)
telah membuat criteria mayor dan minor untuk mempermudahkan mendiagnosa
rinosinusitis. Rinosinusitis dapat didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih
criteria mayor atau satu criteria mayor ditambah dua atau lebih criteria minor.
Gejalanya menurut criteria mayor yaitu ostruksi hidung, secret hidung, kongesti
pada daerah wajah, nyeri/rasa tertekan pada wajah, kelainan penciuman, dan
demam (hanya pada akut). Sedangkan criteria minor berupa adanya sakit kepala,
sakit/rasa penuh pada telinga, halitosis/nafas berbau, sakit gigi, batuk, lemah, dan
demam.

16
1. Gejala Subjektif
a. Nyeri

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan
aktif sinus maksilaris atau frontalis, nyeri biasanya sesuai dengan daerah
yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam seperti sinus
etmoidalis posterior dan sfenoidalis, nyeri terasa jauh dudalam kepala, tak
jelas letaknya atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak ada
hubungan dengan lokasi sinus

b. Sakit Kepala
Sakit kepala pada penyakit sinus lebih sering unilateral atau lebih terasa di
satu sisi dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainya.
Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukan
badan ke depan dan jika badan tiba-tiba digerakan. Sakit kepala ini akan
menetap saat menutup mata, saat istirahat. Sakit kepala akibat penyakit di
sinus frontalis dinyatakan sebagai nyeri yang tajm, menusuk-nusuk,
melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang biasanya menetap.

c. Nyeri Pada Penekanan


Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada
penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah seperti sinus
frontalis, sinus etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Nyeri tekan pada
os frontalis apabila ada penekanan di sudut medial rongga orbita. Pada
pemeriksaan sel-sel etmoidalis anterior, tekanan dilakukan pada sudut
medial orbital pada planum orbita os etmoidalis. Pada pemeriksaan sinus
maksilaris, harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksilaris
superior.

d. Gangguan Penciuman
Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman

17
2..3.5 Diagnosis

Rinosinusitis kronik ditegakan jika pasien memliki dua atau gejala mayor
atau satu gejala mayor ditambah dengan dua atau lebih gejala minor yang menetap
lebih dari 12 minggu, rinosinusitis kronik harus dipertimbangkan dalam
diferensial diagnosis jika pasien memliki satu factor mayor atau dua lebih factor
minor selama lebih dari 12 minggu.

Diagnosis ditegakan berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang
lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di
daerah meatus superior.

1. Anamnesa
Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan dua
gejala mayor atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor dari kumpulan
gejala dan tanda menurut rhinosinusitis Task Force 2006. Yang termasuk gejala
mayor adalah nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, hidung terbumbat, ingus
purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala.
Demam. Halitosis, nyeri gigi dan batuk.

Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling
penting pada sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibst adanya
kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber
dari sinus akan meningkat jika membungkukan badan dan jika badan tiba-tiba
digerakan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata. Hal ini berbeda
dengan sakit kepala yang disebabkan oleh mata.

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau
mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksilaris atau frontalis, nyeri
biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih
dalam, nyeri terasa jauh didalam kepala dan tak jelas lokasi nya. Pada

18
kenyataanya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali menyebabkan
nyeri didaerah frontalis

Gangguan penghidu terjadi akibat sumbatan pada fissure olfaktorius


didaerah konka media. Pada kasus-kasus kronik, hal ini dapat terjadi akibat
degenerasi filament terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan
kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah proses infeksi hilang.

2. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi yang di perhatikan adanya pembengkakan pada muka.


Pembengkakakn di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan
mungkin menunjukan sinusitis maksilaris. Pembengkakan di kelopak mata atas
mungkin menunjukan sinusitis frontalis. Sinusitis etmoidalis jarang menyebabkan
pembengkakan diluar, kecuali bila telah terbentuk abses.

3. Pemeriksaan Penunjang

Transluminasi mempunyai manfaat terbatas, hanya dapat dipakai


memeriksa sinus maksilaris dan sinus frontalis, bila terdapat kista yang besar
didalam sinus maksilaris, akan tampak terang pada pemeriksaan transluminasi.
Transluminasi pada sinus frontlais hasilnya lebih meragukan. Gambaran yang
terang berarti sinus berkembang dengan baik dan normal, sedangkan gambaran
yang gelap mungkin berarti sinusitis atau hanya menunjukan sinus yang tidak
berkembang.

Endoskopi nasal dapat menilai konfisi rongga hidung, adanya secret,


patensi kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba,
hipertropi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik
dalam penerangan daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius
dan superior. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif
mengalami kegagalan.

Pemeriksaan penunjang piihan utama untuk menilai gambaran sinus


adalah CT-scan. Kelebihanya adalah mampu memberi gambaran sinus pada

19
rinosinusitis kronik yang gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis.
Diagnosis dapat ditegakan dengan atau tanpa naso-endoskopi. Namun, CT-scan
memiliki keterbatasan yaitu sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus
saluran pernafasan bagian atas, kecuali jika sudah timbul komplikasi. Visualisasi
optimal didapatkan dengan coronal scans. Pemeriksaan penunjang yang lain
adalah foto polos yaitu posisi waters, PA dan lateral. Biasanya foto tersebut hanya
mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksilaris dan frontalis.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksilaris
melalui meatus inferior dan dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus
maksilaris yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus
untuk terapi. MRI hanya dilakukan jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita
dan intrakranal.

2.3.6 Penatalaksanaan

Tujuan terapi sinusitis adalah untuk mempercepat penyembuhan,


mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronik. Jenis terapi
dibagi menjadi 2 pilihan yaitu secara medikamentosa dan pembedahan.

1. Terapi Medikamentosa

Antibiotik yang dipilih adalah yang berspektrum luas, yaitu golongan


penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten terhadap amoksisilin, maka
diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik
diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang
(Mangunkusumo, 2011). Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam 72
jam, maka dilakukan reevaluasi dan mengganti antibiotik yang sesuai.

Kortikosteroid sebagai anti inflamasi yaitu berefek untuk mengurangi


besarnya polip, memperbaiki gejala seperti hidung tersumbat, rinore, post nasal
drip, dan berkurang atau hilangnya daya penghidu. Kortikosteroid nasal berupa
flutikason propionat, mometason furoat, betametason, dan lainnya (Desrosiers,
2011; Fokkens et al, 2012)

20
Terapi tambahan lainnya berupa dekongestan oral/topikal yaitu golongan
agonis alfa adrenergic, saline irrigation, anti histamine, mukolitik, antagonis
leukotriene, anti mikotik, imunomodulator, dan aspirin desentisisasi (Desrosiers,
2011)

Pengobatan secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih


memuaskan jika diberikan sesuai dengan hasil kultur (Busquets et al, 2006). Gold
standard untuk kultur sinus adalah pungsi sinus maksilaris, namun hal ini harus
dilakukan pada pasien tertentu dan dilakukan dengan hati-hati karena dapat
menyebabkan komplikasi minor seperti nyeri dan perdarahan. Kultur sinus sangat
penting dalam memilih jenis obat pada rinosinusitis kronik karena organisme
patogennya berbeda dengan ABRS. Antibiotik yang biasanya diberikan pada
rinosinusitis kronik adalah yang sesuai untuk kuman gram negatif (S. aureus) dan
anaerob (Shah, 2008).

2. Operatif
a. BESF ( Bedah Endoskopi Sinus Functional)

Untuk penatalaksanaan operatif pada pasien rhinosinusitis kronik


adalah dengan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau
Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah tekhnik operasi
invasive minimal yang dilakukan pada sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan mucociliary
clearance dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan
daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan
infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui
ostium alami. Tindakan ini hamper menggantikan semua jenis bedah sinus
terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan
lebih ringan dan tidak radikal.

b. Indikasi BESF ( Bedah Endoskopi Sinus Functional)

21
Secara umum, indikasi untuk FESS dibagi dua yaitu absolute dan
relatif. Absolute berarti operasi FESS pasti dilakukan pada penderita
manakala relative berarti bahwa ahli bedah dan penderita harus
mempertimbangkan potensi resiko dan keuntungannya, tetapi operasi
FESS dapat dianggap sebagai pilihan kepada penderita setelah melakukan
anamesis dan pemeriksaan fisik. Berikut diantaranya indikasi bedah
endoskopi sinus fungsional :

1. Indikasi Absolute
a. tumor
b. komplikasi rhinosinusitis
c. mukokel sinus
d. sinusitis jamur
e. ensefalokel
f. kebooran cairan serebrospinal

2. Indikasi Relative
a. rhinosinusitis kronik
b. nyeri kepala disertai nyeri pada wajah
c. sinusitis akut berulang
d. epitaksis
e. polip nasal

c. Kontraindikasi
osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan
sekuester
pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil
(hipoplasi)
penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus,
kelainan hemostasis yang tidak terkontrol.

22
d. Tahapan operasi

Tekhnik operasi BESF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling
ringan yaitu infundibulektomi, sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi
disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap ndividu berbeda jenis atau tahap
operasi. Berikut tahapan operasi dalam BESF :

1. Infundibulektomi

Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit


dengan cara mengangkat prosesus uncinatus sehingga akses ke ostium
sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar
atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium sinus
maksila dan infundibulum maka drenase dan ventilasi sinus maksila pulih
kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan
manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila,

2. Eksenterasi Sinus Maksila

Setelah mengangkat prosesus uncianatus, ostium sinus maksila harus


diidentifikasi dan dipotong dengan menggunakan cunam cutting.
Pengangkatan kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip difus atau
kista besar dan jamur masif, dapat menggunakan cunam bengkok yang
dimasukkan melalui ostium sinus maksila yang telah diperlebar.

3. Etmoidektomi Retrograde

Seterusnya, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus


dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah
ini dan jika disertai sinusitis frontal. dinding anterior bula etmoid
diidentifikasi dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu
lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior. Jika
ada sinus lateralis, maka lamina basalis akan berada dibelakang sinus
lateralis ini. Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 00 dan tampak
tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk

23
membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior
diobservasi dan jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus
etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi.

4. Sfenoidektomi

Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang matang. Perhatikan letak


n.optikus, a.karotis dan apakah ujung septum intersfenoid melekat pada
a.karotis sehingga jika diangkat dapat menyebabkan ruptur arteri yang
fatal. Setelah ostium sinus sfenoid diidentifikasi, harus diperlebarkan
dengan menggunakan cunam jamur. Manipulasi di sinus sfenoid harus
dilakukan secara hati-hati karena n.optikus dan a.karotis berada di daerah
laterosuperior, maka sebaiknya diseksi di bagian medial dan inferior saja.

5. Sinus Frontal

Secara umum, teknik ini tidak dilakukan jika tidak ada kelainan pada sinus
frontal. Akan tetapi jika ada kelainan, maka teknik ini ditangani dengan
penuh perhatian supaya meminimalkan cedera pada mukosa.. Beberapa
penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan udem,
polip/popipoid, sisa prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi
seperti sel-sel agger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke
anterior, sel supra-orbital sangat cekung menyerupai kedalaman sinus
frontal dan lainnya.

6. Nasal Packing

Sebelum dilakukan terminasi, semua sinus harus diperiksa kembali dan


memastikan bahwa pendarahan telah dikontrol. Packing harus dilakukan di
meatus medialis agar dapt mencegah terjadinya lateralisasi pada konka
tengah (David, 2005; HTA, 2006; Patel, 2012).

24
2.3.7 Komplikasi

Beberapa komplikasi yang terjadi pada rhinosinusitis kronik adalah

1. Kelainan Orbita

Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau
melalui system vena yang tidak berkatup. Komplikasi orbita ini dapat berupa
selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan
kelopak mata, atau edema merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola
mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan pus.
Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi intravena dan dirujuk ke
dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak membaik dalam 48 jam atau ada tanda-
tanda komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah.

2. Kelainan Intracranial

Komplikasi intrakranial berupa meningitis, abses subdural, abses otak,


trombosis sinus kavernosus. Rongga sinus frontalis, etmoidalis dan sfenoidalis
hanya dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang tipis
sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang.
Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena. Sinusitis maksilaris karena
infeksi gigi sering menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi
intrakranial gejalanya dapat terlihat sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-
kejang. Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena
dan hal ini merupakan indikasi untuk tindakan operasi.

3. Kelainan Tulang (Osteomielitis)

Paling sering timbul akibat sinusitis frontalis dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksilaris dapat timbul fistula oroantral atau
fistula pada pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala
sistemik berupa malaise demam dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata
juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dimana
terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup.

25
4. Mukokel

Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul di
sinus frontalis meskipun dapat juga terjadi di sinus maksilaris, etmoidalis atau
sfenoidalis. Di dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang
kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi besar dan mendesak organ
disekitarnya terutama orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit kepala dan
pembengkakan di atas sinus yang terkena.

2.4 General Anastesi Endo Tracheal Tube (GA-ETT)

2.4.1 Definisi

General anastesi (Anastesi Umum) adalah meniadakan nyeri secara sentral


disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anastesi umum biasanya
dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien
dan waktu pengerjaan lebih panjang. Cara kerja anastesi umum selain
menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga
merelaksasi seluruh otot. Maka selama penggunaan anastesi juga diperlukan alat
bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital
melakukan fungsinya selama operasi dilakukan.

Dengan anastesi umum, akan diperoleh trias anastesia yaitu :

1. Hipnosis (tidur)
2. Analgesia (bebas dari nyeri)
3. Relaksasi otot

2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi anastesi umum


A. Faktor Respirasi
Hal- hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anastetika dalam alveolus
adalah :

26
1. Konsentrasi zat anastetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi,
semakin cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan
tekanan parsial.

B. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anastetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah verna. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
1. Perubahan tekanan parsial zat anastetika yang jenuh dalam alveolus
dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anastetika diserap
jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
2. Koefesien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anastetika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung

C. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anastetika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefesien partisi jaringan/darah
3. Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan
kaya pembuluh darah, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan
sedikit pembuluh darah )

D. Faktor Zat Anastetika


Potensi dari berbagai macam obat anastetika ditentukan oleh MAC
(Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi zat anastetika dalam
udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya respon terhadap
rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat
anastetika tersebut.

27
2.4.3 Keuntungan Anastesi umum

1. Mengurangi kesadaran pasien intraoperative


2. Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang
lama.
3. Memfasilitasi control penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi
4. Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anastesi local
5. Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga

2.4.4 Kekurangan Anastesi umum

1. Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien


2. Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau
muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan
masa untuk fungsi mental yang normal.
3. Terkait dengan hipertermia dimana paparan beberapa (tetapi tidak
semua) agen anastesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan
berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolic, dan
hiperkalemia.

2.4.5 Indikasi Anastesi Umum

1. Infant dan Anak usia muda


2. Dewasa yang memilih anastesi umum
3. Pembedahan luas
4. Penderita sakit mental
5. Pembedahan lama
6. Pembedahan dimana anastesi local tidak praktis atau tiddak
memuaskan
7. Riwayat pendeerita toksik/alergi obat anastesi local
8. Penderita dengan pengobatan antikoagulan

28
2.4.6 Penilaian dan Persiapan Praanastesia

a. Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anastesi sebelumnya


sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak
napas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anastesia berikutnya dengan
lebih baik.

Pasien dengan kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari


sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi system kardiosirkulasi,
dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2
minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alcohol juga harus
dicurigai adanya penyakit hepar.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar


sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti : inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system
organ tubuh pasien.

c. Pemeriksaan Laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan
uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb,Leukosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto toraks.

d. Kebugaran Untuk Anastesia

29
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang
tidak perlu harus dihindari.

2.4.7 Klasifikasi Status Fisik

Klasifikasi yang biasa digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang


ialah berasal dari The American Society of Anasthesiologist. Klasifikasi fisik ini
bukan alat prakiraan risiko anastesia, karena dampak samping anastesia tidak
dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.

Kelas Status fisik Contoh


I Pasien normal yang sehat Pasien bugar dengan
hernia inguinal
II Pasien dengan penyakit sistemik Hipertensi esensial,
ringan diabetes ringan
III Pasien dengan penyakit sistemik Angina. Insufisiensi
berat yang tidak melemahkan pulmoner sedang
sampai berat
IV Pasien dengan penyakit sistemik Penyakit paru
yang melemahkan dan merupakan stadium lanjut, gagal
ancaman konstan terhadap jantung
kehidupan
V Pasien sekarat yang diperkirakan Ruptur aneurisma
tidak bertahan selama 24 jam aorta, emboli paru
dengan atau tanpa operasi masif
E Kasus-kasus emergensi diberi
tambahan hurup E ke angka

Tabel. Klasifikasi ASA dari status fisik

30
2.4.8 Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anastesia. Regurgitasi isi


lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupkan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anastesia
harus dipantangkan dari masukan oral(puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anesthesia

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anesthesia. Minum bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan
minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anastesi.

2.4.9 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anastesia


dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anastesia
diantaranya :

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan


2. Memperlancar induksi anesthesia
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahayakan

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis


asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600mg, atau oral ranitidine 150mg 1-2 jam
sebelum jadwal operasi

31
Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5mg atau
ondansetron 2-4 mg.

2.4.10 Induksi Anastesi


Induksi anastesia ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anastesia dan pembedahan.
Induksi anastesia dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anastesia langsung
dilanjutkan dengan pemeliharaan anastesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anastesia selayaknya disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan keadaan dengan lebih cepat dan lebih baik.

Untuk persiapan induksi anastesia sebaiknya kita ingat kata STATICS:


S = Scope
Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.laringo-scope. Pilih
bilah atau daun(blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T = Tubes
Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia <5 tahun tanpa balon dan >5 tahun
dengan balon.
A = Airway
Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut
I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic(kabel) yang mudah
dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukan.

32
C = Conector
Penyambung antara pipa dan peralatan anasteshia
S = Suction
Penyedot lender, ludah dan lain-lain nya

2.5 Obat Anastesi


Umumnya obat anastesi umum diberikan secara inhalasi dan intravena.
1. Anastetik intravena
Beberapa obat anastesi diberikan secara intrvena baik tersendiri maupun
dalam bentuk kombinasi dengan anastetik lainya untuk mempercepat
tercapainya stadium anastesi, termasuk dibawah ini obat anastesi intravena
yang digunakan adalah :
a. Propofol
Propofol adalah substitusi isopropylphenol yang diberi secara intravena
dengan larutan 1% dalam larutan aqua dari 10% soybean oil, 2,25 %
glycerol dan 1,2 % purrifed egg phospolide. Propofol yang merupakan
suatu obat hipnoti dapat digunakan sebagai obat alternative untuk induksi
maupun pemeliharaan anastesi.
Mekanisme kerja dari propofol melalui interaksi dengan asam gamma
amino butirat (GABA), terutama sekali menghambat neurotransmitter di
system saraf pusat. Ketika reseptor GABA diaktifkan, hantaran klorida
transmembran meningkat, menyebabkam hiperpolarisasi dari membrane
sel post sinaptik dan penghambatan secara fungsional dari neuron
postsinaptik. Interaksi propofol dengan komponen spesifik dari komplek
reseptor GABA menunjukan penurunan laju disosiasi GABA dari
reseptornya, oleh karena itu meningkatkan lama kerja aktivasi GABA
dalam pembukaan channel klorida yang menyebabkan hiperpolarisasi
membrane sel.
Dosis yang diperlukan untuk induksi anastesi tergantung umur, umumnya
kira-kira 2mg/kgBB/IV untuk orang yang berumur dibawah 60 tahun dan

33
untuk umur diatas 60 tahun 1,6 mg/ kgBB/IV atau kira-kira 25-50% lebih
rendah dari dosis induksi biasa.
Efek pada system-sistem organ
Sistem kardiovaskuler
Propofol menyebabkan penuruna tekanan darah sistemik yang
lebih besar ibandingkan dengan thiopental yaitu sebesar kurang
lebih 25-40%. Penurunan tekanan darah ini disertai dengan
perubahan cardiac output dan sistemik vaskuler resistensi.
Relaksasi otot-otot polos jantung dihasilkan oleh propofol
terutama sekali karena adanya daya inhibisi aktivitas saraf
simpatis.
Disamping penurunan dari tekanan darah sistemik, frekuensi
denyut jantung biasanya tetap tidak berubah, berbeda dengan
kenaikan denyut jantung yang muncul pada saat pemberian
thiopental intravena secara cepat. Proppofol dapat menurunkan
aktifitas saraf simpatis lebih besar disbanding aktivitas
parasimpatis. Sehingga menyebabkan predominanya aktivitas
saraf parasimpatis.
Paru-paru
Propofol dapat menyebabkan depresi ventilasi tergantung dosis
dengan kejadian henti nafas sekitar 25-35% pasien. Rumatan
infuse propofol dapat menurunkan volume tidal dan frekuensi
pernafasan.
Propofol dapat menyebabkan terbebasnya histamine, induksi
dengan propofol dapat menghasilkan bronkodilatasi dan
penurunan kejadian wheezing durante operasi pada pasien dengan
riwayat asma. Sehingga propofol tidak di kontraindikasikan pada
pasien dengan riwayat asma.
b. Midazolam
Midazolam merupakan obat anastesi golongan benzodiazepine yang
bekerja terutama di korteks serebri. Midazolam juga bekerja di

34
hipotalamus dan mempunyai efek sedasi. Dengan sifat kerja yang pendek
dibandingkan derivate benzodiazepine yang lainya. Dibandingkan dengan
diazepam, Midazolam mempunyai potensi 2-3 kali, sehingga sering
menggantikan diazepam untuk premedikasi dan sedasi. Midazolam dapat
diberikan bersama larutan ringer laktat dan dapat dicampurkan dengan
obat-obatan asam seperti opioid dan antikolinergik. Waktu paruh
midazolam sekitar 1-3 jam, dimana lebih pendek dari diazepam.
Efek pada system organ lain:
System pernapasan
Menghasilkan penurunan ventilasi tergantung dosis dengan
0,15mg/kgBB iv sama dengan dosis Diazepan 0,3 mg/kgBB iv. Henti
nafas sementara dapat terjadi pada suntikan dengan dosis besar (>o,15
mg/kgBB iv)
System kardiovaskuler
Dosis 0,2 mg/kgBB iv untuk induksi anastesi menurunkan tekanan
darah sistemik dan meningkatkan denyut jantung lebih dari
Diazepam 0,5 mg/kgBB iv
System saraf pusat
Seperti benzodiazepine lainya, menurunkan kebutuhan oksigen
metabolit serebral dan aliran darah serebral analog dengan
barbiturate dan propofol. Respon vasomotor serebral terhadap
carbondioksida, dipertahankan selama anastesi midazolam.
Penggunaan klinis
Untuk medikasi pre operasi midazolam dapat diberikan 0,05=0,1
mg/kgBB. Efek sinergis antara benzodiazepine dengan obat lain,
misalnya opioid atau propofol dapat digunakan untuk keuntungan
sedasi dengan ventilasi dan oksigenasi yang tidak terganggu.
c. Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x morfin.
Lebih larut dalam lemak disbanding petidin dan menembus sawar
jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan

35
distribusinya secara kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi
terbesar dirusak paru ketika pertama kali meleatinya. Dimetabolisme oleh
hati dengan N-dealkilasi dan hidrksilasidan sisa metabolismenya
dikeluarkan lewat urin.
Efek depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-
3ug/kgBB analgesinya kira-kira berlangsung 30menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-150ug/kgBB digunakan untuk induksi anastesia dan
pemeliharaan anastesia dengan kombinasi benzodiazepine dan anastesik
inhalasi dosis rendah,pada bedah jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan
otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.
Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin
plasma, ADH,rennin, aldosteron dan kortisol.
2. Anastesi Inhalasi
Obat anastetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu pembedahan ialah N2O. kemudian menyusul eter, klorofo, etil-
klorida, etilen, divinil-eter, siklo-propan, trikloro-etlen, iso-propenil-vinil-
eter, propenil-metil-eter, fluoroksan,etil-vinil-eter, halotan, metoksi-
fluran,enfluran,isofluran,desfluran dan sevofluran.
Mekanisme obat anastetik inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri
dalam farmakologi modern. Pemberian anastetik inhalasi melalui pernapasan
menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam dunia
anastesiologi.
Ambilan alveolus gas atau uap anastetik inhalasi ditentukan oleh sifat
fisiknya.
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru kedarah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainya.
Hiperventilasi akan menaikan ambilanalveolus dan hipoventilasi akan
menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi
dalam darah adalah factor utama yang penting daam menentukan

36
kecepatan induksi dan pemulihanya. Induksi dan pemulihan berlangsung
cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada yang larut.
Kadar alveolus minimal (KAM) atau MAC( minimum alveolar
concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada
tkanan satu atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50%
pasien yang dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi
tercapai pada 95 % pasien, jika kadarnya dinaikan diatas 30% nilai KAM.
Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial zat anastetik dalam alveoli
sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja obat
a. N20
N2O(gas gelak, laughing gas,nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240o C.
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas
dalam bentuk cair dalam silinder warna biru 9000liter atau 1800liter
dengan tekanan 750psi atau 50atm.
Pemberian anastesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.
Gas ini bersifat anastesia lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada
anastesia inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi
dengan salah satu cairan anastestik lain seperti halotan dan
sebagainya. Pada akhir anastesia setelah N20 dihentikan, maka N20
akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2
dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia
difusi, berikan O2 100% selama 5-10menit.
b. Halotan
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N20
dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2>4 liter/menit atau
campuran N2O2 : O2 = 3:1 aliran > 4liter/menit, dimulai dengan
halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi dibutuhkan. Kalau pasien batuk

37
konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang
dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
c. Sevoflurane
Induksi dengan sevoflurane lebih disenangi karena pasien jarang
batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai
8% seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai
kebutuhan.
Induksi dengan enflurane, isoflurane, atau desflurane jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi
lama.
2.6 monitoring perianastesia
tujuan untuk membantu anastesi mendapatkan informasi fungsi organ vital
selama perianastesia, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring
secara elektronik membantu anastetis mengadakan observasi pasien lebih
efesien secara terus-menerus.
1. Monitoring kardiovaskular
a. Non invasive (tak langsung)
Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena gangguan
sirkulasi sering terjadi selama anastesi. Makin bradikardi makin
menurunkan curah jantung. Monitoring terhadap nadi dilakukan
dengan cara palpasi arteria radialis,brakialis, femoralis atau karotis.
Dengan palpasi dapat diketahui frekuensi,irama, dan kekuatan nadi.
Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan
elektronik seperti EKG atau oksimeter yang disertai dengan alarm.
Tekanan darah
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan
manset yang harus tepat ukuran nya (lebarnya kira-kira 2/3 lebar
jarak olecranon-acromion, atau 40 % dari keliling lebar besarnya
lengan) karena terlalu lebar menghasilkan nilai yang lebih rendah
dan terlalu sempit menghasilkan nilai lebih tinggi. Tekanan sistolik-

38
diastolik diketahui dengan cara auskultasi, palpasi, sedangkan
tekanan arteri rata-rata (Mean Arterial Pressure) diketahui secara
langsung dengan monitor tekanan darah elektronik atau dengan
menghitung nya yaitu 1/3

39

Anda mungkin juga menyukai

  • Galih
    Galih
    Dokumen2 halaman
    Galih
    aling yuda prasta
    Belum ada peringkat
  • Eko Nomi
    Eko Nomi
    Dokumen5 halaman
    Eko Nomi
    aling yuda prasta
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen2 halaman
    Bab Iii
    aling yuda prasta
    Belum ada peringkat
  • He4 Dan Ca125
    He4 Dan Ca125
    Dokumen1 halaman
    He4 Dan Ca125
    aling yuda prasta
    Belum ada peringkat
  • Preeklampsia Fix
    Preeklampsia Fix
    Dokumen37 halaman
    Preeklampsia Fix
    aling yuda prasta
    Belum ada peringkat
  • Partus Presipitatus GDON
    Partus Presipitatus GDON
    Dokumen37 halaman
    Partus Presipitatus GDON
    aling yuda prasta
    Belum ada peringkat