Anda di halaman 1dari 16

Inggris akan menggelar referendum untuk memutuskan apakah keluar atau tetap berada di Uni Eropa (UE).

Referendum yang populer disebut Brexit atau British Exit ini akan menentukan nasib perekonomian dan kondisi
masyarakat Inggris ke depan.

Berikut adalah berbagai pertanyaan soal Brexit dan latar belakang diselenggarakannya referendum yang membagi
Inggris menjadi dua kubu ini, dikutip dari berbagai sumber.

Apa yang terjadi?

Referendum akan dilakukan pada Kamis, 23 Juni 2016, waktu setempat. Seluruh warga Inggris yang berusia di atas
18 tahun bisa memberikan suara "ya" atau "tidak". Kubu mana pun yang mendapatkan lebih dari setengah suara
akan memenangkan referendum.

Mengapa diadakan?

Independent menuliskan, referendum Brexit adalah janji Perdana Menteri David Cameron jika dia terpilih kembali
pada pemilu 2015, menyusul desakan dari anggota partainya sendiri, Partai Konservatif, dan partai sayap kanan anti-
imigrasi Inggris, UKIP, yang mengatakan rakyat Inggris tidak pernah lagi menyampaikan aspirasi secara langsung
sejak tahun 1975. Kala itu, Inggris dalam referendum menyatakan tetap ingin bergabung dengan Uni Eropa.

Sejak referendum terakhir 41 tahun lalu, Uni Eropa telah berubah drastis. Dari Komunitas Ekonomi Eropa yang hanya
mengurusi perekonomian dan pasar tunggal dengan sembilan anggota, menjadi perserikatan besar beranggotakan
28 negara yang mengatur hampir seluruh lini kebijakan negara-negara Eropa.

Menurut pendukung Brexit, Uni Eropa dengan lebih dari 500 juta populasinya telah berubah menjadi serikat politik,
dan memiliki pengaruh yang sangat besar, bahkan melampaui kebijakan parlemen negara anggotanya.

Pendukung Uni Eropa mengatakan keanggotaan Inggris di Pasar Tunggal Eropa menyelamatkan perekonomian
mereka selama hampir 20 tahun, terutama saat pemerintahan Tony Blair dan Gordon Brown dari Partai Buruh dan
saat terjadi krisis ekonomi tahun 2008.

Keluarnya Inggris dari UE, ujar pendukung keanggotaan, akan menutup pasar bebas di Eropa dan membawa negara
ini ke dalam krisis ekonomi, berujung pada pemotongan tenaga kerja, hilangnya pekerjaan dan ketidakpastian
finansial.

Bendera Inggris terlihat di bangunan di Warsawa sebagai dukungan agar Inggris tak keluar dari Uni Eropa.
(Reuters/Kacper Pempel)

Hubungan dengan imigrasi?

Brexit juga muncul akibat keresahan masyarakat Inggris soal imigran eropa. Sejak perluasan keanggotaan UE dengan
masuknya negara-negara Eropa Timur tahun 2004, aliran imigran Eropa ke Inggris semakin deras.
Imigran pekerja seperti para tukang ledeng dari Polandia, pekerja konstruksi, pelayan dan staf bar awalnya disambut
dengan baik, namun sejak krisis 2008, standar kehidupan masyarakat menurun dan keresahan mulai muncul terkait
imigran asing.

UKIP mengatakan, keanggotaan di Uni Eropa membuat Inggris dibanjiri imigran yang tidak berguna. Jika keluar dari
UE, UKIP mengajukan kebijakan imigran yang meniru Australia.

Dengan kebijakan serupa Australia, Inggris hanya menerima orang-orang asing berkemampuan khusus yang memang
dibutuhkan negara itu. Australia contohnya, menerima chef, mekanik, arsitek, dan perawat, karena negara
kekurangan tenaga terampil di bidang tersebut.

Sementara pendukung keanggotaan UE mengatakan laju imigran tidak akan pernah berhenti atau berkurang ke
Inggris.

Siapa tokoh di balik Brexit?

PM Inggris David Cameron dan sebagian besar anggota partai Konservatif di pemerintah yang mendukung kampanye
keanggotaan di UE. Termasuk yang mendukung adalah para mantan perdana menteri Inggris dari berbagai partai.

Tokoh utama kubu Brexit, yang menolak keanggotaan di UE, adalah Michael Gove, menteri kehakiman Inggris, dan
Boris Johnson, mantan walikota London. Hampir setengah anggota dewan dari Partai Konservatif juga mendukung
kubu ini.

Partai-partai sayap kanan anti-imigran seperti Britain First dan UKIP yang dipimpin Nigel Farage adalah pendukung
ekstrem keluarnya Inggris dari UE.

Persoalan imigran juga menjadi salah satu motivasi kuat bagi mereka yang mendukung Inggris keluar dari Uni Eropa.
(Reuters/ascal Rossignol)Kubu mana yang akan menang?

Tiga survei terakhir soal isu ini pada Sabtu pekan lalu menunjukkan hasil referendum masih menggantung.

Survei YouGov menunjukkan kubu "tetap pada UE" hanya unggul 1 persen, yaitu 44 persen, dari kubu "keluar dari
UE."

Bursa judi untuk referendum juga ramai di Inggris. Berbagai situs judi negara itu menunjukkan taruhan untuk "tetap
pada UE" lebih besar ketimbang Brexit.

Apa yang akan terjadi setelah Brexit?

Jika referendum memutuskan untuk tetap bersama UE, maka Inggris akan melanjutkan kebijakan semula, tanpa ada
perubahan.

Namun jika referendum menyatakan Inggris keluar dari UE, maka kemungkinan besar Cameron akan mundur.
Johnson telah menyiratkan rencana untuk maju menjadi PM.
Dari sisi ekonomi, nilai mata uang Inggris diprediksi akan anjlok dan harga saham menurun jika keluar dari UE,
mengakibatkan Bank of England meningkatkan nilai suku bunga.

Namun butuh prosedur selama dua tahun hingga Inggris benar-benar keluar dari UE, berdasarkan Traktat Pasal 50.
Selama dua tahun itu, Inggris masih akan melanjutkan kebijakan Eropa dan mengatur kerja sama pasca UE.

Dalam jangka waktu dua tahun, perdebatan beralih kepada 27 negara anggota UE lainnya, soal keluarnya Inggris dari
serikat tersebut

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20160621133252-134-139780/apa-yang-perlu-diketahui-soal-brexit/
Abstract

Regionalism has relationship with areas studies. On this day, the process and the future of regionalism is still
questionable. Economic interests in the era of globalization is very difficult to put together, if we look at the
fundamental understanding of regionalism. The phenomenon of the release of the UK from the European Union is
also a big question mark for the International Relations scientists to reassess the role of regionalism for countries that
already have cooperation in the region.

Keywords: Regionalism, Areas Studies, European Union, Brexit

Pendahuluan

Thomas Kuhn, dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific, Revolution yang diterbitkan pada tahun
1970, mengatakan bahwa dunia mengalami pergeseran paradigma yang akan melahirkan trobosan-trobosan baru
dipelbagai bidang kehidupan (ekonomi-politik). Pergeseran paradigma akan terjadi jika timbul satu krisis (deadlock)
maka akan melahirkan peran baru pula. Dan jika pergeseran-pergeseran paradigma ini kita hadapkan kepada tatanan
hubungan internasional saat ini, maka pergeseran terjadi setelah usainya Perang Dingin. Globalisasi interdependensi
terasa sangat kental diantara masyarakat internasional (dunia). Salah satu contoh yang berkembang hingga saat ini
adalah peran negara-negara yang tergabung dalam organisasi regional.

Bagi negara yang cenderung berada dalam posisi lemah dalam organisasi regional, Hurrell menjelaskan fungsi
regionalisme adalah sebagai institusi pembentuk peraturan dan prosedur. Selain itu, institusi tersebut juga membuka
voice opportunities atau kesempatan dan hak yang sama dalam berpendapat, membuka peluang membentuk
koalisi yang lebih kuat, dan membuka wadah politis untuk membangun koalisi baru. Sedangkan bagi negara yang
relatif kuat, regionalisme berfungsi sebagai tempat untuk menjalankan strategi, tempat untuk mewadahi hegemoni,
dan tempat untuk melegitimasi power.

Regionalisme merupakan perkembangan integrasi sosial dalam sebuah wilayah yang kerap kali tidak secara langsung
dalam interaksi sosial dan ekonomi. Pengambilan kebijakan di dalam regionalisme berdasarkan kebijakan yang
secara sadar dibuat oleh negara maupun sekumpulan negara yang tergabung di dalam organisasi regional tersebut,
seperti misalnya Uni Eropa. Sedangkan kesadaran regional dan identitas menekankan pada sense of belonging atau
rasa memiliki antar entitas-entitas yang terlibat di dalamnya. Kerapkali regionalisme jenis ini didasari oleh
persamaan identitas dan identifikasi terhadap identitas itu sendiri sehingga kerap menimbulkan diferensiasi dan
kategorisasi. Misalnya saja penggolongan masyarakat masyarakat Eropa dan bukan Eropa. Kerjasama regional antar
negara merupakan regionalisme yang terbentuk sebagai upaya untuk merespon tantangan eksternal. Dalam
regionalisme ini ditekankan adanya koordinasi untuk menentukan posisi regional dalam sistem internasional. Di lain
sisi, integrasi regional menekankan pada pengurangan atau bahkan usaha untuk menghilangkan batas antar negara.
Dalam konteks ini bukan batas geografis yang ingin dihilangkan, namun batas interaksi seperti batasan pajak ekspor
dan impor.
Regionalisme yang terakhir, kohesi regional, bisa jadi merupakan gabungan dari keempat regionalisme sebelumnya
yang membentuk unit regional yang terkonsolidasi. Pembentukan kohesi regional dapat dilatarbelakangi oleh
keinginan untuk membentuk organisasi regional yang supranasional untuk memperdalam integrasi ekonomi dan
membentuk rezim serta membentuk hegemoni regional yang kuat.

Organisasi regional dipandang melalui kacamata politis sebagai upaya untuk membentuk aliansi bersama untuk
merespon tantangan eksternal. Oleh karena penekanan perspektif ini pada politik dan power, maka hegemoni
menjadi penting. Bahwa bagi negara yang relatif kuat, institusi regional menjadi tempat untuk mengaktualisasikan
strategi, tempat mewadahi hegemoni, dan untuk melegitimasi power. Akhirnya organisasi regional menjadi alat
hegemon untuk menguasai sebagian dunia (region-nya) untuk kemudian melancarkan hegemoninya pada area
yang lebih luas.

Proses-Proses Regionalisme

Regionalisasi (regionalization)

Regionalisasi merujuk pada proses pertumbuhan integrasi societal integrasi kemasyarakatan dalam suatu wilayah
dalam proses interaksi sosial dan ekonomi yang cenderung tidak terarah (undirected) (Hurrel, 1995: 39). Proses ini
bersifat alami di mana dengan sendirinya negara-negara yang saling bertetangga, yang secara geografis berdekatan,
melakukan serangkaian kerja sama guna memenuhi berbagai kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi sendiri. Terdapat
dua pengistilahan regionalisme
dalam proses ini, yakni soft regionalism dan transnational regionalism.

Soft regionalism mengarah pada proses otonom meningkatnya derajat interdependensi ekonom yang lebih tinggi di
dalam wilayah geografis tertentu. Dorongan yang paling penting dalam proses terbentuknya regionalisasi ekonomi
berasal dari pasar, arus perdagangan dan investasi pribadi, dan dari kebijakan dan keputusan
perusahaanperusahaan.

Transnational regionalism mencakup meningkatnya arus mobilitas orang-orang: perkembangan jejaring (network)
sosial yang kompleks dan melalui berbagai saluran di mana ide-ide, sikap-sikap politis dan aliran-aliran pemikiran
terbesar dari satu area ke area lain dengan mudah: serta terciptanya suatu masyarakat sipil regional transnasional.

Kesadaran dan Identitas Regional (regional awarness and identity)

Semua kawasan bisa dipahami dengan istilah cognitive region yang berarti bahwa, sama halnya dengan bangsa,
maka suatu kawasan bisa dibayangkan seperti komunitas (masyarakat) yang berada pada suatu peta mental
yang menonjolkan segi-segi tertentu dan mengabaikan hal lainnya. Artinya sebuah kawasan itu hanyalah
pengistilahan, pelabelan, pendefinisian orang saja terhadap wilayah geografis yang pengelompokannya didasarkan
pada ciri-ciri tertentu.

Proses kesadaran regional menekankan pada: 1) bahasa dan retorika; 2) pada wacana tentang regionalisme dan
berbagai proses politik di mana berbagai definisi tentang regionalisme dan identitas regional terus didefinisikan dan
didefinisikan kembali; dan 3) pada pemahaman umum dan pengertian yang diberikan pada kegiatan politik yang
dilakukan oleh para aktor yang terlibat.

Kerja sama regional antar negara (regional interstate co-operation)

Merujuk pada aktivitas kerja sama regional yang menunjukkan interdependensi termasuk negosiasi-negosiasi
bilateral sampai pembentukan rezim yang dikembangkan untuk memelihara kesejahteraan, meningkatkan nilai-nilai
bersama, serta memecahkan masalah bersama terutama yang timbul dari meningkatnya tingkat interdependensi
regional.

Aktivitas para regionalis meliputi negosiasi dan konstruksi kesepakatan atau rezim, di mana kerja sama tersebut bisa
bersifat formal maupun informal tanpa adanya jaminan efektivitas pelaksanaan dan nilai pentingnya secara politis.

Integrasi Regional yang didukung negara (state promoted regional integration)

Salah satu subkategori penting dalam kerja sama regional adalah integrasi ekonomi regional. Integrasi regional
melibatkan pembuatan kebijakan khusus oleh pemerintah yang disusun untuk mengurangi atau menghilangkan
hambatan-hambatan dalam pertukaran barang, jasa dan orang-orang. Kebijakan-kebijakan tersebut telah
melahirkan literatur dalam jumlah yang banyak: tentang proses integrasi, di bagian mana literatur tersebut dibuat,
dan tentang sasaran yang mungkin bisa dipenuhi oleh literatur tersebut.

Kohesi regional (regional cohesion)

Merujuk pada kemungkinan kombinasi dari keempat proses yang terdahulu mengarah pada terbentuknya unit
regional yang kohesif dan terkonsolidasi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai model termasuk pembentukan organisasi
supranasional secara bertahap dalam konteks peningkatan integrasi ekonomi; atau melalui integrasi kerja sama dan
pembentukan rezim-rezim, atau gabungan kompleks antara intergovermentalisme tradisional dengan
supranasionalisme (Hurrel, 1995:44).

Kemudian, kohesi regional mungkin didasarkan pada berbagai model (Hurrel, 1995:45). Salah satunya adalah
pembentukan organisasi regional supranasional secara bertahap dalam konteks semakin mendalamnya integrasi
ekonomi. Model yang kedua adalah pembentukan seperangat tatanan atau rezim (menyangkut peraturan, norma
dan nilai-nilai) yang tumpang tindih dan sangat kuat pengaruhnya terhadap negara-negara anggota. Model yang
ketiga adalah percampuran traditional intergovernmentalism dengan munculnya supranationalism. Contohnya
seperti pembentukan Uni Eropa.

Fenomena Brexit

Brexit atau yang biasa disebut Britain Exit merupakan salah satu fenomena bersejarah pada abad ke-21. Pada
tanggal 23 Juni 2016, sekitar 30 juta warga Inggris yang menggunakan hak pilihnya atau melakukan referendum,
untuk menentukan bertahan atau keluarnya Inggris di dalam organisasi supranasional Uni Eropa. Brexit akan
berdampak pada posisi Inggris dan Uni Eropa dalam dunia. Dalam bidang ekonomi akan paling jelas permasalahan
terhadap kebijakan perdagangan. Sementara Inggris kemungkinan akan mempermudah untuk melakukan transaksi
perdagangan berdasarkan domestik prioritas dan akan menjadikan Uni Eropa pilihan kedua beserta negara-negara
lain. Inggris juga akan menghadapi tantangan besar untuk melakukan negosiasi ulang dengan Uni Eropa yang tidak
akan lagi berlaku. Uni Eropa juga akan menjadi mitra yang kurang menarik bagi Amerika Serikat, Jepang dan juga
menjadi prioritas lebih rendah bagi banyak negara berkembang. Namun Uni Eropa dapat bersikap lebih tegas dalam
negosiasi dengan Inggris dan membuat kebijakan tentang perdagangan yang lebih aktif. Selain itu, Uni Eropa akan
kehilangan aset kekuatan yang bersifat hard dan soft, meskipun Brexit dapat menyebabkan integrasi politik Uni
Eropa yang lebih besar dan lebih koheren terhadap representasi eksternal di lembaga-lembaga dan kebijakan
eksternal.

Brexit digunakan untuk mengritik dan menyudutkan Brussels, Belgia, markas Uni Eropa yang dinilai selama ini
menggerogoti kedaulatan Inggris dengan beban-beban regulasinya. Sebagai organisasi, Uni Eropa telah didirikan
sejak lama, yakni pada tahun 1952, dengan peran dominan Prancis dan Jerman dalam merintis dan
mengonsolidasikannya hingga menjadi sebuah sistem yang bekerja dengan mekanisme supranasional dan antar
pemerintahan. Dalam beberapa bidang, berbagai keputusan ditetapkan melalui cara musyawarah-mufakat di antara
28 negara anggotanya. Sebagai konsekuensinya, setiap negara anggota telah menyerahkan kedaulatannya dan
tunduk pada mekanisme bersama, ketentuan Uni Eropa. Inggris baru bergabung dengan Uni Eropa pada 1 Januari
tahun 1973. Kelompok pro-Brexit berpendapat Inggris akan lebih baik jika bisa mengatur ekonomi dan imigrasinya
sendiri, sedangkan menurut yang anti-Brexit, walaupun bergabung dengan Uni Eropa, Inggris tidak mengadopsi
seluruh idealisme Uni Eropa, antara lain tidak memberlakukan visa Schengen dan mata uang Euro. Titik balik
menegosiasikan keanggotaanya dalam Uni Eropa muncul 22 Januari 2013, dalam janji kampanye PM David Cameron
dari Partai Konservatif.
Sesaat setelah pengumuman hasil referendum Brexit, pasar keuangan global terlihat guncang, yang diwarnai dengan
penurunan indeks saham gabungan di hampir seluruh negara pada tanggal 24 Juni 2016. Hal ini terlihat sebagai
eforia dan reaksi sesaat terhadap Brexit dan kekawatiran sementara pasar terhadap dampak lanjutannya. Kemudian,
pada hari Senin tanggal 27 Januari 2016, beberapa indeks saham mulai pulih karena pasar mulai menunjukkan
rasionalitasnya, dimana penguatan indeks terjadi di: SET Thailand, PSE Filipina, Shanghai China, Bombay India, JSX
Indonesia, ASX Australia, dan HCMC Vietnam). Pemulihan indeks saham terus berlanjut di hari berikutnya, terutama
di NYSE USA, FTSE UK, SET Thailand, SGX Singapura, JSX Indonesia, Shanghai China, Bombay India, serta di beberapa
negara Eropa.

Tidak hanya fenomena ekonomi saja yang menjadi dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Hal yang paling
ditakutkan oleh Uni Eropa dan bahkan dunia adalah ikutnya negara-negara lain yang tergabung di dalam Uni Eropa
untuk melakukan referendum. Keluarnya Inggris juga menjadi pukulan tersendiri bagi Uni Eropa.

Penyebab

Integrasi Uni Eropa, sejak awal membutuhkan pengorbanan besar, terutama dalam belanja ekonomi yang harus
dikeluarkan para anggotanya. Juga, dengan Inggris, yang bebannya tidak hanya harus ditanggung para elit politik,
namun juga penduduknya. Salah satu pengorbanan terbesar Inggris adalah berkurangnya kedaulatan nasional, yang
harus ditransaksikan dengan kepentingan Eropa secara menyeluruh. Tidak hanya Inggris saja, negara-negara di
benua Eropa yang ingin bergabung ke dalam organisasi regional supranasional Uni Eropa, salah satu persyaratan
yang harus dipenuhi adalah menyerahkan sebagian kedaulatannya. Kedaulatan nasional tergerus dengan
dibangunnya entitas supranasional baru, yang melibatkan negaranegara kecil anggotanya, yang sarat dengan beban
ekonomi nasional, hutang luar negeri, bahkan yang hampir bangkrut, seperti Yunani, dan angka pengangguran yang
besar. Hal ini menyulitkan Inggris untuk melesat dengan potensi ekonominya yang besar.

Ada banyak alasan, akhirnya Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa. Salah satunya yaitu, Inggris telah bergabung
dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) sejak tahun 1973. Selama 27 tahun, Inggris telah mengalami defisit
perdagangan dengan negara-negara anggota MEE yang dengan rata-rata 30 juta poundsterling per hari. Sebaliknya,
neraca perdagangan Inggris mengalami surplus dengan setiap benua di dunia. Kemudian pada tahun 2010, kontribusi
kotor Inggris untuk anggaran Uni Eropa mencapai 14 miliar pound sterling. Padahal, Inggris hanya bisa menyimpan
7 miliar pound sterling setahun dengan seluruh pengeluaran pemerintah.

Sebelum menjelaskan lebih lanjut alasan-alasan lain yang menjadi penyebab keluarnya Inggris dari Uni Eropa, kita
sebaiknya melihat proses bagaimana Inggris menjadi anggota Uni Eropa. Setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945,
Inggris menolak untuk bergabung dengan lembaga baru bentukan sejumlah negara Eropa. Lembaga ini mendorong
pada kerja sama dan hubungan damai. Inggris lebih tertarik untuk fokus pada sektor perdagangan dan investasi
dengan sejumlah mantan koloninya, seperti Amerika Serikat, India, Kanada, dan Australia. Pada 1960-an, Inggris pun
berubah pikiran. Britania Raya akhirnya memutuskan bahwa akan lebih baik jika bergabung dengan Komunitas
Ekonomi Eropa (EEC), kelak menjadi Uni Eropa. Namun keinginan Inggris itu mendapat penolakan dari sejumlah
negara Eropa, khususnya Prancis. Pinangan Inggris untuk bergabung dengan EEC ditolak pada 1961. Presiden Prancis
ketika itu, Charles de Gaulle, takut Inggris akan menjadi kuda troya musuh di dalam selimut bagi pengaruh Amerika
Serikat. Setelah de Gaulle lengser dan digantikan Felix Gouin, tepatnya pada 1967, Inggris kembali melamar menjadi
anggota Uni Eropa. Kali ini permohonan itu diterima dan Britania Raya resmi bergabung dengan zona perdagangan
bebas Uni Eropa pada 1973. Setelah itu EEC berganti nama menjadi Masyarakat Eropa dan terakhir menjadi Uni
Eropa.

Kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh Inggris tidak selalu sejalan dengan masyarakat Eropa. Pada masa
pemerintahan beberapa Perdana Menteri, hubungan Inggris dengan masyarakat Eropa maupun setelah menjadi
bagian dari Uni Eropa banyak terjadi perbedaanperbedaan. Sebagai contoh pada masa Perdana Menteri Margaret
Tatcher yang menolak untuk menyetujui kebijakan Common Agricultural Policy (CAP) karena menurutnya kebijakan
ini tidaklah bermanfaat bagi perekonomian Inggris yang dominan di bidang industri.

Kebijakan Uni Eropa yang terlalu ramah dalam imigrasi mendorong niat Inggris keluar dari Uni Eropa. Hal ini tampak
di kalangan mereka yang sangat tidak toleran terhadap orang asing atau imigran, dengan berbagai perbedaan latar
belakang, seperti kondisi ekonomi, pendidikan, agama, dan kultur. Dewasa ini terdapat 5,4 juta imigran, sekitar 8,4%
dari total penduduk Inggris. Inggris menjadi penerima imigran terbesar kedua setelah Jerman dengan 7,5 juta
imigran atau 9,3%. Sebanyak 5,23 juta imigran diprediksi membanjiri Inggris sampai tahun 2030. Sikap Brussels yang
mengharuskan para anggotanya berbagi beban mengatasi pengungsi yang mengalir ke daratan Eropa telah memaksa
London juga harus membuka pintu lebar-lebar atas pengungsi. Mereka sudah berada di kamp penampungan di
perbatasan Prancis, dan siap memasuki daratan Inggris lewat jalan tol dan kereta api. Perilaku pengungsi imigran
yang beringas, ditambah lagi dengan biaya dan pengorbanan lebih besar yang harus dikeluarkan Pemerintah Inggris,
telah membuat sebagian elit politik dan rakyat Inggris harus mengambil langkah drastis dengan referendum pada 23
Juni 2016.
Dampak Adanya Pasar Tunggal Eropa terhadap Perekonomian Inggris

PTE terbentuk karena adanyaa keinginan Masyarakat Eropa pada saat itu untuk membuat pasar tunggal demi
kemudahan dalam melakukan perdagangan dikawasan tersebut. Hal itu juga mendorong pertumbuhan ekonomi di
masing-masing negara karena produk domestik masing-masing negara anggota dapat berkompetitif di PTE. Selain
itu, PTE juga banyak menarik investor-investor asing untuk berinvestasi di negara-negara anggota Uni Eropa atau
lebih dikenal dengan FDI (foreign direct investment) karena mereka hanya akan dikenai satu regulasi sebagai regulasi
gabungan dari negara-negara anggota sehingga memudahkan mereka dalam berinvestasi. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa PTE merupakan kawasan yang subur untuk dijadikan lahan bisnis.

Bergabungnya Inggris kedalam PTE, keuntungan-keuntungannya akan dapat dirasakan. Pendapatan yang dihasilkan
dari Grass Domestic Product Inggris pada pasar tunggal mencapai 25 miliar poundsterling (European Movement,
2011). Sebagian besar barang penjualan ekspor Inggris ditujukan pada negara-negara Uni Eropa dan presentasenya
mencapai 53,5% (Booth dan Howarth, 2012). Presentase tersebut lebih besar dibandingkan penjualan barang ekspor
Inggris di Amerika Serikat yang hanya mencapai 13%. Pada tahun 2006, PTE meningkatkan pendapatan GDP Inggris
sebesar 2,2% dan membuka lapangan pekerjaan hingga mencapai 2, 75 juta (European Commision, 2007). Pasar
tunggal sebagai salah satu common market terbesar, tentunya juga memiliki pengaruh pada perkonomian global
karena kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Uni Eropa terkait pasar tunggal akan mempengaruhi hubungan kerja
sama dengan negara lain maupun organisasi internasional.

Pengaruh tersebut secara tidak langsung juga akan berdampak pada perkonomian Inggris. Inggri sebagai anggota Uni
Eropa juga memiliki keistimewaan terhadap PTE karena dapat mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh Uni Eropa
melalui Parlemen Eropa berkaitan dengan pasar tunggal. Sehingga, Inggris dapat mengajukan aspirasinya pada
kebijakan yang akan dibuat tersebut.

Dampak Keluarnya Inggris dari Uni Eropa terhadap Perekonomian Inggris

Dengan adanya krisis ekonomi yang menimpa Eropa, pertumbuhan ekonomi Eropa memang mengalami
kemunduran. Hal tersebut merupakan salah satu alasan bagi Inggris ingin keluar dari Uni Eropa. Namun, apakah
dampak yang didapat Inggris jika keluar dari Uni Eropa dan berarti juga keluar dari PTE jika Inggris keluar dari Uni
Eropa, sebenarnya Inggris masih dapat menjadi anggota European Free Trade Area (EFTA) dan bergabung dengan
European Economic Area (EEA). Namun, keuntungan yang didapatkan tentunya berbeda karena Inggris tidak dapat
memberikan aspirasinya dalam Parlemen Eropa ketika ada perumusan kebijakan. Hal itu tentunya tidak begitu
menguntungkan Inggris karena Inggris harus mengikuti kebijakan yang ada dan kebijakan tersebut belum tentu
menguntungkan untuk
Inggris.

Kemudian, dampak lainnya yang didapat oleh Inggris adalah keluarnya investor-investor asing dari Inggris. Hal
tersebut disebabkan masuknya investor-investor tersebut di Inggris, selain fleksibilitas buruh yang ada dan
penggunaan bahasa Inggris, namun juga sebagai batu loncatan untuk menyebarkan investasinya dinegara anggota
Uni Eropa lainnya. Selain hal itu, ekspor yang ditujukan pada negara-negara Uni Eropa tersebut akan dikenakan tarif
impor hingga 200% dan hal tersebut tentunya tidak menguntungkan Inggris karena Inggris masih banyak bergantung
pada negara-negara Uni Eropa, sehingga jika Inggris keluar dari Uni Eropa akan berdampak pada menurunnya GDP.
Inggris akan menghadapi blok-blok perdagangan regional yang telah banyak terbentuk seperti MERCORUS, ASEAN,
NAFTA dan lain sebagainya. Hal tersebut tentunya tidaklah menguntungkan Inggris.

Implikasi Luas

Wacana Brexit telah menyebabkan 3 jenis perpecahan, di antara partai di Inggris, negaranegara Eropa, dan
penduduk Inggris. Di politik nasional, Brexit telah menyebabkan perpecahan tokoh politik Inggris, yang selama ini
selalu memiliki banyak persamaan dalam sikap, seperti antara PM David Cameron dan mantan Walikota London,
Boris Johnson. PM Cameron dan Johnson dengan persamaan sikapnya yang kuat telah berhasil membawa Partai
Konservatif memenangkan pemilu tahun 2015. Namun, 13 bulan kemudian, gagasan referendum Brexit telah
melahirkan perceraian politik, dengan PM Cameron berupaya membujuk penduduk Inggris agar tidak meninggalkan
Uni Eropa (UE), dan Johnson berkampanye sebaliknya, memperoleh dukungan agar Inggris dapat meninggalkan UE
dengan segala beban kewajibannya.

Isu Brexit telah mengakibatkan anggota parlemen perempuan Inggris dari Partai Buruh, Jo Cox, tewas ditembak
orang yang menentangnya yang menyerukan Inggris tetap dalam Uni Eropa. Ia dianggap pengkhianat kemerdekaan
dan kebebasan Inggris. Kasus ini menyebabkan Westminster berduka, sehingga kampanye referendum dihentikan
untuk sementara. Hampir separuh anggota Partai Konservatif di parlemen mendukung Brexit, menjadi bagian dari
Euroskeptis.
Inggris merupakan salah satu negara yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap perkembangan Uni Eropa.
Bahkan pada tahun 2015, Inggris menjadi penyumbang kedua terbesar setelah Jerman untuk pendanaan Uni Eropa,
dengan jumlah pembayaran hampir mencapai 6,5 milyar euro (The Telegraph, 2016). Namun kontribusi dalam
jumlah yang besar ini, tidak semerta-merta Inggris lebih diuntungkan dalam forum Uni Eropa dibandingkan dengan
negara lain. Keadaan Inggris akan membaik setelah bergabung dengan Uni Eropa tidak sesusai dengan harapan.
Akibat adanya integrasi yang kuat di Uni Eropa dan memiliki karaterstik yang berbeda dengan organisasi lain,
menyebabkan banyak warga Inggris yang menyoroti hal tersebut. Selama Inggris bergabung ke dalam Uni Eropa,
banyak kepentingan nasional Inggris yang dikesampingkan akibat adanya kebijakan-kebijakan bersama yang harus
diterapkan. Kebijakan Uni Eropa bahkan mengakibatkan banyak kerugian dan menimbulkan ketidakpuasaan
masyarakat terhadap pemerintah. Masyarakat beranggapan pemerintah kurang tegas dalam memperjuangkan
kepentingan Inggris di kancah regional.

Permasalahan yang dilihat masyarakat Inggris dari menjadi anggota Uni Eropa adalah intervensi terlalu jauh
terhadap kedaulatan suatu negara. Inggris ingin menjaga kedaulatannya sendiri. Kedaulatan yang dimaksdukan
adalah akan lebih baik dan menguntungkan apabila suatu negara memerintah sendiri, membuat, melaksanakan, dan
menerapkan hukum dan menerapkan tarif pajaknya sendiri karena sejak tahun 2010 Uni Eropa telah
memperkenalkan 3.500 hukum baru yang mempengaruhi bisnis Inggris (Bussines Insider, 2015). Pengaruh bisnis
yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap Inggris sebagian besar merupakan pengaruh yang mendatangkan kerugian
bagi pihak Inggris dan mengakibatkan rasa kecewa pada masyarakat Inggris.

Brexit telah menunjukkan rakyat Inggris yang terbelah pandangannya, antara mereka yang melihat peluang dan
mereka yang sangat mencemaskan dampaknya. Kebingungan dan keresahan telah berdampak buruk terhadap
kondisi ekonomi nasional. Dengan barisan pendukung dan kalangan yang kontra hampir sama kuatnya, prospek
Inggris akibat Brexit telah dipertaruhkan. Tetap bersama Uni Eropa dinilai akan membuat Inggris tidak banyak
berubah, kecuali ada reformasi Uni Eropa, yang bisa membuat Uni Eropa lebih maju dan dirasakan manfaatnya bagi
seluruh negara anggotanya. Meninggalkan Uni Eropa menawarkan banyak perubahan, namun Inggris akan dinilai
egois karena melupakan identitas Eropanya.

Dengan Brexit, Inggris akan mendapatkan kembali kedaulatan nasionalnya, dan banyak lapangan kerja akan
tercipta. Inggris dapat berhubungan langsung dengan kekuatan ekonomi China, India, Rusia dan lain lain lewat WTO,
dan secara penuh dapat mengontrol perbatasan dari masuknya imigran. Akan tetapi keluarnya Inggris dari Uni Eropa
juga mempengaruhi negara-negara lain yang tergabung ke dalam Uni Eropa.

Keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan menyebabkan lubang beban keuangan nasional sebesar US$ 42,4 miliar, atau
30 miliar Poundsterling. Hal ini disebabkan oleh implikasinya terhadap sektor keuangan, dengan harus dinaikkannya
pajak penghasilan dan warisan di dalam negeri, serta pemotongan anggaran belanja, khususnya yang harus diberikan
untuk jaminan kesehatan nasional melalui National Health Service. Pasar uang di Inggris anjlok akibat meningkatnya
pendukung Brexit. Bagaimanapun, Brexit akan menciptakan kondisi ketidakpastian bagi Inggris, sehingga seperti
berjudi dalam perdagangan berjangkanya. Sebab, melakukan negosiasi dagang dari luar Uni Eropa akan menjadi jauh
lebih sulit daripada sekadar memberikan nasihat agar Inggris segera keluar dari Uni Eropa. Dalam jangka panjang,
Brexit dapat menghasilkan resiko kolosal yang tidak jelas akhirnya.

Brexit, secara spesifik, akan memprovokasi meningkatnya sentimen nasionalisme serta muncul dan menguatnya
pemimpin populis dan kanan di Uni Eropa dengan ambisi kekuasaan dan semangat anti imigran yang tinggi, sehingga
mengancam instabilitas politik Uni Eropa. Diperkirakan, Inggris akan menghadapi minimal 7 tahun ketidakpastian
selama negosiasi terkait hubungan baru dengan Uni Eropa.

Kesimpulan

Fenomena Brexit yang cukup menggegerkan dunia, merupakan salah satu dampak pertanyaan bagi akademisi
maupun ilmuwan Hubungan Internasional tentang regionalisme. Padahal model regionalisme yang terjadi di Uni
Eropa selalu dijadikan contoh, bahwa regionalisme yang terjadi di Eropa merupakan yang berhasil. Tetapi dalam
kenyataanya, Inggris pada tanggal 23 Juni 2016 mengumumkan keluar dari Uni Eropa. Bahkan terdengar isu bahwa
Belanda akan melakukan referendum seperti halnya Inggris. Uni Eropa memiliki sejarah yang sangat panjang
sebelum menjadi organisasi regional yang supranasional. Adnya mata uang yang sama, penyerahan sebagian
kedaulatan, merupakan salah satu ciri kuatnya integrasi antara negara-negara Eropa yang tergaubung dalam Uni
Eropa. Dampak langsung keluarnya Inggris dari Uni Eropa sudah dirasakan secara signifikan. Ekspor, investasi dan
kepentingan kebijakan banyak korporasi besar akan terpengaruh, tetapi akan ada satu hal yang berdampak besar
yaitu pada biaya keuangan di Eropa yang cenderung meningkat. Brexit akan memiliki dampak politik yang lebih luas
di Uni Eropa, baik mengganggu dinamika politik dalam negeri maupun luar negeri dan risiko politik Uni Eropa
danmendorong disintegrative kekuatan di negara-negara anggota lainnya. Eropa juga akan kehilangan harga diri dan
mempengaruhi seluruh dunia, karena Uni Eropa merupakan salah satu organisasi regional yang hampir sempurna.
Kita patut menganalisis, apakah hingga hari ini regionalisme masih relevan apabila dicontohkan kepada Uni Eropa
yang merupakan hasil produk regionalisme sempurna. Apabila salah satu anggota regionalisme yang hampir
sempurna itu keluar, bagaimana masa depan regionalisme itu sendiri? Pertanyaan tersebut masih akan menjadi
pertanyaan yang akan diajukan oleh akademisi maupun ilmuwan Hubungan Internasional, hingga 5 sampai 10 tahun
kedepan, karena proses negosiasi antara Inggris dengan Uni Eropa akan memakan waktu yang cukup lama. Tetapi
dengan fenomena Brexit ini kita sebagai akademisi tidak bisa langsung memberikan jawaban bahwa regionalisme
itu gagal. Regionalisme merupakan salah satu cara bagaimana menumbuhkan kekuatan di kawasan dan juga
mengurangi peran negara-negara hegemon. Semoga peristiwa bersejarah ini, tidak akan terulang lagi di negara-
negara yang juga tergabung dalam organisas regional, seperti halnya Uni Eropa dan ASEAN.

Daftar Pustaka

Nuraeni Suparman, Deasy Silvya Sari dan Arifin Sudirman. 2010. Regionalisme: Dalam
Studi Ilmu Hubungan Internasional, hal 6-10.

Nainggolan, Poltak Partogi. BREXIT, PENYEBAB DAN IMPLIKASI GLOBALNYA.


Diakses 24 Maret 2016. http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-
VIII-12-II-P3DI-Juni-2016-1.pdf

Giacalone, Rita. Is European Inter Regionalism a Relevant Approach for the World or Just
for Europe? Diakses 24 Maret 2016. http://www6.miami.edu/eucenter/Giacalone-EUregInteglong070918.pdf

Martin B, Eli. The E.U. and Regionalism E.U. integration is encouraging regional
nationalism. Diakses 24 Maret 2016. http://www.thecrimson.com/article/2010/9/17/euflemish-
scotland-new/

Counsel, Global. BREXIT: the impact on the UK and the EU. Diakses 24 Maret 2016.
https://www.global-counsel.co.uk/sites/default/files/special-reports/downloads/Global
%20Counsel_Impact_of_Brexit.pdf

Dixon, Hugo. Messy Breakup if Britain Opts Out of E.U. Diakses 24 Maret 2016.
http://www.nytimes.com/2013/10/21/business/international/messy-breakup-if-britain-optsout-
of-eu.html?_r=1

Hiper15. The Brexit: Kekecewaan Inggris terhadap Uni Eropa. Diakses 25 Maret 2016.
http://hiper15.com/2016/06/11/the-brexit-kekecewaan-inggris-terhadap-uni-eropa/

The Economist. The Brexit briefs Our guide to Britains EU referendum. Dikakses 25 Maret
2016. https://www.economist.com/sites/default/files/EconomistBrexitBriefs16.pdf

CNN. Dampak Brexit bagi Uni Eropa, dari Ekonomi hingga Imigrasi. Diaskes pada 25
Maret 2016. http://www.cnnindonesia.com/internasional/20160624152859-134-
140703/dampak-brexit-bagi-uni-eropa-dari-ekonomi-hingga-imigrasi/
Jean Pisani-Ferry, Norbert Rttgen, Andr Sapir, Paul Tucker, Guntram B. Wolff. Europe
after Brexit: A proposal for a continental partnership. Diakses 25 Maret 2016.
http://bruegel.org/wp-content/uploads/2016/08/EU-UK-20160829-final-1.pdf

BBC. Brexit in the High Court: What the legal arguments tell us. Diakses 25 Maret 2016.
http://www.bbc.com/news/uk-politics-37704117

BBC. Theresa May expects full EU role until Brexit. Diakses 25 Maret 2016.
http://www.bbc.com/news/uk-politics-37710786

The London School of Economics and Political Science. BREXIT 2016 Policy analysis from
the Centre for Economic Performance. Diakses 25 Maret 2016.
http://cep.lse.ac.uk/pubs/download/brexit08_book.pdf

Anda mungkin juga menyukai