Anda di halaman 1dari 4

TUGAS PENGANTAR TEKNOLOGI

NUKLIR

Ari Nur Chintia


011600431
TEKNOKIMIA NUKLIR

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI


NUKLIR BATAN
YOGYAKARTA
Saat yang Tepat Kembali Bicara Nuklir
Dewi Safitri, CNN Indonesia
Kamis, 11/08/2016 18:44 WIB

Indonesia diperkirakan menjadi net importir listrik pada 2030 jika tidak ada terobosan dalam
pengadaannya. (Antara/Anis Efizudin)

Jakarta, CNN Indonesia -- Empat tahun lalu, pemerintah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bercita-cita menjadikan tahun 2016 sebagai awal PLTN Muria di Jawa Tengah
beroperasi- sekaligus reaktor listrik komersial pertama di Indonesia.

Cita-cita itu gagal, oleh nasib yang sama dengan berbagai target pembangunan PLTN lain
yang dicanangkan sebelumnya, mulai sejak Presiden Sukarno hingga Presiden Abdurrahman Wahid.

Dalam sebuah kesempatan tak resmi akhir Juni lalu di Jakarta, Menteri Ristek dan Dikti
Mohamad Nasir mengatakan, membangun reaktor nuklir untuk listrik adalah pilihan paling ekonomis
untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia saat ini. Harga listrik dari nuklir sangat miring - di
Korea Selatan harga listrik per 1kWh mencapai 13,8sen untuk pembangkit BBM, 6,2sen untuk
pembangkit batubara dan hanya 3,9 sen untuk nuklir.BPPT meramalkan dengan konsumsi energi yang
tumbuh 5,7% per tahun, Indonesia akan berubah jadi net importir energi pada 2030 jika tak ada
terobosan berarti dalam menciptakan sumber energi baru.

"Tapi nuklir ini baru disebut saja masyarakat sudah ketakutan.....Isunya dikendalikan LSM"
keluh Pak Nasir sambil geleng-geleng kepala.

Ini bukan situasi yang hanya terjadi di Indonesia. Sejak lama organisasi non-pemerintah baik
lokal maupun global sudah banyak terlibat dalam kampanye anti-nuklir. Sebut misalnya Walhi yang
menyerukan sumber energi alternatif luar nuklir dan Greenpeace yang menjadi lokomotif penolakan
pembangunan reaktor di banyak negara Eropa dan Asia.

Di Indonesia, penolakan terhadap instalasi listrik bertenaga nuklir antara lain merupakan buah
dari kasus kebocoran reaktor yang antara lain terjadi di Chernobyl (1988) dan yang lebih mutakhir,
Fukushima (2011).

Tahun lalu, untuk kali pertama dalam beberapa tahun terakhir, isu reaktor nuklir untuk
pembangkit muncul kembali. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral berencana menerbitkan
Buku Putih nuklir Indonesia untuk "menjelaskan kemajuan Indonesia dalam pemanfaatan teknologi
nuklir.

Seiring dengan rencana itu, sebuah survey yang dilakukan Badan Teknologi Nuklir Nasional
(BATAN) melalui Sigma Research menunjukkan bahwa lebih dari 72 persen dari empat ribu
responden di 34 provinsi menerima nuklir sebagai opsi penyediaan listrik nasional. Jika hasil survey
ini benar, sikap pemerintah yang masih meragukan restu publik untuk PLTN seperti yang dinyatakan
oleh Menristek, menarik untuk dilihat. Selama puluhan tahun disiapkan, kebutuhan ahli teknologi
nuklir untuk sebuah pembangkit listrik di Indonesia diklaim BATAN sudah lebih dari cukup. Dengan
100 lebih ahli setara doktor, 300 orang dengan tingkat pendidikan Strata 2 dan lebih banyak lagi di
tingkat sarjana, kemampuan mengelola reaktor bukan masalah besar buat Indonesia. Persoalan lokasi
juga mestinya tak terus-menerus jadi masalah - bila PLTN Muria tak jadi diteruskan, Kementrian
ESDM menyatakan sudah ada beberapa provinsi (di luar jawa) yang menawarkan wilayahnya sebagai
lokasi PLTN pertama Indonesia.

Keputusan untuk menggunakan opsi nuklir sebagai pembangkit, disebut-sebut tinggal


"menunggu sikap presiden".

Melihat besarnya minat pemerintahan Presiden Jokowi yang tinggi pada proyek infrastruktur,
bisa jadi impian untuk memiliki pembangkit nuklir akan benar terwujud setelah disiapkan dalam lebih
dari 50 tahun.

Presiden Jokowi mungkin akan mempertimbangkan ketertinggalan Indonesia di banding


Vietnam atau Malaysia yang berencana mengoperasikan reaktor nuklir untuk listrik masing-masing
pada 2020 dan 2030.

Tetapi mengambil keputusan dalam skala ini tanpa restu publik akan berisiko. Dalam
komunitas yang demokratis keputusan memilih teknologi kontroversial seperti nuklir - seperti juga
benih transgenik dan kloning bahkan vaksin - pasti akan menuai pro dan kontra.

Tak ada teknologi penghasil energi yang benar-benar bebas bahaya. Akan tetapi pilihan yang
lebih banyak didorong oleh keputusan politik penguasa ketimbang pertimbangan rasional pemilih
dapat berakibat pada kemurtadan sains (science disbeliever).

Alih-alih dipaksa pemerintah, keputusan jadi/tidak membangun reaktor nuklir baiknya


diambil oleh publik sendiri. Asumsi bahwa keputusan terbaik diambil dengan menyerap informasi
terbaik (informed decision) menunjukkan bahwa peran pemberi informasi terbesar mestinya adalah
para ilmuwan - dalam hal ini ilmuwan nuklir.

Apakah PLTN yang dibangun di luar Jawa akan lebih aman? Benarkah teknologi reaktor
sudah jauh lebih maju dari saat Fukushima koyak oleh gempa dan tsunami lima tahun lalu? Adakah
alternatif sumber energi lain dengan hasil bersaing dan risiko lebih kecil? Daftar pertanyaan bisa terus
berkembang hingga publik bisa memutuskan.

Dalam alam media sosial yang dipenuhi ujaran kebencian dan berita pseudo-science alias
sains bohong-bohongan, keterlibatan ilmuwan sebagai juru terang ilmu pengetahuan akan sangat
bermanfaat. Lepas dari putusan akhirnya nanti - ini saat yang tepat bagi publik kembali bicara nuklir.
(dlp)

Sumber : http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160810185342-200-150549/saat-yang-tepat-
kembali-bicara-nuklir/

diakses 16 Oktober 2016-10-16 05.25

TANGGAPAN :

Di atas dijelaskan sudah bahwa proyek pembangunan PLTN sebenarnya sudah direncanakan
sejak kepresidenan Soeharto bahkan ada sumber lain mengatakan sejak kepemimpinan Soekarno.
Dalam hal perwujudan PLTN sendiri, selalu saja mengalami masalah atau kendala mulai daari isu-isu
tentang nuklir, propaganda, dan juga pemberitaan nuklir yang terlalu dibesar-besarkan.

Seharusnya dewasa ini, masyarakat perlu berpikir lebih jauh mengenai Indonesia kedepanya
harus bagaimana? Listrik Indonesia harus bagaimana? Sedangkan kita tahu, semakin hari pasokan
listrik juga berkurang, pemadaman bergilir dilakukan setiap hari di beberapa daerah. Bahkan banyak
sekali daerah-daerah terpencil yang belum tersentuh listrik karena harus kalah juga dengan wilayah
perkotaan dimana perkotaan membutuhkan pasokan listrik yang jauh lebih besar.

Dengan nuklir yang bisa dibilang cukup efisien dibanding dengan PLTU yang berbahan bakar
batu bara kita bisa menghemat batubara, kita bisa mengenadalikan penggunaan batubara yang
nantinya batubara persediaan di Indonesia digunakan untuk proyek lain yang mungkin lebih
membutuhkan seperti untuk bahan bakar kereta api berbahan bakar batubara.

Namun karena masyarakat Indonesia khususnya yang tidak mengerti nuklir sudah takut
terlebih dahulu karena isu-isu tidak jelas dan juga kasus-jasus nuklir yang terlalu dibesar-besarkan,
mereka lalu menolak keras bahkan membuat suatu organisasi anti-nuklir bahkan mereka mengadakan
demo anti-nuklir yang kemudian menghambat proses pembangunan PLTN. Organisasi ini snegaja
dibentuk agar masyarakat menolak pembangunan PLTN di Indonesia, entah siapayang mendalangi
organisasi ini bisa saja orang-orang yang benar-benar anti-nuklir karena takut bahayanya atau hanya
orang yang mencari keuntungan agar PLTU, ataupun proyek lainya tidak tersaingi PLTN.

Pemerintah Indonesia harusnya mulai bergerak lebih tegas, maksud tegas ini yaitu dalam
memberikan sosialisasi dalam rangka membujuk, dan menerangkan sedetail mungkin mengenai
PLTN mulai dari manfaat, proses, dan bahaya serta penangananya. Hraus dijelaskan secara detail,
tidak ada yang ditutup-tutupi dan memberikan jaminan keamanan bagi warga masyarakat Indonesia.
Dan menjamin dengan nuklir Indonesia mampu mencapai kesejahteraan dalam listrik, penghematan
bahan bakar dan juga mengalami kemajuan.

Anda mungkin juga menyukai