Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan aspek yang sangat penting bagi manusia. Dalam Undang-
undang no 23 tahun 1992 dijelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera
badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara
sosial dan ekonomi. Atas dasar definisi kesehatan tersebut, dapat dikatakan bahwa
kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan dan unsur
utama dalam terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh.1
Masalah gangguan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang
sangat serius. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kesehatan jiwa yang
menjadi perhatian dan dikategorikan dalam gangguan psikis yang paling serius
karena dapat menyebabkan menurunnya fungsi manusia dalam melaksanakan
aktivitas kehidupan sehari-hari seperti kesulitan dalam merawat diri sendiri, bekerja
atau bersekolah, memenuhi kewajiban peran, dan membangun hubungan yang dekat
dengan seseorang. Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis,
banyak tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Mula-mula Emil Kreaplin (18-
1926) menyebutkan gangguan dengan istilah dementia prekok yaitu suatu istilah yang
menekankan proses kognitif yang berbeda dan onset pada masa awal. Istilah
skizofrenia itu sendiri diperkenalkan oleh Eugen Bleuler (1857-1939), untuk
menggambarkan munculnya perpecahan antara pikiran, emosi dan perilaku pada
pasien yang mengalami gangguan ini. Bleuler mengindentifikasi symptom dasar dari
skizofrenia yang dikenal dengan 4A antara lain : Asosiasi, Afek, Autisme dan
Ambivalensi.1,2
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering, hampir 1%
penduduk dunia menderita psikotik selama hidup mereka di Amerika. Skizofrenia
lebih sering terjadi pada Negara industri terdapat lebih banyak populasi urban dan
pada kelompok sosial ekonomi rendah.1,2

1
Walaupun insidennya hanya 1 per 1000 orang di Amerika Serikat, skizofrenia
seringkali ditemukan di gawat darurat karena beratnya gejala, ketidakmampuan untuk
merawat diri, hilangnya tilikan dan pemburukan sosial yang bertahap. Kedatangan
diruang gawat darurat atau tempat praktek disebabkan oleh halusinasi yamg
menimbulkan ketegangan yang mungkin dapat mengancam jiwa baik dirinya maupun
orang lain, perilaku kacau, inkoherensi, agitasi dan penelantaran.3
Skizofrenia mempunyai karakteristik dengan gejala positif dan negatif. Gejala
positif antara lain thougt echo, delusi, halusinasi. Gejala negatifnya seperti: sikap
apatis, bicara jarang, efek tumpul, menarik diri. Gejala lain dapat bersifat non
skizofrenia meliputi kecemasan, depresi dan psikosomatik.4,5
Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan
yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan
tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya. Diperkirakan, prevalensi depresi pada
populasi dunia adalah adalah 3-8% dengan 50% kasus terjadi pada usia produktif
antara 20-50 tahun. WHO, memperkirakan pada tahun 2020 depresi akan menduduki
peringkat kedua setelah penyakit jantung koroner dalam urutan daftar penyakit yang
menimbulkan beban global dunia. Sekitar 20% wanita dan 12% pria.6
Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar
dibandingkan masalah kesehatan lainnya. Depresi pasca skizofrenia merupakan suatu
episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul setelah suatu serangan
penyakit skizofrenia. Gejala depresif merupakan masalah yang mempengaruhi
seluruh tubuh, dengan mengganggu kesehatan mental, kesehatan fisik, rasa dan
perilaku pada aktifitas yang biasa dilakukan. Semakin cepat keluarga memeriksakan
seorang anggota keluarganya yang dicurigai depresi ke layanan kesehatan, semakin
cepat strategi penanganan yang sesuai untuk menghadapi masalah ini yang sebetulnya
adalah gangguan yang sangat nyata terhadap kesehatan.6

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia
1. Pengertian
Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses
pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan
psikomotor disertai distorsi kenyataaan terutama karena waham dan halusinasi,
assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul inkoherensi, afek dan emosi inadekuat,
psikomotor menunjukkan penarikan diri, ambivalensi dan perilaku bizar. Skizofrenia
berasal dari dua kata skizo yang berarti retak atau pecah (split), dan frenia yang
berarti jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa skizofrenia
adalah orang yang mengalami keretakan atau keretakan kepribadian (splitting of
personality). 1,3
Skizofrenia merupakan sebuah sindrom kompleks yang dapat merusak pada efek
kehidupan penderita maupun anggota-anggota keluarganya atau gangguan mental
dini untuk melukiskan bentuk psikosis tertentu yang sesuai dengan pengertian
skizofrenia sekarang. Hal tersebut dilaporkan dalam bentuk kasus yang terjadi pada
seorang pemuda yang ditandai adanya kemunduran atau keruntuhan fungsi intelek
yang gawat, berikutnya menjadi dementia yanc, merupakan kemerosotan otak
(dementia) yang diderita oleh orang muds (praecox) yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kekaburan keseluruhan kepribadian. Bahwa halusinasi, delusi dan
tingkah laku yang aneh pada penderita skizofrenia dapat dikatakan sebagai kelainan
fisik atau suatu penyakit. Eugen Bleuler dalam Kaplan & Sadock, memperkenalkan
istilah skizofrenia atau jiwa yang terbelah, sebab gangguan ini ditandai dengan
disorganisasi proses berpikir, rusaknya koherensi antara pikiran dan perasaan, serta
berorientasi dini kedalam dan menjauh dari realitas yang intinya terjadi perpecahan
antara intelek dan emosi.4,5

2. Etiologi Skizofrenia
a. Keterlibatan faktor keturunan

3
Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya dengan
pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menderita gangguan
tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu anak kembar dari satu telur
mempunyai kemungkinan tiga sampai enam kali lebih besar untuk sama-sama
menderita gangguan skizofrenia dibandingkan dengan anak kembar dari dua telur.5,7
b. Faktor lingkungan
Penelitian menyatakan bahwa ibu yang terlalu melindungi, hubungan perkawinan
orang tua yang kurang sehat, kesalahan dalam pola komunikasi diantara anggota
keluarga dapat menimbulkan skizofrenia. Skizofrenia tidak diduga sebagai suatu
penyakit tunggal tetapi sebagai sekelompok penyakit dengan ciri-ciri klinik umum.
Banyak teori penting telah diajukan mengenai etiologi dan ekspresi gangguan ini,
salah satunya yang diungkapkan oleh Residen Bagian Psikiatri UCLA.5,7
c. Teori biologik dan genetik
Penelitian keluarga (termasuk penelitian kembar dan adopsi) sangat mendukung
teori bahwa faktor genetik sangat penting dalam transmisi mendukung skizofrenia
atau paling tidak memberi suatu sifat kerawanan dan juga dapat menjadi penyebab
peningkatan insiden dari sindrom, yang mirip dengan skizofrenia (gangguan
kepribadian skizoafektif, skizotipik dan lainnya) yang terjadi dalam keluarga.5,7
d. Hipotesis neurotransmitter
Penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor dopaminergik
dalam susunan syaraf pusat (SSP) penderita skizofrenik. Pada hakekatnya neuroleptik
diduga efektif karena kemampuannya memblokir reseptor dopaminergik. Penelitian
mengenai skizofrenik yang tidak di obati juga mengungkapkan suatu kelebihan dari
reseptor dopaminergik yang secara langsung berlawanan dengan teori bahwa temuan
ini berhubungan dengan pemberian neuroleptik.5
e. Pencetus psikososial
Stressor sosio lingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal dan
kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan
protektif dengan tetap mempertahankan kerawanan secara psiko biologik dalam
pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan di lingkungan rumah : komentar

4
kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan terbukti menyebabkan
peningkatan angka kekambuhan skizofrenia. Etiologi atau penyebab skizofrenia yang
lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock sebagai berikut:
1. Model diatesis-stress
Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan
lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang
mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu
pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan
gejala skizofrenia.5,7
2. Faktor biologis
Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk daerah
tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis. Ketiga
daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah
tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi
suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik.5,7
3. Kriteria Diagnostik Skizofrenia
Adapun kriteria diagnostik skizofrenia meliputi:
a. Gangguan pada isi pikiran
Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan pikiran
yang paling umum dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini mencakup delusi
rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri, kontrol, nihil atau doss dan
pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan kepercayaan irasional mengenai suatu
proses berpikir, seperti percaya bahwa pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang lain atau
hilang dari alam pikirannya karena paksaan dari orang lain atau objek dari luar.
Delusi somatik meliputi kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh,
misalnya pasien skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap.8-10

b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi


Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi dan
tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan logika, cara mereka

5
mengekspresikan dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi tidak dapat dimengerti,
akan sangat membingungkan jika kita berkomunikasi dengan penderita, gangguan
pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah inkoheren, kehilangan asosiasi,
neologisms, blocking dan pemakaian kata-kata yang salah.8-10
c. Gangguan persepsi halusinasi
Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan kesalahan
dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita walaupun halusinasi tidak
begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan begitu nyata bagi pasien
skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam kontrol individu, tetapi tejadi begitu
spontan walaupun individu mencoba untuk menghalanginya. 8-10
d. Gangguan afeksi (perasaan)
Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara, abnormal
dibandingkan dengan orang lain. secara umum, perasaan itu konsisten dengan emosi
tetapi reaksi ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya. 8-10
e. Gangguan psikomotor
Pasien skizofrenia kadang akan terlihat aneh dan cara yang berantakan, memakai
pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau pasien skizofrenia akan
memperlihatkan gangguan katatonik stupor (suatu keadaan di mana pasien tidak lagi
merespon stimulus dari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada orang di
sekitarnya), katatonik rigid (mempertahankan suatu posisi tubuh atau tidak
mengadakan gerakan) dan katatonik gerakan (selalu mengulang suatu gerakan tubuh)
menonjol adalah afek yang menumpul, hilangnya dorongan kehendak dan
bertambahnya kemunduran sosial. Menurut Eugen Bleuler (1857-1938) dalam Kaplan
& Sadock, (2010) membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok: gejala
positif dan negatif. Gejala positif antara lain thougt echo, delusi, halusinasi. Gejala
negatifnya seperti: sikap apatis, bicara jarang, efek tumpul, menarik diri. Gejala lain
dapat bersifat non-skizofrenia meliputi kecemasan, depresi dan psikosomatik. 8-10
B. Depresi Pasca Skizofrenia
1) Definisi

6
Depresi pasca skizofrenia merupakan gejala depresif setelah suatu episode
psikotik pada seorang pasien skizofrenik dikategorikan sebagai contoh dari gangguan
depresif yang tidak ditentukan dalam DSM-II-R.6,8,12
2) Epidemiologi
Perkiraan tingkat prevalensi sindrom depresi pada pasien dengan skizofrenia
berkisar dari 7% menjadi 78% dengan rata-rata sekitar 25% . Studi telah bervariasi
dalam hal definisi yang digunakan untuk skizofrenia dan depresi, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa depresi selama fase kronis skizofrenia memiliki dampak negatif
pada jalannya penyakit. Hal ini terkait dengan risiko yang lebih besar bunuh diri dan
kambuh Depresi dapat terjadi secara independen dari gejala skizofrenia dan beberapa
bulan setelah sembuh dari episode akut, yaitu pasca depresi pasca psikotik, pada 30%
kasus diketahui untuk menjadi prekursor dan Fitur bersamaan putus asa dan bunuh
diri.13
3) Etiologi
Faktor penyebab terjadinya depresi menurut Kaplan dan Saddock (2010) adalah:
a. Faktor Biologi
Noreepinephrin dan serotonin adalah dua jenis neurotransmitter yang
bertanggung jawab mengendalikan patofisiologi gangguan alam perasaan pada
manusia. Gangguan depresi melibatkan keadaan patologi di limbic system, basal
ganglia dan hypothalamus. Limbic system dan basal ganglia berhubungan sangat erat,
hipotesa sekarang menyebutkan produksi alam perasaan berupa emosi, depresi dan
mania rupakan peranan utama limbic system. Disfungsi hypothalamus berakibat
perubahan regulasi tidur, selera makan, dorongan seksual dan memacu perubahan
biologi dalam endokrin dan imunologik.5
b. Faktor Genetika
Gangguan alam perasaan (mood) baik tipe bipolar (adanya episode manik dan
depresi) dan tipe unipolar (hanya depresi saja) memiliki kecenderungan menurun
kepada generasinya. Gangguan bipolar lebih kuat menurun daripada unipolar.
Sebanyak 50 % pasien bipolar memiliki satu orang tua dengan alam perasaan atau
gangguan afektif, yang tersering unipolar (depresi saja). Jika salah satu orang tua

7
mengidap gangguan bipolar maka 27 % anaknya memiliki resiko mengidap gangguan
alam perasaan. Bila kedua orang tua mengidap gangguan bipolar maka 75 % anaknya
memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan. 5
c. Faktor Psikososial
Peristiwa traumatik kehidupan dan lingkungan sosial dengan suasana yang
menegangkan dapat menjadi kausa gangguan neurosa depresi. Sejumlah data yang
kuat menunjukkan kehilangan orang tua sebelum berusia 11 tahun dan kehilangan
pasangan hidup dapat memacu serangan awal gangguan neurosa depresi. 5
4) Faktor resiko
Menurut Kaplan dan Saddock (2010), faktor resiko dari depresi dipengaruhi oleh:
a. Umur, rata-rata usia onset untuk depresi berat adalah kira-kira 40 tahun, 50 % dari
semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif
berat juga mungkin memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia,
walaupun hal tersebut jarang terjadi.5,10
b. Jenis kelamin, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih besar
pada wanita dibandingkan laki-laki. Alasan adanya perbedaan telah didalilkan
sebagai melibatkan perbedaan hormonal, perbedaan stressor psikososial bagi
perempuan dan laki-laki c. Status perkawinan, pada umumnya, gangguan depresif
berat terjadi paling sering pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan
interpersonal yang erat atau karena perceraian atau berpisah dengan pasangan. .5,10
d. Status fungsional baru, adanya perubahan seperti pindah ke lingkungan baru,
pekerjaan baru, hilangnya hubungan yang akrab, kondisi sakit, adalah sebagian
dari beberapa kejadian yang menyebabkan seseorang menjadi depresi. .5,10
5) Mekanisme
Seseorang yang menderita skizofrenia biasanya mengalami kondisi komorbid,
termasuk depresi mayor dan gangguan kecemasan. Masalah sosial, seperti sosial,
pengangguran jangka lama, kemiskinan dan tunawisma, merupakan kejadian yang
umum. Dan lebih tinngginya tingkat bunuh diri.10
6) Diagnosis

8
The Calgary Depression Scale

Reproduced with permission from: Donald Addington, MD. For more information please
visit file://www.ucalgary.ca/cdss. Copyright 2010 Dr. Donald Addington and Dr. Jean
Addington. All rights reserved.

9
7) Gejala-gejala Depresi
Menurut Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III
depresi ditandai dengan gejala, yaitu : 8,
a. Gejala utama pada derajat ringan, sedang dan berat
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan aktivitas menurun. 8,
b. Gejala lain, meliputi:
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang.
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang.
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna.
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik.
5) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri.
6) Tidur terganggu.
7) Nafsu makan berkurang. 8
Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala psikis, gejala fisik
dan sosial yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif, mudah marah
dan tersinggung, hilang semangat kerja, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
konsentrasi dan menurunnya daya tahan. 8
c. Gejala Sosial
Masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada akhirnya mempengaruhi
lingkungan dan pekerjaan (atau aktivitas lainnya). Bagaimana tidak, lingkungan tentu
akan bereaksi terhadap perilaku orang yang depresi tersebut yang pada umumnya
negatif (mudah marah, tersinggung, menyendiri, sensitive, mudah letih, mudah sakit).
Masalah sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah yang berinteraksi dengan
rekan kerja, atasan, atau bawahan. Masalah ini tidak hanya berbentuk konflik, namun
masalah lainnya juga seperti perasaan minder, malu, cemas jika berada diantara
kelompok dan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara normal. Mereka

10
merasa tidak mampu untuk bersikap terbuka dan secara aktif menjalin hubungan
dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan. 8
8) Tingkatan Depresi
Menurut PPDGJ-III, depresi dibagi sesuai dengan tingkat keparahannya, yaitu:
a. Depresi Ringan
Pedoman yang dipakai adalah:
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang biasa dilakukan.8
b. Depresi Sedang
Pedoman yang dipakai adalah :
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode
depresi ringan
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan
urusan rumah tangga. 8
c. Depresi Berat
Pedoman yang dipakai adalah:
1) Semua 3 gejala depresi harus ada
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat
3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi dan retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan
banyak gejala secara rinci. 8
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat
masih dapat dibenarkan, yaitu:

11
a) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangkurangnya dua minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, masih dibenarkan
untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari dua minggu
b) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
atau urusan rumah tangga, kecuali pada tahap yang sangat terbatas. 8,
Lebih lanjut dijelaskan bahwa depresi berat ditandai dengan adanya:
1) Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut episode depresif berat
tanpa gejala psikotik
2) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide
tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa
bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya
berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging
membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika
diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi
dengan afek (mood-congruent
Terapinya antara lain dengan pemakaian anti depresan dalam pengobatan
gangguan depresif pascapsikotik dari skizofrenia telah dilaporkan dalam beberapa
penelitian. Kira-kira setengah dari beberapa penelitian telah melaporkan efek yang
positif, dan setengah penelitian lain tidak melaporkan adanya efek hilangnya gejala
depresif. Medikasi antidepresan kemungkinan menghilangkan gejala depresif pada
beberapa pasien, tetapi hasil campuran dari penelitian mencerminkan
ketidakmampuan sekarang ini untuk membedakan pasien mana yang akan berespons
dan pasien mana yang tidak berespons terhadap antidepresan. 6,8

9) Penatalaksanaan Depresi
Penatalaksanaan pada penderita depresi harus dilakukan secara adekuat dengan
menggunakan kombinasi terapi psikologis dan farmakologis disertai pendekatan
multidisiplin yang menyeluruh. Adapun penatalaksanaan depresi meliputi:

12
a. Terapi Fisik
1) Obat. Secara umum, semua obat anti-depresan sama efektifitasnya. Pemilihan jenis
anti-depresan lebih ditentukan oleh pengalaman klinikus dan familiarity terhadap
jenis-jenis anti-depresan. Pertimbangkan baik, untung dan rugi dari setiap
pemberian terapi dengan mengacu pada 4 hal yaitu efektivitas, tolerabilitas,
keamanan, dan interaksi obat.11,12
2) Terapi ECT (Electroconvulsive Therapy). Untuk pasien depresi yang tidak bisa
makan minum, mau bunuh diri atau retardasi psikomotor yang hebat, maka ECT
merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman. ECT diberikan 1-2 kali seminggu
pada pasien rawat inap, dengan metode unilateral untuk mengurangi confusion
atau memory problem. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan mood (sekitar
5-10 kali), sementara anti-depresan maintenance harus diberikan untuk mencegah
relaps atau kekambuhan. 11,12
3) Terapi profilaksis. Terapi profilaksis harus diberikan untuk mencegah terjadinya
kekambuhan depresi. Setelah gejala-gejala depresi membaik, terapi anti-depresan
masih harus dilanjutkan selama 4-6 bukan dengan dosis terapeutik penuh.
Beberapa penelitian bahkan menganjurkan agar terapi diteruskan sampai 2 tahun.
Kapan anti-depresan boleh dihentikan, sangatlah tergantung pada evaluasi klinis
(perkembangan efek samping, munculnya penyakit fisik atau kelemahan kondisi
umum). 11,12
b. Terapi psikologik antara lain:
1) Psikoterapi
Psikoterapi individual maupun kelompok paling efektif jika dilakukan bersama-
sama dengan pemberian anti-depresan. Baik pendekatan secara psikodinamik
maupun kognitif behavioural adalah sama keberhasilannya. 11,12
2) Terapi kognitif
Terapi kognitif perilaku bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu negatif
(persepsi diri yang buruk, masa depan yang suram, dunia yang tak ramah, diri
yang tak berguna lagi, tak mampu dan sebagainya) ke arah pola pikir yang netral
atau positif. 11,12

13
3) Terapi keluarga
Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan gangguan depresi,
sehingga dukungan terhadap keluarga pasien adalah sangat penting. Tujuan dari
terapi terhadap keluarga pasien yang depresi adalah untuk meredakan perasaan
frustasi dan putus asa, merubah dan memperbaiki sikap/struktur dalam keluarga
yang menghambat proses penyembuhan pasien. 11,12
4) Penanganan ansietas (relaksasi)
Macam relaksasi antara lain (Davis et.al., 1995): Relaksasi progresif, pernafasan
dalam, meditasi, guided imagery, mendengarkan musik, biofeedback, kesadaran
tubuh, dan visualisasi. 11,12
OBAT ANTI-DEPRESI 8

Penggolongan :

No Golongan Nama obat

1. Tricyclic Compound Amitriptyline (Amitriptyline)


Imipramine (Tofranil)
Clomipramine (Anafranil)
Tianeptine (Stabion)
Opipramol (Insidon)

2. Tetracyclic Coumpound Maprotiline (Ludiomil)


Mianserin (Tolvon)
Amoxapine (Asendin)

3. Mono-Amine-Oxydase Moclobemide (Aurorix)


inhibitor(MAOI)-
Reversible

4. Selective Serotonin Re- Sertraline (Zoloft)


uptake Inhibitor (SSRI) Paroxetine (Seroxat)
Fluvoxamine (Luvox)

14
Fluoxetine (Prozac, Nopres)
Citalopram (Cipram)

5. Atypical Antidepresants Trazodone (Trazodone)


Mirtazapine (Remeron)

a. Mekanisme kerja obat Anti-Depresi adalah :

Menghambat re-uptake aminergic neurotransmitter

Menghambat penghancuran oleh enzim Monoamino Oxidase sehingga


terjadi peningkatan jumlah Aminergic neurotransmitter pada sinaps neuron
di SSP.

b. Efek samping obat Anti-Depresi berupa :

Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor


menurun, kemampuaan kognitif menurun)

Efek antikolinergik (mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur, konstipasi,


sinus takikardia)

Efek anti-adrenergik alfa (penurunan EKG, Hipotensi)

Efek neurotoksis (tremor halus, gelisah, agitasi)

Pada keadaan Overdosis/Intoksikasi trisiklik dapat timbul : atropine toxic


syndrome dengan gejala eksitasi SSP, hipertensi, hiperpireksia, konvulsi, toxic
confusional state (delirium, disorientasi). Tindakan untuk keadaan tersebut adalah :

1. Gastric lavage.

2. Diazepam 10 mg (im) untuk mengatasi konvulsi.

15
3. Prostigmine 0,5-1.0 mg (im) untuk mengatasi efek anti-kolinergik (dapat
diulang setiap 30-40 sampai gejala mereda.

4. Monitoring EKG untuk deteksi kelainan jantung.

Kematian dapat terjadi oleh karena cardiac arrest. Obat anti depresi golongan
SSRI relatif paling aman pada overdosis.

16
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Depresi pasca skizofrenia merupakan suatu episode depresif yang mungkin


berlangsung lama dan timbul setelah suatu serangan penyakit skizofrenia. Gejala
depresif merupakan masalah yang mempengaruhi seluruh tubuh, dengan mengganggu
kesehatan mental, kesehatan fisik, rasa dan perilaku pada aktifitas yang biasa
dilakukan. Semakin cepat keluarga memeriksakan seorang anggota keluarganya yang
dicurigai depresi ke layanan kesehatan, semakin cepat strategi penanganan yang
sesuai untuk menghadapi masalah ini yang sebetulnya adalah gangguan yang sangat
nyata terhadap kesehatan.6

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Sadock. Skizofrenia. Sinopsis Psikiatri Jilid 1: edisi 7; Penerbit Bina


Rupa Aksara, Jakarta; 1997: 685-729.

2. Anna L, Sarah G. Severity among Schizophrenics . Journal of Behavioural


Sciences; 2012:125-133.

3. Hawari, Dadang. Skizofrenia dalam Pendekatan Holistik Pada Gangguan


Jiwa. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2003.

4. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Schizophrenia and Other Psychotic


Disorders. Kaplan and Sadocks Comprehensive Textbook of Psychiatry, 8th ed
; 2005.

5. American Psychiatric Association. Depressive Disorders. DSM V, 5th ed.


Washington DC; 2013;12-17.

6. Nurmiati A. Skizofrenia. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;


2010:170-190.

7. Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III.

8. Maslim. R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Penerbit


Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta; 2001: 14-23.

9. Velligan DI and Alphs LD. Negative Symptoms in Schizophrenia: The


Importance of Identification and Treatment. Psychiatric Times. March 1,
2008;25(3)

di unduh dari : http://www.psychiatrictimes.com/schizophrenia/negative-


symptoms-schizophrenia-importance-identification-and-treatment/page/0/2

10. Avgustin bojana. Depression in schizophrenia literature overview. Psychiatria


Danubina, 2009; Vol. 21, Suppl. 1, pp 93-97

18
11. Glanville, D.N, Dixon, L. Family treatment appraisal and service use in
families of patient schizophrenia. The Israel Journal of Psychiatry and Related
Sciences. 2008;42, 15-23. Diunduh dari:
https://www.researchgate.net/publication/7627530_Caregiver_burden_family_t
reatment_approaches_and_service_use_in_families_of_patients_with_schizop
hrenia

12. Mark G, Williams, Kuyken W. Mindfulness-based cognitive therapy: a


promising new approach to preventing depressive relapse. The British Journal
of Psychiatry; 2012 200:359-360. Diunduh dari:
http://bjp.rcpsych.org/content/200/5/359.abstract

19

Anda mungkin juga menyukai