Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kejang bukan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa penyakit, yang
merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak
oleh karena terganggu fungsinya. Kejang demam pada anak merupakan kelainan neurologis
yang sering dijumpai pada bayi dan anak.
Kejang merupakan salah satu darurat medik yang harus segera diatasi, kejang
didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak paroksimal yang dapat dilihat sebagai kehilangan
kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi
autonom.
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada saat suhu badan tinggi, Setiap serangan
kejang pada anak harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat apalagi pada kasus
kejang yang berlangsung lama dan berulang. Karena keterlambatan dan kesalahan prosedur
akan mengakibatkan gejala sisa pada anak bahkan menyebabkan kematian.
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2-4% dari jumlah penduduk di
AS, Amerika selatan, dan Eropa barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi,
sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus
ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat dari jenis kelamin penderita kejang demam sedikit
lebih banyak menyerang laki-laki. Penderita pada umumnya mempunyai riwayat keluarga
(orang tua atau saudara kandung) penderita kejang demam.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.I Pendahuluan
Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering terjadi pada anak, dimana 2-
5% anak pernah mengalami serangan kejang demam sebelum usia 5 tahun. Meskipun
biasanya kejang hanya berlangsung beberapa menit saja, kejang demam sering menimbulkan
kecemasan pada orang tua. Kecemasan tersebut meliputi peristiwa serangan kejang itu
sendiri ataupun akibatnya di kemudian hari seperti berulangnya kejang, kejadian epilepsi atau
kerusakan saraf akibat kejang. 1
Kejang merupakan bangkitan motorik yang terjadi akibat adanya mekanisme yang
mencetuskan sel neuron untuk melepaskan muatan listrik secara berlebihan. Mekanisme
yang mencetuskan kejang diantaranya adalah gangguan pada membran sel neuron yaitu
gangguan keseimbangan natrium dan kalium atau akibat adanya ketidakseimbangan antara
neurotransmitter eksitasi dan inhibisi. Salah satu bentuk dari neurotransmiter inhibisi adalah
GABA (gama amino butyric acid). Apabila kadar GABA turun maka kemampuan inhibisi
pada sinaps saraf juga akan menurun sehingga akan timbul kejang.1

2.2 Definisi dan Klasifikasi Kejang Demam


Definisi dan klasifikasi kejang demam telah beberapa kali mengalami revisi. Livingstone
(1954) membagi kejang demam menjadi kejang demam sederhana (KDS) dan epilepsi yang
dicetuskan oleh demam. Ciri-ciri KDS menurut Livingstone adalah usia anak 6 bulan sampai
4 tahun, kejang kurang dari 15 menit, kejang umum, kejang dalam 16 jam pertama demam,
neurologis normal, EEG yang dilakukan 4 minggu bebas panas hasilnya normal dan
frekuensi kejang kurang dari 4 kali dalam setahun. Sedangkan kejang demam yang tidak
memenuhi kriteria KDS dikelompokkan dalam epilepsi yang dicetuskan oleh demam.2
Menurut kesepakatan UKK Neurologi anak (2004), kejang demam didefinisikan sebagai
bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial. Klasifikasi kejang demam menurut UKK
Neurologi adalah sama dengan klasifikasi menurut ILAE. Saat ini definisi dan klasifikasi
kejang demam yang digunakan adalah menurut kesepakatan UKK Neurologi Anak 2004. 3,4
Nelson Ellenberg (1976) membagi kejang demam menjadi 2 yaitu benign febrile
convulsion dan kejang demam kompleks. Dikatakan benign febrile convulsion bila serangan
kejang pertama kali usia 6 bulan sampai 4 tahun, sebelumnya pernah panas tanpa kejang,
kejang umum, lamanya kurang dari 10 menit, tidak ada riwayat keluarga dengan kejang
demam, dan tidak ada gangguan neurologis. Kejang demam kompleks bila kejang fokal,
lama lebih dari 10 menit, ada riwayat kejang demam dalam keluarga, lebih dari 1 kali kejang
dalam 24 jam, ILAE membagi kejang demam menjadi KDS dan KDK. Disebut KDS bila
kejang bersifatumum, tonik klonik, lama kejang kurang dari 15 menit dan tidak timbul
kembali dalam 24 jam. Bila lama kejang lebih dari 15 menit dan bersifat fokal atau terjadi
kembali dalam 24 jam maka diklasifikasikan dalam kejang demam kompleks (KDK).1

2.3 Epidemiologi
Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering dijumpai pada anak-anak. Dua
sampai lima persen dari seluruh anak mengalami sedikitnya satu kali kejang demam dalam
lima tahun pertama kehidupan. Verity dkk dalam suatu penelitian di Inggris pada tahun 1970
hingga 1975 mendapatkan prevalensi kejang demam sebesar 2,3%. Di Jepang, Tsuboi tahun
1974-1980 mendapatkan prevalensi kejang demam yang lebih tinggi yaitu sebesar 8,3%. Eka
dkk pada tahun 1999-2001 di RS Moh. Hoesin Palembang mendapatkan 429 penderita
kejang demam, terutama pada usia 12-17 bulan.
Pada umumnya penderita kejang demam tergolong kejang demam sederhana. Verity dkk
melaporkan kejadian kejang demam sederhana terjadi pada 76,9% kasus dan KDK 18,8%
kasus. Delapan persen berlangsung lama (lebih dari 15 menit), dan 16% berulang dalam
waktu 24 jam.1
Kejang demam bergantung pada umur, dimana umumnya dijumpai pada bayi dan anak.
Usia anak yang tersering mengalami kejang adalah 6 bulan sampai 3 tahun. Keterkaitan umur
dengan kejang demam adalah berhubungan dengan tingkat kematangan anatomi, fisiologi,
dan biokomiawi otak. Delapan puluh lima persen kejang demam terjadi sebelum usia 4
tahun, terbanyak pada usia 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam
pertama sebelum usia 2 tahun dan hampir 90% mengalaminya sebelum usia 3 tahun.
Perbandingan kejang demam antara anak laki-laki dan anak perempuan adalah hampir sama
berkisar 1,1-1,4:1. 1
Faktor genetik mempunyai peranan dalam kejadian kejang demam. Berg dkk dalam
penelitiannya melaporkan 24% penderita kejang demam memiliki kerabat tingkat pertama
yang juga menderita kejang demam. Verity dkk melaporkan 26% penderita kejang demam
memiliki riwayat keluarga dengan kejang demam, terutama pada orang tua atau saudara
kandung. Van Esch dkk mendapatkan risiko terjadinya kejang demam pada saudara kandung
penderita kejang demam adalah 10% yaitu sekitar 2 kali risiko rata-rata populasi. Lennox
(1949) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh
sebuah gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat
bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak
normal hanya 3%. 1,4

2.4 Etiologi
Mekanisme yang mencetuskan terjadinya kejang pada kejang demam belum diketahui
secara pasti. Banyak teori yang telah dikemukakan para ahli mengenai berbagai
kemungkinan mekanisme terjadinya kejang pada kejang demam selain faktor demam itu
sendiri. Berdasarkan beberapa literatur disebutkan, faktor yang mungkin memiliki peranan
terhadap terjadinya kejang demam adalah faktor genetik, riwayat kejang demam atau epilepsi
dalam keluarga, faktor perinatal (asfiksia dan riwayat perawatan saat neonatus), faktor suhu,
defisiensi besi, defisiensi seng, hiponatremia dan channelopathy.1,2
Walaupun mekanisme pasti kejang demam belum dapat diketahui, beberapa faktor yang
berperan dalam mekanisme terjadinya kejang antara lain adalah gangguan pada membran sel
neuron, gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paska-sinaps serta gangguan pada
sel glia.1,2
2.4.1 Gangguan pada membran sel neuron
Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut terhadap ion
natrium dan kalium. Membran neuron permeabel terhadap ion kalium dan kurang permeabel
terhadap ion natrium sehingga dalam sel pada keadaan normal konsentrasi ion kalium
cenderung tinggi sedangkan konsentrasi ion natrium rendah.2
Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah sehingga ion natrium dan
kalium berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan kadar ion dan perubahan
potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di permukaan sel dan menjadi stimulus
yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar sepanjang akson.2
2.4.2 Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paska-sinaps
Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial aksi yang
terjadi di satu neuron dihantar melalui neuron akson yang kemudian membebaskan zat
transmitter pada sinaps yang mengeksitasi atau menginhibisi membran paska-sinaps.
Neurotransmitter eksitasi (asetilkolin, glutamat) mengakibatkan depolarisasi, zat
neurotransmiter inhibisi (GABA, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya.
Jadi satu impuls dapat mengakibatkan eksitasi atau inhibisi pada transmisi sinaps.2
Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron lainnya melalui sinaps eksitasi
atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri dari sel neuron yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi aktifitasnya. Pada keadaan normal didapatkan
keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat
mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inhibisi ialah meninggikan tingkat
polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya lepas
muatan listrik yang berlebihan. Zat GABA mencegah terjadinya hipersinkronisasi melalui
mekanisme inhibisi. Gangguan sintesis GABA mengakibatkan perubahan keseimbangan
eksitasi-inhibisi sehinhgga dapat menimbulkan bengkitan kejang. 2
2.4.3 Gangguan pada sel glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstraseluler di sekitar neuron dan
terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi glia yang mengatur monsentrasi
ion kalium ekstraseluler akan tergangggu yang akan mengakibatkan meningkatnya
eksitabilitas sel neuron sekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar ion kalium ekstraseluler
dibanding intraseluler dapat mendepolarisasi membran neuron.2
Astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan saat aktifnya sel neuron.
Sewaktu kejang kadar ion kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di cairan interstisial
yang mengitasi sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia cairanpun ikut diserap
dan sel astroglia menjadi membengkak (edema). Pada penelitian eksperimental, didapatkan
bahwa bila kation dimasukkan ke dalam sel astrosit melalui pipet makro akan timbul letupan
kejang pada sel neuron disekitarnya, hal ini merupakan suatu ilustrasi mengenai peranan sel
astroglia dalam mengatur aktivitas neuronal.2

2.5 Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi
yang didapatkan dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
ialah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan
fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi
otak ialah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.4
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan
permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan ,mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan di luar sel, maka terdapatlah
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase
yang terdapat pada permukaan sel.4
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan konsentrasi
ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis,
kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya, perubahan patofosiologi dari membran sendiri
karena penyakit atau keturunan.4
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3
tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
Kalium maupun Natrium melaui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan ini demikian besarnya sehingga dapat menyebar keseluruh sel maupun ke sel
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang.4
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya
amabang kejang seorang anak menderita kejang pada suhu tertentu. Pada anak dengan
amabng kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak
dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan
ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang
kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu
berapa penderita kejang.4
2.5.1 Peranan Besi dalam Terjadinya Kejang
Penelitian Gatti menyebutkan pada saat pasien terinfeksi oleh patogen akan terjadi
pelepasan faktor inflamasi interleukin 1 (IL-1). IL-1 akan mempengaruhi hipotalamus dan
hipokampus. IL-1 akan merangsang pusat pengaturan suhu di hipotalamus sehingga akan
menimbulkan kenaikan suhu (demam) dan akan menimbulkan kejang bila sudah ada faktor
risiko lain. Sementara di hipokampus IL-1 mempengaruhi neurotransmiter dan dapat
menyebabkan timbulnya kejang bila sudah terjadi gangguan sebelumnya (sudah ada faktor
pencetus) yang mempengaruhi faktor keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi
(glutamat) dan neurotransmiterinhibisi (GABA). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
neurotransmiter GABA adalah adanya defisiensi besi yang menyebabkan menurunnya kadar
GABA. Penurunan kadar GABA akan menyebabkan tidak efektifnya mekanisme inhibisi
sehingga terjadi kejang.1
GABA adalah neurotransmiter inhibisi utama pada otak. GABA tertinggi konsentrasinya
pada substansia nigra dan globus palidus. GABA dan glutamat dibentuk di otak dari molekul
asam sitrat pada siklus kreb, reaksi ini dikenal sebagai shunt GABA. Sintesis GABA
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah peranan B6 dalam bentuk fosfat
piridoksal yang merupakan kofaktor pada sintesis GABA dari asam glutamat. Faktor lain
yang masih dalam penelitian adalah peranan besi pada sintesis GABA.1
Besi mempunyai peran yang sangat besar dalam proses pertumbuhan dan perkembangan
otak yaitu dalam proses mielinisasi saraf otak. Besi juga mempunyai peran penting terhadap
sistem neurotransmiter, diantaranya dalam proses sintesis serotonin, norepinefrin dan enzim
GABA transaminase, serta sistem dopaminergik. 1
Batra (2002) melakukan penelitian untuk melihat efek defisiensi besi terhadap
metabolisme GABA pada hewan percobaan. Pada penelitian tersebut didapatkan terjadinya
penurunan aktifitas enzim untuk GABA (GABA shunt enzim) yaitu GDH, GAD dan GABA-
T (glutamat dehidrogenase, glutamat dekarboksilase, dan GABA-transaminase) dan kadar
GABA sendiri akibat adanya defisiensi besi. Penelitian ini menyimpulkan terdapat peranan
besi terhadap GABA.1

2.6 Manifestasi Klinis


Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan
suhu badan yang tinggi (diatas 38C) dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lainnya.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik fokal atau
akinetik. Wujud kejang dapat pula berupa mata berbalik ke atas disertai kekakuan atau
kelemahan. Atau, terjadi gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan. Kejang
seluruh tubuh ini akan berhenti dengan sendirinya setelah mendapat pertolongan pertama.
Setelah itu anak tampak capek, mengantuk, dan tidur pulas. Begitu terbangun kesadaran
sudah pulih kembali. tanpa adanya kelainan saraf. 3,5

2.7 Diagnosis Kejang Demam


Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan melalui anamnesis yang lengkap pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
Kejang demam paling sering terjadi pada anak usia antara 6 bulan hingga 5 tahun. Pada
batas usia tersebut, kejang lebih banyak disebabkan oleh penyebab yang beragam. Namun,
hal ini tidak berarti bahwa setiap anak diluar batas usia tersebut harus dilakkukan
pemeriksaan scan otak dan pemeriksaan ekstensif lainnya. Kenaikan suhu yang tinggi dan
cepat pada saat kejang kejadian kejang dapat menjadi patokan. Semakin tinggi demam akan
dapat mencetuskan bangkitan kejang.6
Segera setelah kejang berhenti, seorang anak harus sadar kembali dan tanpa ditemukan
adanya kelainan neurologis. Jika terdapat kelainan neurologis setelah kejang atau menjadi
tidak sadar setelahnya, maka harus dipikirkan penyebab lain dari kejang.6
Pada kejang harus diperhatikan jenisnya (tonik atau klonik), bagian tubuh yang terkena
(fokal atau umum), lamanya kejang berlangsung, frekuensinya, selang atau interval antara
serangan, keadaan saat kejang dan setelah kejang (post-iktal).
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, dan dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab, seperti darah perifer, elektrolit dan gula
darah.3
Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis ialah 0,6-0,7%.3
Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas secara klinis, oleh karena itu
pungsi lumbal dianjurkan pada: 3
a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
b. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang,
atau memperkirakan kemungkinan terjadinya epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh
karenanya tidak direkomendasikan.3
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas.
Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam
fokal.3
Pencitraan
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan seperti Computed tomography (CT) atau
magnetic esonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan atas indikasi,
seperti:3
a. Kelainan neurologik fokal menetap (hemiparesis)
b. Parese nervus VI
c. Papiledema

2.8 Diagnosis Banding


Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan
apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat (otak). Kelainan di
dalam otak biasanya karena infeksi,misalnya maningitis, ensefalitis, abses otak dan lain-lain.
Oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organik di
otak. Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam
sederhana atau epilepsi yang diprovokasi oleh demam.4

2.9 Penatalaksanaan
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan datang kejang sudah berhenti. Apabila
datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam
yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-
lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu lebih dari 2 menit, dengan dosis
maksimal 20 mg.3
Obat yang praktis dan dapat diberikan orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal.
Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan
berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 mg. Atau diazepam
rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak
diatas usia 3 tahun.3
Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi dengan cara dan
dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih
kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dan disini dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg.3
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/ menit. Bila
kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kijang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang intensif.3
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demamnya dan faktor resikonya, apakah kejang demam sederhana atau kompleks.3

2.9.1 Pengobatan intermiten


Yang dimaksud dengan pengobatan intermiten adalah pengobatan yang diberikan pada
saat anak mengalami demam, untuk menceegah terjadinya kejang demam. Terdiri dari
pemberian antipiretik dan antikonvulsan.3,7
a. Antipiretik
Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan bukti bahwa
penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam. Dosis asetaminofen
yang digunakan berkisar 10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali 3-4 kali sehari.3
Asetaminofen dapat menyebabkan sinrom reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan,
meskipun jarang. Parasetamol 10 mg/kg sama efektifnya dengan ibuprofen 5 mg/kg dalam
menurunkan suhu tubuh.3
b. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan
risiko berulangnya kejang (1/3-2/3 kasus), begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5
mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5C. 3
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup
berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, fenitoin pada saat demam tidak
berguna unutk mencegah demam.3

BAGAN PENGHENTIAN KEJANG DEMAM3

KEJANG
Diazepam rectal 0,5 mg/kgBB atau
Berat badan < 10 kg: 5 mg
Berat badan > 10 kg: 10 mg

\ KEJANG
Diazepam rectal
(5 menit)
Di rumah sakit

KEJANG
Diazepam IV
Kecepatan 0,5-1 mg.menit (3-5 menit)
(Depresi pernafasan dapat terjadi)

KEJANG
Fenitoin bolus IV 10-20 mg/kgBB
Kecepatan 0,5-1 mg/kgBB/menit
(pastikan venilasi adekuat)
KEJANG
Transfer ke ICU

2.9.2 Pemberian obat rumat


Pengobatan rumat adalah pengobatan yang diberikan secara terus menerus untuk waktu
yang cukup lama.3,7
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang. Dengan meningkatnya pengetahuan bahwa kejang demam
benign dan efek samping pengguaan obat terhadap kognitif dan perilaku, profilaksis terus
menerus diberikan dalam jangka pendek, kecuali pada kasus yang sangat selektif. Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar (40-
50%). Obat pilihan saat ini adalah asam valproat meskipun dapat menyebabkan hepatitis
namun insidennya kecil.3
Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, fenobarbital 3-4 mg/kg per hari
dalam 1-2 dosis.3
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut:3
- Kejang lama > 15 menit
- Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, Cerebral Palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
- Kejang fokal
- Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
Kejang demam > 4 kali per tahun
Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1-2 bulan.

2.10 Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian. Dua penyelidikan masing-masing mendapatkan angka kematian
0,46% dan 0,76% (Fridrerichsen dan Melchior, 1954; Frantzen dkk, 1968).4
Dari penilaian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25-50%, yang
umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat kepadaumur, jenis kelamin, dan
riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973) mendapatkan:4
- Pada anak umr kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50 % dan
pria 33 %
- Pada anak umur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya
kejang, terulangnya kejang ialah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang 25%.
Resiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor: 4
- Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
- Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita
kejang demam
- Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian hari akan
mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya terdapat 1 atau
tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja.
(Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981).4

BAB III
KESIMPULAN

Kejang demam adalah kejang yang terjadi saat demam (suhu rectal diatas 38 derajat
celsius) tanpa adanya infeksi system saraf pusat atau gangguan elektrolit akut, terjadi pada
anak umur 1 bulan, dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.

Klasifikasi dari kejang demam :


1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam kompleks
Penatalaksanaan yang perlu dilakukan yaitu :
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam

Untuk prognosis kejang demam, Prognosisnya baik dan tidak menyebakan kematian jika
ditanggulangi dengan cepat dan tepat perkembangan mental dan neurologis umumnya
tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tumbelaka,Alan R.,Trihono, Partini P.,Kurniati,Nia.,Putro Widodo,Dwi. Penanganan Demam


Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak
XLVII.Cetakan pertama,FKUI-RSCM.Jakara,2005

2. Lumbantobing,S.M:Kejang Demam.Balai Penerbit FKUI,Jakarta,2007

3. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediateric II : Kejang Pada
Anak. Cetakan ke2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2002.

4. Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak
: Kejang Demam. 18 edition. EGC, Jakarta 2007.
5. Fleisher, Gary R, M.D., Stephen Ludwig, M.G. Text Book Of Pediatric Emergency
Medicine : Seizures. Williams & Wilkins Baltimore. London

6. Mansjoer, Arif., Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setyowulan. Kapita Selekta
Kedokteran : kejang Demam. Edisi ke3 Jilid 2. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta 2000.

7. Gary R. Fleisher, Stephen Ludwig. Textbook of Pediatric Emergency Medicine 4th


edition (January 15, 2000).Seizures. Lippincott, Williams & Wilkins,USA,2000

8. Kejang Demam,Guideline http://www.sehatgroup.web.id/artikel/1089.asp?FNM=10899.

9. Acute Management of Infants and Children with Seizures. December 2004


http://www.health.nsw.gov.au/fcsd/rmc/cib/circulars/2004/cir2004-66.pdf

10. Prodigy Guidance - Febrile convulsion. April 2005.


http://www.prodigy.nhs.uk/guidance.asp?gt=Febrile%20convulsion

Anda mungkin juga menyukai