Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seorang perawat sangat berperan di dalam penanganan gawat darurat

dalam kasus trauma kepala, bagaimana cara kita melakukan pengkajian keperawatan
tentang trauma kepala sampai dengan melakukan evaluasi dari kasus yang telah

tersedia.
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti

terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya diakibatkan

salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya cedera

kepala yang paling fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala pasien dan keluarga
mengalami perubahan fisik maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita

cedera kepala memegang peranan penting terutama dalam pencegahan komplikasi.

Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala berperan

pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera kepala
merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan

yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang

tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita

semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007).


Sedangkan berdasarkan Mansjoer (2002), kualifikasi cedera kepala

berdasarkan berat ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera

kepala sedang dan cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk menentukkan

klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada pasien 2 cedera kepala menggunakan

metode skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale) (Wahjoepramono, 2005).

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia


kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari
jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari

100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala

tersebut (Depkes, 2012). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya


akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang

1
memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah
30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari
semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian

tubuh lainnya (Smeltzer, 2002).


Trauma kepala dapat diklasifikasikan dengan beberapa jenis diantaranya :

1. Trauma kepala minor, apabila trauma kapala dapat mengakibatkan kehilangan


kesadaran atau amnesia kurang dari 30 menit

2. Trauma kepala sedang, apabila trauma kepala yang dapat mengakibatkan


kehilangan kesadaran dan bisa mengakibatkan amnesia lebih dari 30 menit

namun kurang dari 24 jam

3. Trauma kepala berat, apabila trauma kepala yang dapat mengakibatkan

kehilangan kesadaran dan menyebabkan amnesia lebih dari 24 jam.

Sedangkan jenisnya dapat di bagi menjadi 2 yaitu trauma kepala sobek pada kulit
kepala dan fraktur pada tulang tengkorak.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Untuk Pengkajian keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui definisi dari trauma kepala

b. Untuk mengetahui bagaimana pengkajian neurologi


c. terhadap kasus trauma kepala

C. Manfaat

Bagi mahasiswa keperawatan bermanfaat dalam pedoman melakukan pengkajian


pada pasien dengan cedera kepala sehingga diharapkan kritis dalam menganalisa

kasus dan menyusun proses .

2
BAB II
KONSEP TEORI

A. Pengertian

Cidera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau


deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan kepala atau otak (Borley &

Grace, 2006). Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya
trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari

trauma yang terjadi (pierce, 1995). Cidera kepala merupakan trauma yang terjadi

pada otak yang disebabkan kekuatan atau tenaga dari luar yang menimbulkan

berkurang atau berubahnya kesedaran, kemampuan kognitf, kemampuan fisik,

perilaku, ataupun kemampuan emosi (Ignatavicius, 2009). Jadi kesimpulannya cidera


kepala adalah trauma yang mengenai otak yang terjadi secara langsung atau tidak

langsung atau efek sekunder yang menyebabkan atau berpengaruh berubahnya

fungsi neurologis, kesadaran, kognitif, perilaku, dan emosi.

Menurut mansjoer (2000) cidera kepala tersebut dibedakan menjadi ringan, sedang,
berat. Adapun kriteria dari masing-masing tersebut adalah :

1. Cidera kepala ringan (CKR) Tanda-tandanya adalah:

a. Skor glasgow coma scale 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)

b. Tidak ada kehilangan kesadaran 7 (misalnya konkusi)


c. Tidak adanya intoksikasi alkohol atau obat terlarang

d. Pasien dapat mengeluh sakit dan pusing

e. Pasien dapat menderita laserasi, abrasi, atau hematoma kulit kepala.

2. Cidera kepala sedang (CKS) Tanda-tandanya adalah


a. Skor glasgow coma scale 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

b. Konkusi

c. Amnesia pasca trauma


d. Muntah

e. Kejang

3. Cidera kepala berat (CKB) Tanda-tandanya adalah


a. Skor glasgow coma scale 3-8 (koma)b)

3
b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda neurologis fokal
d. Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan pada saraf kranial jika mengenai
batang otak karena edema otak atau perdarahan pada otak. Macam saraf kranial

antara lain :
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I) Berfungsi sebagai saraf pembau yang

keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma (bau-bauan)
dari rongga hidung ke otak.

b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II) Mensarafi bola mata, membawa rangsangan

penglihatan ke otak.

c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III) Bersifat motoris, mensarafi otot-otot

orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan serabut-serabut saraf para


simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris

d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV) Bersifat motoris, mensarafi otot-otot

orbital. Saraf ini berfunsi sebagai pemutar mata yang pusatnya terletak

dibelakang pusat saraf penggerak mata


e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V) Sifatnya majemuk (sensoris motoris)

saraf ini mempunyai tiga buah cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga,

saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu

1) Nervus oftalmikus sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan


kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata

2) Nervus maksilaris sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum,

batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris

3) Nervus mandibula sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-


otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit

daerah temporal dan dagu.

f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI) Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot


orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi mata

g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII) Sifatnya majemuk (sensori dan motori)

serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga


mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis)

untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk
menghantarkan rasa pengecap

4
h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII) Sifatnya sensori, mensarafi alat
pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak.
Fungsinya sebagai saraf pendengar

i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX) Sifatnya majemuk (sensori dan


motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan

cita rasa ke otak.


j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X) Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris)

mengandung sarafsaraf motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring,


paruparu, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan

dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa

k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI), Saraf ini mensarafi muskulus

sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf

tambahan;
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII) Saraf ini mensarafi otot-otot lidah,

fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung

(Smeltzer, 2001).

B. Etiologi

Menurut Borley & Grace (2006) cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal

diantaranya adalah :

1. Pukulan langsung Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup
injury) atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam

tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury) (hudak

& gallo, 1996)

2. Rotasi / deselerasi Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan


pada otak yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada

sayap dari tulang sfenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma

robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera
aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral

3. Tabrakan Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat

(terutama pada anak-anak yang elastis)


4. Peluru Cenderung menimbulkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.

Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi. Terngkorak yang


secara otomatis akan menekan otak

5
5. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misalnya
kecelakaan, dipukul dan terjatuh
6. Trauma saat lahir misalnya sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum

7. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak


8. Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.

C. Patofisiologi

Cidera kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti terjatuh,
dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai kepala dan otak

sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pada funsi otak dan seluruh sistem

dalam tubuh. Bila trauma mengenai ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya

leserasi pada kulit kepala dan pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan. Apabila

perdarahan yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan terganggunya aliran


darah sehingga terjadi hipoksia. Akibat hipoksia ini otak mengalami edema serebri

dan peningkatan volume darah di otak sehingga tekanan intra kranial akan

meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan fraktur

yang dapat menyebabkan desakan pada otak dan perdarahan pada otak, kondisi ini
dapat menyebabkan cidera intra kranial sehingga dapat meningkatkan tekanan intra

kranial, dampak peningkatan tekanan intra kranial antaralain terjadi kerusakan

jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik

yang 19 mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Borley & Grace, 2006)

D. Manifestasi Klinik

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi

cedera otak :
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)

a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah

cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.

c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku

Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu


atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.

2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)

6
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit

neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,


disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan

pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)

a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah


terjadinya penurunan kesehatan.

b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera

terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.

d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area


tersebut.

E. Penatalaksanaan Menurut Smeltzer (2001) penatalaksanaan pada klien dengan cidera

kepala antara lain.


1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis

sesuai dengan berat ringannya trauma.

2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.

3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa

40% atau gliserol.

5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi

anaerob diberikan metronidazole.


6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama

dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

7. Pembedahan.

F. Komplikasi

1. Cidera kepala yang tidak teratasi dengan segera atau tidak optimal dalam terapi
maka dapat menyebabkan beberapa komplikasi yaitu Edema paru Edema paru

terjadi akibat refleks chusing yang disebabkan peningaktan tekanan intra kranial
yang berakibat terjadinya peningkatan respon simpatis. Peningkatan

7
vasokonstriksi tubuh secara umum akan lebih banyak darah yang dialirkan ke
paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam
berpindahnya cairan ke aleolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbondioksida

dari darah akan menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial lebih lanjut.
2. Kebocoran cairan serebrospinal Hal ini dapat disebabkan oleh rusaknya

leptomeningen yang terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup.
Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari.

Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien memiliki


resiko meningitis yang meningkat (biasanya pneumokok). Otorea atau rinorea

cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis yang berulang merupakan

indikasi operasi reparatif (Rosjidi & Nurhidayat, 2007).

3. Fistel karotis-kavernosus Ditandai oleh trias gejala yaitu eksolftamos, kemosis,

dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cidera.
4. Diabetes insipidus Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,

menyebabkan penghentian sekresi hormon anti diuretik. Pasien mensekresikan

sejumlah volume urine yang encer, menimbulkan hipernatremia dan depresi

volume (Mansjoer, 2000).


5. Perdarahan intra kranial

a. Hematoma epidural Hemtoma epidural merupakan suatu akibat serius dari

cedera kepala. Hematoma epidural paling sering terjadi pada daerah

peritotemporal akibat robekan arterio meningea media. Pengobatan secara


dini dapat mengurangi defisit neurologik.

b. Hematoma subdural Hematoma epidural pada umumnya berasal dari

arteria, hematoma subdural berasal dari vena yang ruptur yang terjadi di

ruang subdural. Hematoma subdural dibedakan menjadi akut dan kronik


1) Subduralis haematoma akut Kejadian akut hematoma di antara

durameter dan korteks, dimana pembuluh darah kecil sinus vena pecah

atau terjadi perdarahan atau jembatan vena bagian atas pada interval
yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan 23

cepat, karena tekanan jaringan otak sehingga darah cepat tertuangkan

dan memenuhi rongga antara durameter dan korteks. Kejadian dengan


cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak).

Pada kejadian akut hematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah


beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini

8
jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater.
Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa
Fraktur kranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di korteks terluka.

Pasien segera pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time".
Kadang-kadang pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat

juga terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai kombinasi dengan


intracerebral haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma akut

sangat tinggi
2) Hematoma subdural kronik Hematoma subdural kronik seringkali

disebut peniru karena tanda dan gejalanya tidak spesifik, tidak

terokalisasi, dan dapat disebabkan oleh penyakit lain. Beberapa

penderita mengeluh sakit kepala. Tanda dan gejala yang lain khas

adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadarantermasuk apati,


letargi, dan berkurangnya perhatian, menurunnya kemampuan untuk

menggunakan kecakapan kognitif lebih tinggi.

c. Subrachnoidalis Hematoma Kejadiannya karena perdarahan pada

pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater.


Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah

perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir

aneurysna Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.

Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi


gangguan ingatan karena timbulnya gangguan meningeal. Akut

Intracerebralis Hematoma terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah

korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar

atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks.
Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian

bawah melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai gejala

kliniknya (Borley & Grace, 2006)


6. Gangguan Intestinal Pada cedera kepala berat, akan terjadi erosi, pembentukan

ulkus dan perdarahan saluran cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami

peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi


pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi pada lambung. (Iskandar,

2004).

9
G. Pengkajian Dan Pemeriksaan Penunjang
1. Pengakajian
a. Dasar data pengkajian pasien

Pengkajian data dasar meliputi tipe, lokasi, keparahan cedera dan mungkin
dipersulit oleh cedera tambahan pada organ vital

b. Aktivitas / istirahat Gejala: merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan


Tanda: perubahan kesadaran, letargi, hemiparesis, ataksia cara berjalan tak

tegap, masalah dalam kesimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan


tonus otot, otot spastik

c. Sirkulasi Gejala: perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).

Perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi bradikardi,

disritmia)

d. Integritas Ego Gejala: perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang


atau dramatis) Tanda: cemas, mudah tersinggung, derilium, agitasi,

bingung, depresi, impulsif

e. Eliminasi Gejala: inkontinensia kandung kemih/ usus atau mengalami

gangguan fungsi makanan/ cairan


f. Nutrisi Gejala: mual, muntah, dan mengalami perubahan selera Tanda:

muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar,

disfagia)

g. Neurosensori Gejala: kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar


kejadian, vertigo, sinkope, tinitius, kehilangan pendengaran, diplopia,

kehilangan sebagian lapang pandang, Fotopobia. Tanda: perubahan

kesadaran dari biasa sampai koma, perubahan status mental (orientasi,

kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh


emosi/tingkah laku, memori). Perubahan pupil(respon terhadap cahaya,

simetri). Deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan

penginderaan seperti penciuman, pengcapan dan pendengaran, wajah


tidak simetris, genggaman lemah, apraksia, sangat sensitif terhadap

sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian anggota tubuh,

kesulitan dalam menentukan posisi.


h. Nyeri/ketidaknyamanan Gejala: sakit kepala dengan intensitas, lokasi yang

berbeda, biasanya lama Tanda: wajah menyeringai, respon menarik pada


rangsang nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih

10
i. Pernapasan Gejala: perubahan pola napas(apnea yang diselingi
hiperventilasi), napas berbunyi, stridor, tersedak, ronchi, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi)

j. Keamanan Gejala: trauma baru/ trauma karena kecelakaan. Tanda:


fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, kulit laserasi, perubahan warna

seperti racoon eye, tanda bale disekitar telinga, demam , gangguan


regulasi suhu tubuh.

k. Interaksi sosial Tanda: afasia motorik/sensorik, bicara tanpa arti, bicara


berulang. (Doengoes, 1999).

2. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan untuk cidera kepala menurut Rosjidi &

Nurhidayat (2007) yaitu

a. MRI dan CT Scan untuk mengidentifikasi adanya hematoma epidural,

menentukan ukuran intra ventrikuler, kontusio danperdarahan jaringan


otak, edema serebri, pergeseran jaringan otak, fraktur cranium

b. Angiografi serebral untuk menunjukkan kelainan sirkulasi serebral

sepertipergesran jaringanotak, perdarahan

c. EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang


patologi

d. Sinar x untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),

pergeseran struktur dari garis tengah, adnya fragmen tulang

e. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) untuk menentukan fungsi korteks


dan batang otak

f. PET ( Positron Emision Tomography) menunjukkan perubahan aktivitas

metabolisme pada otak

g. Pungsi Lumbal, Cairan Serebrospinal dapat menduga kemungkinan adanya


perdarahan subaraknoid

h. GDA (Gas Darah Arteri ) mengetahui adanya masalah ventilasi atau

oksigenasi yang akan menigkatnya tekanan intrakranial


i. Kimia / elektrolit darah untuk mengetahui ketidakseimbangan yang

berperan yang berperan dalam peningkatan tekanan intrakranial

j. Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi obat yang mungkin


bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran

k. Kadar antikonvulsan darah untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup


untuk mengatasi.

11

Anda mungkin juga menyukai