Anda di halaman 1dari 29

HERPES GENITAL

Lawrence Corey, Anna Wald

Infeksi virus herpes simpleks (HSV) genital merupakan masalah besar dalam masyarakat,
ditandai dengan peningkatan prevalensi di seluruh dunia dalam empat dekade terakhir.
Morbiditas penyakit ini lebih kepada angka kekambuhannya, komplikasi seperti meningitis
aseptik dan transmisi neonatus menjadi perhatian utama pasien dan penyedia pelayanan
kesehatan. Hubungan HSV dan HIV secara epidemiologi dan manifestasi klinis menjadi
perhatian penting infeksi ini.

1. Sejarah

Kata herpes berasal dari bahasa yunani dan telah digunakan selama 25 abad dalam dunia
kedokteran. Istilah cold sore atau herpes febrilis atau fever blister dikemukakan oleh
Herodotus pada zaman Romawi. Herpes genital pertama kali digambarkan oleh dokter
berkebangsaan Perancis John Astruc pada tahun 1736 dan diterjemahkan dalam bahasa
Inggris pada bukunya ditahun 1754. Penyakit ini disempurnakan oleh ahli venereologi pada
abad ke-19. Pada tahun 1893, Unna mendiagnosis herpes genital sebanyak 9,1% dari 846
kunjungan pekerja seks komersial (PSK) ke kliniknya. Pada tahun 1886, Diday dan Doyon
mempublikasi Les Herpes genitaux yang mendeskripsikan herpes genital sering muncul
setelah infeksi kelamin seperti sifilis, ulkus molle atau gonore. Mereka juga mendeskripsikan
kasus rekurensi pada herpes genital.

Cairan yang berasal dari oral-labial yang terinfeksi diyakini menular antar manusia pada
abad ke-19. Penyakit ini sukses untuk dipindahkan ke kelinci percobaan pada awal abad ke-
19, dan HSV dapat tumbuh secara in vitro pada tahun 1925. Pada tahun 1921, Lipshultz
menginokulasi bahan yang berasal dari lesi herpes genital ke kulit manusia, dan terjadi
infeksi dalam 48 72 jam pada 6 kasus dan 24 hari pada 1 kasus. Pada percobaan lain, dia
mengamati kelinci yang menderita infeksi kornea lebih rentan pada kasus herpes genital
dibandingkan herpes oral-labial. Dia menduga terdapat perbedaan secara epidemiologi dan
manifestasi klinis antara herpes genital dan herpes oral, kebanyakan peneliti merasa virus
penyebab herpes genital dan labia adalah sama. Pada tahun 1960, Schneeweiss di Jerman,
Dowlde dan Nahmias di Amerika melaporkan HSV dapat dibedakan dengan neutralization

1
test menjadi dua tipe antigenik dan terdapat hubungan antara tipe antigeniknya dan lokasi
infeksi.

2. Epidemiologi

2.1 Seroepidemiologi Infeksi HSV

Perkembangan pemeriksaan serologi yang akurat pada HSV-1 dan HSV-2 membuat
pemahaman epidemiologi yang lebih baik terhadap HSV-1 dan HSV-2. Infeksi kedua tipe ini,
kebanyakan orang mengalami infeksi subklinis yang hanya dapat diidentifikasi melalui status
antibodi. Pemeriksaan serologik spesifik dapat mendeteksi HSV-2 pada individu yang sudah
memiliki antobodi HSV-1 dan sebaliknya. Pemeriksaan ini membedakan kedua tipe HSV
melalui protein glikoprotein gG1 dan glikoprotein gG2. gG1 dan gG2 secara akurat
mengevaluasi seseorang dengan infeksi HSV yang sudah berlangsung lama dari pada gejala
klinisnya. Dalam 5 tahun terakhir, pemeriksaan ELISA atau immunoblot format telah
digunakan secara luas sehingga memungkinkan dilakukannya penelitian sero-epidemiologi
skala besar di beragam populasi. Pendekatan lain untuk membedakan antibodi HSV-1 dan
HSV-2 adalah dengan pemeriksaan Western blot, yaitu menilai pola antibodi spesifik
terhadap subtipe HSV. Western blot merupakan tes yang paling akurat untuk mendiagnosis
infeksi HSV-1 dan HSV-2 dengan sensitivitas > 98% dan spesifisitas > 98% dalam
membedakan antibodi spesifik HSV-1 dan HSV-2. Pemeriksaan antibodi HSV yang beredar
di pasaran memiliki spesifisitas dan sensitivitas > 95% dan sudah memadai untuk klinis
sehari hari, meskipun beberapa diantaranya memiliki sensitivitas yang lebih rendah dalam
mendeteksi insiden dan prevalensi infeksi HSV-1. Pemeriksaan ELISA dan IFA yang
menggunakan prototipe antigen virus tidak akurat dan tidak dapat digunakan dalam diagnosis
klinis atau penelitian seroepidemiologi.

Prevalensi antibodi HSV meningkat dengan pertambahan usia dan berkebalikan dengan
status sosioekonomi. Survei pada populasi barat pasca perang dunia ke II, ditemukan 80
100 % dewasa paruh baya dengan status sosioekonomi rendah terdapat antibodi terhadap
HSV sedangkan pada dewasa dengan tingkat sosioekonomi tinggi sebesar 30 50 %. Pada
tahun 1970, di Amerika Serikat ditemukan antibodi HSV-1 sebesar 50% pada sosioekonomi
tinggi dan 80% pada sosioekonomi rendah di usia 30 tahun. Data terbaru dari NHANES,
prevalensi HSV-1 tampak terjadi penurunan dari 62% pada tahun 1988 1994 menjadi
57,7% pada tahun 1999 2004 pada populasi secara umum. Di Eropa Barat, prevalensi HSV-
1 pada dewasa muda tetap lebih tinggi 10 20 % dibandingkan pada Amerika Serikat. Di

2
klinik penyakit menular seksual Amerika Serikat, sekitar 60% yang datang berkunjung
memiliki antibodi terhadap HSV-1. Di Asia dan Afrika, infeksi HSV-1 merupakan infeksi
yang didapat pada masa kanak kanak awal. Prevalensi HSV-1 di Jepang diperkirakan lebih
rendah.

Antibodi HSV-2 tidak rutin ditemukan dalam serum sampai masa pubertas prevalensi
antibodi berhubungan dengan aktivitas seksual. Ketersediaan tes serologi untuk HSV-2
memungkinkan untuk melihat karakteristik penyebaran infeksi HSV-2 di seluruh dunia
(gambar-1). Secara konsisten, seroprevalen HSV-2 lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria. Di Amerika Serikat, angka HSV-2 dihitung dengan menggunakan survei berkelanjutan
pada dewasa. penelitian ini menunjukkan seroprevalen HSV-2 meningkat dari 16,4 %
menjadi 21,7% pada dewasa antara tahun 1979 1991. Namun demikian, data terbaru dari
1994 2004 menunjukkan prevalensi secara keseluruhan menurun sebesar 17%,
menunjukkan angka yang lebih rendah pada remaja dan dewasa muda. Insiden secara
kumulatif HSV2 mencapai 25% pada wanita kulit putih, 20% pria kulit putih, 80% pada
wanita Afrika-Amerika dan 60% pada pria Afrika-Amerika (gambar 2). Angka yang lebih
tinggi HSV-2 pada keturunan Afrika-Amerika telah terbukti, dimana ditunjukkan dengan
tingginya angka infeksi pada komunitas Afrika-Amerika dan juga pola pasangan seksual
dibandingkan dengan perilaku seksual secara individu.

Di seluruh dunia, seroprevalen HSV-2 tampak lebih rendah di Eropa yaitu di Inggris 9,7%
dan Eropa Timur (6-25%) sedangkan di Australia sebesar 16% pada wanita dan 8% pada
pria. Di Afrika penelitian berbasis populasi mengindikasikan angka infeksi yang lebih tinggi,
pada remaja terinfeksi dengan adanya aktivitas seksual. Sebagai contoh di Afrika Selatan,
angka infeksi HSV-2 mencapai 80% pada wanita dan 40% pada pria pada usia 24 tahun. Di
Amerika Latin, angka infeksi HSV-2 memiliki rentang 20% pada wanita di Peru sampai 43%
pada darah donor wanita di Brazil dan 60% pada pria di klinik penyakit menular seksual.
Penelitian berbasis populasi yang lebih kecil pada negara Asia, diantara wanita hamil di Arab
Saudi prevalensinya mencapai 27%, di India 8% dan di Vanuatu sebesar 30%.

3
Gambar 1 Gambar 2

Tidak mengherankan, frekuensi antibodi HSV-2 lebih tinggi pada orang yang diambil dari
klinik penyakit menular seksual dan pada orang gay (men sex with men). Pada populasi
umum dan kelompok risiko tinggi, antibodi HSV-2 berkaitan dengan jumlah pasangan
seksual selama hidup, hubungan seksual pertama kali dan riwayat penyakit menular seksual
lainnya. Oleh karena itu, dapat dijadikan penanda serologi pada populasi yang berbeda.
Angka infeksi HSV-2 juga lebih tinggi pada penderia HIV. Hubungan HIV dengan HSV-2
dijelaskan pada paragraf berikut.

Angka insiden infeksi HSV sulit untuk diestimasi karena kebanyakan infeksi adalah
subklinis. Penelitian selama 15 tahun terhadap 839 remaja perempuan di Swedia
menunjukkan 50% dari kohort menderita HSV-1 dan 22% menderita HSV-2 sampai
selesainya penelitian. Penelitian pada kandidat vaksinasi menunjukkan risiko HSV-2
bervariasi bedasarkan jenis kelamin, orientasi seksual dan perilaku berisiko. Diantara wanita
seronegatif HSV-2 yang memiliki pasangan seksual positif HSV-2, angka infeksinya
mencapai 8,6% pada 100 pasien per tahun. Sebaliknya, angka HSV-2 pada pria dengan
pasangan wanita menderita HSV-2 adalah sebesar 1,5%. Namun demikian, angka HSV-2

4
lebih tinggi pada pria yang diperiksa pada klinik penyakit menular seksual. Pada penelitian
RESPECT, sebuah penelitian behavioral intervention pada usia muda dengan risiko tinggi,
insiden HSV-2 adalah 9,9 per 100 orang per tahun pada pria dan 14,8 pada wanita. Pada
penelitian prospektif MSM seronegatif HIV, angka HSV-2 adalah 1,9 per 100 pasien per
tahun dan 1,0 per 100 pasien per tahun pada dua penelitian pencegahan HIV. HSV-2 juga
sering terjadi pada pasien HIV. Penelitian di Zimbabwe, risiko HSV-2 adalah 4,7 kali lipat
lebih tinggi pada penderita HIV positif dibandingkan HIV negatif, sedangkan di Uganda
risikonya 2,7 kali lipat. Penelitian di Etiopia pada wanita dengan pasangan HSV-2
seropositif, angka didapatnya HSV-2 adalah 25% per 100 pasien per tahun dan pada pekerja
bar di Tanzania sebesar 14,2 kasus per 100 orang per tahun. Tingginya angka HSV-2 pada
penderita HIV mungkin menunjukkan perilaku risiko tinggi, meningkatkan kerentanan, dan
atau pajanan HIV atau HSV-2 orang yang terinfeksi yang menjadi lebih infeksius terhadap
HSV-2 dibandingkan mereka yang tidak HIV.

2.2 Prevalensi Infeksi HSV Genital

Prevalensi herpes genital yang dilaporkan bergantung pada demografi dan karakteristik
klinis pasien pada suatu populasi dan juga bergantung pada penilaian klinis dan atau teknik
laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis. Penelitian seroepidemiologi menunjukkan
perbedaan yang nyata antara prevalensi antibodi dengan klinis, mengindikasikan suatu infeksi
subklinis. Alasan rendahnya pengenalan infeksi adalah ringannya manifestasi klinis yang
terjadi pada kebanyakan pasien, seperti tidak jelasnya gejala yang mendahului infeksi HSV-1,
lokasi lesi yang sulit untuk diperiksa yaitu perianal serta kemudahan akses pelayanan
kesehatan dan ketersediaan alat diagnostik pada berbagai populasi. Terdapat perbedaan yang
signifikan antara prevalensi HSV-1 dan HSV-2 dengan frekuensi gejala herpes genital dan
oral-labial yang dinilai oleh dokter. HSV ditemukan sebanyak 0,3 % - 5,4 % pada pria dan
1,6 % - 10 % pada wanita yang berkunkung ke klinik penyakit menular seksual (PMS). Di
klinik non-PMS, HSV ditemukan sebanyak 0,25 % - 5,0 % dari pasien yang berasal dari
traktuk genital, kebanyak mereka asimtomatik. HSV-2 tampak dominan dalam menyebabkan
ulkus genital di negara berkembang dan maju. Di Afrika, Asia dan Amerika Serikat, herpes
genital 2 10 kali lebih besar dibandingkan dengan infeksi penyebab ulkus genital lainnya.
Perubahan dari sifilis dan chancroid menjadi herpes genital sebagai penyebab ulkus genital
secara primer akibat digunakannya PCR HSV DNA dalam mendeteksi genome virus, dan
juga turunnya kejadian sifilis dan chancroid akibat metode pengobatan terkontrol dan

5
antibiotik. Penyebab ulkus genital yang ditentukan dengan alat diagnostik molekuler dari
lokasi yang berbeda ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel - 1

Di Amerika Serikat, HSV mendominasi sebagai penyebab ulkus genital pada semua
lokasi, dan tetap stabil tidak seperti angka deteksi T. pallidum dan chancroid yang memiliki
angka berubah ubah dan memiliki variasi geografis. Rendahnya deteksi HSV dalam
penelitian terdahulu pada negara berkembang adalah berdasarkan diagnosis klinis atau kultur
virus yang menandakan kedua metode tersebut tidak sensitif. Penyebab ulkus genital yang
utama di dunia adalah HSV-2 (40 80%), sekitar 25% ulkus genital tidak terdiagnosis. Hal
ini menunjukkan kemungkinan alat diagnostik yang tidak sensitif. Penelitian tentang teknik
molekular dan serologi dengan perjalanan penyakit ulkus genital masih jarang dilakukan.
Ulkus genital yang berlangsung lama dan mencari pengobatan pada negara berkembang lebih
kepada penyebab yang kronis. Berhubungan dengan ini, epidemi HIV telah menunjukkan
proporsi yang lebih besar ulkus genital yang persisten dan luas.

Prevalensi herpes genital meningkat drastis antara tahun 1960 1990. Di Inggris,
dilaporkan pasien dengan herpes genital di klinik PMS meningkat 6 kali lipat antara tahun

6
1972 1994. Kunjungan pertama kali ke dokter di Amerika Serikat pada herpes genital HSV
episode pertama meningkat 15 kali lipat, dari 16,986 pada tahun 1970 menjadi 240,000 di
tahun 2004, dan terus meningkat. Berbeda dengan hasil seroprevalen HSV-2.

Pada dekade terakhir, terjadi peningkatan infeksi genital HSV-1 yang dilaporkan di Eropa,
Amerika Utara dan Australia. Penelitian berbasis laboratorium melaporkan terjadi pergeseran
proporsi relatif HSV-1 dan HSV-2 yang diisolasi dari lesi genital, HSV-1 didominasi oleh
usia muda, wanita dan male sex with male (MSM). Proporsi relatif HSV-1 sekitar 50% pada
beberapa penelitian pada mahasiswa. Penelitian lain mengatakan, perubahan tipe HSV pada
herpes genital terjadi secara konsisten. Alasannya belum jelas, apakah akibat menurunnya
pajanan HSV-1 melalui oral pada masa kanak kanak dan meningkatnya kontak oral-genital
terutama diyakini pada remaja. Penelitian lain mengkonfirmasi, pada neonatal infeksi HSV-1
lebih banyak sebagai penyebab infeksi.

2.3 Transmisi Seksual HSV

Frekuensi transmisi HSV-2 dipengaruhi oleh jenis kelamin, infeksi HSV-1 terdahulu dan
frekuensi aktivitas seksual dengan orang yang diketahui terinfeksi. Transmisi HSV antara
pasangan seksual telah ditunjukkan pada penelitian prospektif, dimana terdapat perbedaan
serologi keduanya, yang satu positif dan pasangannya negatif terhadap HSV-2. Penelitian
longitudinal pada beberapa pasangan menunjukkan transmisi yang bervariasi dari 3% - 12%
per tahun. Beberapa penelitian menggambarkan pasangan yang memiliki HSV-2 tidak
mengalami transmisi walaupun sering melakukan aktivitas seksual. Apakah hal ini akibat
genetik atau didapat masih belum jelas. Tidak seperti penyakit menular seksual lainnya,
seseorang mendapat HSV-1 genital dan HSV-2 genital umumnya satu arah dari pada
hubungan sebab akibat 2 arah. Wanita memiliki angka yang lebih tinggi mendapat HSV
dibandingkan pria, dalam sebuah studi angka kerentanan pada wanita yang seronegatif adalah
30% per tahun. Peningkatan risiko didapatnya HSV pada wanita dibandingkan pria adalah 5
20 % lebih tinggi antibodi HSV-2 pada wanita dibandingkan pada pria. Alasannya
kemungkinan karena perbedaan anatomi yang memiliki area pajanan mukosa yang lebih luas
pada wanita dibandingkan pada pria serta kemungkinan rendahnya persepsi ketidaknyamanan
terhadap lesi aktif pada pria dibandingkan pada wanita. Rendahnya persepsi ini
mengakibatkan aktivitas seksual meskipus terdapat lesi sehingga meningkatkan risiko
transmisi. Pola prilaku seksual kemungkinan memegang peranan pula, seperti pria usia lebih
tua sebagai sumber infeksi pada wanita muda.

7
Kontak seksual dengan seseorang yang herpes genital namun tidak diketahui akan
menigkatkan risiko tertular. Pada penelitian 66 pasangan seksual yang diwawancara dan
diperiksa, sepertiga diantaranya memiliki riwayat herpes genital berulang dan sepertiganya
menyangkal memiliki riwayat lesi herpes. Angka median waktu sebelum transmisi terjadi
adalah 3 bulan dan median jumlah hubungan seksual adalah 24, hal ini menunjukkan
transmisi HSV terjadi dengan mudah. Data ini mengkonfirmasi sebuah penelitian yang
menunjukkan kewaspadaan pasangan potensial menderita herpes genital dan keterbukaan
pasangan seksual berkaitan dengan penurunan 50% risiko penularan HSV-2. Oleh karena itu,
diagnosis herpes genital pada pasangan seksual potensial serta kewaspadaan kedua belah
pihak terhadap penyakit infeksi menular seksual akan menurunkan risiko penularan.
Kebanyakan penularan terjadi pada episode subclinical shedding. Studi prospektif tentang
didapatnya HSV, hanya 40% kasus baru yang didapat HSV-2 genital yang mengeluhkan
gejala genitourinaria pada saat baru didapatnya penyakit. Terjadinya infeksi HSV-1 yang
mendahului akan memproteksi HSV-2 didapat yang simtomatis. Pola penyakit pada
seseorang yang mendapat penyakit tidak merefleksikan pola penyakit pada pasangan penular,
menggambarkan faktor host lebih berperan dibandingkan faktor virus dalam menentukan
keparahan penyakit. 58% pasien dengan infeksi herpes genital baru memiliki riwayat kontak
seksual 5 hari yang lalu dan 95% riwayat kontak seksual 14 hari yang lalu, hal ini
mengkonfirmasi penelitian pendeknya waktu inkubasi pada manusia dan hewan. Terjadi
kontroversi mengenai riwayat infeksi HSV-1 akan memproteksi didapatnya HSV-2, dimana
hasil proteksi sangat tipis pada beberapa penelitian.

3. Patogenesis Infeksi

Penularan infeksi HSV paling sering terjadi melalui kontak erat dengan orang yang sedang
shedding (eksresi) virus di perifer, permukaan mukosa dan pada sekresi genital dan oral.
HSV dengan cepat inaktivasi pada kondisi suhu kamar dan pada kondisi kering, aerosol serta
benda mati jarang terjadi penularan. Infeksi terjadi melalui inokulasi virus pada membran
mukosa yang rentan seperti orofaring, serviks, konjungtiva atau melalui kulit yang abrasi.
Infeksi HSV berhubungan dengan nekrosis fokal dan degenerasi balon sel serta produksi
mononucleated giant cells dan eosinophilic intranuclear inclusions (Cowdry type-A bodies).
Respon seluler pertama kali didominasi oleh polimorfonuklear diikuti oleh respon limfosit.
Ketika replikasi virus dihambat, akan terjadi reepitelialisasi pada lesi.

8
Bersamaan dengan infeksi inisial, HSV dapat asenden ke saraf sensori perifer dan masuk
ke dalam saraf otonom root ganglia dan akan menjadi laten disini. Dengan menggunakan
teknik ko-kultivasi HSV-2 dan HSV-1 (jarang) terisolasi pada saraf root ganglia sakrum.
Mekanisme biologi terjadinya latensi dan perjalanan interaksi virus dan sel yang
mengakibatkan latensi masih belum diketahui. Latensi dapat terjadi pada kondisi infeksi
simtomatik dan asimtomatik. Bukti yang didapat bahwa semua HSV seropositif memiliki
latensi virus pada saraf ganglia dan memungkinkan semua HSV-2 seropositif secara
intermiten reaktivasi infeksi dengan HSV shedding terjadi setidaknya pada membran mukosa.
Reaktivasi penyakit mungkin simtomatik atau asimtomatik. Reinfeksi dengan strain virus
yang berbeda juga pernah terjadi. Namun demikian, hal ini jarang terjadi dan rekurensi
biasanya akibat reaktivasi strain virus jenis utama yang latensi di ganglia yang terinfeksi.

Mekanisme molekuler yang mendasari latensi HSV dan secara intermiten reaktivasi masih
tidak diketahui. Kurangnya pengetahuan tentang ini akibat sedikitnya percobaan yang akurat
secara in vitro. Pada percobaan binatang, banyak gen HSV mempengaruhi invasi saraf dan
penyebarannya. Ketika regio yang mengandung latensi transkrip HSV-2 di berikan virus
HSV-1, terjadi peningkatan reaktivasi di akar saraf gangglia, hal ini menunjukkan faktor
virus mempengaruhi reaktivasi.

Faktor host juga tampak berperan dalam reaktivasi. Pada pasien imunokompromais
frekuensi lebih tinggi dan keparahan reaktivasi lebih parah. Kedua HSV-1 dan HSV-2
mengkode protein yang merusak respon sel T pada host. Protein HSV, ICP-47 (infected cell
protein no.47) berinteraksi dengan protein transporter untuk mencegah interaksi antara
peptida HSV-spesifik dengan molekul HLA kelas I. Hal ini menurunkan beberapa peptida
HSV-1 dengan antigen HLA kelas I di permukaan sel dan merusak respon CD8+ CTL
terhadap HSV. Infeksi HSV juga dapat merangsang limfosit T sitotoksik dan mengganggu
sinyal dan sekresi sitokin. Inaktivasi CTL ini tampak unik terhadap HSV-1 dan HSV-2 dan
ini berkaitan dengan masuknya sel virus.

Biopsi lesi herpes awalnya menunjukkan infiltrat limfosit CD4+. Pewarnaan pada lesi
menunjukkan adanya tanda aktivasi pada sel CD4 ini, yaitu adanya reseptor IL-2, DR+, dan
ICAM-1+ dalam 2 4 hari. Infiltrasi awal CD4+ memproduksi IFN gamma dan sitokin
lainnya dalam merespon antigen HSV. IFN gamma meningkatkan ekspresi seluler HLA kelas
I, yang akan menurunkan kemampuan virus dalam mempertahankan diri. Terjadi infiltrasi sel
T CD8+ ke lesi dan akan menghilangkan virus. Penghilangan HSV-2 dari lesi genital

9
berkaitan dengan deteksi sitolitik yang membunuh HSV-2. Kebanyakan aktivitas CTL
tampak dilakukan oleh limfosit T CD8+. Sel-T CD8+ spesifik HSV-2 tampak menetap setelah
penyembuhan pada taut dermis-epidermis dan juga ujung saraf yang menginervasi regio
tersebut (Gambar 3). Data ini menunjukkan sel tersebut berpartisipasi dalam immune
surveilance.

Gambar - 3

Terdapat data bahwa sel-T CD8+ dapat ditemukan pada saraf dorsal ganglia dan sel-T
mengsekresi IFN gamma. Hilangnya sel T tersebut berkaitan dengan reaktivasi virus. Respon
host ini mungkin berperan penting dalam mengontrol HSV di level ganglion.

4. Manifestasi Klinis Herpes Genital

Keparahan manifestasi klinis dan rekurensi herpes genital dipengaruhi oleh faktor virus
dan faktor host seperti tipe virus, jenis kelamin dan status imun host. Faktor host lainnya
seperti usia, ras dan lokasi inokulasi atau ekspresi dari infeksinya masih belum diketahui.
Latar belakang genetik host cenderung mempengaruhi perjalanan penyakit infeksi HSV,
tetapi ada sedikit mutasi genetik yang berhubungan dengan beratnya klinis. Pengaruh genetik
beratnya infeksi HSV mukosa masih belum diketahui. Banyak infeksi HSV (HSV-1 dan
HSV-2) berupa subklinis dan perbedaan pada masing masing individu yang bergejala

10
(simtomatis) dengan yang tidak bergejala masih belum bisa dipastikan. Strain virus yang
sama dapat berbeda pola reaktivasinya pada setiap individu.

4.1 Herpes Genital Episode Pertama

Manifestasi klinis herpes genital berbeda antara episode pertama dengan episode rekuren
HSV. Episode pertama herpes genital sering berkaitan dengan gejala sistemik, durasi lesi
yang panjang dan viral shedding serta lesi dapat multipel dan dapat terjadi lesi ekstragenital.
Pasien yang mengalami infeksi primer seperti infeksi pertama kali HSV-1 atau HSV-2
memiliki klinis yang berat dibandingkan dengan pasien yang seropositif HSV-1. Banyak hasil
survey melaporkan, sekitar 50% pasien yang episode pertama herpes genital simtomatis
memiliki infeksi primer HSV-1 atau HSV-2. Kebanyakan individu dengan episode pertama
non-primer HSV genital memiliki bukti serologi infeksi HSV-1 masa lalu. Infeksi HSV-1
pada individu jarang didahului infeksi HSV-2. Sekitar 25% individu dengan episode pertama
pada herpes genital simtomatis sudah memiliki antibodi HSV-2, menunjukkan adanya
didapatkan HSV-2 asimtomatik pada masa lalu. Oleh karena itu, pada masa episode klinis
pertama kali dapat merupakan pengenalan pertama kali dari infeksi yang sudah lalu dan tidak
menunjukkan didapatkannya infeksi saat ini. kebanyakan infeksi HSV-1 genital merupakan
infeksi primer dan didapatnya HSV-1 genital jarang setelah infeksi HSV-2.

Infeksi HSV-1 oral-labial terlebih dahulu akan memproteksi didapatkannya HSV-1


genital, meskipun hal ini belum banyak diteliti dan derajat proteksinya belum terukur.
Penyakit HSV-1 genital tidak memproteksi seutuhnya dalam didapatnya infeksi HSV-2
genital. Seseorang dengan episode pertama infeksi HSV-2 genital non-primer (misal
didahului oleh HSV-1) lebih jarang terjadi gejala sistemik dan durasi penyakit juga lebih
singkat dibandingkan pada seseorang yang menderita HSV-1 genital atau HSV-2 genital
primer. Namun demikian, infeksi HSV-1 yang mendahului tidak tampak merubah angka
rekurensi HSV-2 genital.

4.1.1 Herpes Genital Primer

Infeksi HSV-2 genital primer dan HSV-1 genital primer memiliki karakteristik gejala
sistemik dan lokal yang lama (gambar - 4). Demam, sakit kepala, malaise dan myalgia
dilaporkan sebanyak 40% pada pria dan 70% pada wanita dengan HSV-2 primer. Gejala
sistemik tampak pada awal perjalanan penyakit, biasanya mencapai puncak pada hari ke-3
dan ke-4 lalu menurun setelahnya.

11
Gambar - 4

Nyeri, gatal, disuria, duh vagina atau uretra dan pembesaran kelenjar limfa regional adalah
gejala lokal yang sering terjadi. Derajat keparahan gejala lokal, durasi lesi dan viral shedding
tampak sama pada pasien dengan infeksi HSV-1 dan HSV-2 primer. Lesi yang nyeri
dilaporkan pada 95% pria (rata rata 10,9 hari) dan 99% pada wanita (rata rata 12,2 hari)
pada infeksi HSV primer. Disuria, baik di luar dan di dalam sering terjadi pada wanita (83%)
dibandingkan pria (44%). Isolasi HSV dari uretra dan urin pada kedua pria dan wanita
dengan herpes genital primer, dan juga disuria eksternal akibat urin terkena lesi aktif HSV.
Uretritis HSV dan atau sistitis dapat terjadi lebih sering dan lebih lama pada wanita.

Duh uretra dan disuria terjadi pada sepertiga pria dengan infeksi HSV-2 primer. HSV
dapat diisolasi dari hapusan uretra atau dari urin pertama pada pria tersebut. Duh uretra
biasanya bening dan mukoid, serta beratnya disuria sering tidak sebanding dengan jumlah
duh uretra saat pemeriksaan genital. Pewarnaan gram dari duh uretra dapat ditemukan 5 15
polimorfonuklear per lapangan imersi. Terkadang sel mononuklear dapat juga terlihat.

Gejala klinis nyeri dan tidak nyaman dari lesi secara bertahap akan meningkat pada hari ke
6 7 dari awal sakit, dan mencapai maksimal pada hari ke-7 11. Lalu secara bertahap akan
berkurang pada minggu kedua dari awal penyakit. Pembesaran kelenjar inguinal biasanya
muncul dalam minggu ke-2 dan ke-3 dan sering menjadi gejala terakhir yang menghilang.
Kelenjar limfa inguinal dan femoral umumnya lunak, tidak ada fluktuasi dan sangat lembut
saat dipalpasi. Limfadenopati yang supurasi sangat jarang terjadi sebagai manifestasi herpes
genital

4.1.1.1 Tanda Klinis dan Durasi Viral Shedding pada Herpes Genital Primer

Pada pria dan wanita dengan infeksi HSV genital primer, lesi vesikulopustul atau ulkus
bilateral pada genitalia eksterna merupakan tanda yang sering terjadi (gambar 5 dan gambar

12
- 6). Karakteristik lesi diawali dengan papul atau vesikel yang cepat menyebar pada area
genital. Pada saat kunjungan pertama kali, lesi vesikel kecil multipel yang pecah lalu menjadi
ulserasi luas sering terjadi pada wanita. Jumlah, ukuran dan bentuk lesi ulkus sangat
bervariasi pada pasien. Edema labia atau penis sering terjadi. Lesi ulkus ini menetap dari hari
ke-4 sampai ke-15 sampai terjadi krusta atau reepitelialisasi. Umumnya, lesi pada penis dan
area mons pubis berkrusta sebelum reepitelialisasi selesai dengan sempurna. Krusta tidak
terjadi pada permukaan mukosa. Skar jarang terjadi pada lesi. Pembentukan lesi besi baru
(berkembangnya lesi baru pada area yang baru seperti vesikel atau ulserasi selama perjalanan
penyakit sebanyak 75% pada pasien dengan herpes genital primer. Lesi baru biasanya terjadi
pada hari 4 10 dan penanda keberhasilan obat yang diberikan adalah dengan berkurangnya
lesi baru pada herpes genital primer. Median durasi dari viral shedding, sejak dari awal onset
penyakit sampai hasil kultur positif terakhir adalah 12 hari. Rata rata waktu dari onset
penyakit sampai terjadinya reepitelialisasi sempurna pada semua lesi lebih lama pada wanita
(19,5 hari) sedangkan pada pria adalah 16,5 hari.

Gambar 5 Gambar - 6

4.1.1.2 Servitis HSV pada Episode Pertama Herpes Genital

Sebanyak 70% - 90% wanita dengan infeksi HSV-2 episode pertama mengalami servisitis
HSV. Berbeda dengan lesi genital eksterna yang rekuren, HSV-2 hanya terisolasi sebesar 15
20 % saja pada serviks. Servisitis HSV genital primer dapat bergejala seperti duh vagina
purulen atau berdarah dan dapat pula asimtomatik. Lesi dapat difus atau hanya fokal dan
disertai kemerahan, lesi ulseratif luas pada eksoserviks atau juga servisitis nekrotik berat,

13
terkadang tanpa adanya lesi herpes eksterna (gambar 7). Infeksi HSV pada serviks biasanya
menyerang pula epitel skuamosa eksoserviks berbeda dengan servisitis yang mukopurulen
akibat infeksi C. trachomatis dan N. Gonorrhoeae. Membedakannya secara klinis mungkin
sulit, meskipun ulserasi seriks dan nekrosis lebih berhubungan dengan servisitis HSV.

Gambar - 7

4.1.1.3 Infeksi Faring

HSV pada faring sering berhubungan dengan herpes genital primer dan mungkin
dikeluhkan pada 20% pasien pada infeksi primer HSV-1 atau infeksi primer HSV-2. Kedua
HSV-1 dan HSV-2 dapat mengakibatkan faringitis dan berhubungan dengan kontak sumber
infeksi. Pada anak, autoinokulasi terkadang terjadi pada area genital pada gingivostomatitis
HSV-1 primer. Faringitis HSV lebih jarang terjadi pada pasien dengan herpes genital rekuren.
Diantara pasien herpes genital primer yang mengeluhkan sakit tenggorokan selama episode
akut penyakit, ditemukan HSV pada faring sebanyak 70%. Kultur virus dari faring pada 20
pasien dengan HSV-2 primer yang tidak mengeluhkan gejala sakit tenggorokan tidak terdapat
HSV, hal ini menunjukkan faringitis HSV biasanya bergejala. Tanda klinis faringitis HSV
mungkin bervariasi dari eritema ringan sampai ulkus difus. Respon inflamasi pada area ulkus
yang luas ini dapat menghasilkan eksudat putih yang ketika dibersihkan akan semakin jelas
luasnya ulkus. Pada kasus yang jarang, bengkak hebat dapat terjadi pada faring posterior
mengakibatkan obstruksi jalan napas. Perluasan lesi ulkus pada faring posterior ke area
gingiva anterior dapat terjadi. Kebanyakan pasien dengan faringitis HSV terjadi
pembengkakan kelenjar getah bening servikal dan adanya gejala konstitusional seperti

14
demam, malise, myalgia dan sakit kepala. Sering pula terjadi salah diagnosis menjadi
faringitis streptokokus atau mononukleosis, tonsilektomi juga pernah dilaporkan.

Faringitis HSV-1 sering terjadi pada remaja dan mahasiswa, hal ini sering akibat infeksi
HSV-1 oral primer. Penularan yang sering adalah akibat berciuman pada masa shedding
subklinis oral. Reaktivasi HSV pada faring jarang bergejala yaitu pada lesi oral-labial rekuren
atau oral shedding asimtomatik. Reaktivasi HSV-2 pada ganglia trigeminal terjadi lebih
jarang dibandingkan pada reaktivasi saraf trigeminal pada infeksi HSV-1 laten.

4.2 Komplikasi Herpes Genital

Komplikasi herpes genital berhubungan dengan perluasan lokal dan penyebaran virus pada
ekstragenital. Keterlibatan sistem saraf pusat dan superinfeksi jamur juga sering terjadi.
Komplikasi herpes genital primer lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki -
laki.

4.2.1 Komplikasi Sistem Saraf Pusat

Meningitis aseptik. Keterlibatan sistem saraf pusat dapat terjadi dalam berbagai bentuk,
termasuk meningitis aseptik, myelitis transversa atau radikulopati sakral. Pada satu seri kasus
pasien dengan HSV-2 genital primer terjadi kaku leher, sakit kepala dan fotofobia dalam dua
kali pemeriksaan, dimana perempuan lebih sering dibandingkan laki laki. Perawatan di
rumah sakit diperlukan pada meningitis aseptik sebanyak 6,4 % pada perempuan dan 1,6 %
pada laki laki dengan HSV-2 primer. Penelitian herpes genital primer pada awal tahun
1900-an melaporkan tingginya frekuensi pleositosis cairan serebrospinal tanpa disertai bukti
klinis iritasi meningeal, hal ini menunjukkan keterlibatan meningeal dapat muncul pada
herpes genital primer.

Kedua HSV-1 dan HSV-2 dapat terisolasi dari cairan serebrospinal, namun kaku kuduk
dan isolasi HSV-2 terjadi lebih sering. Meningitis aseptik HSV lebih sering berkaitan dengan
infeksi HSV-2 genital, sementara ensefalitis HSV pada anak atau dewasa biasanya berkaitan
dengan infeksi HSV-1 oral. Demam, sakit kepala, muntah, fotofobia dan kaku kuduk
merupakan gejala utama meningitis aseptik HSV. Gejala meningeal biasanya muncul pada
hari ke-3 sampai ke-12 setelah onset lesi genital. Gejala muncul maksimal pada hari 2 4
menuju sakit dan menurun setelah 2 3 hari. Cairan serebrospinal pada meningitis aseptik
biasanya jernih dan tekanannya meningkat (opening pressures). Sel darah putih pada cairan
serebrospinal bervariasi antara 10 10.000 sel/mm3 (rata rata 550). Pada dewasa,

15
pleositosis yang utama adalah limfosit, meskipun pada perjalanan awal penyakit dan pada
neonatus berupa sel polimorfonuklear. Kadar glukosa dalam cairan serebrospinal biasanya
lebih dari 50% dari kadar gula dalam darah, meskipun hipoglikorakia pernah dilaporkan.
Protein dalan CSF juga sedikit meningkat. HSV jarang terisolasi dari CSF, tetapi deteksi
HSV DNA dengan PCR merupakan pemeriksaan yang sensitif. Diagnosis banding meningitis
aseptik HSV adalah penyakit yang melibatkan saraf disertai ulkus pada genital yaitu, herpes
zooster sakrum, sindrom Behcet (gambar 8), penyakit kolagen vaskuler, inflammatory
bowel disease dan profiria. Terkadang, pasien mengalami meningitis aseptik sebagai tanda
didapatnya HSV-2, deteksi HSV pada cairan spinal pada pasien yang sedikit antibodi
terhadap tipe virus autologus bernilai diagnostik.

Gambar- 8

Meningitis aseptik berkaitan dengan herpes genital tampak terkontrol meskipun tidak
nyaman pada pasien imunokompeten. Tanda dan gejala ensefalitis jarang tampak dan sekuele
pada saraf dapat menetap. Penggunaan antivirus sistemik pada herpes genital primer dapat
mengurangi kejadian meningitis aseptik. Percobaan terkontrol pada acyclovir IV untuk
meningitis HSV belum pernah dilakukan. Namun demikian, tetap direkomendasikan
pemberian acyclovir IV sebesar 5mg/ Kg/ 8 jam yang diberikan di rumah sakit pada pasien
dengan gejala. Ketika gejala sudah membaik, diganti dengan valasiklofir oral. Antivirus oral
tidak harus diberikan pada pasien ensefalitis HSV-1, namun terkadang bermanfaat.

Komplikasi Neruologi Lainnya. Kedua kelainan sistem saraf otonom dan myelitis
transvera berhubungan dengan infeksi HSV genital. Gejala gangguan sistem saraf otonom
berupa hiperestesia atau anestesia pada perineum, pinggang bawah dan area sakrum serta
adanya retensi urin dan konstipasi. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada wanita dan pria
16
dengan proktitis HSV. Pemeriksaan fisik ditemukan vesika urinaria yang penuh, penurunan
sensasi pada sakrum serta kelemahan otot spingter perineum. Pada laki laki, impoten dan
refleks bulbuskavernosus dapat menghilang. Pleositosis CSF dapat terjadi pada beberapa
pasien. Elektromyografi biasanya ditemukan kecepatan hantar saraf dan potensi fibrilasi
menurun pada area yang terkena. Pemeriksaan sistometri menunjukkan pembesaran vesika
urinaria akibat atonia. Kebanyakan kasus mengalami perbaikan dalam 4 8 minggu.

Myelitis transversa terkadang berkaitan dengan infeksi HSV genital primer. Penurunan
refleks tendon-dalam dan kekuatan otot pada ekstrimitas bawah, dan juga bagian atas
menggambarkan tanda dan gejala sistem saraf otonom. Pernah dilaporkan terjadi disfungsi
setelah beberapa tahun kemudian. Penyebab gangguan saraf otonom ini apakah akibat invasi
virus pada SSP atau akibat respon imun yang tidak wajar masih belum diketahui.

4.3Lesi Ekstragenital

Terjadinya lesi ekstragenital pada perjalanan penyakit merupakan komplikasi yang sering
pada episode pertama herpes genital primer dan lebih sering pada perempuan dibandingkan
laki laki. Lesi ekstragenital sering mengenai bokong, selangkangan, dan paha, meskipun
jari dan mata juga dapat terjadi. Diantara pasien dengan HSV-2 primer, 9% mengalami lesi
ekstragenital, dan paling sering pada bokong. Diantara pasien HSV-1 genital primer, 25%
mengalami lesi ekstragenital, dan paling sering pada mulut. Cirinya, lesi ekstragenital
berkembang setelah lesi genital, biasanya pada minggu ke-2 penyakit. Distribusi lesi pada
ekstrimitas dan atau sekitar lesi genital dan terjadi setelah perjalanan penyakit menunjukkan
mayoritas lesi ekstragenital berkembang akibat reaktivasi virus pada dermatom yang
terinfeksi dibandingkan akibat penyebaran virus. Meskipun demikian, temuan baru HSV
DNA dalam plasma pasien dengan HSV primer menandakan penyebaran virus juga berperan
dalam munculnya lesi. Sebelum digunakannya sarung tangan pada pelayanan kesehatan,
HSV-1 sering terisolasi dari infeksi herpes di tangan. Saat ini infeksi herpes pada tangan
lebih sering diakibatkan HSV-2 dibandingkan HSV-1.

4.4 Infeksi Diseminata

Penyebaran melalui darah terbukti dengan adanya vesikel multipel pada area yang luas di
torak dan ekstrimitas jarang terjadi pada pasien dengan herpes mukokutaneus primer.
Penyebaran kutis biasanya terjadi pada awal penyakit dan sering berhubungan dengan
meningitis aseptik, hepatitis, pneumonitis atau artritis. Komplikasi lain infeksi HSV-2 genital

17
primer adalah monoartikular artritis, hepatitis, trombositopenia dan myoglobulinuria.
Kehamilan menjadi predisposisi terjadinya penyebaran viseral yang berat pada HSV genital
primer. Diagnosis HSV diseminata atau HSV hepatitis sering terlambat dimana lesi kulit
dapat tidak jelas atau tidak ada. Angka mortalitasnya tinggi, meskipun pasien sudah diobati
dengan acyclovir IV. Lesi mukokutaneus yang berat dan penyebaran viseral dapat terjadi
pada pasien dengan dermatitis atopik. Pasien dengan immunosupresi, terutama gangguan
imunitas seluler, reaktivasi infeksi HSV genital dapat berasosiasi dengan penyebaran virus ke
berbagai organ. Beberapa pasien mengalami pneumonia intertisial, hepatitis dan pneumonitis,
serupa manifestasi infeksi diseminata pada neonatus. Infeksi viseral diseminata pada pasien
imunosupresi dan hamil memiliki mortalitas yang tinggi dan harus diterapi segera dengan
antivirus sistemik.

4.5 Penyebaran Lokal Penyakit

Kedua HSV-1 dan HSV-2 jarang mengakibatkan penyakit radang panggul, beberapa
pasien dengan infeksi HSV serviks primer dapat bermanifestasi nyeri abdomen bawah dan
benjolan lunak adneksa uteri serta didapatkan laporan penyebaran infeksi HSV ke dalam
kavum uterus, dibuktikan dengan laparoskopi lesi vesikuler pada tuba falopi dimana terisolir
HSV.

Superinfeksi. Superinfeksi bakteri herpes genital pada pasien imunokompeten jarang


terjadi. Pada kasus yang jarang, selulitits pelvis ditandai dengan eritema hebat dan bengkak
pada area perineum. Pada pasien ini pemberian antibiotik sistemik harus diberikan,

Vaginitis akibat jamur sering terjadi pada herpes genital pertama kali. Terdapat laporan,
vaginitis akibat yeast terjadi pada 14% perempuan dengan episode pertama herpes genital.
Penelitian lain pada perempuan yang datang ke klinik penyakit menular seksual, infeksi yeast
yang bersamaan dengan herpes genital lebih sering terjadi dibandingkan dengan tanpa herpes
genital. Biasanya, infeksi vagina akibat jamur muncul pada minggu ke-2 penyakit dan
berasosiasi dengan perubahan sifat duh vagina, disertai dengan rasa gatal dan iritasi. Pada
pemeriksaan KOH dari sekret vagina ditemukan hifa yeast. Jika begejala, terapi yang tepat
sangat direkomendasikan.

4.6 Ringkasan Perjalanan Klinis pada Herpes Genital Inisial

Episode pertama infeksi HSV genital merupakan penyakit sistemik dan lokal. Lebih dari
satu setengah pasien dengan herpes genital primer menderita gejala konstitusional dan

18
sepertiga keluhan adalah sakit kepala, kaku leher dan fotofobia ringan selama minggu
pertama penyakit.

Pasien dengan bukti serologi pada infeksi HSV-1 lebih rendah kemungkinannya untuk
menderita gejala sistemik dan memiliki komplikasi yang lebih ringan serta durasi penyakit
yang lebih singkat dibandingkan pada pasien dengan herpes genital primer yang
sesungguhnya. Antibodi penetral untuk virus herpes simpleks tampak menginaktivasi virus
ekstraseluler dan mengganggu penyebaran infeksi HSV. Respon imun seluler terhadap
antigen HSV terjadi lebih dulu pada pasien dengan HSV genital non-primer dibandingkan
pada pasien dengan infeksi primer sesungguhnya. Tampak bahwa perbedaan kedua respon
imun ini berpengaruh terhadap perbedaan klinis antara episode pertama infeksi genital primer
dan non-primer.

Herpes genital primer yang tidak diobati memiliki morbiditas yang lebih baik bila
didiagnosis dan diterapi sedini mungkin. Penggunaan antivirus oral direkomendasikan untuk
pasien dengan herpes genital episode pertama. Konfirmasi diagnosis dengan laboratorium
harus dilakukan pada setiap kasus, tetapi terapi tidak boleh terlambat. Terapi sedini mungkin
akan menekan gejala sistemik dan mencegah perluasan lokal dari lesi ke saluran kemih atas.
Penggunaan antivirus oral mencegah munculnya lesi baru yang terjadi pada waktu kedepan.
Secara umum, pasien harus diberitahu bahwa resolusi sakit kepala, demam dan kelelahan
terjadi 48 jam setelah pemberian acyclovir, famciclovir atau valacyclovir. Lesi akan berlanjut
dalam 48 jam pertama, tetapi frekuensi lesi baru akan menurun. Penyembuhan akan terjadi
dalam 7 10 hari. Penulis menganjurkan setidaknya 10 hari terapi pada episode pertama
infeksi, reaktivasi virus dengan munculnya lesi vesikel baru sering terjadi dalam 30 hari pasa
penyembuhan pada HSV-2 genital. Pengalaman penulis, penghentian obat dini dapat terjadi
fenomena eksaserbasi. Inisiasi pengobatan, temuan laboratorium dan konseling tentang
reaktivasi dan penularan adalah hal penting yang harus disampaikan kepada pasien herpes
genital episode pertama.

4.7 Tanda dan Gejala Klinis Herpes Genital Rekuren

Berbeda dengan episode pertama infeksi genital, tanda dan gejala herpes genital rekuren
hanya terbatas pada regio genital. Gejala lokal seperti nyeri dan gatal terjadi dengan intensitas
ringan hingga sedang dibandingkan dengan infeksi genital inisial serta durasinya selama 6
12 hari (Tabel 2). Sekitar 90% pasien dengan herpes genital rekuren memiliki gejala
prodromal pada beberapa episodenya, munculnya gejala yang mendahului sebelum

19
munculnya lesi terjadi sebanyak 60% dari setiap episode. Gejala prodromal bervariasi dari
sensasi menggelitik ringan, terjadi 0,5 48 jam sebelum munculnya erupsi, nyeri tajam pada
bokong, kaki dan pinggang terjadi 1 5 hari sebelum episode. Banyak pasien terjadi
neuralgia sakrum yang sangat mengganggu. 20% dari episode, pasien mengalami gejala
prodromal tanpa adanya lesi. Risiko terjadinya viral shedding tinggi saat gejala prodromal,
meskipun tidak terdapat lesi.

Tabel - 2

20
Pada infeksi genital inisial, gejala rekuren herpes genital cenderung lebih berat pada
perempuan. Pada beberapa penelitian, lesi genital yang nyeri sering dikeluhkan pasien (60
90%) pada perempuan (rata rata durasi 5,9 hari), dibandingkan dengan laki laki (30
70%) selama 3,9 hari. Nyeri lebih sering terjadi pada perempuan dan lebih berat
dibandingkan pada laki laki. Disuria terjadi hanya 17% pada perempuan dengan penyakit
rekuren. Disuria eksternal paling sering dikeluhkan dan isolasi HSV dari uretra jarang pada
kedua jenis kelamin (3-9%).

Lesi HSV genital rekuren biasanya terbatas pada satu sisi, dengan area keterlibatan 1 10
infeksi genital primer. Jika tidak diobati, durasi rata rata viral shedding dari onset lesi
sekitar 4 hari, rata rata waktu dari onset lesi sampai krusta antara 4 5 hari pada laki laki
dan perempuan. Rata rata waktu dari onset vesikel sampai reepitelialisasi sekitar 6 10
hari. Variasi keparahan dan durasi penyakit pada kedua kondisi penyakit dan antar episode.
Beberapa rekurensi hanya terjadi 1 2 lesi dan berlangsung selama 2 3 hari sementara yang
lain dapat terjadi 15 20 lesi dan berlangsung selama 12 16 hari. Meskipun gejala genital
rekuren lebih berat pada perempuan, tanda objektif penyakit ini serupa pada kedua jenis
kelamin. Hanya sekitar 15 30% perempuan yang mengalami lesi genital rekuren mengalami
infeksi servikal yang lain. Ketika muncul, durasi viral shedding serviks singkat, terjadi pada
awal episode dan sering tanpa lesi yang tampak pada serviks, kecuali dilakukan kolposkopi.

4.8 Reaktivasi HSV Atipikal

Seperti yang telah dijelaskan mengenai HSV genital diatas, penelitian terbaru menemukan
spektrum klinis yang berbeda pada infeksi HSV genital. Sebagai contoh, diantara perempuan
yang dipilih secara acak pada klinik penyakit menular seksual, HSV terisolasi dari 33%
perempuan dengan lesi genital yang sedikit ciri ulkus vulva, banyak lesi berupa ulkus kecil
linier, diperkirakan akibat trauma atau vaginitis yeast. HSV juga terisolasi dari ulkus serviks,
beberapa hanya dapat terlihat dengan kolposkopi. HSV sering teridentifikasi dari ulkus
genital non-konsentris tanpa dasar eritema (gambar 9 dan gambar 10). Temuan ini
digambarkan ketika infeksi HSV-2 sering terjadi, tanda dan gejala klinis bervariasi dapat
diperkirakan. Observasi ini berbarengan dengan data epidemiologi menunjukkan HSV adalah
penyebab tersering GUD, hal ini mengindikasikan semua lesi genital, tanpa memperhatikan
bentuk lesinya harus dievaluasi sebagai herpes. Tes laboratorium untuk mendeteksi HSV
pada area lesi menggunakan HSV PCR atau menggunakan serologi spesifik tipe virusnya
dapat dilakukan oleh dokter untuk mendukung diagnosis. Deteksi antibodi HSV-2 berkorelasi

21
dengan adanya ulkus pada HSV, tetapi koinfeksi dengan T. pallidum dan H. ducreyi harus
dipertimbangkan berdasarkan epidemiologinya.

Gambar 9 Gambar - 10

4.9 Angka Rekurensi Infeksi HSV Genital

Morbiditas utama pada herpes genital rekuren adalah seringnya reaktivasi penyakit ini.
tersering adalah semua HSV-2 seropositif reaktivasi HSV-2 pada regio genital. Terlebih
karena luasnya area yang diinervasi oleh saraf ganglia sakrum, reaktivasi HSV-2 dapat
meluas ke area lainnnya.

Penelitian prospektif dari 457 pasien dengan infeksi herpes genital episode pertama
menunjukkan 90% pasien dengan HSV-2 genital terjadi rekurensi pada 12 bulan pertama
infeksi. Angka median rekurensi sebesar 0,33 rekurensi per bulan. Kebanyakkan pasien
mengalami reaktivasi klinis multipel. Setelah infeksi HSV-2 primer, 38% pasien mengalami
setidaknya 6 kali rekurensi dan 20% mengalami lebih dari 10 kali pada tahun pertama infeksi.
Laki laki mengalami sedikit lebih sering rekurensi dibandingkan perempuan, mediannya 5
per tahun dibandingkan 4 per tahun (gambar 11). Pasien dengan infeksi primer yang
berlangsung lebih dari 34 hari mengalami rekurensi lebih sering dibandignkan yang sembuh
lebih cepat, mediannya 8 dibandingkan 4,3 rekurensi per tahun. Hal ini menguatkan temuan
pada babi, dimana jumlah ganglia yang mengekspresikan HSV berkorelasi dengan rekurensi.
Pasien dengan infeksi HSV-2 genital primer yang mengalami pemanjangan episode inisial
memiliki titer HSV-2 komplemen independen neutralizing antibody dalam serum yang
tinggi memiliki rekurensi yang tinggi dibandingkan yang tidak memiliki anti-HSV
neutralizing antibody. Meningkatnya titer yang tinggi dari komplemen independen
neutralizing antibody pada fase konvalesen setelah infeksi primer mungkin merefleksikan

22
tingginya derajat pajanan antigen dan atau besarnya jumlah sel laten yang terinfeksi dalam
ganglia sakrum. Pada tikus yang terinfeksi HSV mukokutaneus, tingginya neutralizing
antibody pada konvalesen berasosiasi dengan meningkatnya jumlah sel ganglion laten yang
terinfeksi.

Gambar - 11

Saat ini, penelitian kohort jangka panjang mengindikasikan frekuensi rekurensi


simtomatik yang berangsur turun seiring waktu. Pada awal tahun infeksi, angka rekurensi
menurun menjadi median 1 per tahun. Hampir semua pasien dengan rekurensi simtomatik
HSV genital juga mengalami episode shedding subklinis. Secara umum, episode shedding
subklinis ini terjadi sebesar sepertiga sampai setengah dari total episode reaktivasi HSV yang
diukur dengan isolasi virus dan 50 70% reaktivasi diukur dengan PCR.

Reaktivasi, baik yang simtomatik maupun subklinis lebih jarang terjadi pada HSV-1
genital dibandingkan HSV-2 genital. Secara keseluruhan, 57% pasien dengan HSV-1 genital
akan rekuren pada tahun pertama, dan hanya 34% pada tahun kedua. Angka rekurensi sebesar
1,3 per tahun dalam tahun pertama dan hanya < 5% yang mengalami 4 atau lebih rekurensi.
Faktanya, frekuensi rekurensi herpes genital pada seseorang dengan HSV-1 sebelumnya
memungkinkan didapatnya infeksi HSV-2 genital.

4.10 Sindrom Klinis Lainnya yang Berkaitan dengan Infeksi HSV Genital

Servisitis HSV. HSV dapat hanya melibatkan serviks saja, tanpa keterlibatan genitalia
eksterna. Infeksi HSV servikal dapat asimtomatik atau terdapat servisitis mukopurulen.

23
Survey terakhir pada perempuan yang datang ke klinik PMS didapatkan HSV yang diisolasi
dari serviks sebanyak 4% yang dipilih secara acak. Diantara perempuan yang menderita
servisitis HSV ini,setengahnya merngalami lesi genital episode pertama, 15% mengalami lesi
genital rekuren dan juga servisitis HSV, 35% hanya mengalami servisitis HSV. Bukti lesi
serviks pada pemeriksaan rutin spekulum hanya terjadi 50% pada pasien ini, dan 15% melalui
kolposkopi. Secara umum, kolposkopi mendeteksi 65% perempuan dengan HSV. Pewarnaan
Papanicolaou didapatkan bukti servisitis HSV sebanyak 60% perempuan yang terisolasi
HSV-nya. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis yang detail dan sitologi hanya bernilai 60
70% pada infeksi HSV serviks. Shedding HSV serviks dapat samar pada lokasi reaktivasi,
dan menjadi penularan utama pada bayi baru lahir dan pasangan seksual.

Herpes Simpleks Proktitis. HSV telah terisolasi dari mukosa rektum dan biopsi rektum
pada laki laki dan perempuan dengan gejala nyeri rektum dan duh. Pada awal tahun 1980,
100 laki laki homoseksual yang datang ke klinik PMS dengan gejala duh rektum dan nyeri
ditemukan HSV pada hapusan dan biopsi rektumnya sebanyak 23%. Pada laki laki dengan
proktitis non-gonokokus, HSV merupakan patogen yang paling sering terisolasi.

Tidak seperti proktitis gonokokal, proktitis HSV sering disertai dengan demam, gejala
sistemik, nyeri rektum hebat, duh tubuh, tenesmus dan adanya disfungsi sistem saraf otonom
sakrum. Pasien biasanya mengalami onset akut pada nyeri rektum, duh, tenesmus, konstipasi
dan cairan darah dan atau mukoid pada rektum. Demam, malaise dan myalgia sering tejadi
serta retensi urin, dysesthesia pada regio perineum dan impoten pernah dilaporkan. Lesi
perianal eksterna tampak pada setengah kasus. Anuskopi dan atau sigmoidoskopi biasanya
ditemukan mukosa yang rapuh dan ulkus diskret pada mukosa rektum dapat terjadi (gambar
12 dan gambar 13). Pada banyak kasus, kelainan hanya terdapat pada 10cm rektum saja.
Biopsi rektum dari lesi mukosa didapatkan ulkus yang difus serta infiltrasi limfosit. Pada
pemeriksaan histologi biopsi rektum dapat terjadi inklusi intranuklear pada 40% kasus. HSV-
1 dan HSV-2 juga telah terisolasi pada pasien proktitis HSV. Acyclovir sistemik akan
meredakan tanda dan gejala proktitis herpes ini. Kebanyakan episode proktitis HSV
berasosiasi dengan didapatnya infeksi inisial HSV-1 atau HSV-2, proktitis hebat jarang
terjadi pada reaktivasi HSV-1 atau HSV-2. Infeksi HSV anorektal simtomatik juga dapat
terjadi pada perempuan dengan herpes genital primer.

24
Gambar 12 Gambar -13

Proktitis HSV harus dibedakan dengan reaktivasi HSV subklinis pada regio perineum atau
perirektal. Reaktivasi HSV perianal dideteksi dengan HSV DNA pada hapusan perianal atau
isolasi virus sering pada LSL dan juga perempuan atau laki laki heteroseksual. Penelitian
menemukan reaktivasi perianal pada laki laki terutama LSL, menandakan lokasi infeksi
inisialnya. Shedding perianal subklinis terjadi akibat reaktivasi dari reservoar di ganglion
sakrum dan terjadi tanpa adanya penetrasi anal saat ini atau masa lampau.

Meningitis Aseptik Rekuren. Benign recurrent lymphocytic meningitis atau meningitis


Mollaret adalah sindrom dengan karakteristik episode rekuren meningitis aseptik selama 3
7 hari dan membaik tanpa sekuele neurologis. CSF didapatkan peningkatan protein dan
dominan pleositosis mononuklear. Penelitian terbaru menunjukkan HSV DNA (biasanya
HSV-2) dan persisten antibodi HSV intratekal pada cairan spinal pasien benign recurrent
lymphocytic meningitis menandakan HSV-2 sebagai penyebab pada kebanyakan kasus ini.

Episode rekuren pada meningitis aseptik, lanjutan dari episode inisial infeksi HSV-2
genital yang berkomplikasi ini telah dijelaskan sebelumnya. Pada 27 pasien dengan
meningitis HSV-2 berkaitan dengan episode pertama HSV-2 genital, meningitis rekuren
terjadi pada 5 pasien, sakit kepala berkaitan dengan lesi genital rekuren pada 4 pasien dan
kemungkinan meningitis rekuren terjadi pada 7 pasien. Sebanyak 16 pasien (27%) menderita
reaktivasi HSV rekuren pada SSP. Pemeriksaan PCR dan antibodi HSV-specific intratekal
membantu menentukan spektrum HSV pada SSP. Pada 13 pasien yang menderita benign
recurrent lymphocytic meningitis, 11 memiliki HSV DNA dan antibodi HSV-spesifik yang
ditemukan pada cairan serebrospinal serta 2 pasien memiliki antibodi HSV-2 intratekal.
HSV-2 tampak lebih sering sebagai penyebab dibandingkan HSV-1 dan hanya beberapa

25
pasien saja yang memiliki riwayat herpes genital. Laporan anekdotal dan pengalaman penulis
mengatakan penggunaan antivirus dapat memperpendek atau mencegah episode ini.

Reaktivasi HSV Subklinis. Viral shedding subklinis atau asimtomatik merupakan hal
penting dalam aspek klinis dan epidemiologi herpes genital, dimana kebanyakan episode
seksual dan transmisi vertikal terjadi pada kondisi ini. HSV dapat dikultur dari saluran
genitourinaria perempuan dan laki laki tanpa adanya ulkus genital atau lesi lainnya.
Penularan herpes genital biasanya terjadi pada kontak seksual dengan orang yang shedding
HSV subklinis.

Penelitian longitudinal pada orang dengan antibodi HSV-2, 90% mengalami reaktivasi
HSV secara intermiten pada traktus genital. Frekuensi deteksi reaktivasi bervariasi dengan
frekuensi hapusan mukosa genital, serta lokasi anatomi pengambilan sampel dan teknik
deteksi HSV. Perempuan mengalami reaktivasi HSV pada servikovaginal dan vulva dan juga
area perianal. Laki laki mengalami reaktivasi HSV pada kulit penis dan area perianal.
Peningkatan pengenalan reaktivasi HSV perianal yang berhubungan dengan inervasi
dermatomal pada area ini dan area vulva pada perempuan serta penis dan skrotum pada laki
laki telah meningkatkan angka deteksi HSV pada mukosa genital. Perkembangan PCR untuk
HSV DNA telah meningkatkan pengetahuan patogenesis infeksi HSV-2 subklinis, dan
banyak laboratorium mengembangkan PCR yang sangat sensitif dan spesifik. Penggunaan
PCR untuk mendeteksi HSV pada permukaan mukosa telah meningkatkan angka deteksi
HSV 4 kali lipat. Episode subklinis reaktivasi HSV memiliki beberapa karakteristik yaitu: 1.
25% episode bertahan lebih dari 1 hari. 2. 17% subklinis versus 22% episode klinis terjadi
pada lebih dari satu lokasi anatomi. 3. Shedding subklinis mayoritas terjadi akibat hampir
rekuren. 4. Perempuan dengan rekurensi yang sering memiliki shedding subklinis yang sering
pula.

Gambar 14 menunjukkan pola dan frekuensi shedding subklinis pada laki laki dan
perempuan dengan infeksi HSV-2 genital. Diagram juga menunjukkan, shedding terjadi pada
pola waktu tertentu dan shedding subklinis sering terjadi pada saat sebelum episode lesi
genital atau positifnya kultur. Frekuensi shedding HSV-2 subklinis pada oral dan genital
adalah tinggi, meskipun pada orang yang tidak pernah mengalami lesi (Gambar 15). PCR
HSV DNA kuantitatif menunjukkan jumlah virus pada reaktivasi subklinis dan sering tinggi
pada saat episode HSV rekuren klinis. Oleh karena itu, penularan HSV tampak sama

26
meskipun tanpa adanya lesi, hal ini mendukung observasi epidemiologi bahwa didapatnya
HSV kebanyakan berasal dari pasangan yang asimtomatik.

Gambar - 14 Gambar - 15

Reaktivasi HSV subklinis tertinggi pada tahun pertama setelah didapatnya infeksi. Selama
periode ini, HSV dapat dideteksi pada gential dengan PCR pada rata rata 25 30% hari
(gambar 16). Ditemukan 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan pada pasien yang diperiksa
setelahnya. Penelitian longitudinal PCR terbatas, tampak angka shedding relatif stabil pada
individu dalam periode 1 2 tahun (gambar 17). Hal ini merepresentasikan variasi individu
sangat tinggi.

Gambar 16 Gambar - 17

27
Pada laki laki, lokasi shedding paling tinggi adalah pada kulit penis, lalu pada area
perianal, meskipun pada LSL dapat juga terjadi sebaliknya. Shedding juga dapat terjadi pada
uretra dan pada semen. Namun demikian, kultur dari semen atau PCR jarang didapatkan
virus. Terdapat laporan tingginya isolasi HSV pada semen laki laki yang dilakukan
vasektomi. Kulit penis merupakan sumber utama shedding virus yang menularkan dari laki
laki ke perempuan, sementara perianal shedding merupakan penularan utama pada LSL.

Dengan seringnya shedding subklinis, pencegahan herpes genital tidak dapat dilakukan
dengan pencegahan hubungan seksual pada fase lesi rekuren, karena penularan dapat terjadi
meskipun tanpa adanya lesi. Konseling pasien herpes genital diperlukan untuk menekankan
potensi penularan dan strategi untuk mengurangi risiko tertular pada pasangan seksual pasien.

4.11 Masalah pada Herpes Genital Rekuren yang Tidak Dikenali

Beberapa penelitian mengatakan, mayoritas orang dengan seropositif HSV-2 yang


menyangkal adanya lesi genital, tidak sepenuhnya asimtomatik, tetapi sebenarnya mereka
mengalami lesi genital hanya tidak menyadari bahwa itu herpes. Penelitian lain menemukan,
perempuan dengan seropositif HSV-2 tidak menyadari adanya herpes genital telah diberitahu
tentang tanda klinis dan gejala lesi genital. Gambaran lesi HSV genital ditunjukkan kepada
mereka dan penularan serta reaktivasi juga dijelaskan. Perempuan ini juga dianjurkan untuk
segera berobat ke klinik PMS jika terjadi keluhan genitourinaria apapun. Sebanyak 62
perempuan, 48% diantaranya mengalami mengalami lesi genital HSV yang disadari. Herpes
genital simtomatik merupakan keluhan genitourinaria tersering dalam kelompok ini selama
pemantauan. Temuan yang sama juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Frenkel
dkk pada populasi perempuan hamil. Temuan terakhir menemukan 53 orang yang
teridentifikasi seropositif HSV-2 tidak terdapat riwayat herpes genital. Selama pemantauan 3
bulan, 62% mengalami lesi HSV rekuren yang umum, 25% mengalami keluhan genital
terlokalisir dan 83% terdeteksi HSV pada hapusan sekret genital. Hanya 1 orang yang tidak
ditemukan secara klinis dan virologi herpes genital. Dibandingkan dengan temuan
sebelumnya, angka viral shedding subklinis adalah sama (3,0 vs 2,7) pada laki laki dan
perempuan, tetapi frekuensi rekurensi dan durasi lebih singkat pada orang yang sebelumnya
menyangkal terdapat lesi genital. Temuan ini membantu menjelaskan mengenai lesi yang
tidak disadari sebenarnya ada namun ringan dan jarang, dan banyak orang yang mengalami
rekuren tetapi mereka tidak menyadari sampai mereka mendapat penjelasan tentang herpes
genital (tabel 3).

28
Tabel - 3

Penelitian menunjukkan tingginya reaktivasi genital membuat sebuah kerangka kerja


mengenai definisi klinis dan manifestasi virus pada infeksi HSV genital. HSV-2 sering
mengakibatkan silent infection yang terkadang mengakibatkan manifestasi klinis dengan viral
shedding yang jelas, HSV merupakan infeksi yang dinamis dengan reaktivasi yang sering,
kebanyakan subklinis, peranan respon imun akan mengontrol replikasi virus di mukosa. Tes
serologi yang akurat dan konseling yang tepat dapat menemukan orang yang tidak bergejala
namun ditemukan virologi HSV-2 genital yang aktif. Kontak seksual merupakan penularan
penting pada HSV yang berguna dalam pendekatan epidemiologi dalam penyebaran penyakit
ini.

29

Anda mungkin juga menyukai