Anda di halaman 1dari 17

Kak perbaikanka dulu ini uraianku terlalu meluaski bd kk, jadi hapuskanka coba yang tidak

perlu dan disuruhka kasi mengerucut ke kondisi SMA 9.

pokoknya haruska tambahkanki ini di urauianku

1. Rasional dan teori pendukung


Dalam Rasional dan teori pendukung, kita bahas tentang logika yang menurut pendidik
untuk bisa diterapkan PBL (logika itu harus dibangun berdasarkan pengamatan). Dan itu
rasional samaji dengan keraguan.
Misalnya: problem based learning bisa diterapkan di SMAN 9 karena, peserta didiknya
sudah terampil menentukan variabel, hal ini di tandai., Namun sebagian peserta
didiknya masih ada sikap malu dalam bertanya dan mengemukakan pendapat, oleh karena
itu dengan model PBL maka kita bisa membentuk kelompok untuk menghilangkan rasa
malu peserta didik, dan mereka bisa saling bertukar pikiran satu sama lain.
catatan: coba carikanka lagi alasan-alasan yang mendukung untuk pembljaran PBL
dan mau diberikan sedikit gambaran dari alasan tersebut kk.
Setelah kita menjelaskan rasionalnya kk, baru kita cocokkan dengan teori yang sejalan
dengan PBL, jadi bacami saja itu 3 aliran yang mana disitu berkenaan kk,, trus kasikan
alasan
2. Sistem Sosial
Dalam sistem sosial harus lebih mengerucut lagi ke interaksi peserta didiknya kk. jadi
disuruhka buat disitu pemisalannya
3. Prinsip reaksi
Dalam prinsip reaksi haruska bahaski reaksi pendidik terhadap peserta didik ketika ada
aksi. jadi perlu juga diberikan pemisalan, contohnya kk: dalam suatu kelompok ada yang
bermain, tdk fokus dalm pembelajaran, atau ada kelompok yang tidak paham dalam
pengambilan data, maka bagaiman tindakan (reaksi) seperti apa yang dilakukan pendidik
4. Sistem Pendukung
dalam sistem pendukung ini, harus jga kubahas langkah2 yang harus pendidik siapkan
pada saat melakukan praktikum atau pengamatan untuk memperoleh hasil yang baik.
contohnya: peserta didik perlu melakukan penyelidikan dan mengambil data yang releva
dengan pengamtan sebelum peserta didik melakukan penyelidikan, trus mau diberikan
sedikit penjelasan kenapa pendidik perlu melakukan hal itu
catata: tambahkan ka lagi alasan2 yang bagus na kk
5. Dampak
Dalam dampak ini, harus diuraikan semua dampak spiritual (KI 1), sosial (KI2).
pengetahuan (KI3), dan keterampilan (KI4).
Catatan: jadi jnganmi dipisah dampak instruksional dan pengiring, langsung saja dampak
ke 4 itu KI.
6. Sintaks
Dalam sintaksnya kk disuruhka kaitkan semua setiap fasenya dengan sistem
sosial(interaksi peserta didik) dan prinsip reaksi (reaksi gurunya) jadi 5 fase nya itu kk
harus dijelaskan smua itu Sistem sosial dan prinsip reaksinya. Setelah itu setiap fase mau
jga dijelaskan seperti ini: Fase 1 (berlangsung 10 menit) pendidik dalam fase ini bisa
menggunakan pendekatan .., alasannya., strategi yang dilakukan ,.., alasnnya,
metode yang digunakan,, alasanya?.., teknik (alat bantu) yang digunakan, alasanya?..,
taktik (siasat) yang digunakan,alasanya?..., disuruhka kasi begitu semua setiap fasenya
kk
catatan: tidak terlalu pahamka ini sebenarnya kk, dicontohkan saru materi fisika baru di
kelompokkan ke pendekatan, strategi, metode, dll. smoga kita pahamji maunya bapak kk

Mintol di kerjakanka dlu kk, kah disuruhka cepat-cepat menghadap lagi kk

Dan hapuskan maka sebagian yang kita anggap tidak perlu kk, kah terlalu bersifat
umumki uraian ku
URAIAN MATERI PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

1. Sejarah Model Problem Based Learning (PBL)


Model problem based learning atau yang sering dikenal dengan model
pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model pembelajaran yang
saat ini sudah banyak dikenal dalam dunia pendidikan. Model pembelajaran berbasis
masalah ini pertama kali dikembangkan oleh Howard Barrows pada tahun 1986 dalam
Ilmu Pendidikan Medis di Southern Illinois University School. Model ini dalam
perkembangannya kemudian mulai merambah dalam dunia pendidikan. John Dewey
seorang kritikus sosial dan pemikir dalam dunia pendidikan menjelaskan pandangannya
mengenai pendidikan dimana sekolah akan mencerminkan masyarakat luas dan kelas
akan menjadi laboraturium bagi inkuiri dan pemecahan masalah nyata.
Di samping universitas school (Southern), tiga sekolah medis lain seperti
University of Limburg di Maastrictht (Belanda), University of Newcastle (Australia),
dan University of New Mexico (Amerika) juga mengikutinya. Program ini
dikembangkan berdasarkan kenyataan bahwa banyak lulusannya yang tidak mampu
menerapkan pengetahuan yang mereka pelajari dalam praktek sehari-hari.
Pembelajaran Berbasis Masalah yang berasal dari bahasa Inggris Problem-based
Learning adalah suatu model pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu
masalah.
Konsep PBL telah diterapkan dalam kurikulum pendidikan oleh beberapa
negara. Salah satu perguruan tinggi di Singapura yakni Politeknik telah menerapkan
PBL ini sejak tahun 2002. PBL di Politeknik ini diterapkan melalui pembelajaran
dengan sehari satu masalah (One-Day-One-Problem), jumlah mahasiswa dalam satu
kelas dibatasi tidak lebih dari 25 orang, mereka dibagi ke dalam kelompok kerja
kemudian disajikan satu masalah yang mungkin terjadi dalam skenario yang nyata.
Peran fasilitator/ pendidik yakni membimbing mahasiswa melalui tiga kali rapat sehari
penuh dan membantu mereka dengan berdiskusi, sehingga melalui proses pembelajaran
ini melahirkan peserta didik yang memiliki kemampuan mengatasi masalah (problem-
solving skills). Setelah proses diskusi dan peserta didik telah menemukan solusi
pemecahan masalah, setiap kelompok harus menyajikan temuan dan saran mereka
untuk memecahkan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Selama penyajian,
peserta didik didorong untuk menyampaikan pendapat mereka. Setelah selesai
penyajian kelompok, fasilitator menjelaskan solusi ideal untuk memecahkan masalah
tersebut. Penilaian dilakukan setiap hari selama proses pembelajaran berlangsung.

PBL ini juga telah diterapkan di Malaysia, upaya ini dilakukan dengan
memperkenalkan PBL dalam Matematika sekunder yang disebut PBL4C yang
merupakan singkatan dari Problem Based Learning the Four Core Areas in the
Mathematics Education Framework. Keempat wilayah inti dalam kerangka pendidikan
matematika yaitu isi, proses berpikir, keterampilan, dan nilai-nilai, dengan
siswa/mahasiswa sebagai fokus pembelajaran. Beberapa sekolah kedokteran telah
memasukkan PBL ini ke dalam kurikulum mereka. Dalam proses pembelajaran
digunakan kasus pasien yang nyata untuk mengajarkan siswa bagaimana berpikir
layaknya seorang dokter. Sedangkan lebih dari 80% sekolah kedokteran di Amerika
Serikat sekarang ini memiliki beberapa bentuk pembelajaran berbasis masalah dalam
program pembelajaran mereka.
Di Indonesiapun, PBL ini telah diterapkan dalam pembelajaran, misalnya di
UGM, diterapkan di jurusan Teknik Geologi. Dan saat ini telah berupaya diterapkan di
kurikulum sekolah.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, maka hal serupa pernah terjadi di
SMA Negeri 9 Makassar, bahwa proses pembelajaran berlangsung dengan aktivitas
yang pasif didalam kelas. Dimana peserta didiknya lebih sering mencatat materi yang
disampaikan pendidik dibandingkan bertanya, dan terkadang diberikan tugas, akan
tetapi tugas tersebut akan dijawab sendiri oleh pendidik pada akhir pertemuan. Pendidik
juga jarang mengarahkan peserta didiknya untuk menemukan solusi pemecahan
masalah melalui penyelidikan. Dengan demikian, salah satu cara untuk mengatasi
masalah tersebut adalah pendidik melakukan adaptasi dan modifikasi model
pembelajaran Problem Based Learning (PBL) yang merupakan salah satu model
pembelajaran kurikulum 2013, untuk mencapai peserta didik yang mampu
mengembangkan pengetahuan, menemukan solusi untuk masalahnya sendiri dan
kemudian secara aktif menggunakan solusi tersebut dengan keterampilan mereka dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Teori yang mendasari model pembelajaran problem based learning yaitu teori
konstruktivisme. Teori konstruktivisme menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu
proses secara aktif oleh pembelajar untuk membangun pemahamannya. Setiap
pemahaman baru yang dibangun didasarkan atas pemahaman yang telah diketahui
sebelumnya. Strategi pembelajaran based learning menggunakan konsep-konsep
belajar dalam teori konstruktivisme. Sebagai landasan pengembangnya yaitu: (1)
pengetahuan dikonstruk secara individu dan secara aktif tergantung pada pengetahuan
awal; (2) pengetahuan diperoleh ketika berinteraksi dengan fakta atau fenomena terkait;
(3) kelompok kecil memungkinkan siswa untuk dapat bertukar ide (sharing) daan
berkolaborasi dalam pemecahan masalah. Implikasi teori konstruktivisme model
pembelajaran problem based learning dalam pelaksanaan pembelajaran memiliki
karakter yaitu : (1) guru hanya bertindak sebagai fasilitator, bukan sebagai sumber
informasi dan siswa harus sudah memiliki pemahaman dan ketrampilan prasyarat,
bukan dalam tahap membangun konsep; (2) adanya penyelidikan autentik sehingga
siswa berinteraksi dengan fakta atau fenomena terkait; (3) siswa belajar dalam
kelompok kecil.
2. Rasional dan Teori Pendukung
Proses belajar mengajar sebagai peristiwa penting dalam sebuah pendidikan perlu
ditingkatkan terutama dari segi kualitas, karena kualitas proses pembelajaran akan
mempengaruhi kualitas hasil belajar. Sudah saatnya pembelajaran diarahkan pada
pembentukan mandiri, cerdas, kreatif, dan dapat menghadapi segala permasalahan.
yang diberikan. Oleh karena itu, sudah saatnya pula terjadi perubahan pemikiran
dengan menekankan pada aktivitas siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir,
kecakapan mencari, menemukan, dan memecahkan masalah sehingga siswa lebih
dominan dan peranan guru bergeser pada merancang atau mendesain suatu bahan ajar.
Bahan ajar dapat membantu peserta didik belajar secara mandiri. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan bahan ajar dapat meningkatkan hasil
belajar. Bahan ajar yang diintegrasikan dengan model pembelajaran dapat
meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah satunya kemampuan
berpikir kritis (Yuliati, 2013). Hal senada juga diungkapkan oleh Ginting (2012) yang
menyatakan bahwa penggunaan bahan ajar di dalam proses pembelajaran dapat
meningkatkan hasil belajar.
Mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan masa depan selalu menjadi
kepedulian kurikulum. Hal ini mengandung makna bahwa kurikulum adalah rancangan
pendidikan untuk mempersiapkan kehidupan generasi muda bangsa. Salah satu
perubahan mendasar dalam Kurikulum 2013 adalah model pembelajaran. Adapun
model-model pembelajaran yang dirumuskan dalam kurikulum baru meliputi
discovery/inquiry learning, project based learning, dan problem based learning.
Menurut teori Piaget (1959), bahwa usia siswa SMA merupakan period of
formal operation. Pada usia ini, perkembangan peserta didik dikembangkan melalui
kemapuan berpikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna
(meaning fully) tanpa memerlukan objek yang kongkret atau bahkan objek yang visual.
Dimana pada usia tersebut peserta didik sudah mampu merumuskan masalah,
menganalisis masalah, merumuskan hipotesis, dan membuat solusi pemecahan
masalah.
Berdasarkan hal tersebut dalam proses pembelajaran perlu dirancang
pembelajaran yang dapat mebangkitkan dan mengembangkan potensi siswa dalam
menggunakan kemampuan berpikirnya untuk dapat memecahkan atau menyelesaikan
masalah. Keberhasilan dalam proses pembelajaran ditentukan salah satunya adalah
pemilihan model pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran yang tepat dapat
memperlancar belajar secara aktif dan efisien. Model pembelajaran yang digunakan
sangat berpengaruh terhadap keterampilan memecahkan masalah dan kemampuan
berpikir logis, karena pemilihan model yang disesuaikan dengan materi yang
diajarkan, tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, sera keterlibatan peserta didik
dalam proses pembelajaran akan lebih efektif dalam pembentukan kompetensi yang
ingin dicapai. Salah satu model pembelajaran yang dapat mengembangkan pola
berpikir untuk menyelesaikan masalah adalah model Problem Based Learning
(PBL).
Banyak pakar pendidikan yang mendefinisikan Problem Based Learning
diantaranya yaitu menurut Arends (2008: 41), PBL merupakan model pembelajaran
yang menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada
peserta didik, yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan
penyelidikan. PBL membantu peserta didik untuk mengembangkan keterampilan
berpikir kritis dan keterampilan menyelesaikan masalah.
Alma (2008: 100) menyatakan bahwa: model mengajar adalah sebuah
perencanaan pengajaran yang menggambarkan proses yang ditempuh pada proses
belajar mengajar agar dicapai perubahan spesifik pada perilaku siswa seperti yang
diharapkan. Model pemecahan masalah bukan hanya sekedar model mengajar tetapi
juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam problem based learning dapat
menggunakan metode-metode lainnya dimulai dengan mencari data sampai pada
menarik kesimpulan (Sudjana, 2011: 85).
Menurut Yatim Riyanto (2009: 288), model Problem Based Learning
merupakan model pembelajaran yang dapat membantu peserta didik untuk aktif
dan mandiri dalam mengembangkan kemampuan berpikir memecahkan masalah
melalui pencarian data sehingga diperoleh solusi dengan rasional dan autentik.
Berdasarkan pendapat pakar-pakar tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa Problem-Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang
mendorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk
mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Dalam pembelajaran Problem
Based Learning (PBL) pendidik lebih berperan sebagai fasilitator dan pembimbing
sehingga siswa belajar berpikir dan memecahkan masalah mereka sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, model Problem Based Learning (PBL) mendukung
untuk diterapkan di SMA Negeri 9 Makassar, karena sekolah tersebut sudah
menerapkan kurikulum 2013, jumlah peserta didik setiap kelas kurang lebih 32 orang
dan cenderung aktif dalam pembelajaran kelompok, selain dari pada itu juga memiliki
laboratorium fisika dengan alat-lat praktikum yang memungkinkan untuk melakukan
penyelidikan. Dan pada akhirnya, tujuan akademis sejati PBL tidak mengembangkan
akhir menjawab masalah, akan tetapi pembelajaran berbasis masalah sebenarnya terjadi
melalui proses pemikiran pemecahan masalah melalui langkah-langkah, meneliti
masalah, dan mengembangkan proyek. Melalui pembelajaran model PBL ini, sangat
memungkinkan untuk menghubungkan peserta didik dengan masyarakat dan dunia
yang lebih besar di luar kelas untuk mencipkan suatu produk yang baru.
Pembelajaran berdasarkan masalah (PBL) akan ditelusuri melalui tiga aliran
pemikiran utama abad kedua puluh
a. Dewey dan kelas demokratis
Seperti pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berdasarkan masalah
menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey. Dalam demokrasi
dan pendidikan (1916), Dewey menggambarkan suatu pandangan tentang
pendidikan yang mana sekolah mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan
kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan nyata. Ilmu
mendidik Dewey menganjurkan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam
proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki
masalah-maslah intelektual dan sosial. Dewey dan sejawatnya seperti Kill Patrick
(1918), mengemukakan bahwa pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki
manfaat daripada abstrak dan pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat
dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan
proyek yang menarik dan pilihan mereka sendiri. Visi pembelajaran yang berdaya-
guna atau berpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan bawaan siswa untuk
menyelidiki secara pribadi situasi yang bermakna secara jelas menghubungkan
PBL kontemporer dengan filosopi pendidikan dan pedagogy Dewey
b. Piaget, Vygotsky dan konstruktivisme
Jean Piaget (1886 1980) seorang ahli psikologi swiss, selama 50 tahun lebih
mempelajari bagaiamana cara anak berpikir dan proses-proses yang berkaitan
dengan perkembangan intelektual. Dalam penjelasan tentang bagaimana
perkembangan intelektual pada anak kecil, piaget menegaskan bahwa pada anak
memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami
dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu ini, menurut Piaget, memotivasi mereka untuk
secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang
mereka hayati pada saat mereka tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih
banyak kemampuan bahasa dan memory, tampilan mental mereka tentang dunia
menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Sementara itu pada semua tahap
perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka, memotivasi mereka
untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu.
Pandangan konstruktivis-kognitif di atas, PBL banyak dikembangkan
berdasarkan teori Piaget. Pandangan ini, seperti halnya Piaget, mengemukakan
bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan
informasi dan membangun pengatahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis
tetapi secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa mengahadapi
pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi
pengetahuan awal mereka. Menurut Piaget, pedagogi yang baik harus melibatkan
pemberian anak dengan situasi-situasi di mana anak itu mandiri melakukan
eksperimen, dalam arti paling luas dari istilah itu-mencoba segala sesuatu untuk
melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol,
mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya. Mencocokkan apa
yang ia temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain,
membandingkan temuannya dengan temuan anak lain
c. Bruner dan pembelajaran penemuan
Ketika pembelajaran penemuan diterapkan dalam sains dan ilmu-ilmu sosial,
pembelajaran ini menekankan penalaran induktif, dan proses-proses inkuiri yang
merupakan ciri metode ilmiah. Richard Suchman (1962) mengembangkan suatu
pendekatan yang disebut latihan inkuiri. Ketika menggunakan pendekatan
suchman, guru menyajikan siswa situasi teka-teki atau kejadian-kejadian yang tak
terduga yang dimaksudkan untuk memancing rasa ingin tahu dan memotivasi
penyelidikan.
Pembelajaran berdasarkan masalah juga bergantung pada konsep lain dari
bruner, yaitu scaffolding. Bruner memberikan scaffolding sebagai suatu proses di
mana seorang siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasistas
perkembangannya melalui bantuan (scaffolding) dari seorang guru atau orang lain
yang memiliki kemampuan lebih. Konsep scaffolding mirip dengan konsep zona
perkembangan terdekat vygotsky.
Kaitan intelektual antara pembelajaran penemuan dan pembelajaran
berdasarkan masalah sangat jelas. Pada kedua model ini, guru menekankan
keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan daripda deduktif
dan siswa menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Tidak
seperti pada pembelajaran langsung, dimana siswa diberikan ide-ide atau teori
tentang dunia, pada pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah atau penemuan,
guru mengajukan pertanyaan kepada siswa dan memperbolehkan siswa untuk
menemukan ide dan teori mereka sendiri. Pendekatan ini telah dibuktikan efektif
oleh sejumlah penelitian.
Sementara itu, belajar penemuan dan PBI berbeda dalam beberapa hal
penting. Pelajaran-pelajaran pembelajaran penemuan, untuk bagian terbesar,
didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berdasarkan disiplin, dan penyelidikan
siswa berlangsung di bawah bimbingan guru terbatas dalam lingkup kelas. Di lain
pihak, pembelajaran berdasarkan masalah, dimulai dengan masalah kehidupan
nyata yang bermakna di mana siswa mempunyai kesempatan dalam memilih dan
melakukan penyelidikan apapun baik dalam dan di luar sekolah sejauh itu
diperlukan untuk memecahkan masalah. Selain itu, karena masalah itu merupakan
masalah kehidupan nyata, pemecahannya memerlukan penyelidikan antar disiplin.
3. Komponen Pendukung Model Problem Based Learning (PBL)
Menurut Joyce dan weil (dalam Anwar , 2013: 168) ada 4 (empat) konsep
penting sebagai gambaran dari suatu model pembelajaran, yaitu sintaks, sistem sosial,
prinsip-prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak penerapan.
a. Sistem Sosial
Sistem sosial pada suatu model pembelajaran adalah interaksi yang terjadi
antara para pelaku pembelajaran. Menurut Agus Martawijaya, bahwa interaksi yang
dimaksud adalah interaksi antara pendidik dengan peserta didik dan peserta didik
dengan peserta didik yang lainnya (M.Agus,dkk, 2014). Sedangkan menurut Joyce
dan weil (dalam Anwar , 2013: 168), sistem sosial yakni menggambarkan
peranan dan hubungan guru dan siswa, serta aturan-aturan yang diperlukan
dalam interaksi socio cultural. Sistem sosial yang mendukung model ini adalah
kedekatan guru dengan siswa dalam proses teacher-asisted instruction, minimnya
peran guru sebagai transmitter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, dan
latihan penyelidikan masalah yang kompleks.
Dalam membangun sistem sosial pembelajaran Problem Based Learning
(PBL), Satu ide kunci yang berkembang dari ide Vygotsky tentang aspek sosial
belajar adalah konsepnya tentang zone of proximal development. Menurut
Vygotsky, siswa mempunyai dua tingkat perkembangan : tingkat perkembangan
aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual
didefenisikan sebagai pemfungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan
untuk belajar sesuatu yang khusus atas kemampuannya sendiri. Individu-individu
juga mempunyai tingkat perkembangan potensial, dimana Vygotsky
mendefenisikan sebagai tingkat seorang individu dapat memfungsikan atau
mencapai tingkat itu dengan bantuan orang lain, seperti guru, orang tua, atau teman
sejawat yang kemampuannya lebih tinggi. Zona antara tingkat perkembangan
aktual dan tingkat perkembangan potensial disebut sebagai zona perkembangan
terdekat. Zona perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas
tingkat perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky lebih jauh yakin bahwa fungsi
mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.
Pentingnya ide-ide Vygotsky dalam pendidikan adalah jelas. Pembelajaran
terjadi melalui interaksi sosial dengan guru dan teman sejawat. Melalui tantangan
dan bantuan dari guru atau teman sejawat yang lebih mampu siswa bergerak ke
dalam zona perkembangan terdekat mereka dimana pembelajaran baru terjadi.
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem sosial yang
dibutuhkan dalam pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah (1)
Mandiri, artinya peserta didik dapat memfungsikan intelektualnya dan kemampuan
untuk belajar sesuatu yang khusus atas kemampuannya sendiri. (2) Kerjasama
dalam kelompok, artinya peserta didik saling membantu dalam merumuskan
masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, mengujian hipotesis, dan
menentukan solusi pemecahan masalah. Akan tetapi, peserta didik perlu
memberikan persaksian terhadap hasil yang diperoleh anggota kelompoknya, untuk
menghindari sikap saling menyalahkan jika terjadi kesalahan dan akan mambangun
kekompakan berkelompok serta saling menghargai antar pendapat peserta didik
dalam kelompok. (3) Bertanggung jawab dalam kelompok, artinya setiap peserta
didik mempertahankan data hasil penyelidikan yang diperoleh, serta
mempertahankan solusi pemecahan masalah dalam kelompok. Dengan bertanggung
jawab dalam kelompok akan membangun sifat saling percaya antar peserta didik
dalam kelomopok.
b. Prinsip Reaksi
Pinsip reaksi menceritakan bagaimana pendidik menyikapi peserta didik
dan bagaimana peserta didik merespon tugas yang diberikan pendidik. Dalam
menerapkan sebuah modl pembelajaran tertentu seorang pendidik harus mampu
untuk memberikan respon atau tanggapan pada setiap tindakan peserta didik sesuai
dengan prinsp reaksi tersebut (M.Agus, dkk, 2014). Sedangkan menurut Joyce dan
weil (dalam Anwar , 2013: 168), tentang prinsip-prinsip reaksi (principal of
reaction), memberikan gambaran kepada guru tentang cara menghargai dan
merespon pertanyaan-pertanyaan siswa.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sani (2014: 127) bahwa Problem
Based Learning (PBL) merupakan pembelajaran yang penyampaiaanya dilakukan
dengan cara menyajikan suatu permasalahan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
memfasilitasi penyelidikan, dan membuka dialog. Hal ini berarti dalam
pembelajaran siswa dituntut untuk aktif melakukan penyelidikan dalam
menyelesaikan masalah dan guru berperan penting sebagai fasilitator atau
pembimbing. Prinsip reaksi juga berkaitan dengan teknik yang diterapkan pendidik
dalam memberi reaksi terhadap perilaku-perilaku peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran, seperti bertanya, menjawab, menanggapi, mengkritik, melamun,
mengganggu teman, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip reaksi
menggambarkan perilaku pendidik terhadap peserta didik ketika berlangsungnya
proses pembelajaran. Prinsip reaksi yang terjadi proses pembelajaran Problem
Based Learning (PBL) adalah guru bertindak sebagai fasilitator dalam setiap
langkah pembelajaran model PBL; dimana pendidik menyajikan suatu masalah
dalam pembelajaran baik dalam bentuk cerita, gambar, maupun demonstrasi,
pendidik membantu peserta didik untuk mengorganisasikan suatu masalah,
pendidik membimbing peserta didik untuk melakukan penyelidikan dalam bentuk
eksperimen, pedidik membantu peserta didik merencanakan dan menyiapkan
solusi pemecahan masalah dalam LKPD, pendidik membantu siswa melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses pembelajaran.
Selain itu, pendidik sebagai fasilitator dalam pembelajaran Problem Based
Learning (PBL) harus mengarahkan semua peserta didik dalam pembelajaran aktif
dan tidak ada satu pun dari peserta didik yang melakukan aktivitas yang lain seperti
melamun, mengaggu teman, dan tertidur pada saat proses bebelajaran. Untuk itu,
pendidik sebagai fasilitator yang baik harus mampu mengajar dengan suara tegas
untuk menarik perhatian peserta didik, pendidik harus mampu merangsang rasa
ingin tahu siswa dengan permasalahan yang disajikan, pendidik harus mampu
mengarahkan perserta didik untuk bertanya, pendidik harus mampu menyediakan
alat dan bahan untuk memecahkan masalah, pendidik harus mampu membentuk
kelompok yang heterogen dengan tujuan menghindari kecemburuan peserta didik
dalam berkelompok. Dengan menerapkan teknik tersebut maka peserta didik tidak
memungkinkan untuk melakukan hal-hal yang kurang mendukun dalam
pembelajaran.
c. Sistem Pendukung
Sistem pendukung adalah komponen-komponen yang menjadi pendukung
dalam penerapan sebuah model pembelajaran. Sistem pendukung merupakan
sebuah sistem yang menyediakan kemampuan untuk penyelesaian masalah dan
menjamin terjadinya interaksi peserta didik dengan pendidik untuk menyelesaikan
permasalahan pembelajaran (Andayani, 2015:138). Hal-hal yang dimaksud
misalnya berupa sarana, bahan/perangkat pembelajaran, dan alat/media
pembelajaran pelaksanaan model Problem Based Learning (PBL).
Pada dasarnya sistem pendukung model pembelajaran Problem Based
Learning (PBL) tidak jauh berbeda dengan sistem pendukung model pembelajaran
lainnya. Adapun sistem pendukung yang diperlukan/ dibutuhkan dalam
pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah sebagai berikut:
1. Silabus dan RPP
Silabus disusun dengan format dan penyajian/penulisan yang sederhana
sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan oleh guru. Penyusunan silabus ini
dilakukan dengan prinsip keselarasan antara ide, desain, dan pelaksanaan
kurikulum; mudah diajarkan oleh guru (teachable); mudah dipelajari oleh
peserta didik (learnable); terukur pencapainnya (measurable); bermakna
(meaningfull); dan bermanfaat untuk dipelajari (worth to learn) sebagai bekal
untuk kehidupan dan kelanjutan pendidikan peserta didik. komponen silabus
mencakup kompetensi dasar, materi pembelajaran, dan kegiatan pembelajaran .
Rencana pelaksanaa pembelajaran (RPP) adalah rancangan
pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan oleh pendidik dalam
pembelajaran di kelas (Muslich, 2008: 45). Melalui RPP yang baik, pendidik
akan lebih mudah melaksanakan pembelajaran dan peserta didik akan lebih
terarah dalam belajar. Komponen-komponen RPP yang rancang terdiri dari
identitas mata pelajaran, kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator
pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu,
model pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan
sumber belajar.
Identitas mata pelajaran, meliputi: satuan pendidikan, kelas, semester,
program, mata pelajaran atau tema pelajaran, dan jumlah pertemuan.
Kompetensi inti (KI), meliputi: KI-1 (sikap spiritual), KI- 2 (sikap sosial), KI-
3 (pengetahuan), dan KI- 4 (keterampilan). Kompetensi dasar, indikator
pencapaian kompetensi, alokasi waktu, penilaian hasil belajar, dan sumber
belajar sama seperti yang tercantum pada silabus. Tujuan pembelajaran
dirumuskan berdasarkan indikator pencapaian kompetensi untuk kompetensi
kognitif, afektif, dan psikomotor. Materi ajar terdiri atas fakta, konsep, prinsip,
dan prosedur. Model pembelajaran yang digunakan adalah model Problem
Based Learning (PBL). Selanjutnya, untuk kegiatan pembelajaran disesuaikan
dengan sintaks Problem Based Learning (PBL). Penilaian hasil belajar
dilakukan melaui tes dalam bentuk tes kognitif produk (uraian), tes
keterampilan (lembar pengamatan), tes sikap sosial (lembar pengamatan), tes
sikap spiritual (lembar penilaian diri). Dan untuk sumber belajar diperoleh
berdasarak rujukan buku yang digunakan dalam pembelajaran.
2. Buku Pendidik
Buku Pendidik adalah panduan bagi guru dalam melaksanakan
pembelajaran di kelas yang memiliki fungsi sebagai petunjuk penggunaan buku
siswa, sebagai acuan kegiatan pembelajaran model Problem Based Learning
(PBL) di kelas. Didalam buku pendidik terdapat semua solusi pemeacahan
masalah, dan jawaban tugas-tugas pengamatan yang dilakuakan secara mandiri.
Dengan demikian, pendidik memiliki acuan pengelolaan pembelajaran fisika
dan susunan fase-fase model Problem Based Learning (PBL) dapat terlaksana
dengan baik.
3. Buku Peserta didik
Buku peserta didik digunakan sebagai panduan aktivitas pembelajaran
untuk memudahkan peserta didik dalam menguasai kompetensi tertentu. Buku
ini juga digunakan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam proses
pembelajaran di mana isinya dirancang dan dilengkapi dengan contoh-contoh
lembar kegiatan agar siswa dapat mempelajari sesuatu yang relevan dengan
kehidupan yang dialaminya. Buku peserta didik diarahkan agar siswa lebih aktif
dalam mengikuti proses pembelajaran melalui kegiatan mengamati, menanya,
mencoba, menalar, berdiskusi serta melakukan kegiatan penyelidikan
Pada bagian akhir buku peserta didik terdapat sejumlah
pertanyaan/soal/masalah yang diharapkan dapat dijawab oleh peserta didik
secara mandiri, dan diberiakan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan sehubungan dengan materi yang sedang dipelajari.
4. Lembar Kerja Peserta Didik
Lembar kegiatan siswa adalah pedoman yang digunakan siswa untuk
melakukan kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah.Lembar kegiatan
siswa dapat berupa panduan untuk latihan pengembangan aspek kognitif
maupun panduan untuk pengembangan semua aspek pembelajaran dalam
bentuk panduan eksperimen atau demonstrasi (Trianto, 2009:222).
Komponen-komponen lembar kerja peserta didik dalam pembelajaran
model Problem Based Learning (PBL), meliputi: judul eksperimen atau
demonstrasi, tujuan peyelidikan, informasi singkat tentang materi,
menganalisis masalah, merumuskan hipotesis, alat dan bahan, prosedur
pengamatan, hasil pengamatan, analisis data serta pertanyaan dan
kesimpulan untuk bahan diskusi penyelesaian masalah. Dengan demikian
perilaku berkarakter peserta didik akan tercermin mengumpulkan data, mencari
solusi pemecahan masalah, dan pada saat mengajukan pertanyaan.
5. Alat dan Bahan
Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) akan terlakasana
dengan baik, jika setiap kelompok peserta didik disediakan alat dan bahan yang
digunakan dalam melaksanakan penyelidikan dengan tujuan peserta didik
merasa nyama dalam mencari solusi pemecahan masalah melalui penyelidikan
individu maupun kelompok. Selain itu, perlu juga disediakan alat dan bahan
yang digunakan oleh pendidik dalam melakukan demonstrasi berkaitan denga
fenomena dalam kehidupan sehari-hari untuk membangkitkan motivasi peserta
didik.
d. Dampak Penerapan
Dampak penerapan pembelajaran model Problem Based Learning (PBL) terdiri
dari dampak dampak instruksional dan dampak pengiring.
1. Dampak instruksional
Dampak instruksional (Instructional Objektive) sering dimaknai sama
dengan tujuan pembelajaran, yaitu perilaku hasil belajar yang diharapkan
terjadi, dimiliki, dan dikuasai oleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan
pembelajaran tertentu. Sementara itu, pengertian lain menyebutkan, tujuan
pembelajaran adalah pernyataan mengenai keterampilan atau konsep yang
diharapkan dapat dikuasai oleh peserta didik pada akhir periode
pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan arah yang akan dituju dari
rangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran fisika dengan
model Problem Based Learning (PBL).
Adapun dampak intruksional yang dimiliki model Problem Based
Learning (PBL) berdasarkan tujuan pembelajaran, yaitu (1) tujuan dalam ranah
kognitif, yaitu mengacu pada pengetahuan yang diperoleh peserta didik selama
proses pembelajaran. Tujuan kognitif ini digunakan untuk mengukur
kemampuan intelektual siswa dalam bentuk tes tertulis soal essay yang harus
dikerjakan peserta didik pada setiap pertemuan. (2) tujuan dalan ranah afektif,
yaitu mengacu pada perilaku berkarakter peserta didik untuk mengamati nilai-
nilai pendidikan karakter yang ditunjukkan peserta didik selama proses
pembelajaran. Nilai-nilai pendidikan karakter yang diamati meliputi: religius,
kerja keras, jujur, rasa ingin tahu, disiplin, perpikir kritis, dan kerja sama.
Tujuan ini diukur dengan menngunakan lembar observasi oleh pendidik setiap
pertemuan. (3) tujuan dalam ranah psikomotorik, yaitu mengacu pada kegiatan
motorik yang berhubungan dengan tindakan dalam melakukan penyelidikan.
Tujuan ini diukur berdasarkan kinerja siswa dalam melaksanakan eksperimen
yang mencakup tahap persiapan, pelaksanaan, dan kegiatan akhir eksperimen
2. Dampak pengiring
Dampak pengiring merupakan dampak yang tidak langsung diukur oleh
pendidik dalam pembelajaran. Adapun dampak pengiring pembelajaran fisika
yang dimiliki model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) setelah
mengikuti pembelajaran ini, yaitu: (1) peserta didik diharapkan dapat
bertanggung jawab dengan data yang diperoleh, (2) jujur dalam melakukan
penyelidikan, (3) percaya diri mengungkapakan pendapatnya didepan umum,
(4) belajar untuk bisa bertoleransi menghargai pendapat orang lain , (5)
meningkatkan kerja sama antara guru dengan siswa serta siswa dengan
siswa lainnya, (6) mampu berpikir kritis dalam pembelajaran, dan (7)
mencerminkan sikap disiplin dalam menyelesaikan pemecahan masalah.
e. Sintak
Arends (2004) mengemukakkan ada lima fase yang perlu dilakukan untuk
mengimplementasikan PBL. Fase-fase tersebut merujuk pada tahapan-tahapan praktis
yang dilakukan dalan kegiatan pembelajaran dengan PBL sebagaimana disajikan dalam
tabel dibawah:
Tahapan Aktivitas Pendidik Aktivitas Peserta didik
Pendidik menjelaskan tujuan Memperhatikan pendidik
pembelajaran, mengajukan dengan saksama,
Fase 1 fenomena atau demonstrasi atau merumuskan masalah,
Orientasi peserta cerita untuk memunculkan menyiapkan sarana dan
didik masalah, memotivasi peserta prasarana yang dibutuhkan,
kepada masalah didik untuk terlibat dalam dan menetukan aktivitas
pemecahan masalah yang PBL
dipilih.
Pendidik membantu peserta Berkumpul dalam
Fase 2 didik untuk mendefinisikan dan kelompok yang telah
Mengorganisasi mengorganisasi tugas belajar ditentukan, mendefinisikan,
peserta yang berhubungan dengan menyebutkan dan
didik untuk belajar masalah tersebut. mengorganisasikan
(merencanakan) tugas-
tugas belajar yang
berhubungan dengan
masalah tersebut.
Pendidik mendorong peserta Merumuskan hipotesis,
didik untuk mengumpulkan melakukan eksperimen,
Fase 3
informasi yang sesuai, mengumpulkan data,
Membimbing
melaksanakan eksperimen diskusi kelompok,
penyelidikan
sesuai dengan LKPD untuk melakukan penyelidikan,
individual
mendapatkan penjelasan dan melakukan analisis data,
maupun kelompok
pemecahan masalah. memecahkan masalah dan
membuat kesimpulan

Menyusun laporan,
Guru membantu peserta didik
Fase 4 menyiapkan penyajian hasil
dalam merencanakan dan
Mengembangkan laporan, membagi tugas
menyiapkan sebuah laporan,
dan dengan anggota kelompok,
dan membantu peserta didik
menyajikan hasil membuat kesimpulan,
untuk berbagi tugas dengan
karya menyajikan hasil laporan
temannya.
untuk dipresentasikan
Pendidik membantu siswa Merefleksi dan
Fase 5
untuk melakukan refleksi dan mengevaluasi penyelidikan
Menganalisis dan
evaluasi terhadap penyelidikan laporan
mengevaluasi proses
mereka dan proses-proses yang
pemecahan masalah
digunakan

Anda mungkin juga menyukai