Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : A. Miriani Azis
RM : 701070
Sex : Perempuan
TTL : 14-3-2012 (2 tahun)
Tgl masuk : 5-03-2015

II. RIWAYAT PENYAKIT


Keluhan Utama : Celah pada langit-langit
Anamnesis Terpimpin : Dialami sejak lahir, tapi diketahui oleh orang
tuanya pada umur 6 bulan saat pasien sedang menangis. Riwayat infeksi
tidak ada. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga tidak ada. Riwayat
persalinan normal dan ditolong oleh bidan.
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata
Keadaan umum baik, sakit sedang, gizi baik, compos mentis
2. Status Vitalis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 96 x / menit
Pernafasan : 24 x / menit
Suhu : 36.5 C
3. Status Lokalis
Pallatum molle:
Inspeksi : tampak celah dengan ukuran 3cm x 1cm, edema dan
hematoma tidak ada.
Palpasi : nyeri tekan (-), massa tumor (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM 12/2/2015
WBC 6.2 GDS 83
RBC 4.62 GOT 38
HGB 11.5 GPT 13
HCT 35 ALBUMIN 4.1
CT 800 NATRIUM 145
BT 300 KALIUM 3.9

PT 11.0 KLORIDA 109


APTT 30.5

Foto Thorax
Tidak tampak kelainan pada foto thoraks ini
V. DIAGNOSA
Palatoschisis INKOMPLIT
VI. PENATALAKSANAAN
Palatoplasty
TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Celah bibir dan palatum (cleft lip and palate/ CLP) atau suatu kelainan
bawaan yang terjadi pada bibir bagian atas serta langit-langit lunak dan langit-langit
keras mulut. Kelainan ini adalah suatu ketidaksempurnaan pada penyambungan bibir
bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat dibawah hidung. Gangguan ini dapat
terjadi bersama celah bibir dan langit-langit. Kelainan ini adalah jenis cacat bawaan
yang disebabkan oleh gangguan pembentukan organ tubuh wajah selama kehamilan.1
Insidensi celah bibir dengan atau tanpa celah langit-langit bervariasi
tergantung dari etnis, dimana insiden pada orang Asia lebih besar daripada pada orang
kulit putih dan kulit hitam. Secara umum angka kejadian celah bibir dengan atau
tanpa celah langit-langit 1:750-1000 kelahiran, insidensi pada ras Asia 1:500
kelahiran, ras Caucasian 1:750 kelahiran, ras African American 1:2000 kelahiran.
Variasi celah bibir lebih sering terjadi pada anak laki-laki, sementara celah langit-
langit lebih sering pada anak perempuan.Insidensi bibir sumbing di Indonesia belum
diketahui. 1
Kelainan ini sebaiknya secepat mungkin diperbaiki karena akan mengganggu
pada waktu menyusui dan akan mempengaruhi pertumbuhan normal rahang serta
perkembangan bicara. Penatalaksanaan CLP adalah operasi. Bibir sumbing dapat
ditutup pada semua usia, namun waktu yang paling baik adalah bila bayi berumur 10
minggu, berat badan mencapai 10 pon, Hb > 10g%. Dengan demikian umur yang
paling baik untuk operasi sekitar 3 bulan.1
Tujuan operasi celah bibir adalah untuk menutup celah pada bibir sehingga
didapatkan bibir yang mendekati normal baik dalam fungsi maupun bentuk untuk
memperbaiki penampilan.2
Definisi

Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah


dimana atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal
selama masa kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak
menyatu sampai ke daerah cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga
hidung dan mulut. Oleh karena itu, pada palatosc hisis, anak biasanya pada waktu
minum sering tersedak dan suaranya sengau.1 Cleft palate dapat terjadi pada bagian
apa saja dari palatum, termasuk bagian depan dari langitan mulut yaitu hard palate
atau bagian belakang dari langitan mulut yang lunak yaitu soft palate. Cleft palate
mempunyai banyak sekali implikasi fungsional dan estetika bagi pasien dalam
interaksi sosial mereka terutama kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara
efektif dan penampilan wajah mereka. Koreksi sebaiknya sebelum anak mulai bicara
untuk mencegah terganggunya perkembangan bicara. Penyuluhan bagi ibu si anak
sangat penting, terutama tentang cara memberikan minum agar gizi anak memadai
saat anak akan menjalani bedah rekonstruksi. Kelainan bawaan ini sebaiknya
ditangani oleh tim ahli yang antara lain terdiri atas ahli bedah, dokter spesialis anak,
ahli ortodonsi yang akan mengikuti perkembangan rahang dengan giginya, dan ahli
logopedi yang mengawasi dan membimbing kemampuan bicara.3

Embriologi

Palatum dibentuk dari dua struktur embriogenik yang terpisah yaitu palatum
primer (struktur anterior dari foramen insisiv, bibir, dan alveolus) dan palatum
sekunder (struktur posterior dari foramen insisiv, palatum molle, dan palatum durum).
Perkembangan palatum dimulai pada minggu ke 5 dan sempurna pada minggu ke 12,
dalam periode fetal.
Pada minggu ke 5-6 terbentuk intermaksillary yaitu hasil dari penyatuan 2
prosessus nasal media dalam embrio. Segmen intermaksillary ini akan membentuk
palatum primer, suatu massa triangular. Pada minggu 6-12 pada perkembangan
prenatal, processus maksillaris bilateral, memunculkan 2 palatal shelves yang akan
membentuk palatum sekunder.
Pada minggu 12, untuk komplit palatum, palatum sekunder bertemu dengan
bagian posterior palatum primer dan menyatu bersama-sama. Ketiga prosessus ini
menyatu secara sempurna, membentuk palatum akhir, bagian lunak dan keras, selama
minggu ke 12 perkembangan prenatal.

Anatomi

Palatum terdiri atas palatum durum dan palatum molle (velum) yang bersama-
sama membentuk atap rongga mulut dan lantai rongga hidung.Processus palatine os
maxilla dan lamina horizontal dari os palatine membentuk palatum durum. Palatum
molle merupakan suatu jaringan fibromuskuler yang dibentuk oleh beberapa otot yang
melekat pada bagian posterior palatum durum.4 Terdapat enam otot yang melekat
pada palatum durum yaitu m. levator veli palatine, m. constrictor pharyngeus
superior, m.uvula, m.palatopharyngeus, m.palatoglosus dan m.tensor veli palatini.
Ketiga otot yang mempunyai konstribusi terbesar terhadap fungsi velopharyngeal
adalah m.uvula, m.levator veli palatine, dan m.constriktor pharyngeus superior.
M.uvula berperan dalam mengangkat bagian terbesar velum selama konstraksi otot
ini. M.levator veli palatine mendorong velum kearah superior dan posterior untuk
melekatkan velum kedinding faring posterior. Pergerakan dinding faring ke medial,
dilakukan oleh m.constriktor pharyngeus superior yang membentuk velum kearah
dinding posterior faring untuk membentuk sfingter yang kuat. M.palatopharyngeus
berfungsi menggerakkan palatum kearah bawah dan kearah medial. M.palatoglossus
terutama sebagai depressor palatum, yang berperan dalam pembentukan venom nasal
dengan membiarkan aliran udara yang terkontrol melalui rongga hidung. Otot yang
terakhir adalah m.tensor veli palatine. Otot ini tidak berperan dalam pergerakan
palatum. Fungsi utama otot ini menyerupai fungsi m.tensor timpani yaitu menjamin
ventilasi dan drainase dari tuba auditiva.3,4
Suplai darahnya terutama berasal dari a.palatina mayor yang masuk melalui
foramen palatine mayor. Sedangkan a.palatina minor dan m.palatina minor lewat
melalui foramen palatine minor. Innervasi palatum berasal dari n.trigeminus cabang
maxilla yang membentuk pleksus yang menginervasi otot-otot palatum. Selain itu,
palatum juga mendapat innervasi dari nervus cranial VII dan IX yang berjalan
disebelah posterior dari pleksus.4
Etiologi
1. Faktor genetik
Faktor herediter mempunyai dasar genetik untuk terjadinya celah palatum
telah diketahui tetapi belum dapat dipastikan sepenuhnya.Sekitar 25% pasien yang
menderita palatoschisis memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang
sama. Mutasi dari gen IRF 6 pada kromosom 1q32 kemungkinan berkontribusi
sampai 12% pada etiologi genetik dari celah bibir dan palatum.4,5,6
2. Faktor lingkungan
Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin, retinoid
(golongan vitamin A), dan steroid beresiko menimbulkan palatoschisis pada bayi.
Infeksi selama kehamilan semester pertama seperti infeksi rubella dan
cytomegalovirus, dihubungkan dengan terbentuknya celah. Alkohol, keadaan yang
menyebabkan hipoksia, merokok, dan defisiensi makanan (seperti defisiensi asam
folat) dapat menyebabkan palatoschisis.2

Epidemiologi
Perbedaan ras, geografis dan etnik mempengaruhi prevalensi celah bibir dan
langitan. Diseluruh dunia, celah orofasial terjadi pada 1 tiap 700 kelahiran dan
prevalensi celah bibir dengan atau tanpa celah langitan jauh lebih banyak daripada
celah langitan terisolasi.7
Prevalensi celah bibir dan langit-langit paling tinggi pada ras kulit putih dan
paling sedikit pada ras kulit hitam. Secara umum angka kejadian celah bibir dengan
atau tanpa celah langit-langit 1:750-1000 kelahiran, insidensi pada ras Asia 1:500
kelahiran, ras Caucasian 1: 750 kelahiran, ras African American 1:2000 kelahiran.
Variasi celah bibir lebih sering terjadi pada anak laki-laki, sementara celah langit-
langit lebih sering pada anak perempuan.Insidensi bibir sumbing di Indonesia belum
diketahui. Dengan demikian membutuhkan kerja keras dari berbagai pihak untuk
dapat mengetahui secara pasti prevalensi celah bibir dan langitan secara akurat
mengingat perbedaan ras, geografis dan etnik yang sangat luas sehingga pengumpulan
data disuluruh dunia amat sukar dilakukan.1
Klasifikasi
Palatoschisis dapat berbentuk sebagai palatoschisis tanpa labioschisis atau
disertai dengan labioschisis. Palatoschisis sendiri dapat diklasifikasikan lebih jauh
sebagai celah hanya pada palatum molle, atau hanya berupa celah pada submukosa.
Celah pada keseluruhan palatum terbagi atas dua yaitu komplit (total), yang
mencakup palatum durum dan palatum molle, dimulai dari foramen insisivum ke
posterior, dan inkomplit (subtotal). Palatoschisis juga dapat bersifat unilateral atau
bilateral.6

Klasifikasi Veau
Veau memperkenalkan metode klasifikasi celah wajah menjadi empat katagori
yaitu : 1,8
1. Celah hanya pada jaringan palatum lunak
2. Celah pada jaringan palatum lunak dan keras
3. Celah bibir dan palatum unilateral
4. Celah bibir dan palatum bilateral
Klasifikasi ini sangat sederhana dan tetap digunakan
sampai saat ini. Namun demikian Veau tidak
memasukkan celah bibir atau celah langitan terisolasi
dalam klasifikasi ini. 1,8
Klasifikasi Kernahan
Klasifikasi Kernahan berdasarkan pada embriologi yang pakai foramen
insisivum sebagai batas yang memisahkan celah pada palatum primer dari palatum
sekunder. Palatum primer terdiri dari bibir atas, tulang alveolar dan palatum yang
terletak dianterior foramen insisivum. Celah komplit pada palatum primer akan
melibatkan semua struktur ini, palatum sekunder terdiri dari palatum keras dan
palatum lunak dibelakang foramen insisivum.1,8
Klasifikasi ini menggunakan metode strip Y. klasifikasi ini dikembangkan
untuk mengatasi kekurangan klasifikasi verbal dan numeric dan memungkinkan
identifikasi kondisi pasien preoperatif secara tepat.1,8

Keterangan
a) Area 1 dan 4 menunjukkan sisi kanan dan kiri bibir
b) Area 2 dan 5 menunjukkan tulang alveolar
c) Area 3 dan 6 menunjukkan daerah palatum di anterior foramen insisivum
d) Area 7 dan 8 menunjukkan palatum keras
e) Area 9 menunjukkan palatum lunak

Manifestasi klinis
1. Asupan ASI
Masalah asupan ASI merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi
penderita celah bibir. Adanya celah bibir memberikan kesulitan pada bayi untuk
melakukan hisapan payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan
labioschisis mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan
tambahan yang ditemukan adalah refleks hisap dan refleks menelan pada bayi dengan
celah bibir tidak sebaik normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada
saat menyusui. Cara memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat
membantu proses menyusui bayi dan menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala
dapat membantu. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil
pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labiopalatochisis
biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus.1,2,3,5
2. Asupan makanan
Pada pasien celah bibir dan langitan terjadi hubungan antara rongga mulut dan
hidung yang berakibat sukarnya penderita dalam menelan makanan atau minuman
dimana penderita bisa tersedak bila tidak menggunakan alat bantu obturator / feeding
plate. Akibatnya pasien biasanya memiliki berat badan kurang dari normal. 1
3. Pendengaran
Pada pasien dengan celah yang melibatkan bagian posterior palatum durum
dan palatum molle, otot tensor palatinii dari palatum molle berhubungan dengan tuba
eustachius. Lemahnya aktivitas otot ini menyebabkan kurangnya drainase telinga
tengah yang kemudian berakibat pada infeksi telinga tengah dan kadang
menyebabkan rusaknya gendang telinga.1,2,3,5
4. Fungsi Bicara
Hal ini diakibatkan velopharingeal incompetence. Bagian posterior palatum
molle tidak mampu berkontak secara adekuat dengan posterior faring untuk menutup
oro naso fasing sehingga suara yang dikeluarkan sengau. Gangguan fungsi bicara
diperberat oleh gangguan pendengaran yang juga dialami penderita celah bibir dan
langitan. 2,5,8
5. Kelainan dental
Pada pasien cleah bibir dan langitan terdapat beberapa kelainan dental yang
mengikutinya, antara lain : 1
a. Anodontia partial. .
b. Gigi supernumerary
c. Gigi kaninus impaksi
6. Masalah Psikologis
Pasien dengan celah bibir dan langitan memiliki rasa percaya diri rendah dan
cenderung menutup diri dari pergaulan. Mereka menghindari berbicara dengan orang
lain karena merasa malu suara yang diucapkan sengau dan tidak jelas. Meskipun
demikian tidak ada korelasi langsung antara celah bibir dan langitan dengan tingkat
IQ dan kesuksesan dalam kehidupan.2,5

Diagnosa
Diagnosa prenatal
Deteksi prenatal dapat dilakukan dengan beragam teknik. Fetoskopi telah
digunakan untuk memberikan gambaran wajah fetus. Akan tetapi teknik ini bersifat
invasif dan dapat menimbulkan resiko menginduksi aborsi. Namun demikian, teknik
ini mungkin tepat digunakan untuk konfirmasi pada beberapa cacat/kelainan pada
kehamilan yang kemungkinan besar akan diakhiri. Teknik lain seperti ultrasonografi
intrauterine, magnetic resonance imaging, deteksi kelainan enzim pada cairan amnion
dan transvaginal ultrasonografi keseluruhannya dapat mendeteksi dengan sukses celah
bibir dan celah langit-langit secara antenatal. Tetapi, pemeriksaan-pemeriksaan
tersebut dibatasi pada biaya, invasifitas dan persetujuan pasien. Ultrasound
transabdominal merupakan alat yang paling sering digunakan pada deteksi antenatal
celah bibir dan celah langit-langit, yang memberikan keamanan dalam prosedur,
ketersediaannya, dan digunakan secara luas pada skrining anatomi antenatal.8

Diagnosa postnatal
Biasanya, celah (cleft) pada bibir dan palatum segera didiagnosa pada saat
kelahiran. Celah dapat terlihat seperti sudut kecil pada bibir atau dapat memanjang
dari bibir hingga ke gusi atas dan palatum. Namun tidak jarang, celah hanya terdapat
pada otot palatum molle, yang terletak pada bagian belakang mulut dan tertutupi oleh
lapisan mulut (mouth'slining) karena letaknya yang tersembunyi, tipe celah ini tidak
dapat didiagnosa hingga beberapa waktu.8

Penatalaksanaan
Terapi Non-Bedah
Penanganan kelainan celah bibir dan celah langitan memerlukan penanganan
yang multidisiplin karena merupakan masalah yang kompleks, variatif dan
memerlukan waktu yang lama serta membutuhkan beberapa ilmu dan tenaga ahli,
diantaranya dokter anak, dokter bedah plastik, dokter bedah mulut, pediatric dentists,
orthodontist, prosthodontist, ahli THT (otolaryngologist), speech pathologist,
geneticist dan psikiater atau psikolog untuk menangani masalah psikologis pasien.1
Anak yang memiliki celah bibir dan atau celah langit-langit memiliki masalah
dalam proses makan karena itu dibutuhkan metode agar anak tetap mendapat asupan
gizi. Pemberian makan pada anak dengan celah langit-langit lebih sulit dibanding
anak dengan celah bibir karena pada celah langit-langit, anak cenderung mengalami
kesulitan menghisap atau menelan. Untuk mengatasinya, dapat digunakan dot khusus
dengan nipple yang kecil agar aliran air susu bisa kontinu dan terkontrol. Berbeda
dengan penderita celah bibir saja yang masih bisa diberi susu dengan botol atau dot
biasa.1
Beberapa praktisi merekomendasikan penggunaan obturator (plastic plate)
untuk menutup celah selama anak sedang makan. Plate ini membutuhkan modifikasi
agar selalu pas atau fit sejalan dengan perkembangan pertumbuhan langitan anak.
Namun pada beberapa kasus celah langitan, bayi bisa diberi asupan makan tanpa
menggunakan obturator yaitu bila orangtua bisa mengikuti instruksi pemberian makan
yang benar. Posisi pemberian air susu kepada anak diperhatikan, posisi untuk anak
yang menderita celah bibir dengan langit-langit atau celah langit-langit saja
diusahakan lebih tegak (upright position) agar tidak mudah tersedak. Orangtua dapat
menggendong bayinya pada 35-45 terhadap lantai. Dengan memberikan informasi
dan pelatihan, bayi bisa diberi makan dengan menggunakan preemie nipple yaitu
nipple yang sifatnya lebih lembut dan mudah disesuaikan dengan cleft atau dengan
menggunakan nipple khusus seperti Mead-Johnson cross cut nipple dimana aliran
susu dapat disesuaikan. Dapat juga merekomendasikan jenis dot khusus untuk anak
dengan celah yaitu dot yang memiliki nipple yang panjang atau bersayap dimana susu
yang keluar bisa langsung menuju ke faring.1
Perbaikan secara bedah melibatkan beberapa prosedur primer dan sekunder.
Prosedur pembedahan dan waktu pelaksanaannya bervariasi, tergantung dari tingkat
keparahan defeknya dan keputusan dari dokter bedahnya.1
Waktu yang tepat untuk dilakukan operasi perbaikan masih diperdebatkan.
Namun biasanya dokter bedah memilih waktu antara 24 jam sampai 12 bulan setelah
kelahiran, ada juga beberapa dokter bedah yang menunda sampai beberapa bulan
untuk menunggu bayi lebih besar dan lebih kuat. Jika tidak ada kontraindikasi medis,
bisa diikuti rule of ten, yaitu dapat dilakukan operasi bila pasien berusia 10 minggu,
berat badan 10 pon dan hemoglobin setidaknya 10 g/dl. Namun jika terdapat kondisi
medis yang membahayakan kesehatan bayi, operasi ditunda sampai resiko medis
minimal.1
Penutupan bibir awal (primary lip adhesion) dilakukan selama beberapa bulan
pertama lalu dilanjutkan dengan perbaikan langitan. Tujuan dari penutupan bibir awal
ini adalah untuk mendapatkan penampilan yang lebih baik, mengurangi insiden
penyakit saluran pernafasan dan untuk mengizinkan perbaikan definitif tanpa
halangan berupa jaringan scar yang berlebihan. Prostetik dan orthopedic appliances
dapat digunakan untuk mencetak atau memperluas segmen maksila sebelum
penutupan defek langitan.Selanjutnya, autogenus bone graft dapat ditempatkan pada
daerah defek tulang alveolar.1
Prosedur perbaikan sekunder jaringan lunak dan prosedur ortognatik dapat
dilakukan untuk meningkatkan fungsi dan tampilan estetik. Teknik yang digunakan
dalam penutupan celah bibir yang baik, selain berorientasi pada kesimetrisan dan
patokan anatomi bibir juga memperhitungkan koreksi kelainan yang sering dijumpai
bersamaan, misalnya hidung, baik pada saat yang bersamaan dengan labioplasty
maupun pada kesempatan yang telah direncanakan kemudian hal ini untuk
mempersiapkan jaringan dan menghindari parut atau scar yang berlebihan. Prosedur
yang mungkin dilakukan antara lain seperti perbaikan konfigurasi anatomi bibir,
hidung, langitan durum, langitan molle dan alveolus. Penggunaan alat ortodontik juga
dapat dilakukan untuk mendapatkan susunan gigi geligi yang baik didalam lengkung
rahang dan memiliki hubungan fungsional yang baik pula.1

Terapi Bedah
Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus
emergensi, dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan
memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena memberi kesempatan jaringan
pasca operasi sampai matang pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum
penderita mulai bicara dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik.3,8
Tujuan palatoplasty adalah memisahkan rongga mulut dan rongga hidung,
membentuk katup velofaringeal yang kedap air dan kedap udara dan memperoleh
tumbuh kembang maksilofasial yang mendekati normal. Tantangan daripada
palatoplasty dewasa ini bukanlah hanya bagaimana menutup defek celah langit-langit
namun juga bagaimana didapatkan fungsi bicara yang optimal tanpa mengganggu
pertumbuhan maksilofasial3,4
Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang bisa digunakan untuk memperbaiki
celah palatum, yaitu:

1 . Teknik von Langenbeck

Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh von Langenbeck yang merupakan teknik
operasi tertua yang masih digunakan sampai saat ini. Teknik ini menggunakan teknik
flap bipedikel mukoperiosteal pada palatum durum dan palatum molle. Untuk
memperbaiki kelainan yang ada, dasar flap ini disebelah anterior dan posterior
diperluas ke medial untuk menutup celah palatum.3

2. Teknik V-Y push-back

Teknik V-Y push-back mencakup dua flap unipedikel dengan satu atau dua flap
palatum unipedikel dengan dasarnya disebelah anterior. Flap anterior dimajukan dan
diputar ke medial sedangkan flap posterior dipindahkan ke belakang dengan teknik V
to Y akan menambah panjang palatum yang diperbaiki.8
A) penentuan marking insisi. B) mukoperiosteal flap oral dielevasi dengan mempertahankan
neurovascular bundle palatinus mayus pada kedua sisi dilanjutkan retroposisi dan repair m. levator velli
palatine setelah penutupan mukoperiosteal nasal. C) penjahitan mukoperiousteum oral. 8

3. Teknik double opposing Z-plasty

Teknik ini diperkenalkan oleh Furlow untuk memperpanjang palatum molle dan
membuat suatu fungsi dari m.levator.3

4. Teknik Schweckendiek

Teknik ini diperkenalkan oleh Schweckendiek pada tahun 1950, pada teknik ini,
palatum molle ditutup (pada umur 4 bulan) dan di ikuti dengan penutupan palatum
durum ketika si anak mendekati usia 18 bulan.

5. Teknik palatoplasty two-flap

Diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer (1984). Teknik ini mencakup pembuatan dua
flap pedikel dengan dasarnya di posterior yang meluas sampai keseluruh bagian
alveolar. Flap ini kemudian diputar dan dimajukan ke medial untuk memperbaiki
kelainan yang ada.8

A) marking desain flap B) Bipedikel mucoperiosteal flap dielevasi dari lateral relaxing incision ke
margin celah langit-langit dilanjutkan dengan penutupan lapisan mucoperiosteum nasal. flap
mucoperiosteum rongga mulut komplit.

Speech terapi mulai diperlukan setelah operasi palatoplasty yakni pada usia 2-
4 tahun untuk melatih bicara benar dan miminimalkan timbulnya suara sengau karena
setelah operasi suara sengau masih dapat terjadi suara sengau karena anak sudah
terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi
memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila setelah palatoplasty dan speech
terapi masih didapatkan suara sengau maka dilakukan pharyngoplasty untuk
memperkecil suara nasal (nasal escape) biasanya dilakukan pada usia 4-6 tahun. Pada
usia anak 8-9 tahun ahli ortodonti memperbaiki lengkung alveolus sebagai persiapan
tindakan alveolar bone graft dan usia 9-10 tahun spesialis bedah plastic melakukan
operasi bone graft pada celah tulang alveolus seiring pertumbuhan gigi caninus.

Komplikasi
a. Obstruksi jalan nafas
Pascabedah obstruksi jalan napas adalah komplikasi yang paling penting
dalam periode pasca-operasi langsung. Situasi ini biasanya hasil dari prolaps dari
lidah ke orofaring sementara pasien tetap dibius dari anestasi. Intraoperative
penempatan lidah tarikan jahitan membantu dalam pengelolaann situasi ini. Obstruksi
jalan napas juga dapat menjadi masalah berkepanjangan karena perubahan pada
saluran napas dinamika, terutama pada anak-anak dengan rahang kecil.1,8
b. Pendarahan
Selama pembedahan perdarahan adalah komplikasi yang sering terjadi pada
langit-langit karena terdapat banyak pembuluh darahnya. Ini dapat berbahaya pada
bayi karena kekurangan volume darah. Sebelum pembedahan penilaian tingkat
haemoglobin dan platelet adalah penting.1,8
c. Peradangan
Komplikasi yang lain dapat terjadi antara lain adalah peradangan, injuri
terhadap saraf, pembengkakan dan fistula. Odem setelah operasi adalah normal dan
fisilogis. Kemungkinan perangan dapat diminimalisasi dengan terapi antibiotik,
teknik pembedahan yang baik, dan memperhatikan syarat-syarat asepsis.1,8

Prognosis
Kelainan celah bibir dan palatum merupakan kelainan bawaan yang dapat
dimodifikasi/disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini
melakukan operasi saat usia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki penampilan
wajah secara signifikan. Dengan adanya teknik pembedahan yang makin berkembang,
80% anak dengan celah bibir dan palatum yang telah ditatalaksana mempunyai
perkembangan kemampuan bicara yang baik. Terapi bicara yang berkesinambungan
menunjukkan hasil peningkatan yang baik pada masalah-masalah berbicara pada anak
celah bibir dan palatum.1,5
DAFTAR PUSTAKA

1. Balaji SM. Textbook of oral & maxillofacial surgery. New Delhi: Elsevier 2007:
493-514.

2. Pasha R, Golub J.S. Otolaryngology head and neck surgery. Clinical refrence
guide. 4th ed. San Diego: Plural Publishing 2014.

3. K. J. Lee. Essential otolaryngonolgy. Head and Neck Surgery, 10th edition, Mc


Graw Hill 2012: 285-297.

4. Brown L.D, Borschel G.H, Levi B. Michigan manual of plastic surgery. 2nd ed.
Wolters Kluwer Company

5. Hupp J.R, Ellis E III, Tucker M.R. Oral and Maxillofacial Surgery. 6th ed. St
Louis, Missouri: Elsevier 2014: 585-604

6. Shahrokh C. Bagheri, Chris Jo. Cleft lip and palate. Clinical Review of Oral and
maxillofacial Surgery. Amerika: Mosby Elsevier 2008: 336-431

7. Scwartzs. Manual of surgery. 8th ed. McGraw Hill

8. Anil K. Lalwani. Current diagnosis & treatment in otolaryngology. Head & Neck
Surgery. New York: A Lange Medical book 2010: 323-38.

Anda mungkin juga menyukai