Anda di halaman 1dari 56

PENDEKATAN DIAGNOSIS HOLISTIK PADA PENDERITA

TUBERKULOSIS
DI LAYANAN PRIMER (PUSKESMAS)

ABSTRAK
TB merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. Prevalensi TB nomor satu terbesar
dalam kelompok penyakit infeksi. Menurut laporan WHO 2012, Indonesia
merupakan penyumbang penderita TB terbesar nomor empat di dunia setelah India,
Cina dan Afrika selatan.
Sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosae. Data WHO tahun 2012 dalam Global TB Report 2012, menunjukkan
bahwa pada tahun 2011, terdapat 8,7 juta terdeteksi kasus baru TB dimana 1,4 juta
kasus mengalami kematian.
Nn.W berusia 49 tahun, BB 39 kg, TB 150 cm. datang ke puskesmas Mamajang
dengan keluhan batuk berdahak yang dialami sejak 3 bulan sebelum ke puskesmas.
Dan dilakukan pemeriksaan TD : 110/70 mmHg, N : 88 x/menit, P : 20 x/menit, S:
36,5 C. hasil sputum BTA 3x. Dan Nn.W didiagnosis TB paru. Kemudian di
tatalaksanakan dengan OAT dan sudah berlangsung selama 1 minggu. Sebelumnya
Nn.W juga mengeluh nafsu makan tidak ada, dan berat badan menurun dalam 3 bulan
terakhir dari 46 kg menjadi 39 kg.
Keluarga juga diberi edukasi terkait penyakit tuberkulosis, anjuran untuk
melakukan pengobatan TB secara teratur, dan melaksanakan modifikasi gaya hidup.
Berdasarkan hasil pemeriksaan (anamnese, fisik,laboratorium, EBM) dapat
disimpulkan bahwa telah dilakukan penatalaksanaan pasien dengan prinsip pelayanan
dokter keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis evidence based medicine.
Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai dengan didapatkan
berkurangnya BTA pada pemeriksaan mikroskopis sputum.
Kata Kunci. Diagnosis, Holistik, Tuberkulosis, Puskesmas, Mamajang.

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita
yang mengandung basil tuberkulosis yang kemudian menyerang seluruh tubuh
terutama paru-paru. Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi hampir 2 miliar
orang atau sepertiga dari total penduduk dunia. Tidak berhenti sampai di situ, WHO
memperkirakan hingga tahun 2020 jumlah orang yang terinfeksi TB paru akan
bertambah 1 miliar orang lagi. Dengan kata lain, terjadi pertambahan jumlah infeksi
lebih dari 56 juta orang setiap tahunnya. Angka ini sangat memprihatinkan karena
berarti ada 2-4 orang yang terinfeksi M.tuberculosis setiap detik dan hampir 4 orang
meninggal setiap menit karena TB paru.1
Tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat ke-4 di dunia. Menurut WHO
dalam Global TB Report 2012, prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2011 adalah
244/100.000 penduduk. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan jumlah terbanyak
keempat di dunia yakni 5,8% setelah India 21,1%, Cina 14,3% serta Afrika Selatan.
Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3
wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera dengan angka prevalensi TB adalah 160 per
100.000 penduduk; 2) wilayah Bali dan Jawa dengan angka prevalensi TB tertinggi
yaitu 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur dengan angka
prevalensi tertinggi yaitu 210 per 100.000 penduduk (Departemen Kesehatan RI,
2008).1
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 didapatkan data bahwa
prevalensi Tuberkulosis paru klinis yang tersebar di seluruh Indonesia adalah 1,0%.
Tujuh belas provinsi diantaranya mempunyai angka prevalensi di atas angka nasional,
yaitu provinsi NAD, Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Banten, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi

2
Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua.
Secara umum prevalensi yang tertinggi di Papua Barat yaitu 2.5% dan terendah di
provinsi Lampung yaitu 0,3% (Kemenkes RI, 2011).2
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sulawesi Selatan, pada
2011, penderita penyakit menular ini mencapai 8.939 kasus. Angka ini meningkat
signifikan dibanding tahun sebelumnya yang hanya 7.783 kasus. Kabupaten Takalar
menduduki peringkat pertama dalam jumlah kasus dengan pertumbuhan penderita
TBC di atas 109 %, menyusul Pare-pare 79%,Pinrang 75 %,disusul Makassar 70%
dan terendah Kabupaten Luwu 33 % serta Jeneponto 36 % .2
Khusus di Kota Makassar, berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Bina
Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar,
jumlah kasus TB Paru klinis di Puskesmas dan RS sebanyak 900 kasus dan kasus
baru TB BTA (+) yang ditemukan pada tahun 2012 sebanyak 1.819 kasus (puskesmas
dan rumah sakit) meningkat dibandingkan tahun 2011 dimana dilaporkan jumlah
penderita TB Paru Klinis di Puskesmas dan Rumah Sakit sebanyak 511 Jumlah
penderita TB Paru Klinis, TB BTA+ sebanyak 1608 penderita (Puskesmas dan
Rumah Sakit).
Prevalensi penderita TB paru di Puskesmas Mamajang tahun 2015 dalam 6
bulan terakhir adalah 33 pasien dengan rincian tipe pasien : 30 kasus baru, 3 kasus
kambuh, 0 kasus pindahan.
TB paru juga merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit pernapasan akut. Dibandingkan dengan penyakit
menular lainnya seperti HIV/AIDS dan Demam Berdarah Dengue (DBD), TB paru
merupakan pembunuh dengan tingkat kematian tertinggi di Indonesia.3
Pengendalian Tuberkulosis Paru kemudian menjadi masalah kesehatan global
dan nasional. Maka tak heran bila salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat
dalam visi Indonesia Sehat adalah angka kesembuhan TB Paru BTA+. Berbagai
program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka penemuan
dan angka kesembuhan dengan berlandaskan pada strategi Directly Observed

3
Treatment Short-course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan berdasar
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) walaupun tercatat angka putus
obat masih tinggi mencapai 50-85 % . Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan
secara nasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terutama
Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.1
Menurut George Enggel pendekatan dalam pelayanan medis tidak hanya
berfokus pada aspek biologi (penyakit) tetapi juga dipengaruhi aspek psikososial.
Karena itu interaksi antara komunitas sosial dan keluarga dengan bantuan lingkungan
komunitasnya sangat membantu tidak hanya dalam menyelesaikan masalah klinis saja
tetapi juga masalah psikososial.3
Oleh karena itu sejalan dengan program DOTS di layanan primer maka
pendekatan diagnostik holistik pada pasien TB Paru juga dapat menjadi salah satu
penunjang dalam mendukung upaya pencapaian sasaran strategi nasional
pengendalian TB yang mengacu pada Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
2009-2014.2

1.2. Tujuan dan Manfaat Studi Kasus


Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana
masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh
terdiri dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga
dapat lebih berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran
terkini (evidence based medicine).
1.2.1. Tujuan Umum:
Tujuan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat menerapkan pelayanan
dokter keluarga secara paripurna (komprehensif) dan holistik, sesuai dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis evidence based
medicine (EBM) pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan

4
masalah klinis serta prinsip penatalaksanaan pasien berdasarkan kerangka
penyelesaian masalah pasien (problem oriented).

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang, serta mengintepretasikan hasilnya dalam mendiagnosis TB Paru
b. Untuk melakukan prosedur tatalaksana TB Paru dan melakukan rujukan
bagi kasus TB Paru sesuai standar kompetensi dokter indonesia.
c. Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan
Masyarakat dalam melakukan upaya promotif, prventif, kuratif dan
rehabilitasi dalam pengendalian TB Paru.
d. Untuk dapat menggunakan dan menjelaskan epidemiologi, etiologi dan
patogenesis TB Paru.
e. Untuk melakukan komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada level
individu, keluarga, masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian TB
Paru.
f. Untuk memanfaatkan sumber informasi terkini dan melakukan kajian
ilmiah dari data lapangan, untuk melakukan pengendalian TB Paru.

1.2.3. Manfaat Studi Kasus


1.2.3.1. Bagi Institusi pendidikan.
Diharapkan dapat menjadi salah satu contoh bahan acuan metodologi
penulisan studi kasus untuk kepentingan perbaikan sistem di masa yang
akan datang.

1.2.3.2. Bagi Penderita (Pasien)


Mendapat informasi tentang penyakit TB Paru yang diderita, mendapatkan
pelayanan kesehatan dalam bentuk promotif, preventif dan kuratif sehingga
semua kekhawatiran dan harapan pasien dapat ditangani secara paripurna.

5
1.2.3.3. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai salah satu bahan rujukan tentang pelayanan kesehatan baik di
tingkat individu maupun masyarakat secara holistik dan komprehensif pada
layanan primer dan pelayanan kesehatan di tingkat selanjutnya
1.2.3.4. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)
Meningkatkan keterampilan dalam hal pembuatan karya tulis ilmiah,
menambah referensi pengetahuan dalam hal klinis maupun pelayanan
kedokteran keluarga terutama di layanan primer khususnya mengenai
penanganan kasus TB Paru.

1.3. Indikator Keberhasilan Tindakan


Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan pasien
dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis
evidence based medicine adalah:
1.3.1.Kepatuhan penderita datang berobat di layanan primer (Puskesmas) sudah
teratur.
1.3.2.Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai dengan
didapatkan berkurangnya BTA pada pemeriksaan mikroskopis sputum.
1.3.3.Gejala batuk yang disertai dengan dahak, keringat dimalam hari sudah
berkurang.
1.3.4.Pemeriksaan fisik pada kedua lapangan paru kanan atas dan suara
pernapasannya terkesan normal, jika dibandingkan dengan pemeriksaan pada
waktu pertama kali datang di layanan primer (Puskesmas) dengan hasil
Fremitus mengeras pada lapangan paru kanan atas, dan suara pernapasan
dijumpai bronkial pada lapangan paru kanan atas.
1.3.5. Adanya perbaikan gizi dari pasien dan keluarga.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan
tindakan pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis,

6
radiologi, dan klinis. Kesembuhan TB paru yang baik akan memperlihatkan
sputum BTA (-), perbaikan hasil foto radiologi dan menghilangnya gejala.

7
BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

2.1. Kerangka Teoritis


Gambaran Penyebab TBC

2.2. Penyakit Tuberculosa (TB)


2.2.1. Pengertian
Tuberculosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis dengan gejala sangat bervariasi. Penyebab
tuberculosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosa, yang merupakan
kuman tahan asam. Penyebab tuberculosis adalah kuman Mycobacterium
tuberculosa, yang merupakan kuman tahan asam. Dikenal ada 2 type kuman
Mycobacterium tuberculosa, yaitu type humanus dan type bovinus. Hampir

8
semua kasus tuberkulosis disebabkan oleh type humanus, walaupun type
bovinus dapat juga menyebabkan terjadinya tuberkulosis paru, namun hal itu
sangat jarang sekali terjadi. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lain, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, melalui saluran nafas atau penyebaran langsung
kebagian tubuh lainnya dan tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling
banyak serta penting.1
2.2.2. Patofisiologi Penyakit Tuberculosis

Inhalasi baksil TB Alveolus Fagositosis


Fagositosis oleh
oleh makrofag
makrofag

Baksil TB berkembang Destruksi baksil


biak TB

Destruksi makrofag

Resolusi Pembentukan
Kelenjar limfe
tuberkel

Kalsifikasi Perkijuan Penyebaran hematogen

Kompleks Pecah
Ghon
Lesi di hepar,
Lesi sekunder paru lien,ginjal,tulang,
otak dll

Gambar : Patogenesis Tuberkulosa

Paru merupakan tempat masuk lebih dari 98% kasus infeksi tuberkulosis,
karena ukurannya sangat kecil, kuman TB dalam percik renik yang terhirup dapat
mencapai alveolus. Tempat Mycobacterium tuberculosis yang terhirup dan masuk ke
paru akan ditelan oleh makrofag alveolar, selanjutnya makrofag akan melakukan 3
fungsi penting, yaitu :4,5

9
1. Menghasilkan enzim proteolitik dan metabolit lain yang mempunyai efek
mikobakterisidal;
2. Menghasilkan mediator terlarut (sitokin) sebagai respon terhadap M.
tuberculosis berupa IL-1, IL-6, TNF (Tumor Necrosis Factor alfa ), TGF
(Transforming Growth Factor beta )
3. Memproses dan mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T5.
Kuman tersebut masuk tubuh melalui saluran pernafasan yang masuk ke
dalam paru, kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran nafas atau penyebaran
langsung ke bagian tubuh yang lain. Saluran limfe akan membawa kuman
tuberkulosis paru ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Tuberkulosis primer terjadi pada individu yang terpapar dengan
kuman tuberkulosis untuk pertama kali, sedangkan tuberkulosis reaktivasi terjadi
karena reaktivasi infeksi tuberkulosis yang terjadi beberapa tahun lalu. Reaksi
imunologi yang berperan terhadap M. tuberculosis adalah reaksi hipersensitivitas dan
respon seluler, karena respon humoral kurang berpengaruh.3
Akibat klinis infeksi M.tuberculosis lebih banyak dipengaruhi oleh sistem
imunitas seluler. Orang yang menderita kerusakan imunitas seluler seperti terinfeksi
HIV dan gagal ginjal kronik mempunyai risiko tuberkulosis paru yang lebih tinggi.
Sebaliknya orang yang menderita kerusakan imunitas humoral dan mieloma mutipel
tidak menunjukkan peningkatan predisposisi terhadap tuberkulosis paru.3
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau klasifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Proses infeksi tuberkulosis tidak
langsung memberikan gejala. Paru merupakan lokasi tersering (>95%) masuknya
kuman tuberkulosis pada manusia. Oleh karena itu patogenesis tuberkulosis primer di
paru merupakan model utama dalam kajian patogenesis tuberkulosis.1

10
Kelainan patologi yang terjadi :1,3
1. Tipe Eksudatif
Terdiri dari inflamasi yang akut dengan edema, sel-sel leukosit PMN dan
menyusul kemudian sel-sel monosit yang mengelilingi tuberculosis. Kelainan ini
terutama terlihat pada jaringan paru dan mirip Pneumonia bakteri. Dalam masa
eksudatif ini tuberculin adalah positif.
2. Tipe Produktif
Apabila sudah matang prosesnya lesi ini berbentuk granuloma yang kronik,
terdiri dari 3 zona.:
a) Zona Sentral dengan sel raksasa yang berinti banyak dan mengandung
tuberculosis.
b) Zona Tengah yang terdiri dari sel-sel epitel yang tersusun radial
c) Zona yang terdiri dari fibroblast, limfosit, dan monosit. Lambat laun zona luar
akan berubah menjadi fibrotik dan zona sentral akan mengalami perkijuan.
Kelainan seperi ini disebut sebagai tuberkel.

Perjalanan Kuman tuberculosis di dalam tubuh.


Kuman menjalar melalui saluran limfe ke kelenjar getah bening atau ductus
thoracicus atau organ tubuh melalui aliran darah atau dapat juga langsung dari
proses perkijuan masuk ke vena atau pecah ke bronkus atau tersebar ke seluruh
paru-paru atau tertelan ke tractus digastivus.

2.2.3. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis

11
Penyebab penyakit TB adalah kuman Mycobacterium tuberculosis, yang
berbentuk batang lurus atau agak bengkok, berukuran panjang 1 sampai 5
dan lebar 0.2 sampai 0.8 . dapat ditemukan bentuk sendiri maupun
berkelompok. Kuman ini merupakan bakteri tahan asam (BTA) yang bersifat
tidak bergerak, tidak berspora, dan tidak bersimpai. Micobacterium
tuberculosis yang merupakan basil tahan asam dan dapat dilihat dengan
pewarnaan Ziehl - Neelsen (karbol fuksin). Pada pewarnaannya M.
tuberculosis tampak seperti manik-manik atau tidak terwarnai secara merata.
Mycobacterium tuberculosis pertama kali dideskripsikan pada tanggal 24
Maret 1882 oleh Robert Koch. Bakteri ini juga disebut basilus Koch.6

2.2.4. Epidemiologi
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban
TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar
660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru
per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per
tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan
epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan
sebagai epidemik terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan
perkecualian di provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5%
(generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada
populasi dewasa adalah 0,2%.2,3
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk
intervensi HIV dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia
sekitar 190.000-400.000. Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB
baru adalah 2.8%.
Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru
(lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus

12
TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR
TB setiap tahunnya. Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi,
Indonesia merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di
wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB
untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada
tahun 2009, tercatat sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati
(data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+.
Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per
100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan
pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun
2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak
pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama.2,7
Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka
penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian
70% CDR dan 85% kesembuhan.

Tabel 1. Pencapaian target pengendalian TB per provinsi 2009


CDR
%Dengan angka nasional proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan di bawah 2%,
maka angka resistensi obat TB pada pasien yang diobati di pelayanan kesehatan pada

13
umumnya masih rendah. Namun demikian, sebagian besar data berasal dari
Puskesmas yang telah menerapkan strategi DOTS dengan baik selama lebih dari 5
tahun terakhir. Probabilitas terjadinya resistensi obat TB lebih tinggi di rumah sakit
dan sektor swasta yang belum terlibat dalam program pengendalian TB nasional
sebagai akibat dari tingginya ketidakpatuhan dan tingkat drop out pengobatan karena
tidak diterapkannya strategi DOTS yang tinggi. Data dari penyedia pelayanan swasta
belum termasuk dalam data di program pengendalian TB nasional. Sedangkan untuk
rumah sakit, data yang tersedia baru berasal dari sekitar 30% rumah sakit yang telah
melaksanakan strategi DOTS. Proporsi kasus TB dengan BTA negatif sedikit
meningkat dari 56% pada tahun 2008 menjadi 59% pada tahun 2009. Peningkatan
jumlah kasus TB BTA negatif yang terjadi selama beberapa tahun terakhir sangat
mungkin disebabkan oleh karena meningkatnya pelaporan kasus TB dari rumah sakit
yang telah terlibat dalam program TB nasional. Jumlah kasus TB anak pada tahun
2009 mencapai 30.806 termasuk 1,865 kasus BTA positif. Proposi kasus TB anak
dari semua kasus TB mencapai 10.45%.7
Angka-angka ini merupakan gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak
yang sesungguhnya mengingat tingginya kasus overdiagnosis di fasilitas pelayanan
kesehatan yang diiringi dengan rendahnya pelaporan dari fasilitas pelayanan
kesehatan.1
2.2.4.1. Epidemiologi penyakit TB dapat juga digambarkan menurut Trias
Epidemiologi adalah Agent, Host dan Environment sebagai berikut :
a. Agent
TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri
gram positif, berbentuk batang halus, mempunyai sifat tahan asam dan
aerobic. Karakteristik alami dari agen TB hampir bersifat resisten
terhadap disifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup
pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama.Pada Host,
daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium
Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir rendah dan daya

14
virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat
resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah
penggunaan kemoterapi modern, sehingga menyebabkan keharusan
mengembangkan obat baru .Umumnya sumber infeksinya berasal dari
manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa
melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi kongenital
yang jarang terjadi .3,6
b. Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TB.
Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian :a).Paling rendah pada awal
anak (bayi) dengan orang tua penderita b) Paling luas pada masa
remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan
fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita c). Puncak sedang
pada usia lanjut. Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin
tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama
pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak
terlindung dari risiko infeksi. Pria lebih umum terkena, kecuali pada
wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan
kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk pribumi memiliki
laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TB sejak lama,
yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan
dan distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TB, tetapi
mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti
tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan
pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TB, sejak timbulnya
ketidakpedulian dan kelalaian status gizi, kondisi kesehatan secara
umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme
pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan

15
pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun
sulit untuk dievaluasi.3,6
c. Environment
Distribusi geografis TB mencakup seluruh dunia dengan
variasi kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat
perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa
dipengaruhi musim dan letak geografis. Keadaan sosial-ekonomi
merupakan hal penting pada kasus TB. Pembelajaran sosiobiologis
menyebutkan adanya korelasi positif antara TB dengan kelas sosial
yang mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan,
lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek
dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas
perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik,
pengangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TB
dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi
penyakit ini. Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak
langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang terinfeksi
adalah berbahaya .3,6
2.2.4.2. Epidemiologi penyakit TB dapat juga digambarkan menurut Variabel
Epidemiologi adalah Person (orang), Place (tempat) dan Time (waktu)
sebagai berikut :
a. Distribusi menurut orang.
Distribusi menurut umur
Distribusi menurut jenis kelamin.
Distribusi menurut etnik
b. Distribusi menurut tempat.
c. Distribusi menurut waktu.

16
EPIDEMIOLOGI
a. Person / Orang
Umur
Penyakit TB dapat menyerang pada siapa saja tak terkecuali
pria, wanita, tua, muda, anak-anak, kaya dan miskin serta dimana saja.
Sebagian besar penderita TB Paru di Negara berkembang berumur
dibawah 50 tahun. Data WHO menunjukkan bahwa kasus TB di
Negara berkembang banyak terdapat pada umur produktif 15-29 tahun.
Sejalan dengan penelitian Rizkiyani (2008) yang menunjukkan jumlah
penderita baru TB Paru positif 87,6% berasal dari usia produktif (15-
54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada usia lanjut ( 55 tahun).
Jenis Kelamin
Penyakit TB Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak,
laki-laki dan perempuan. TB Menyerang sebagian besar wanita pada
usia produktif. Serupa dengan WHO yang menunjukkan lebih dari 900
juta wanita di seluruh dunia tertular oleh kuman TB dan satu juta di
antaranya meninggal setiap tahun.
Etnik (Suku Bangsa)
Suku bangsa atau golongan etnik adalah sekelompok manusia
dalam suatu populasi yang memiliki kebiasaan atau sifat biologis yang
sama. Walaupun klasifikasi penyakit berdasarkan suku bangsa sulit
dilakukan baik secara praktis maupun secara konseptual, tetapi karena
terdapat perbedaan yang besar dalam frekuensi dan beratnya penyakit
diantara suku bangsa maka dibuat klasifikasi walaupun kontroversi.
Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku bangsa
berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan, misalnya:
(Penyakit sickle cell anemia, Hemofilia dan Kelainan biokimia seperti
glukosa 6 fosfatase).

17
b. Place / tempat
Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan
yang di tularkan melalui udara. Keadaan berbagai lingkungan yang
dapat mempengaruhi penyebaran TB salah satunya adalah lingkungan
yang kumuh, kotor. Penderita TB Paru lebih banyak terdapat pada
masyarakat yang menetap pada lingkungan yang kumuh dan kotor.
Kondisi Sosial Ekonomi
Sebagai Penderita TB Paru adalah dari kalangan Miskin. Data
WHO yang menyatakan bahwa angka kematian akibat TB sebagai
besar berada di Negara berkembang yang relative miskin.
Wilayah
resiko mendapatkan infeksi dan berkembangnya klinis
penyakit TB Paru bergantung pada keberadaan infeksi dalam
masyarakat misalnya Imigran dari daerah prevalensi tinggi TB, Ras
yang beresiko tinggi dan kelompok etnis minorias (misal Afrika,
Amerika, Amerika, Indian Asli, Alaska, Asia, Kepulauan Pasifik dan
Hispanik)
c. Time / Waktu
Penyakit TB Paru dapat menyerang siapa saja, dimana saja dan kapan
saja tanpa mengenal waktu, Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh
maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk
terjadinya penyakit TB Paru.

2.2.5. Cara Penularan


Penularan Mycobacterium tuberculosis adalah dari orang ke orang,
droplet lendir berinti yang dibawa udara. Penularan jarang terjadi dengan
kontak langsung dengan kotoran cair terinfeksi atau barang-barang yang

18
terkontaminasi. Peluang penularan bertambah bila penderita mempunyai
ludah dengan basil pewarnaan tahan asam, infiltrat dan kaverna lobus atas
yang luas, produksi sputum encer banyak sekali, dan batuk berat serta kuat.
Faktor lingkungan terutama sirkulasi udara yang buruk, memperbesar
penularan. Kebanyakan orang dewasa tidak menularkan organisme dalam
beberapa hari sampai 2 minggu sesudah kemoterapi yang cukup, tetapi
beberapa penderita tetap infeksius selama beberapa minggu. Anak muda
dengan tuberculosis paru jarang menginfeksi anak lain atau orang dewasa.
Tuberkulosis adalah penyakit menular, artinya orang yang tinggal serumah
dengan penderita atau kontak erat dengan penderita mempunyai risiko tinggi
untuk tertular.1,3
Penularan terjadi melalui udara pada waktu percikan dahak yang
mengandung kuman tuberkulosis paru dibatukkan keluar, dihirup oleh orang
sehat melalui jalan napas dan selanjutnya berkembangbiak melalui paru-paru.
Cara lain adalah dahak yang dibatukkan mengandung kuman tuberkulosis
jatuh dulu ke tanah, mengering dan debu yang mengandung kuman
beterbangan kemudian dihirup oleh orang sehat dan masuk ke dalam paru-
paru. Cara penularan ini disebut sebagai airborne disease. Daya penularan
ditentukan oleh banyaknya kuman Bakteri Tahan Asam (BTA) yang terdapat
dalam paru-paru penderita serta penyebarannya. Pada perjalanan kuman ini
banyak mengalami hambatan, antara lain di hidung (bulu hidung) dan lapisan
lendir yang melapisi seluruh saluran pernafasan dari atas sampai ke kantong
alveoli. Sebagian besar manusia yang terinfeksi (80 90 %) belum tentu
menjadi sakit tuberkulosis, disebabkan adanya kekebalan tubuh. Untuk
menjadi sakit, dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain keadaan sosial
ekonomi, kemiskinan, kekurangan gizi, rendahnya tingkat pendidikan dan
kepadatan penduduk.1

19
2.2.6. Gejala Klinis
Keluhan yang dirasakan penderita tuberkulosis bervariasi atau dapat
tanpa keluhan sama sekali. Keluhan dan gejala utama yang dijumpai pada
penderita tuberkulosis paru, adalah: Gejala utama berupa batuk terus menerus
dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih sedangkan gejala
tambahannya yang sering dijumpai berupa dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa badan kurang enak (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan. Gejala-gejala
tersebut diatas, dijumpai pula pada penyakit paru selain tuberkulosis, oleh
sebab itu setiap orang yang datang ke Unit Pelaksanaan Kesehatan (UPK)
dengan gejala tersebut diatas, harus dianggap sebagai seorang suspek
tuberkulosis atau tersangka penderita tuberkulosis paru dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.3,6

2.2.7. Diagnosis Tuberkulosis Paru


2.2.7.1. Definisi pasien TB
Tersangka pasien TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau
gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai suspek TB).3
o Pasien TB berdasarkan konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya
positif dengan pemeriksaan mikroskopis, biakan atau diagnostik cepat
yang diakui oleh WHO (misal : GeneXpert ). Semua pasien yang
memenuhi definisi ini harus dicatat tanpa memandang apakah
pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum. Termasuk dalam tipe
pasien tersebut adalah pasien TB paru BTA positif yaitu pasien TB
yang hasil pemeriksaan sediaan dahaknya positif dengan cara
pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat
(misalnya GeneXpert).

20
o Pasien TB berdasarkan diagnosis klinis :
Adalah seseorang yang memulai pengobatan sebagai pasien TB namun
tidak memenuhi definisi dasar diagnosis berdasarkan konfirmasi hasil
pemeriksaan bakteriologis. Termasuk dalam tipe pasien ini adalah :
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil foto toraks sangat
mendukung gambaran TB.
b. Pasien TB ekstra paru tanpa hasil konfirmasi pemeriksaan
laboratorium
Catatan :
Pasien TB dengan diagnosis klinis apabila kemudian terbukti hasil pemeriksaan
laboratorium BTA positif (sebelum atau setelah menjalani pengobatan) harus
diklasifikasikan kembali sebagai pasien TB dengan konfirmasi hasil pemeriksaan
bakteriologis sebagaimana definisi pasien tersebut diatas. Guna menghindari
terjadinya over diagnosis dan situasi yang merugikan pasien, pemberian pengobatan
TB berdasarkan diagnosis klinis hanya dianjurkan pada pasien dengan dengan
pertimbangan sebagai berikut :
Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung TB
Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal : pada TB meningen,
TB milier, pasien dengan HIV positif dsb.
Tindakan pengobatan untuk kepentingan pasien dan sebaiknya diberikan atas
persetujuan tertulis dari pasien atau yang diberi kuasa.
Apabila fasilitas memungkinkan, segera diupayakan pemeriksaan penunjang
yang sesuai misal : pemeriksaan biakan, pemeriksaan diagnostik cepat dsb.
untuk memastikan diagnosis.
2.2.7.2. Definisi Kasus TB Paru1,3
1. Suspek TB (Tuberculosis suspect)
Setiap orang yang datang dengan gejala atau tanda TB. Gejala paling
sering adalah dahak produktif > 2 minggu, bisa disertai gejala lain

21
(sesak napas, nyeri dada, batuk darah) atau gejala konstitutional
(penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, berkeringat malam,
badan lemas).
2. Kasus TB (Case of tuberculosis)
Kasus pasti TB atau seseorang yang sudah didiagnosa menderita TB
oleh dokter dan diputuskan untuk mendapat pengobatan lengkap TB.
3. Kasus Pasti TB (Definite case of Tuberculosis)
Seorang pasien dengan positif Mycobacterium tuberculosis berdasarkan
pemeriksaan spesimen ataupun pemeriksaan lainnya yang dapat
mengidentifikasi M.tuberculosis.
2.2.7.3. Klasifikasi Diagnosis TB
Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat
diklasifikasikan berdasarkan:1,3
Lokasi anatomi penyakit;
Riwayat pengobatan sebelumnya;
Hasil bakteriologis dan uji resistensi OAT; (pada revisi guideline WHO
tahun 2013 hanya tercantum resisten obat)
Status HIV.
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi:3
TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial.
TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru.
Pasien yang mengalami TB paru dan ekstraparu harus diklasifikasikan
sebagai kasus TB paru.
TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim
paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitourinarial, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB

22
ekstraparu dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah
diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan:3


Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT
sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.
Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang
pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih. Kasus ini diklasifikasikan
lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut:
1) Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir
pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode rekuren
(baik untuk kasus yang benar-benar kambuh atau episode baru yang
disebabkan reinfeksi).
2) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
3) Kasus setelah putus obat adalah pasien yang pernah menelan OAT
1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2
bulan berturut-turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir
pengobatan. (Pada revisi guideline WHO tahun 2013 klasifikasi ini
direvisi menjadi pasien dengan perjalanan pengobatan tidak dapat
dilacak (loss to follow up) yaitu pasien yang pernah mendapatkan
OAT dan dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan).
4) Klasifikasi berikut ini baru ditambahkan pada revisi guideline
WHO tahun 2013 yaitu: kasus dengan riwayat pengobatan lainnya
adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil
akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.

23
5) Pasien pindah adalah pasien yang dipindah dari register TB (TB 03)
lain untuk melanjutkan pengobatan. (Klasifikasi ini tidak lagi
terdapat dalam revisi guideline WHO tahun 2013).
6) Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya adalah
pasien yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di
atas.
Penting diidentifikasi riwayat pengobatan sebelumnya karena terdapatnya
risiko resisten obat. Sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan
pemeriksaan biakan spesimen dan uji resistensi obat atau metode diagnostik
cepat yang telah disetujui WHO (Xpert MTB/RIF) untuk semua pasien dengan
riwayat pemakaian OAT.3
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis dan uji resistensi obat
Semua pasien suspek / presumtif TB harus dilakukan pemeriksaan bakteriologis
untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada
pemeriksaan apusan dahak atau spesimen lain atau identifikasi M. tuberculosis
berdasarkan biakan atau metode diagnostik cepat yang telah mendapat
rekomendasi WHO (Xpert MTB/RIF). Pada wilayah dengan laboratorium
jaminan mutu eksternal, kasus TB paru dikatakan apusan dahak positif
berdasarkan terdapatnya paling sedikit hasil pemeriksaan apusan dahak BTA
positif pada satu spesimen pada saat mulai pengobatan. Pada daerah tanpa
laboratorium dengan jaminan mutu eksternal maka definisi kasus TB apusan
dahak positif bila paling sedikit terdapat dua spesimen pada pemeriksaan apusan
dahak adalah BTA positif.3
Kasus TB paru apusan negatif adalah:1,3
Hasil pemeriksaan apusan dahak BTA negatif tetapi biakan positif untuk
M.tuberculosis
Memenuhi kriteria diagnostik berikut ini:

24
1. Keputusan oleh klinisi untuk mengobati dengan terapi antiTB lengkap;
DAN
2. Temuan radiologis sesuai dengan TB paru aktif DAN:
3. Terdapat bukti kuat berdasarkan laboratorium atau manifestasi klinis;
ATAU
4. Bila HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui tetapi tinggal di
daerah dengan prevalens HIV rendah), tidak respons dengan antibiotik
spektrum luas (di luar OAT dan fluorokuinolon dan aminoglikosida).
Kasus TB paru tanpa pemeriksaan apusan dahak tidak diklasifikasikan apusan
negatif tetapi dituliskan sebagai apusan tidak dilakukan.3
d. Klasifikasi berdasarkan status HIV1,3
Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada
saat ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti dokumentasi bahwa pasien
telah terdaftar di register HIV atau obat antiretroviral (ARV) atau praterapi
ARV.
Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat
ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian
hari harus disesuaikan klasifikasinya.
Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB konfirmasi
bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki
bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini
diketahui HIV positif dikemudian hari harus disesuaikan klasifikasinya.
2.2.7.4. Diagnosis TB Paru
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapatnya paling sedikit satu
spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi
TB atau bukti klinis sesuai TB. WHO merekomendasi pemeriksaan uji

25
resistensi rifampisin dan / atau isoniazid terhadap kelompok pasien berikut ini
pada saat mulai pengobatan:1,3
Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten obat banyak didapatkan
pada pasien dengan riwayat gagal terapi.
Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka
yang tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten
obat.
Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat.
Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%.
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapat paling sedikit satu
spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi
TB atau bukti klinis dan radiologis sesuai TB.

26
Gambar 2. Alur Diagnosis TB Paru

2.2.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru


Tujuan pengobatan TB adalah:
- Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien
- Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
- Mencegah kekambuhan TB
- Mengurangi penularan TB kepada orang lain
- Mencegah perkembangan dan penularan resisten obat.
World Health Organization merekomendasikan obat kombinasi dosis tetap
(KDT) untuk mengurangi risiko terjadinya TB resisten obat akibat monoterapi.

27
Dengan KDT pasien tidak dapat memilih obat yang diminum, jumlah butir obat yang
harus diminum lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan ketaatan pasien dan
kesalahan resep oleh dokter juga diperkecil karena berdasarkan berat badan. Dosis
harian KDT di Indonesia distandarisasi menjadi empat kelompok berat badan 30-37
kg BB, 38-54 kg BB, 55-70 kg BB dan lebih dari 70 kg BB.2
Tabel 2. Dosis OAT I Dewasa

*Pasien berusia di atas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700 mg
per hari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada
pasien kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak
dapat mentoleransi dosis lebih dari 500-750 mg per hari.

Paduan 2RHZE/6HE didapatkan lebih banyak menyebabkan kasus kambuh dan


kematian dibandingkan paduan 2RHZE/4RH. Berdasarkan hasil penelitian
metaanalisis ini maka WHO merekomendasikan paduan 2RHZE/4RH.1
Pasien yang menerima OAT tiga kali seminggu memiliki angka resistensi obat
yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang menerima pengobatan harian. Oleh
sebab itu WHO merekomendasikan pengobatan dengan paduan harian sepanjang
periode pengobatan OAT (2RHZE/4RH) pada pasien dengan TB paru kasus baru
dengan alternatif paduan 2RHZE/4R3H3 yang harus disertai pengawasan ketat secara
langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). Obat program yang berasal dari

28
pemerintah Indonesia memilih menggunakan paduan 2RHZE/4R3H3 dengan
pengawasan ketat secara langsung oleh PMO.1

TB PARU

TB PARU KASUS BARU TB PARU KASUS PENGOBATAN


ULANG

OAT KATEGORI I OAT Kategori II, bila terdapat hasil


biakan sputum M.Tb dan uji kepekaan
obat maka terapi disesuaikan

Gambar 3. Algoritme Pengobatan TB Paru pada Dewasa

2.2.9. Pemantauan Respons Pengobatan


Semua pasien harus dipantau untuk menilai respons terapi. Pemantauan yang
regular akan memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi dan tata laksana reaksi
obat tidak diinginkan. Semua pasien, PMO dan tenaga kesehatan sebaiknya diminta
untuk melaporkan gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala efek samping
OAT atau terhentinya pengobatan.3
Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan
dengan perubahan berat badan. Respons pengobatan TB paru dipantau dengan apusan
dahak BTA. Perlu dibuat rekam medis tertulis yang berisi seluruh obat yang
diberikan, respons bakteriologis, resistensi obat dan reaksi tidak diinginkan untuk
setiap pasien pada Kartu Berobat TB.3
WHO merekomendasi pemeriksaan apusan dahak BTA pada akhir fase
intensif pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama baik kasus
baru dan pengobatan ulang. Apusan dahak BTA dilakukan pada akhir bulan kedua

29
(2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan akhir bulan ketiga (2RHZES/1RHZE/5RHE)
untuk kasus pengobatan ulang. Rekomendasi ini juga berlaku untuk pasien dengan
apusan dahak BTA negatif.3
Apusan dahak BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan
beberapa halberikut ini:
Supervisi kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang buruk;
Kualitas OAT yang buruk;
Dosis OAT di bawah kisaran yang direkomendasikan;
Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman yang
banyak;
Terdapatnya komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau respons terapi;
Pasien memiliki M. tuberculosis resisten obat yang tidak memberikan respons
terhadap terapi OAT lini pertama;
Bakteri mati yang terlihat oleh mikroskop.
Foto toraks untuk memantau respons pengobatan tidak diperlukan, tidak dapat
diandalkan.

A. Menilai Respons Pengobatan pada Pasien TB Kasus Baru


Pemeriksaan dahak tambahan (pada akhir bulan ketiga fase intensif
sisipan) diperlukan untuk pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA
positif pada akhir fase intensif. Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji
resistensi obat sebaiknya dilakukan pada pasien TB kasus baru dengan apusan
dahak BTA masih positif pada akhir bulan ketiga.2,3
Tujuan utamanya adalah mendeteksi kuman resisten obat tanpa harus
menunggu bulan kelima untuk mendapatkan terapi yang tepat. Pada daerah yang
tidak memiliki kapasitas laboratorium untuk biakan dan uji resistensi obat maka
pemantauan tambahan dengan apusan dahak BTA positif pada bulan ketiga
adalah pemeriksaan apusan dahak BTA pada satu bulan sebelum akhir

30
pengobatan dan pada akhir pengobatan (bulan keenam). Bila hasil apusan dahak
BTA positif pada bulan kelima atau pada akhir pengobatan berarti pengobatan
gagal dan Kartu Berobat TB ditutup dengan hasil gagal dan Kartu Berobat TB
yang baru dibuka dengan tipe pasien pengobatan setelah gagal. Bila seorang
pasien didapatkan TB dengan strain resisten obat maka pengobatan dinyatakan
gagal kapanpun waktunya.2,3
Pada pasien dengan apusan dahak BTA negatif (atau tidak dilakukan)
pada awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir bulan kedua pengobatan maka
tidak diperlukan lagi pemantauan dahak lebih lanjut. Pemantauan dilakukan
secara klinis dan berat badan merupakan indikator yang sangat berguna.2

Tabel 3. Definisi Hasil Pengobatan


HASIL DEFINISI
Pasien TB paru dengan konfirmasi bakteriologis
Sembuh pada awal pengobatan dan apusan dahak BTA
negatif atau biakan negatif pada akhir pengobatan
dan / atau sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan
Pengobatan Lengkap tetapi tidak memiliki bukti gagal TETAPI tidak
memiliki rekam medis yang menunjukkan apusan
dahak BTA atau biakan negatif pada akhir
pengobatan dan satu kesempatan sebelumnya, baik
karena tidak dilakukan atau karena hasilnya tidak
ada.
Pasien TB dengan apusan dahak atau biakan positif
Pengobatan Gagal pada bulan kelima atau setelahnya selama
pengobatan. Termasuk juga dalam definisi ini
adalah pasien dengan strain kuman resisten obat

31
yang didapatkan selama pengobatan baik apusan
dahak BTA negatif atau positif.
Meninggal Pasien TB yang meninggal dengan alasan apapun
sebelum dan selama pengobatan.
Putus obat Pasien TB yang tidak memulai pengobatan atau
(tidak dapat dilacak) menghentikan pengobatan selama 2 bulan berturut-
Revisi WHO 2013 turut atau lebih.
Dipindahkan Pasien yang dipindahkan ke rekam medis atau
(Tidak dievaluasi) pelaporan lain dan hasil pengobatannya tidak
Revisi WHO 2013 diketahui

Pengobatan Sukses Jumlah pasien TB dengan status hasil pengobatan


sembuh dan lengkap

B. Efek Samping OAT

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan.1

32
Table 4. EFEK SAMPING OBAT

33
2.3. Pendekatan Diagnose Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di
Layanan Primer
Pengertian holistik adalah memandang manusia sebagai mahluk
biopsikososio-kultural pada ekosistemnya. Sebagai mahluk biologis manusia
adalah merupakan sistem organ, terbentuk dari jaringan serta sel-sel yang
kompleks fungsionalnya.
Diagnosis holistik adalah kegiatan untuk mengidentifikasi dan
menentukan dasar dan penyebab penyakit (disease), luka (injury) serta
kegawatan yang diperoleh dari alasan kedatangan, keluhan personal, riwayat
penyakit pasien, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang, penilaian
risiko internal/individual dan eksternal dalam kehidupan pasien serta
keluarganya. Sesuai dengan arah yang digariskan dalam Sistem Kesehatan
Nasional 2004, maka dokter keluarga secara bertahap akan diperankan sebagai
pelaku pelayanan pertama (layanan primer).

34
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
a. Comprehensive care and holistic approach
b. Continuous care
c. Prevention first
d. Coordinative and collaborative care
e. Personal care as the integral part of his/her family
f. Family, community, and environment consideration
g. Ethics and law awareness
h. Cost effective care and quality assurance
i. Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat
dari beberapa aspek yaitu:
I. Aspek Personal : Keluhan utama, harapan dan kekhawatiran.
II. Aspek Klinis : Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup
dengan diagnosis kerja dan diagnosis banding.
III. Aspek Internal : Kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku.
Karakteristik pribadi amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, kultur, etnis, dan lingkungan.
IV. Aspek Eksternal : Psikososial dan ekonomi keluarga.
V. Derajat Fungsi Sosial :
o Derajat 1: Tidak ada kesulitan, dimana pasien dapat hidup mandiri
o Derajat 2: Pasien mengalami sedikit kesulitan.
o Derajat 3: Ada beberapa kesulitan, perawatan diri masih bisa
dilakukan, hanya dapat melakukan kerja ringan.
o Derajat 4: Banyak kesulitan. Tak melakukan aktifitas kerja,
tergantung pada keluarga.

35
o Derajat 5: Tak dapat melakukan kegiatan

Dasar-dasar dalam pengembangan pelayanan/pendekatan kedokteran


keluarga di layanan primer antara lain :

1. Pelayanan kesehatan menyeluruh (holistik) yang mengutamakan upaya


promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. Pelayanan kesehatan perorangan yang memandang seseorang sebagai
bagian dari keluarga dan lingkungan komunitasnya
3. Pelayanan yang mempertimbangkan keadaan dan upaya kesehatan secara
terpadu dan paripurna (komprehensif).
4. Pelayanan medis yang bersinambung
5. Pelayanan medis yang terpadu

Pelayanan komprehensif yaitu pelayanan yang memasukkan


pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit
dan proteksi khusus (preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan
(curative), pencegahan kecacatan (disability limitation) dan rehabilitasi
setelah sakit (rehabilitation) dengan memperhatikan kemampuan sosial serta
sesuai dengan mediko legal etika kedokteran.

Pelayanan medis yang bersinambung merupakan pelayanan yang


disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan bersinambung, yang
melaksanakan pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif dan terus
menerus demi kesehatan pasien.
Pelayanan medis yang terpadu artinya pelayanan yang disediakan dokter
keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter dengan
pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan kemitraan
lintas program dengan berbagai institusi yang menunjang pelayanan
kedokteran, baik dari formal maupun informal.

36
BAB III

METODOLOGI STUDI KASUS

3.1. Lokasi dan Waktu melakukan Studi Kasus.


3.1.1 Waktu Studi Kasus: 22 Juni 11 Juli 2015
3.1.2 Lokasi Studi Kasus: Puskesmas Mamajang

3.2 Metodologi studi kasus yang digunakan adalah Cohort study yaitu penelitian
longitudinal yang membandingkan subjek penelitian dalam periode waktu
tertentu

3.3 Pengumpulan data/informasi tentang penyakit atau permasalahan kesehatan


dengan melakukan komunikasi personal dengan pasien dan atau keluarganya
dan analisis data.

3.4 Pengumpulan data dilakukan dengan komunikasi personal dengan


pasien/keluarganya secara langsung dengan menggunakan pertanyaan what,
why, who, where, when dan how.

37
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL STUDI KASUS


A. PASIEN
Pasien perempuan berusia 49 tahun datang ke puskesmas Mamajang
dengan keluhan batuk yang dirasakan kurang lebih 3 bulan. Batuk disertai
dahak, dahak berwarna putih. Riwayat demam ada, pasien juga mengeluh
sering keringat malam. Nafsu makan berkurang sehingga terjadi penurunan
berat badan dalam 3 bulan terakhir. Sebelumnya pasien sudah pernah berobat
dan diberikan obat batuk namun tidak ada perbaikan selama mengkonsumsi
obat tersebut.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pasien, dokter
menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan sputum BTA 3 kali. Setelah
pemeriksaan dahak pagi dan sewaktu, reaksi dari pemeriksaan dahak tersebut
hasilnya (+2, +2), sehingga dokter mendiagnosa pasien menderita TB Paru.
Dokter menjelaskan dan menganjurkan pasien untuk mendapat pengobatan
selama 6 bulan dan harus kontrol setiap bulan untuk melihat perkembangan
pengobatannya.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien mengaku belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat DM dan Hipertensi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan batuk lama
- Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit asma

38
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien berada di tingkatan sosial ekonomi bawah. Pasien memiliki
pekerjaan sebagai cleaning service di puskesmas tersebut. Pasien tinggal
bersama sepupu laki-lakinya.
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : sakit sedang
2. Vital sign
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15
Tek. Darah : 110/70 mmHg
Frek. Nadi : 88 x/menit
Frek Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 C
BB : 39 kg
Tinggi Badan : 150 cm
3. Status Generalis :
- Kepala : Normocephal
- Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
Pupil bulat, isokor
- THT : Dalam Batas Normal
- Leher : Pembesaran KGB dan tiroid (-)
- Paru-paru
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kanan dan
kiri
Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan
kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler kanan dan kiri, rhonki halus (+/-),

39
wheezing (-/-)
- Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikula sinistra
Perkusi : batas jantung kanan ICS IV linea sternalis
dextra batas jantung kiri ICS V linea
midklavikula sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, murmur (-)
- Abdomen

Inspeksi : simetris, datar, kelainan kulit (-), pelebaran

vena (-)

Auskultasi : bising usus normal


Palpasi : nyeri lepas (-), nyeri ketuk (-),
hepatomegali(-), spleenomegali (-)
Perkusi : timpani di semua lapang abdomen, nyeri
ketuk (-)

- Ekstremitas : akral hangat, edema



4. Status Lokalis : -

Informasi hasil pemeriksaan tambahan:


Batuk berdahak sudah 3 bulan. Batuk berdahak berwarna putih tanpa disertai
darah
TD 110/70 mmHg.
Demam sub febril (+)
Keringat di malam hari (+)
Kurang pengetahuan tentang TB paru

40
Nn.W bekerja sebagai cleaning service di puskesmas.
Nn.W masih dapat bekerja dengan baik, tanpa bantuan siapapun.
Pada pemeriksaan fisik Nn.W di dapatkan:
- Berat badan 39 kg , tinggi badan 150 cm.
- Pernapasan vesikuler dengan ronkhi halus pada lapangan paru sebelah kanan.
Pada pemeriksaan penunjang di dapatkan:
- Hasil pemeriksaan dahak pasien BTA (+2, +2).

B. KELUARGA
Profil Keluarga
1. Karakteristik Keluarga

Tabel 1. Anggota keluarga yang tinggal serumah

Kedudukan
No Nama Gender Umur Pendidikan Pekerjaan
dalam keluarga

1. Tn. M Saudara sepupu L 38 th SMA Security

Cleaning
2. Nn.W Saudara sepupu P 49 th SMA
service

41
2. Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup
a. Lingkungan tempat tinggal

Tabel 2 Lingkungan tempat tinggal


Status kepemilikan rumah : milik sendiri
Daerah perumahan : padat penduduk

Karakteristik Rumah dan Lingkungan Kesimpulan

Luas rumah : 8 x 6 m2 Keluarga Nn.W tinggal di


rumah dengan kepemilikian
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 2 orang milik sendiri. Nn.W tinggal

Luas halaman rumah : - dalam rumah yang tidak sehat


dengan lingkungan rumah
Tidak bertingkat
yang padat dan ventilasi yang
Lantai rumah dari : semen tidak memadai yang dihuni
Dinding rumah dari : semi permanen oleh 2 anggota keluarga.
Dengan penerangan listrik 450
Jamban keluarga : ada
watt. Air PAM umum sebagai
Tempat bermain : tidak ada sarana air bersih keluarga.

Penerangan listrik : 450 watt

Ketersediaan air bersih : ada

Tempat pembuangan sampah : tidak ada

42
KAMAR
DAPUR MANDI

KAMAR RUANG
8 METER TAMU
KAMAR

6 METER

b. Kepemilikan barang barang berharga


Nn.W memiliki beberapa barang elektronik di rumahnya antara lain
yaitu, satu buah televisi berwarna yang terletak di ruang tamu, dua satu
kipas angin yang terletak di ruang tamu, satu buah kompor gas yang
terletak di dapur. Nn.W juga memiliki satu buah sepeda motor milik
sepupu laki-lakinya.

3. Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga


a. Tempat berobat
Apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit, Nn.W selalu
berobat ke puskesmas untuk mendapatkan terapi yang lebih baik untuk
kesembuhan penyakit mereka.

43
b. Balita : KMS
Anggota keluarga Nn.W tidak ada yang berusia balita sehingga tidak
memiliki KMS.
c. Asuransi / JaminanKesehatan
Keluarga Nn.W tergolong keluarga dengan status ekonomi rendah,
namun keluarga ini sudah memiliki asuransi jaminan kesehatan

4. Sarana Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)

Tabel 3 Pelayanan Kesehatan


Faktor Keterangan Kesimpulan
Nn.W berobat ke
Cara mencapai pusat Kendaraan umum Puskesmas dengan
pelayanan kesehatan mengendarai kendaraan
umum. Menurutnya
kualitas pelayanannya
Tarif pelayanan kesehatan Murah
dinilai memuaskan
sehingga pasien mau
datang kembali untuk
Kualitas pelayanan
Memuaskan berobat.
kesehatan

5. Pola Konsumsi Makanan Keluarga


a. Kebiasaan makan :
Keluarga Nn.W makan sebanyak dua sampai tiga kali sehari. Menu
makanan yang diterapkan dalam waktu makan mereka tidak pernah
menentu. Menu makanan mereka paling sering hanya makan nasi dengan
lauk tahu atau tempe, ikan (biasanya ikan bandeng) beserta sayuran.
Untuk makan ayam dan daging sangat jarang. Adapun makanan yang

44
dimakan oleh keluarga Nn.W dimasak sendiri. Keluarga Nn.W jarang
mengkonsumsi buah-buahan dan susu. Keluarga Nn.W selalu
membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah makan
serta merapikan dan membersihkan peralatan makan mereka setelah
selesai makan.
b. Menerapkan pola gizi seimbang :
Keluarga Nn.W masih belum menerapkan pola gizi seimbang kepada
seluruh anggota keluarga karena keterbatasan ekonomi. Sehingga keluarga
ini jarang mengkonsumsi buah-buahan dan susu untuk asupan gizi yang
seimbang.

6. Pola Dukungan Keluarga


1. Faktor pendukung terselesaikannya masalah dalam keluarga
Mayoritas anggota keluarga Nn.W peduli terhadap kesehatan. Untuk
Nn.W sendiri yang telah didiagnosis terjangkit penyakit TB, secara rutin
selalu kontrol untuk mengambil obat di Puskesmas Mamajang.
Seluruh anggota keluarga senantiasa memberikan dukungan kepada
Nn.W agar dapat sembuh dari penyakitnya dengan cara, saudara sepupu
laki-laki selalu mengingatkan pasien untuk minum obat secara rutin agar
tidak terjadi putus obat dan kontrol untuk mengambil obat di Puskesmas
Mamajang tiap bulan. Nn.W memiliki kesadaran yang besar akan
penyakitnya, sehingga Nn.W membatasi diri dengan anggota keluarga
yang sehat karena Nn.W khawatir anggota keluarganya atau teman-teman
di tempat kerjanya tertular. Oleh karena itu, Nn.W selalu menggunakan
masker saat di luar rumah, ataupun kadang di dalam rumah dan tidak
membuang dahak sembarangan.
2. Faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga
Adapun faktor-faktor yang menghambat dalam kesembuhan Nn.W
antara lain, jumlah ventilasi dan jumlah jendela yang tidak sesuai dengan

45
ketentuan rumah sehat sehingga siklus udara di dalam rumah yang sangat
minim, jarangnya membuka jendela rumah sehingga terasa lembab, rumah
tidak mendapat pencahayaan sinar matahari yang cukup, sehingga
membuat rumah menjadi gelap, kondisi lingkungan sekitar rumah yang
berada dalam pemukiman padat penduduk, dan tingkat ekonomi keluarga
yang cukup rendah sehingga menyebabkan daya beli keluarga terhadap
bahan-bahan pokok makanan rendah, sehingga kualitas makanan yang
dikonsumsi juga rendah.
Genogram
1. Bentuk keluarga :
Bentuk keluarga ini termasuk bukan keluarga inti. Nn.W adalah
saudara sepupu perempuan dan Tn.M saudara sepupu laki-laki.

46
4.2. PEMBAHASAN
4.2.1. Analisa Kasus
Pasien perempuan berusia 49 tahun datang ke puskesmas Mamajang
dengan keluhan batuk yang dirasakan kurang lebih 3 bulan. Batuk disertai
dahak berwarna putih. Riwayat demam ada, pasien juga mengeluh sering
keringat malam. Nafsu makan berkurang sehingga terjadi penurunan berat
badan 3 bulan terakhir. Sebelumnya pasien sudah pernah berobat dan
diberikan obat batuk namun tidak ada perbaikan selama mengkonsumsi
obat tersebut.
Dari anamnesis dan pemerikasaan fisik didapatkan dari pasien, dokter
menganjurkan untuk melakukan pemerikasaan sputum BTA 3 kali.
Setelah pemeriksaan dahak pagi dan sewaktu, reaksi dari pemeriksaan
dahak tersebut hasilnya (+2,+2), sehingga dokter mendiagnosa pasien
menderita TB Paru. Dokter menjelaskan dan menganjurkan pasien untuk
mendapat pengobatan selama 6 bulan dan harus kontrol setiap bulan untuk
perkembangan pengobatannya.
4.2.2. Analisa Kunjungan Rumah
Pasien
Pasien tinggal di rumah milik sendiri bersama dengan saudara sepupu.
Pekerjaan
Pasien adalah seorang cleaning service di Puskesmas Mamajang
Makassar
Keadaan rumah
Pasien tinggal bersama saudara sepupu di pemukiman padat penduduk
dengan kondisi ventilasi yang tidak memadai.

47
4.2.3. Identifikasi permasalahan yang didapat dalam keluarga
Masalah dalam fungsi ekonomi dan pemenuhan kebetuhan
Nn.W sebagai kepala keluarga bekerja sebagai cleaning service di
puskesmas dengan penghasilan yang tidak tetap, sedangkan Tn.M saudara
sepupu bekerja sebagai security dengan penghasilan yang kurang. Dengan
penghasilan Nn.W dan Tn.M yang tidak tetap menyebabkan sulit untuk
terpenuhinya kebutuhan rumah tangga. Hal ini juga menyebabkan
keluarga sulit untuk memenuhi makanan yang bergizi.
Masalah lingkungan
Lingkungan tempat tinggal Nn.W merupakan lingkungan yang padat
penduduk dan letak rumah yang satu dengan rumah yang lainnya saling
menempel. Nn.W jarang membuka jendela rumahnya sehingga terasa
lembab.

4.2.4. Diagnosis Holistik


Untuk melakukan diagnostik holistik yang komprehensif maka diperlukan
tinjauan dari beberapa aspek antara lain :
1. Anamnesis
Aspek personal
Pasien datang atas kemauan sendiri dan berobat di Puskesmas
Mamajang. Hal ini dilakukan karena sebelumnya pasien sudah berobat
tetapi tidak kunjung sembuh. Sehingga pasien khawatir bahwa batuk yang
diderita akan semakin memburuk dan anggota keluarga lainnya tertular.
Dengan berobat ke puskesmas pasien berharap penyakitnya dapat cepat
sembuh.
Aspek klinik
Berdasarkan hasil anamnesa yang didapatkan pasien datang dengan
keluhan batuk yang dirasakan sudah 3 bulan, dan dari pemeriksaan fisis
didapatkan adanya ronkhi pada apex paru kanan, dan dari pemeriksaan

48
penunjang didapatkan hasil sputum BTA 3 kali positif 2. Berdasarkan
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien di
diagnosis TB Paru sejak 1 bulan terakhir dan sementara dalam terapi
DOTS.
Aspek risiko internal
Penyakit TB Paru dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor internal
antara lain jenis kelamin, kebiasaan pasien, tingkat pendidikan, dan
keadaan sosial ekonomi.
Pada faktor jenis kelamin TB paru memang lebih sering dialami oleh
pria dibandingkan wanita. Hal ini dikarenakan laki-laki sebagian besar
mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB
Paru.
Dilihat dari tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan
terhadap seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat
kesehatan. Untuk rumah Nn.W disini termasuk rumah yang kurang sehat
dimana jumlah ventilasi dan jumlah jendela yang tidak sesuai dengan
ketentuan rumah sehat sehingga siklus udara di dalam rumah yang sangat
minim dan rumah tidak mendapat pencahayaan sinar matahari yang
cukup. terlebih dimana kondisi lingkungan sekitar rumah Nn.W yang
terdapat penderita TB dewasa.
Kemudian melihat kondisi ekonomi yang berkaitan erat dengan
pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, dan gizi. Kurangnya pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi
konsumsi makanan sehingga akan mempengaruhi status gizi pasien.
Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang
menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB paru. Pada keluarga
Nn.W oleh karena penghasilan yang kurang dan tidak menentu, sehingga
mereka kurang mendapatkan asupan gizi yang baik.

49
Aspek psikososial keluarga
Di dalam keluarga terdapat faktor-faktor yang dapat menghambat dan
mendukung kesembuhan pasien. Di antara faktor-faktor yang dapat
menghambat kesembuhan pasien yaitu, kurangnya pengetahuan keluarga
tentang penyakit yang diderita pasien, serta kurangnya kesadaran keluarga
untuk hidup sehat, dan keadaan sosial ekonomi yang kurang. Sedangkan
faktor yang dapat mendukung kesembuhan pasien yaitu, adanya dukungan
dan motivasi dari anggota keluarga baik secara moral dan materi untuk
Nn.W.
Aspek fungsional
Secara aspek fungsional, pasien tidak ada kesulitan dan masih merasa
mampu dalam hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam
maupun di luar rumah.

Derajat Fungsional
Nn. W masih dapat bekerja dengan baik tanpa bantuan siapapun
(derajat 1 minimal)
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital :Tekanan Darah: 110/70 mmHg, Nadi : 88 x/menit,
Pernapasan : 20 x/menit, Suhu : 36,5 0C
3. Pemeriksaan Penunjang
- Pernapasan vesikuler dengan ronkhi halus pada lapangan paru sebelah kanan.
- Hasil pemeriksaan dahak pasien BTA (+2, +2).
4. Diagnosis Holistik (Bio-Psiko-Sosial)
Diagnose Klinis: TB Paru
Diagnose Psikososial: Kurang pengetahuan tentang TB paru

50
5. Penatalaksanaan
N WAKTU
KEGIATAN SASARAN KET
O PELAKSANAAN

1Promosi kesehatan 3 Juli 2015 Meningkatkan


tentang Perilaku derajat kesehatan
Hidup Bersih dan pasien maupun
Sehat seperti keluarga atau
kebiasaan makan, lingkungan
merokok, dan tempat
berolahraga. tinggalnya.
Menjelaskan perilaku
batuk yang baik.

2Memberikan edukasi 4 Juli 2015 Agar dapat


tentang penyakit TB mencegah
Paru. penyakit TB
Paru.

Tabel 6 : Rencana tindak lanjut


Penatalaksanaan secara kedokteran keluarga pada pasien ini meliputi
pencegahan primer, pencegahan sekunder (terapi untuk pasien dan keluarga
pasien).

Pencegahan Primer
Promosi kesehatan dengan pendekatan perilaku hidup sehat seperti makan
makanan yang bersih.

51
Pencegahan Sekunder
Terapi untuk pasien
1. Pengobatan farmakologi berupa : OAT Kategori 1 (2RHZE/4R3H3)
2. Pengobatan non farmakologis
- Istirahat yang cukup
- Minum obat dengan teratur hingga tuntas selama 6 bulan.
- Mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi
- Perilaku batuk yang baik.
- Menjaga sirkulasi udara didalam rumah.
Terapi untuk keluarga
Terapi untuk keluarga hanya berupa memberikan informasi dan
penjelasan mengenai penyakit TB Paru.

52
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil studi kasus TB yang dilakukan di layanan primer


(Puskesmas Mamajang) mengenai penatalaksanaan penderita TB dengan
pendekatan diagnose holistik, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


pasien didiagnosa menderita TB paru.
2. Permasalahan yang didapat ditinjau dari beberapa fungsi diantaranya :
Nn.W sebagai kepala keluarga bekerja sebagai cleaning service di
puskesmas dengan penghasilan yang tidak tetap, sedangkan Tn.M saudara
sepupu bekerja sebagai security dengan penghasilan yang kurang. Dengan
penghasilan Nn.W dan Tn.M yang tidak tetap menyebabkan sulit untuk
terpenuhinya kebutuhan rumah tangga. Hal ini juga menyebabkan
keluarga sulit untuk memenuhi makanan yang bergizi.
Lingkungan tempat tinggal Nn.W merupakan lingkungan yang padat
penduduk dan letak rumah yang satu dengan rumah yang lainnya saling
menempel. Nn.W jarang membuka jendela rumahnya sehingga terasa
lembab.
3. Diagnosis Holistik (multiaksial) :
- Aspek personal : Pasien berharap dengan datang berobat
ke Puskesmas maka keluhan yang dideritanya akan sembuh.
- Aspek klinik : TB paru
- Aspek resiko internal :
Aspek risiko internal yang didapatkan pada pasien yaitu kebiasaan,
keadaan sosial ekonomi, dan lingkungan. Kurangnya pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam

53
memenuhi konsumsi makanan sehingga akan mempengaruhi status
gizi pasien. Dan jumlah ventilasi dan jumlah jendela yang tidak
sesuai dengan ketentuan rumah sehat sehingga siklus udara di
dalam rumah yang sangat minim dan rumah tidak mendapat
pencahayaan sinar matahari yang cukup.
- Aspek psikososial keluarga :
Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit yang diderita
pasien, serta kurangnya kesadaran keluarga untuk hidup sehat, dan
keadaan sosial ekonomi yang kurang.

- Aspek Fungsional :
Derajat 1; Pasien tidak ada kesulitan dan masih merasa mampu
dalam hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam
maupun di luar rumah.

5.2. Saran

1. Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien dan keluarga pasien adalah


sebagai berikut :
- Aspek personal :
Menganjurkan kepada pasien untuk rajin kontrol dan mengambil obat
ke Puskesmas apabila obat yang tersedia sudah mau habis.
Menjelaskan kepada pasien agar selalu rutin meminum obatnya dan
jangan sampai terjadi putus obat. Hasil yang diharapkan adalah pasien
rutin untuk kontrol ke Puskesmas dan minum obat secara teratur.
- Aspek klinik :
Memberikan OAT kategori I kepada pasien. Hasil yang diharapkan
adalah menyembuhkan penyakit yang diderita pasien.

54
- Aspek resiko internal :
Menganjurkan kepada pasien untuk rutin ke Puskesmas, makan
makanan yang bergizi, dan membuka jendela rumahnya pada pagi
hingga siang hari. Hasil yang diharapkan Pasien dapat makan dengan
pola makan sehat dan rajin membuka jendela rumahnya agar rumah
tidak terasa lembab.
- Aspek psikososial keluarga :
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang penyakit yang
diderita pasien, menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang
perilaku hidup sehat, dan memberikan dukungan pada pasien agar
sabar untuk menghadapi kondisi ekonominya. Hasil yang diharapkan
adalah pasien dan keluarganya dapat memahami dengan baik tentang
penyakit yang sedang diderita pasien sehingga dapat mengupayakan
pencegahan untuk penyakit tersebut.
- Aspek Fungsional :
Menganjurkan pasien untuk menjaga kondisi fisiknya dengan aktif
melakukan olah raga ringan seperti jalan santai selama 30 menit. Hasil
yang diharapkan adalah kondisi pasien lebih sehat dan prima dan dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.
2. Diperlukan kerja sama antara anggota keluarga dengan petugas pelayanan
kesehatan dalam menyelesaikan semua permasalahan yang ditemukan.
Pasien dan keluarganya agar lebih terbuka kepada pemberi pelayanan
kesehatan jika ingin mengetahui tentang penyakitnya.
3. Perlunya pelayanan kesehatan yang lebih menyeluruh, komprehensif,
terpadu dan kesinambungan. Diperlukan suatu rekam medis yang benar
dan teratur, serta terkomputerisasi untuk menunjang pelayanan. Perlunya
mengedukasi pasien TB paru untuk meminum obat teratur hingga
pengobatan tuntas dan kontrol secara rutin tiap bulan.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Zulkifli. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 edisi V. Jakarta: FK
UI. 2009. Hal 2230-2239.
2. Aditama, Chandra Y Oga dr. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2006
3. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan 8. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002.
4. Guyton, C. Arthur. Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. 2008
5. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia. Jakarta:EGC. 2012.
6. Rab, Tabrani. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Trans Info Media. 2010
7. Chandra, Budiman dr. Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta.
EGC.2010

56

Anda mungkin juga menyukai