Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, karsinoma nasofaring ( KNF ) merupakan penyakit keganasan
yang paling sering ditemukan di bidang penyakit telinga hidung tenggorokan.
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit tumor ganas yang mempunyai
distribusi endemic diseluruh dunia dengan variasi kejadian berbeda-beda untuk
tiap daerah. Di Indonesia, tumor ganas ini termasuk dalam urutan pertama tumor
ganas pada kepala dan leher dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Tumor
ini berasal dari Fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah
transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi skuamosa.1,2
Dalam urutan 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, ia menduduki
tempat ke empat setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit.
Sebagian besar pasien datang berobat ketika sudah dalam stadium yang lanjut,
dimana tumor sudah meluas kejaringan sekitarnya. Letak Nasofaring yang
tersembunyi serta gejala dini yang tidak khas, inilah yang mengakibatkan
diagnosis sering terlambat yang menyebabkan tingginya angka kematian. 1,2
Seperti keganasan yang lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan,
sehingga pencegahannya sulit. Yang perlu ditekankan adalah usaha kearah
diagnosis dini, yaitu dengan meningkatkan kewaspadaan para dokter serta
memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya
masyarakat mengetahui tanda-tanda stadium awal penyakit dan kemana mereka
harus pergi untuk mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat. 1,2
Gangguan pendengaran merupakan salah satu gejala dini dari penyakit ini,
disamping gejala dini lain yang berupa hidung buntu atau hidung keluar darah,
tetapi gejala tersebut sering tidak terpikirkan oleh dokter pemeriksa bahwa
penyebanya adalah tumor ganas di Nasofaring, sehingga baru di ketahui bila
penyakit sudah dalam keadaan lanjut. Gangguan pendengaran kadang-kadang
disertai juga keluhan rasa penuh di telinga , telinga berbunyi atau rasa nyeri di
telinga. 1,2

1
2

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi, etiologi dan patofisiologi karsinoma nasofaring ( KNF )?
2. Bagaimanakah klasifikasi karsinoma nasofaring ( KNF )?
3. Bagaimanakah gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
diagnosis,diagnosis banding dan terapi karsinoma nasofaring ( KNF )?
1.3 Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui tentang penyakit
karsinoma nasofaring sehingga diagnosis dapat ditegakan lebih dini serta
mendapat penanganan yang adekuat dan tepat agar dapat mengontrol gejala
dengan baik, sehingga tidak menimbulkan komplikasi.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4


cm, lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Dinding anterior dibentuk oleh koana
dan batas posterior septum nasi. Lantai dibentuk oleh permukaan atas palatum
mole. Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai
dibatasi oleh sfenoid. Dinding lateral terdapat muara tuba Eustachius. Dinding
nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau kripta. Secara
histologi mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia
(pseudostratified ciliated columnar epithelium) yang ke arah orofaring akan
berubah menjadi epitel gepeng berlapis (stratified squamous epithelium). Di
antara keduanya terdapat epitel peralihan (transitional epithelium) yang terutama
didapatkan pada dinding lateral di daerah fosa Rosenmuller. 1,2
Nasofaring memiliki pleksus limfatik submukosa yang banyak. Daerah
drainase urutan pertama adalah nodul retrofaringeal yang terdapat di ruang
retrofaringeal di antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia
prevertebral. Sistem limfatik kemudian bermuara ke cincin juguler interna
profunda bagian atas pada dasar tengkorak di dalam ruang parafaring retrostyloid
di ujung atas otot sternokleidomastoid. Kemudian sistem limfatik bermuara ke
posterior daerah syaraf aksesorius dan bagian depan ke kelompok jugulodigastrik.
Nasofaring adalah struktur yang terletak di garis tengah tubuh, kaya akan
pembuluh limfe dengan muara yang bersilangan sehingga penyebaran sel tumor
bilateral dan kontralateral tidak jarang dijumpai.3
Batas-batasnya :
- Dinding depan : Koane
- Dinding belakang : Merupakan dinding melengkung setinggi Vertebra
Sevikalis I dan II.
- Dinding atas : Merupakan dasar tengkorak (Basis kranii)
- Dinding bawah : Permukaan atas palatum molle.
4

- Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid. Dinding


samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas ostium tuba yang
disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil
disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang
merupakan lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring. 1,2
Fungsi nasopharing : 1,2
Sebagai jalan udara pada respirasi
Jalan udara ke tuba eustachii
Resonator
Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring1,2

2.2 Definisi

Kanker adalah suatu penyakit pertumbuhan sel karena di dalam organ tubuh
timbul dan berkembang biak sel-sel baru yang tumbuh abnormal, cepat, dan tidak
terkendali dengan bentuk, sifat dan gerakan yang berbeda dari sel asalnya, serta
merusak bentuk dan fungsi organ asalnya. 1,2,3

Kanker sering dikenal sebagai tumor, tetapi tidak semua tumor disebut
kanker. Tumor merupakan satu sel liar yang berada dibagian tubuh dan terus
membesar di lokasi yang tetap atau tidak menyebar ke bagian tubuh lain.
Mengakibatkan terbentuknya benjolan di bagian tubuh tertentu dan jika tidak
diobati dengan tepat sel tumor berubah menjadi kanker. Berbeda dengan sel tumor
yang tidak menyebar kebagian tubuh lain, sel kanker akan terus membelah diri
5

dengan cepat dan tidak terkontrol menyebabkan sel kanker sangat mudah
menyebar ke beberapa bagian tubuh melalui pembuluh darah dan pembuluh getah
bening. 1,2

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah


nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller.

Gambar 2.2. Gambaran Ca Nasofaring

2.3 Epidemiologi 2,3


Penyakit ini 100% terkait dengan EBV, terutama tipe undifferentiated
carcinoma. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher adalah KNF, kemudian
diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), tumor
ganas rongga mulut, tonsil, tiroid dan hipofaring dalam prosentase yang lebih
rendah.4 Secara umum KNF ditemukan pada populasi yang lebih muda daripada
kanker kepala dan leher di tempat lain. Pada daerah endemik insiden meningkat
sejak usia 20 tahun dan mencapai puncak pada dekade IV dan dekade V.5 Pada
daerah resiko rendah usia terbanyak pada dekade V dan dekade VI tapi masih
terdapat angka kejadian yang signifikan pada usia di bawah 30 tahun, dengan
puncak awalnya antara usia 15-25 tahun. KNF lebih sering dijumpai pada pria
daripada wanita dengan perbandingan pria dan wanita 3 : 1.6
6

2.4 Etiologi 2,7,8

Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktorial, proses


karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait dengan
timbulnya karsinoma nasofaring adalah:

a. Kerentanan genetik
Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap
kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol ras yang
banyak sekali menderitanya adalah bangsa China dan memiliki fenomena agregasi
familial, Anggota keluarga yang menderita karsinoma nasofaring cendrung juga
menderita karsinoma nasofaring. Penyebab karsinoma nasofaring ini belum
diketahui apakah karsinoma nasofaring dikarenakan oleh gen yang diwariskan.8

b. Epstein-Barr Virus
EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya
karsinoma nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan
memengaruhi DNA sel sehingga mengalami mutasi, khususnya protooncogen
menjadi oncogen.2,7

c. Faktor ligkungan dan diet


Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, termasuk
asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Orang-orang yang tinggal
di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik dengan karsinoma nasofairng
mempunyai kebiasaan makan makanan seperti ikan dan daging yang tinggi kadar
garamnya. Sebaliknya, beberapa studi menyatakan bahwa diet tinggi buah dan
sayur mungkin menurunkan resiko karsinoma nasofaring.

d. Radang kronis daerah nasofaring


Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan
terhadap karsinogen lingkungan.
7

2.5 Histopatologi dan Stadium


WHO menetapkan KNF sebagai kanker yang berasal dari sel skuamous dan
dibedakan menjadi 3 tip
1) WHO tipe I: keratinizing squamous cell carcinoma, menunjukkan
differensiasi skuamosa dengan adanya jembatan interseluler dan atau
keratinisasi di atasnya. 2,9

Gambar 2.3. keratinizing squamous cell carcinoma

2) WHO tipe II: differentiated non keratinizing carcinoma, sel tumor


menunjukkan diferensiasi dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam
sel, terdiri dari sel-sel yang bervariasi mulai dari sel matur sampai
anaplastik dan hanya sedikit sekali membuat keratin atau tidak sama
sekali. 2,9

Gambar 2.4.non keratinizing squamous cell carcinoma


8

3) WHO tipe III: Undifferentiated carcinoma, mempunyai gambaran patologi


yang sangat heterogen. Sel ganas memiliki inti bulat sampai oval dan
vesikuler, batas sel yang tidak jelas, dapat ditemukan sel ganas berbentuk
spindle dengan inti hiperkromatik. 2,9

Gambar 2.5. Undifferentiated carcinoma

Penentuan stadium dilakukan berdasarkan klasifikasi TNM dalam AJCC


(American Joint Committee on Cancer) tahun 2008 sebagai berikut:10
TUMOR SIZE (T)

T Tumor primer

T0 Tidak tampak tumor

T1 Tumor terbatas pada satu lokasi saja

T2 Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas
pada rongga nasofaring

T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring

T4 Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang tengkorak
atau saraf-saraf otak

Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap

REGIONAL LIMFE NODES (N)

N0 Tidak ada pembesaran

N1 Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih bisa digerakkan

N2 Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakkan

N3 Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral


yang sudah melekat pada jaringan sekitar
9

METASTASE JAUH (M)

M0 Tidak ada metastase jauh

M1 Metastase jauh

Stadium I : T1 No dan Mo
Stadium II : T2 No dan Mo
Stadium III : T3 dan No dan Mo
Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan
Mo atau T1/T2/T3/t4 dan No/N1/N3/N4 dan M1

Setiap gejala mempunyai nilai dalam mendiagnosis KNF. Bila jumlah nilai
50, diagnosis KNF dapat ditegakkan. Walaupun terbukti KNF secara klinis,
biopsy nasofaring mutlak dilakukan untuk konfirmasi diagnosis histopatologi dan
menentukan subtipe histopatologi yang erat hubungannya dengan pengobatan dan
prognosis.2
GEJALA SKOR
Massa terlihat di nasofaring 25
Limfadenopati Leher 25
Gejala di hidung seperti epistaksis dan hidung buntu 15
Gejala telinga seperti tinitus dan penurunan pendengaran 15
Sakit Kepala unilateral atau bilateral 5
Gangguan neurologi 5
Eksoftalmus 5
10

2.6 Patofisiologi 9,11,12

Gambar 2.6. Patofisiologi Carcinoma

2.7 Manifestasi Klinis2,11,12


1. Gejala nasofaring
Adanya epistaksis ringan atau sumbatan hidung.Terkadang gejala belum
ada tapi tumor sudah tumbuh karena tumor masih terdapat dibawah mukosa
(creeping tumor).
2. Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba
Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, tuli, rasa tidak
nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
3. Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus
sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit
mengkilat. Hal inilah yang mendorong pasien untuk berobat.
11

4. Gangguan mata dan syaraf


Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui
foramen laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga
dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan
motorik dan sensorik.

2.8 Diagnosa 9,11,12


Karsinoma nasofaring dapat ditegakkan diagnosisnya secara dini, untuk itu
harus melakukan hal-hal berikut ini:

a. Tingkat kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien


Pasien dengan epistaksis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli
unilateral, lymphadenopathy leher tak nyeri, cephalgia, ruda paksa saraf kranial
dengan kausa tak jelas, dengan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga
nasofaringnya dengan nasofaringoskopi atau rhinoskopi posterior.
b. Pemeriksaan kelenar limfe leher
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan rantai arteri vena transversalis koli apakah terdapat pembesaran.
c. Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior, dengan atau tanpa
menggunakan kateter.

- Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter


Nasofaringoskopi indirek menggunakan kaca dan lampu khusus untuk
menilai nasofaring dan area yang dekat sekitarnya. Pada pasien dewasa
yang tidak sensitif, pemeriksaan ini dapat dilakukan. Tumor yang
tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan dapat tampak dengan
mudah.
- Rinoskopi posterior menggunakan kateter
Nasofaringoskopi direk, dokter menggunakan sebuah fibreoptic scope (
lentur, menerangi, tabung sempit yang dimasukkan ke rongga hidung
atau mulut) untuk menilai secara langsung lapisan nasofaring. Dua buah
kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan
kiri, setelah tampak di orofaring, ujung katater tersebut dijepit dengan
12

pinset dan ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan masing-masing


ujung kateter yang lainnya.

d. Pemeriksaan saraf kranial


Ditujukan pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah
kadang perlu diperiksa berulang kali barulah ditemukan hasil positif.
e. Pencitraan

Computed tomography (CT) scan nasofaring

Makna klinis aplikasinya adalah: (1) membantu diagnosis; (2)


memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat; (3) secara tepat
menetapkan zona target terapi; merancang medan radiasi; (4)
memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tindak
lanjut.

Chest x-ray

Jika pasien telah didiagnosa karsinoma nasofaring, foto polos x-ray


dada mungkin dilakukan untuk menilai penyebaran kanker ke paru.

Magnetic resonance imaging (MRI) scan

MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat


serentak membuat potongan melintang, sagital koronal, sehingga lebih
baik dari CT. MRI selain dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur
nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan
infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara pasca fibrosis pasca
radioterapi dan rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat.
f. Biopsy nasofaring
Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah mikroskop oleh
patologi untuk memastikan tanda-tanda kanker.
g. Pemeriksaan histopatologi
Ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid) pada nasofaring yaitu karsinoma sel
skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma
tidak berdiferensiasi.
13

h. Pemeriksaan serologis EBV


Bagi salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko tinggi
kanker nasofaring.

- Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA >=


1:80.
- Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-Imunoglobulin)
EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut
positif.

2.9 Tatalaksanaan 13,14,15


1. Stadium I : Radioterapi.
2. Stadium II&III : Kemoradiasi
3. Stadium IV dengan N<6cm: Kemoradiasi.
4. Stadium IV dengan N>6cm: kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah
radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang Bersifat radiosensitif

a. Radioterapi

Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray


energi atau radiasi tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau
menghambat pertumbuhan sel kanker. Ada dua tipe terapi radiasi.
Terapi radiasi external menggunakan mesin yang berada di luar tubuh
untuk memberikan radiasi kepada kanker. Terapi radiasi internal
menggunakan zat radioaktif yang dimasukkan melalui jarum,
radioaktive seeds, wires atau kateter yang ditempatkan secara langsung
kedalam atau di dekat kanker.
Sumber radiasi menggunakan radiasi Co-60, radiasi energi
tinggi atau radiasi X energi tinggi.

b. Kemoterapi

Pemberian kemoterapi diberikan dalam banyak siklus, dengan


setiap periode diikuti dengan adanya waktu istirahat untuk memberikan
14

kesempatan tubuh melakukan recover. Siklus-siklus kemoterapi


umumnya berakhir hingga 3 sampai 4 minggu. Kemoterapi sering tidak
dianjurkan bagi pasien yang kesehatannya memburuk. Tetapi umur
yang lanjut bukanlah penghalang mendapatkan kemoterapi.
Cisplatin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk
mengobati karsinoma nasofaring. Cisplatin telah digunakan secara
tunggal sebagai bagian dari kemoradiasi, tetapi boleh dikombinasikan
dengan obat lain, 5-fluorourasil (5-FU) jika diberikan setelah terapi
radiasi.

c. Terapi bedah

Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di


leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul
kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor
induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik
dan serologi, serta tidak adanya ditemukan metastsis jauh.

d. Terapi paliatif

Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan


beban penderita kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama
yang tidak dapat disembuhakn lagi. Tujuan terapi paliatif adalah:
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
- Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
- Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
- Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya
- Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut
berduka cita atas kematian penderita.

2.10 Diagnosa Banding 2,16


TB kelenjar limfe leher : Lebih banyak pada pemuda dan remaja, konsistensi
agak keras, dapat melekat dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang
terdapat nyeri tekan atau undulasi, serta didapatkan riwayat batuk lama.
15

2.11Komplikasi 16,17
Metastasis jauh ke tulang, hati dan paru dengan gejala khas nyeri pada tulang,
batuk-batuk, dan gangguan fungsi hati serta gangguan fungsi organ lain.
2.12Prognosa 2,17

Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia muda),
staging klinik dan lokasi dari metatase regional ( lebih baik pada yang homolateral
dibandingkan pada metastase kontralateral. Studi terakhir dengan menggunakan
TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stage I 98%, stage
II 95%, stage III 86%, dan stage IV 73%.
16

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ca nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel
mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring. Yang disebabkan
oleh Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama
timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal
disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk
mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator, kebiasaan untuk
mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak,
merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga
menimbulkan Ca Nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling
banyak dijumpai. Radioterapi merupakan pengobatan pilihan untuk karsinoma
nasofaring terutama untuk stadium I dan II. Radioterapi mempunyai komplikasi
terhadap jaringan disekitar tumor. Radioterapi masih tetap merupakan modalitas
terapi utama untuk KNF. Radioterapi sebagai gold standard untuk KNF sudah
dimulai sejak lama. Hasil radioterapi untuk KNF stadium dini sebenarnya cukup
baik, respon lengkap sekitar 80% sampai 100%, sedangkan untuk KNF stadium
lanjut respon radioterapi menurun tajam dengan angka ketahanan hidup 5 tahun
yang kurang dari 40%. Hasil radioterapi pada stadium lanjut didapatkan kurang
memuaskan sehingga para ahli berupaya mencari cara untuk meningkatkan
kontrol lokoregional dan sistemik, sekaligus meningkatkan survival rate.

3.2 Saran
Penulis memohon kepada pembaca untuk memberikan saran apabila perlu
adanya perbaikan ataupun penambahan dalam penyusunan makalah ini agar
penyusunan dan isi makalah ini kedepannya bisa lebih baik lagi.
17

DAFTAR PUSTAKA

1. Brennan, Bernadette. 2005. Nasopharyngeal Carcinoma. United Kingdom


Orphanet Encyclopedia. http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-NPC.pdf
2. Rozin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. In: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.
3. Wei, William I, Nasopharyngeal Cancer. In Bailey, Byron, Johnson, Jonas
T, Newlands, Shawn D, editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology
Fourt Edition. Lippincot Williams and Wilkins; 2006.p.1658-68.
4. Roezin A. Faktor Risiko pada Karsinoma Nasofaring. Maj patologi
Indonesia 2002; 11(4):42-45.
5. Chan J.K.C, Bray F, Mc Carron P, Foo W. Nasopharyngeal carcinoma in
Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidrasky D editors. WHO classification
of tumors: Pathology and genetics head and neck tumors Lyon 2005.p.85-
97.
6. Chang ET, Adami HO. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. Cancer Epidemiologic Biomarkers Prev 2006;15(10):1765-77.
7. Chan, A.T.C., dan Felip, E., 2009, Nasophayngeal cancer: ESMO Clinical
Recommendations for diagnosis, treatment and follow up, J Oncol, 20
(Supplement 4): 123-125.
8. Zeng MS, Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. In. Lu J.J, Cooper J.S , Lee A.W.M, editors. Nasopharyngeal
Carcinoma. Berlin Heidelberg; 2010.p.9-20.
9. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, et al.
Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral oncol. 2014 Mar
12; 50:330-338. doi: 10.1016/j.oraloncology.2014.02.006.
10. American Joint Committee on Cancer, (2008). AJCC Cancer Staging
Manual. Edisi 8. New York. Springer
11. Petersson F. Nasopharyngeal carcinoma: A review. Seminars in
Diagnostic Pathology. 2015; 32:54-73. Doi: 10.1053/j.semdp.2015.02.021.
18

12. Tan L, Loh T. Benign and Malignant Tumors of the Nasopharynx. In:
Flint PW, Haughey BH, Lund V, Niparko JK, Robbins KT, Thomas JR, et
al, editors. Cummings Otolaryngology, Sixth Edition. Philadelphia:
Saunders; 2015.
13. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AWM. Grays Basic Anatomy. London:
Churchill Livingstone; 2012.
14. Dhanutai K,Hemprich A, Pausch NC, Pitak-Arnnop P. Response to
Gingival squamous cell carcinoma: A diagnostic impediment. J Indian
Soc Periodontol.2012; 16:300-301. Doi:10.4103/0972-124X.100899.
15. American Cancer Society, 2013, Radiation Theraapy Priciples, American
Cancer Society, Atlanta, h. 2-18.
16. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. In: Soepardi EA, Iskandar
N,Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.
17. Suzina SAH, Hamzah M. Clinical Presentation of Patients with
Nasopharyngeal Carcinoma. Med JMalaysia. 2003 October; 58:539-545

Anda mungkin juga menyukai