PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat islam datang sebagai penutup bagi seluruh syariat agama. Nabi SAW diutus
kepada umat manusia, yaitu dimulai dengan memperbaiki kondisi bangsa Arab yang telah
dipilih oleh Allah untuk menjadi penolong dan mengajak kepada agama-Nya.
Pada masa sebelum islam, bangsa Arab pada umumnya memiliki dua kondisi yaitu
dengan menyembah berhala dan sistem kemasyarakatannya yang kacau balau. Adapun
untuk memurnikan kondisi sosial yang demikian itu, dengan menyiarkan agama Allah yaitu
dengan memperbaiki dua kondisi yang menjangkit di masyarakat Arab tersebut.
Bangsa arab sebelum kedatangan islam telah mengenal norma-norma sosial, namun
norma-norma sosial itu belum menjadi suatu undang-undang wajib yang menjadi rujukan
dalam menyelasaikan pertikaian-pertikaian dan melindungi hak-hak mereka. Padahal teks
undang-undang tersebut telah dikenal oleh banyak masyarakat.
Tahap awal dari orientasi islam adalah membenahi aqidah, sebagai landasan utama
yang kelak akan menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakat. Islam telah
menanamkan akidah tauhid kedalam lubuk hati mereka dan membimbing mereka kepada
keikhlasan dalam beribadah kepada Allah swt. Di samping itu, dikikis pula sedikit demi
sedikit moral yang bejad dari jiwa mereka, menghapus kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah
mendarah daging di kalangan mereka dan membentuk akhlak serta kepribadian yang baik.
Ketika islam datang, islam menerapkan prinsip-prinsip yang baik. Dalam hal ini
islam menyamaratakan semua golongan sosialnya, tidak membeda-bedakan antara penguasa
dengan rakyat, yang kaya dengan yang miskin, dll.1Sebelum Nabi Muhammad saw diutus,
orang-orang arab adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka dikendalikan oleh
kebiadaban, dinaungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tak ada agama yang mengikat dan
undang-undang yang harus mereka patuhi. Akibat dari hal ini adalah penuhnya jiwa mereka
dengan aqidah yang jahil. Setiap kelompok melihat kebenaran dari apa yang tumbuh dan
diwariskan bapak-bapak mereka, dan melihat keagungan dari apa yang tersebar dan dikenal
1
Syeh Muhammad Ali, Pertumbuhan dan Perkembangan hukum fiqh, ( Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1995 ) hlm.25 - 26
1
diantara qabilahnya. Hanya sedikit saja dari mereka yang berjalan dengan aturan yang dapat
menyelesaikan perselisihan mereka, adat yang dianggap baik serta langkah yang mulia.
Sebagian aturan ini datang pada mereka dari syariat Nabi Ismail. Tetapi sebagian ini
tertimpa agama orang-orang Yahudi dan Nasrani yang hidup di antara mereka atau yang
mengelilingi wilayah mereka atau yang mereka datangi untuk mencari kebutuhan hidup.
Sebagian lain mendapat petunjuk dari pengalaman dan dari adat dan tradisi, seperti ucapan
mereka : Pembunuhan itu menghilangkan pembunuhan, Pembayaran diat (denda) itu
dibebankan kepada keluarga. Aturan sumpah mereka telah dikenal. Mereka memiliki
aturan thalak dzihar, nikah dengan meminang wanita kepada walinya dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
a. Mengetahui perilaku bangsa arab sebelum islam ?
b. Mengetahui Hukum yang berlaku sebelum islam datang secara umum ?
c. Mengetahui Hukum yang berlaku pada masa jahiliyyah ?
d. Mengetahui Kondisi bangsa Arab Pra Islam ?
e. Mengetahui Kepercayaan bangsa Arab pra Islam ?
f. Mengetahui Badan Hukum di masa Arab Pra Islam ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
Bangsa Arab sebelum diutus seorang Nabi SAW adalah umat yang tidak mempunyai
aturan, kebiadaban yang mengendalikan mereka, gelapnya kebodohan yang menaungi
mereka dan tidak ada agama yang mengikat mereka, serta tidak ada undang-undang yang
dapat mereka patuhi. akibat dari itu semua jiwa mereka dipenuhi dengan akidah yang batil.
Tuhan dihayalkan pada patung yang mereka Pahat. Dengan tangannya sendiri, terkadang
pada binatang-binatang yang tampak dan hilang didepan mata mereka.
Mekkah adalah sebuah kota yang sangat penting di negeri Arab, baik karena tradisinya
maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan
Yaman di selatan dan Syiria di Utara. Dengan adanya kabah ditengah kota, Mekkah
menjadi pusat keagamaan Arab. kabah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya
terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala utama. Mekkah kelihatan makmur dan kuat.
Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah
Arab dengan luas satu juta mil persegi.2
Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua
golongan besar, yaitu Qathaniyun (keturunan Catan), dan Adnaniyun(keturunan Ismail ibn
Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduduki oleh golongan Adnaniyun, dan wilayah
selatan diduduki oleh golongan qahthan. Akan tetapi lama-kelamaan kedua golongan
tersebut membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Masyarakat, baik nomadik ataupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan
Badui. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas
kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka sangat suka
berperang, sehingga peperangan antar suku sering terjadi. Sikap ini nampaknya sudah
menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab.
Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai seorang wanita sangatlah rendah.
Situasi ini terus berlangsung sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu merupakan
2
Syekh Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Islam, (penerjemah Drs. Dedi Junaedi), (Jakarta : CV Akademika Pressindo, 1996) . Hlm. 56
3
kancah peperangan terus menerus. Pada sisi lain, meskipun masyarakat badui mempunyai
pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir (ketua kabilah) itu dalam
hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran
tertentu. Diluar itu, syekh atau amir tidak memiliki wewenang apa-apa.
Pada saat itu penganut agama yahudi juga banyak mendirikan koloni di jazirah Arab,
yang terpenting diantaranya adalah Yastrib. Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang
Arab yang menganut agama Yahudi. Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke
jazirah Arab, akan tetapi bangsa Arab masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya
kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah
mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan
mengetahui nasib baik dan buruk. Demikianlah keadaan bangsa Arab menjelang
kebangkitan islam.
1. Karakter Rasial
Sifat pertama, rasial, yang terdapat pada hukum Jahiliyyah bisa ditunjukkan dengan
adanya perasaan kebangsaan yang berlebihan (ultra nasionalisme) dan kesukuan
('ashabiyyah) serta adanya pembelaan terhadap orang-orang yang berada dalam komunitas
kesukuan (qabilah) yang sama. Pada masyarakat Arab pra-Islam, dikenal istilah al-
'ashabiyyah atau al-qawmiyyah yang berarti kecenderungan seseorang untuk membela
3
Hudhari Bik, Terjemahan Tarikh al-Islam, (alih bahasa Drs. Mohammad Zuhri) , ( Semarang :
Darul Ikhya,1980) hlm. 156 - 158
4
dengan mati-matian terhadap orang-orang yang berada di dalam qabilah-nya dan
dalam qabilah lain yang masuk ke dalam perlindungan qabilah-nya.
Orang-orang Arab pra-Islam memiliki perasaan kebangsaan yang luar biasa (ultra
nasionalisme). Mereka menganggap diri mereka (Arab) sebagai bangsa yang mulia dan
menganggap bangsa lain ('Ajam) memiliki derajat di bawahnya.
2. Karakter Feudal
Karakter feudal pada hukum Arab pra-Islam tergambar dengan adanya superioritas
yang dimiliki oleh kaum kaya dan kaum bangsawan di atas kaum miskin dan lemah.
Kehidupan dagang yang banyak dijalani oleh orang Arab Makkah pada waktu itu yang
mengutamakan kesejahteraan materi menjadikan tumbuhnya superioritas golongan kaya dan
bangsawan di atas golongan miskin dan lemah. Kaum kaya dan bangsawan Arab pra-Islam
adalah pemegang tampuk kekuasaan dan sekaligus menjadi golongan yang makmur dan
sejahtera di Makkah, kebalikan dari kaum miskin dan lemah.
Sekalipun ada nilai kebaikan dalam masyarakat Arab pra-Islam, sebagaimana yang
tergambar dalam puisi-puisi Arab pra-Islam, yaitu bahwa salah satu kebaikan yang harus
dimiliki oleh pemimpin kelompok adalah kedermawanan. Masyarakat Arab pra-Islam
mempunyai rasa kebanggaan yang salah, yaitu menampik orang miskin, menolak memberi
sedekah dan bantuan kepada anggota masyarakat yang lemah). Sistem hukum dan sejarah
perbudakan di kalangan Arab pra-Islam merupakan bukti kuat adanya karakter feudal pada
hukum Jahiliyyah masyarakat Arab pra-Islam tersebut. Budak adalah manusia rendahan
yang memiliki derajat jauh di bawah rata-rata manusia pada umumnya, bisa
diperjualbelikan, bisa diperlakukan apa saja oleh pemiliknya, dan tidak memiliki hak-hak
asasi manusia sewajarnya selaku seorang manusia.
3. Karakter Patriarkhis
Karakter berikutnya yang melekat kuat pada hukum Jahiliyyah adalah patriarkhis.
Dalam penelitian Haifaa, kaum lelaki pada waktu itu memegang kekuasaan yang tinggi
dalam relasi laki-laki dengan perempuan, diposisikan lebih tinggi di atas kaum perempuan,
Kaum perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif, tidak adil dan bahkan dianggap
sebagai biang kemelaratan dan symbol kenistaan. Dalam sistem hukum Jahiliyyah,
perempuan tidak memperoleh hak warisan, bahkan dijadikan sebagai harta warisan itu
sendiri. Kelahiran anak perempuan dianggap sebagai aib, sehingga banyak yang kemudian
dikubur hidup-hidup ketika masih bayi.
5
C. Hukum yang berlaku pada masa jahiliyyah
1. Perkawinan
Ada beberapa jenis perkawinan yang dipraktikan dikalangan masyarakat Arab, sebagian
diakui keabsahannya oleh hukum Islam dan sebagian lain dihapuskan karena tidak
bersesuaian dengan jiwa hukum Islam :
a. Poligami, merupakan praktik yang sudah melembaga di masyarakat Arab, namun
poligami yang dilaksanakan tidak ada aturan dan batas-batasnya. Seorang laki-laki boleh
menikahi perempuan sebayak-banyaknya tanpa batas maksimal
b. Istibdla, yakni seorang suami meminta istrinya untuk berhubungan badan dengan laki-
laki mulia atau mempunyai kelebihan sesuatu, setelah hamil si suami tidak
mencampurinya hingga istrinya melahirkan. Tujuan dari perkawinan ini adalah untuk
mendapatkan gen, sifat, atau keturunan terhormat atau istimewa.
c. Rahthun, atau poliandri, yaitu seorang perempuan mempunyai pasangan laki-laki lebih
dari seorang.
d. Maqthu, seorang anak tiri menikahi ibu tirinya ketika ayahnya meninggal. Isyaratnya,
ketika si ayah meninggal, si anak melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai pertanda
ia menyukai ibu tirinya, dan ibu tiri tersebut tidak dapat menolak.
e. Badal, yaitu tukar menukar istri tanpa ada perceraian terlebih dahulu dengan tujuan untuk
mencari variasi atau suasana baru dalam berhubungan seks.
f. Sighar, seorang wali menikahkan anaknya atau saudara perempuannya dengan laki-laki
lain tanpa mahar dengan kompensasi si wali sendiri menikahi anak perempuan atau
saudara perempuan si laki-laki tersebut.
g. Khadan, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara
sembunyi-sembunyi tanpa adanya akad nikah. Masyarakat Arab ketika itu menganggap
perkawinan ini bukan merupakan kejahatan asal dilakukan secara rahasia.
2. Riba
Menurut Muhammad Abduh dan muridnya, Muhammad Rashid Ridha, ketika
menjelaskan bentuk riba yang dilarang pada masa pra-Islam, mereka menegaskan bahwa
riba pada masa pra-Islam dipraktekkan dalam bentuk tambahan pembayaran yang diminta
dari pinjaman yang telah melewati batas tempo pembayaran, sehingga mengalami
penangguhan yang menyebabkan meningkatnya pembayaran hutang tersebut.
6
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa riba pada masa jahiliyah adalah
dalam pelipat gandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berutang, bila tiba masa
pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, Bayarlah atau kamu tambah
untukku. Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi
utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang
lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang
dipraktekkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai utang kepada orang
lain, kemudian peminjam berkata kepadanya untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan
penundaan pembayaran, maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.
3. Anak angkat
Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua sendiri.
Anak yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung,
misalnya nasab dan warisan.
Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh yang telah meninggal berhak
mendapatkan harta peninggalannya seperti anak keturunan yang telah meninggal. Dalam
segala hal, ia dianggap serta diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepada
ayah angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar
ikatan janji prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki yang
sudah dewasa. Sebab, mereka untuk mengadakan janji adalah adanya dorongan kemauan
bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan tersebut niscaya
tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji itu masih
anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun
bertujuan melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta
kekayaan yang mereka miliki.
4. Warisan
Hukum warisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian
warisan dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal
itu pun hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah
7
dewasa dan mampu memanggul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan
melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena dipandang tidak
mampu memangul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan
peperangan serta merampas harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah
dan atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa. Praktik ini
berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan yang melarang menjadikan wanita dijadikan
sebagai warisan.
Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan dasar untuk saling
mewarisi. Apabila salah seorang dari mereka yang telah mengadakan perjanjian bersaudara
itu meninggal dunia maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 1/6
dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya.
Yang dapat mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga dijadikan dasar untuk
saling mewarisi. Apabila anak angkat itu telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk
sepenuhnya mewarisi harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan pada
masa permulaan Islam hal ini masih berlaku.
5. Haji
Pada masa ini, jamaah haji terbagi menjadi dua kelompok, pedagang dan non-
pedagang. Jamaah haji pedagang sudah harus bertolak meninggalkan negerinya
pada hilal bulan sebelum datangnya bulan haji, sebagai contoh, mereka harus sudah
meninggalkan negerinya pada permulaan bulan Dzulqadah jika haji itu terjadi pada
bulan Dzulhijjah, hal itu dimaksudkan agar para jamaah haji bisa ikut berpartisipasi dalam
pasar khusus di Ukaz selama dua hari, dari pasar Ukaz ini, jamaaah haji berangkat
menuju Majnah untuk berdagang selama sepuluh harisetelah hilal Dzulhijjah, pasar Majnah
ditutup dan rombongan haji pedagang iniberangkat ke Dzul Majaz untuk melakukan
transaksi perdagangan selama delapanhari, pada hari tarwiyah, mereka bertolak
ke arafah untuk melakukan wukuf.
Berbeda dengan jamaah non-pedagang. Pada hari Tarwiyah, jamaah non-pedagang
ini langsung menuju ke Arafah guna melaksanakan wukuf. Sebagian diantara mereka
melaksanakan di Arafah dan bagian yang lain melakukan wukuf di Namirah (perbatasan
tanah haram). Setelah bermalam ditempat masing- masing, menjelang terbenamnya
matahari, mereka bertolak ke Muzdalifah. Keesokan harinya, setelah matahari terbit,
8
jamaah haji non-pedagang ini bertolak ke Mina. Dari sini kemudian mereka pergi ke
Mekah guna melaksanakan tawaf. Beberapa suku menetapkan tradisi bagi anggota yang
baru pertama kali melaksanakan haji. Bagi anggota baru mereka diharuskan melakukan
tawaf dalam keadaan tanpa busana, baik laki-laki maupun perempuan karena mereka
berargumentasi bahwa pakaian yang dikenakannya adalah kotor (tidak suci) sehingga tidak
pantas digunakannya untuk ibadah, sedangkan jamaah yang dihormati oleh masyarakatnya
tetap mengenakan pakaian ketika melaksanakan tawaf, akan tetapi, setelah itu pakaian
tersebut tidak boleh digunakan lagi.
Dari rekonstruksi pelaksanaan haji pada masa jahiliyah terdapat unsur-unsur
manasik haji nabi Ibrahim. Hal ini menandakan bahwa pada waktu itu suku-suku Arab
masih mengikuti millah nabi Ibrahim.
6. Qishash
Sudah diketahui bahwa bangsa Arab telah mempunyai aturan-aturan yang didapati
oleh adat dan kebiasaan. Seluruh kabilah telah bertanggung jawab terhadap tindak pidana
anggotanya, kecuali apabila kabilah itu mengumumkan tebusan dalam masyarakat umum.
Oleh karena itu, jarang wali dari orang yang kena pidana cukup menerima qishash dari
orang yang melakukan tindak pidana, lebih-lebih apabila orang yang kena tindak pidana
orang yang mulia atau tuan dari kaumnya, bahkan mereka meluaskan tuntutan mereka
dengan suatu perluasan yang kadang-kadang sampai menjadikan perang antara dua suku.
Dan kebanyakan suku dari pelaku pidana melindunginya, maka yang demikian ini
menyebabkan keburukan-keburukan dan perang-perang yang kadang-kadang
penyelesaiannya berkepanjangan (berlarut-larut).4
4
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam (jakarta: Raja grafindo Persada 2011) hlm. 177-190
9
Beberapa sifat lain bangsa Arab pra-Islam adalah sebagai berikut:
1. Secara fisik, mereka lebih sempurna dibanding orang-orang Eropa dalam berbagai
organ tubuh
2. Kurang bagus dalam pengorganisasian kekuatan dan lemah dalam penyatuan aksi
3. Faktor keturunan, kearifan, dan keberanian lebih kuat dan berpengaruh,
4. Tidak memiliki hukum yang reguler, kekuatan pribadi, dan pendapat suku lebih kuat
dan diperhatikan.
5. Posisi wanita tidak lebih baik dari binatang, wanita dianggap barang-barang dan
hewan ternak yang tidak mempunyai hak. Setelah menikah, suami sebagai raja dan
penguasa.
Kondisi sosial bangsa Arab pada masa ittu tidak menyenangkan dan menganut
hukum rimba.
Dalam aspek akidah, orang arab pra-Islam percaya kepada Allah sebagai pencipta
(Q.S. Luqman; 25 dan Q.S. Al-Ankabut; 63). Sumber kepercayaan itu adalah risalah
samawiyah yang dikembangkan dan disebarluaskan di jazirah Arab, terutama risalah
Ibrahim dan Ismail. Namun, mereka kemudian melakukan penyimpangan terhadap
agamanya sehingga menjadikan berhala (ashnam), pepohonan, binatang, dan jin sebagai
penyerta Allah (syirk) (Q.S. Al-Anam; 100) demi kepentingan ibadah, bangsa Arab pra-
Islam membuat 360 buah berhala di sekitar Kabah karena setiap kabilah memiliki berhala
masing-masing. Mereka pada umumnya tidak percaya pada hari kiamat dan tidak percaya
pada kebangkitan setelah mati (Q.S. Al-Mukminun; 27). Meskipun pada umumnya mereka
melakukan penyimpangan, ada sebagaian kecil bangsa Arab masih mempertahankan akidah
monoteisme (tauhid) seperti yang diajarkan ibrahim (Al-Hunafa). Di antaranya meraka itu,
misalnya, Umar bin Nufail dan Zuhair bin Abi Sulma.5
Dalam bidang hukum bangsa Arab pra Islam menjadikan adat sebagai hukum
dengan berbagai bentuk. Dalam perkawinan mereka mengenal beberapa macam
perkawinan, di antaranya istibdla, poliandri, maqthu, badal dan syighar. Dalam bidang
muamalah, di antara kebiasaan meraka adalah dibolehkannya transaksi barter (mubadalah),
5
Aunur Rahim Faqih & Muthoha, Pemikiran Peradaban Islam,(Yogyakarta: UII Perss
2009) cet 3 hlm. 156 - 157
10
jual beli, kerja sama pertanian (muzaraah), dan riba. Di samping itu, di kalangan meraka
juga terdapat jual beli yang bersifat spekulatif, seperti bai al-munabadzah.
11
3. Agama Yahudi
Bersumber dari ajaran Nabi Musa. Kitab suci agama Yahudi adalah Taurat. Akan
tetapi, pemeluk agama ini menyimpang dari apa yang diajarkan Nabi Musa. Mereka
tidak mempercayai kenabian Isa dan Muhammad SAW. Padahal, Taurat menyebutkan
bahwa sesudah nabi Musa akan datang nabi nabi berikutnya.
Sebab mereka merasa derajat mereka paling tinggi di dunia. Penganutnya Bani Israil pada
saat itu.
12
Akan tetapi, keberadaan dan keputusan para arbitrator masyarakat Arab Pra Islam ini
bersifat subjektif. Keputusannyapun tidak sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak
mempunyai peraturan untuk mengeksekusi keputusan-keputusan mereka.6
6
Alaiddin Koto, ibid hal 32-34
13
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Islam adalah agama yang suci, yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Sebagai rahmat
untuk semesta alam. Islam tidak menelantarkan satu aspek kehidupan pun tanpa menetapkan
peraturan dan undang-undang yang teliti dan paten didalamnya. Hal ini bukan berarti bahwa
apa saja yang datang dari Rasulullah saw yang berupa ketetapan syariat-syariat adalah baru,
tapi sebenarnya ada yang baru dan ada yang sudah dikenal sebelumnya. Adapaun
sebenarnya, Nabi hanya hanya menetapkan atau meluruskan hal-hal yang dapat
dijadikannya lebih tepat untuk diamalkan.
Hikmah yang terkandung didalamnya adalah suatu kenyataan bahwa islam datang tidak
mengahapus semua tradisi yang telah dimiliki oleh masyarakat, baik itu peradaban
(madaniyah), moral maupun adat-istiadatnya. Hal itu dimaksudkan agar islam dapat
membangun peradaban baru di atas puing-puing peradaban lama. Dengan demikian islam
datang untuk membangun da bukan untuk menghancurkan, karena yang diinginkan islam
hanyalah perbaikan (ishlah).
Karakteristik semacam itu terus berlangsung menyertai perjalanan fiqh islam meskipun Nabi
saw telah wafat. Islam tidak menghapus seluruh tradisi yang telah mengakar dalam
masyarakat. Islam hanya semata-mata menetapkan yang baik dan sesuai dengan prinsip-
prinsip syariat yang masih global serta menghapus hal-hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip universal dan kaidah-kaidah syari.
Ada tiga karakter sistem hukum Jahiliyyah pada masyarakat Arab pra-Islam, yaitu Rasial,
Feudal dan Patriakhis dengan ketiga karakter utama tersebut, kemudian menjadi latar
belakang kemunculan Islam dengan membawa perubahan social di dalam hukum yang
revolusioner
14