Anda di halaman 1dari 10

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KOMODITAS CABAI MERAH

Oleh : Saptana, Nur Khoiriyah Agustin,


dan Ahmad Makky Ar-Rozi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

1. Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai


ekonomi tinggi dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Dari sisi
penawaran atau produksi, luas wilayah Indonesia dengan keragaman
agroklimatnya memungkinkan pengembangan berbagai jenis tanaman
hortikultura, yang mencakup 323 jenis komoditas terdiri atas 60 jenis komoditas
buah-buahan, 80 jenis komoditas sayuran, 66 jenis komoditas biofarmaka dan
117 jenis komoditas tanaman hias (Ditjen Hortikultura, 2008).
2. Salah satu komoditas hortikultura potensial untuk dikembangkan adalah
komoditas Cabai Merah, terutama Cabai Merah besar dan Cabai Merah keriting.
Beberapa alasan penting pengembangan komoditas Cabai Merah adalah: (1)
komoditas bernilai ekonomi tinggi (high economic value commodity), (2)
fenomena value ladder gejala pergeseran permintaan konsumen dari komoditas
bernilai rendah ke arah komoditas bernilai ekonomi tinggi (hortikultura), (3)
komoditas unggulan nasional dan daerah, (4) usahatani Cabai Merah bersifat
intensif tenaga kerja, (5) menduduki posisi penting dalam menu pangan,
walaupun diperlukannya dalam jumlah kecil (4 kg/kapita/tahun) namun setiap
hari dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, (6) konsumsi cabai
oleh rumah tangga dalam bentuk cabai segar (80 %), dan untuk industri
pengolahan (20 %), (7) gejolak harga komoditas Cabai Merah memiliki
pengaruh yang cukup nyata terhadap inflasi; (8) daya adaptasi yang luas dari
lahan sawah dataran rendah hingga lahan kering dataran tinggi, (9) melibatkan
tenaga kerja muda terampil di perdesaan, (10) mempunyai manfaat yang cukup
beragam dan bahan baku industri, dan (10) Memiliki beragam tujuan pasar, baik
untuk pasar tradisional, pasar modern (supermarket), maupun untuk industri
pengolahan.
3. Secara umum permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan
usahatani Cabai Merah, terutama di daerah sentra produksi Cabai Merah adalah
belum terwujudnya ragam, kuantitas, kualitas, dan kesinambungan pasokan
yang sesuai dengan permintaan pasar dan preferensi konsumen. Hal tersebut
berkaitan dengan beberapa hal berikut : (1) skala kecil menyebabkan skala
teknis dan ekonomis tidak optimal, (2) Pola tanam dan persaingan penggunaan
lahan, (3) Alih fungsi lahan, lahan pengembangan terbatas dan kurang subur,
(4) Kawasan cabai merah belum kompak, menghasilkan produk beragam, mutu
rendah, sehingga kesinambungan pasokan tidak terjamin, (5)
Pemasaran/perdagangan produk segar menunjukkan jalur tataniaga panjang,
1

struktur pasar oligopolistik, distribusi marjin tidak adil sehingga nilai tambah
yang diterima petani tidak optimal, (6) Fluktuasi harga tinggi menyebabkab
Resiko harga tinggi, (7) Infrastruktur terbatas menyebabkan efisiensi distribusi
dan pemasaran rendah, (8) Pembiayaan untuk sektor pertanian masih sangat
rendah, (9) Konsentrasi pembangunan pertanian terfokus 5 (lima) komoditas
strategis, (10) Perubahan iklim (PI) menyebabkan anomali iklim sering terjadi,
sehingga fenomena kekeringan, kebanjiran, dan serangan OPT menjadi
berulang.
4. Cabai mendapat perhatian karena harga berfluktuasi cukup besar dan bahkan
mempengaruhi inflasi. Lonjakan harga cabai yang selalu terjadi hampir setiap
tahun, hingga kini belum ada solusi komprehensif dari pemerintah. Beberarapa
langkah operasional masih terbatas pada penyediaan teknologi bibit dan
budidaya, program intensifikasi lahan pekarangan (KRPL/Rumah Hijau Plus-
Plus), melakukan monitoring pasokan dan harga, serta impor Cabai Merah dari
luar negeri terutama dari China. Untuk mengatasi lonjakan harga Cabai Merah
Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jendral Hortikultura pada tahun 2011
telah menganggarkan 25 milyar rupiah untuk shading net, benih, pot dan
pelatihan (http://hileud.com). Upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi
terjadinya lonjakan harga cabai pada musim hujan dan hari-hari besar tertentu
adalah dengan tetap menyediakan pasokan cabai yang cukup ke pasar melalui
penanaman cabai di sepanjang musim termasuk musim hujan.
5. Untuk itu perlu dilakukan suatu analisis kebijakan yang komprehensif terhadap
faktor-faktor penentu yang mempengaruhi kurangnya pasokan Cabai Merah dan
fenomena lonjak harga guna menyusun alternatif kebijakan yang tepat sehingga
pasokan cabai dapat terpenuhi setiap saat sesuai dengan dinamika permintaan
pasar. Dengan demikian dapat diharapkan harga cabai yang terjadi di pasar
relatif stabil dan tidak meresahkan masyarakat.
6. Tujuan Penulisan : (1) Melakukan analisis produksi, konsumsi dan
perkembangan harga Cabai Merah; (2) Melakukan analisis pemasaran Cabai
Merah di daerah sentra produksi utama; (3) Simpul-simpul permasalahan dalam
meningkatkan pasokan dan stabilitas harga Cabai Merah; dan (4) Alternatif
kebijakan untuk meningkatkan pasokan dan stabilisasi harga komoditas Cabai
Merah.

Analisis Produksi, Konsumsi, dan Harga

Aspek Produksi

7. Tanaman Cabai Merah diusahakan di lahan sawah (sawah irigasi , sawah tadah
hujan) dan lahan kering/tegalan. Pada lahan sawah irigasi cabai umumnya
diusahakan setelah padi, sehingga pola tanamnya dipengaruhi oleh pertanaman
padi yang dipengaruhi oleh kondisi iklim terutama curah hujan. Budidaya cabai
sangat rentan terhadap iklim terutama curah hujan yang tinggi. Saat ini iklim
cenderung semakin sulit diprediksi (anomali iklim) sehingga mempengaruhi
kinerja pertanaman dan produksi Cabai Merah. Petani Cabai Merah
membutuhkan keahlian khusus, baik dalapam ketermpilan teknis maupun
2

kapabilitas manajerialnya. Penerapan teknologi budidaya : Penggunaan varietas


unggul dan hibrida, penggunaan pupuk secara lengkap dan berimbang,
pengaturan guludan, mulsa, screen house. Produktivitas cabai masih rendah (4-
6,5 ton/ha atau 0,20-0,33 kg/pohon). Telah ada Assosiasi Agribisnis Cabai
Indonesia (AACI), sebagai wadah kordinasi dan komunikasi pelaku usaha
agribinsnis cabai.
8. Perkembangan luas areal panen, produksi dan produktivitas Cabai Merah di
Indonesia : (1) Perkembangan luas areal panen mengalami pertumbuhan positif
sebesar 5,99 persen/tahun dan cukup stabil; (2) Perkembangan produktivitas
Cabai Merah mengalami pertumbuhan positif sebesar 4,46 persen/tahun yang
menunjukkan makin dikuasainya teknologi budidaya oleh petani; (3)
Perkembangan produksi Cabai Merah di Indonesia mempunyai kecenderungan
meningkat sebesar 11,62 persen/tahun dan bersifat stabil. Berdasarkan uraian
di atas menunjukkan bahwa ekonomi Cabai Merah cukup stabil dalam memasok
produksi ke pasar.
9. Tabbel : Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai Merah 2001-2010
Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas
(Ha) (Ton) (Ton/Ha)
2001 142.556 580.464 4,07
2002 150.598 635.089 4,22
2003 176.264 1.066.722 6,05
2004 194.588 1.100.514 5,66
2005 187.236 1.058.023 5,65
2006 204.747 1.185.059 5,79
2007 204.048 1.128.792 5,53
2008 211.566 1.053.060 5,45
2009 233.904 1.378.727 5,89
2010 237.105 1.328.864 5,60
Rata-rata 194.261 1051.531 5.391

Pertumbuhan 5.99 11.62 4.46


(%/th)

10. Sering tersendatnya pasokan cabai merah di pasar sangat dipengaruhi


perubahan iklim. Kondisi anomali iklim (curah hujan berlebih) : (1)
Meningkatnya serangan OPT terutama : (a) penyakit : virus kuning, antraknosa,
fusarium dan phytoptora; dan (b) hama kutu: thrips, lalat buah, ulat grayak; (2)
Kesulitan pemanenan, pasca panen dan distribusi; (3) Pada sawah, curah hujan
tinggi menyebabkan pengalihan penanaman dari cabe merah ke tanaman lain
terutama padi, sehingga areal tanam cabe merah menurun; (4) Pergeseran
musim hujan menyebabkan pergeseran masa tanam sehingga menyebabkan
perubahan distribusi pasokan (tidak sesuai dengan perencanaan pola produksi
nasional); dan (5) Pada akhirnya menyebabkan pasokan berkurang dan mutu
buah rendah.

11. Peningkatan produksi dan produktivitas cabai merah secara nyata hanya dapat
dilakukan dengan inovasi teknologi baru dan perencanaan tanam yang tepat.
Terobosan inovasi teknologi baru dapat difokuskan pada penggunaan benih
unggul lokal dan hibrida tersertifikasi, teknologi pemupukan secara lengkap dan
berimbang, penggunaan pupuk organik terstandarisasi dan penggunaan kapur
sebagai unsur pembenah tanah, teknologi pengendalian hama dan penyakit
secara terpadu, serta penanganan pasca panen yang prima. Perencanaan
tanam harus didasarkan pada dinamika permintaan pasar menurut tujuan dan
segmen pasar, serta preferensi konsumen.

Aspek Konsumsi
12. Kebutuhan cabai nasional dalam satu tahun untuk semua kota-kota besar yang
berpenduduk 1 juta atau lebih, sekitar 800.000 ton per tahun 66.000 ton per
bulan. Kebutuhan cabai pada hari-hari besar keagamaan dan musim hajatan
biasanya meningkat sekitar 10 20% dari kebutuhan normal. Produktivitas
tanaman cabai berkisar antara 4-8 ton per Ha atau rata-rata 48ton/ha atau
rata-rata 6 ton/ha, namun bervariasi anta lokasi
(http://arsipberita.com;http:/bisniskeuangan.kompascom;http://diperta.jabarpro
v.co.id). Untuk memenuhi kebutuhan bulanan diperlukan luas areal panen cabai
sekitar 11.000 ha/bulan, sedangkan pada musim hajatan dan hari raya luas
areal panen cabai yang harus tersedia seluas 12.000 13.000 ha/bulan. Luas
areal rata-rata 10 tahun terakhir adalah 194.261 Ha/tahun atau rata-rata 16.188
Ha/bulan melebihi dari kebutuhan. Persoalannya adalah distribusi luas areal
panen yang tidak merata sepanjang tahun dan produktivitas masih rendah.
Menjelang akhir 2010 dan awal 2011 harga cabai melonjak lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu mencapai Rp. 100.000/kg,
padahal pada tahun-tahun sebelumnya hanya mencapai Rp. 60.000 - 70.000/kg.
Pada musim normal harga cabai hanya berkisar antara Rp. 10.000 15.000/kg.
13. Tingkat konsumsi Cabai Merah perhari di beberapa provinsi dapat disimak pada
tabel berikut :
Konsumsi (ton/hari) Total
No. Provinsi
Cabai Merah Cabai Hijau Cabai Rawit (ton/hari)
1. DKI Jakarta 42,20 6,80 16,10 65,30
2. Jawa Barat 81,00 20,50 97,70 199,20
3. Jawa Tengah 55,20 17,10 98,30 170,60
4. Yogyakarta 35,40 2,00 9,70 47,10
5. Jawa Timur 30,50 6,20 157,4 194,10

14. Konsumsi Cabai Merah per kapita dalam bentuk konsumsi langsung dan
konsumsi total termasuk konsumsi untuk pengolahan yang dikelola rumah
tangga secara agregat nasional, konsumsi Cabai Merah untuk rumah tangga
tani (RTT) pada bulan-bulan biasa sekitar 0.15 kilogram per kapita per minggu,

bulan puasa dan lebaran sebesar 0.19 kilogram per kapita per minggu, dan
Natal dan tahun baru mencapai 0.16 kilogram per minggu.

Aspek Harga dan Pembentukan Harga


15. Rata-rata harga Cabai Merah menurut kota di daerah-daerah sentra produksi
utama di Indonesia dapat disimak pada Gambar dibawah :

Sumber : PPSK, 2011

16. Secara spasial rata-rata harga cabai merah pada tahun 2011, harga tertinggi
dijumpai di Kabupaten Solok, sumatera Barat Rp. 25990,-/Kg dan terendah di
Kabupaten Brebes Rp. 8233,-/Kg (daerah sentra produksi utama). Sementara
itu, rata-rata perbedaan harga musim panen raya dengan musim panen paceklik
cukup tinggi yaitu hanya sebesar Rp. 4049/Kg panen raya dan mencapai sebesar
Rp. 35269/Kg pada musim paceklik. Fenomena kesenjangan harga yang sangat
tinggi terjadi disemua daerah-daerah sentra produksi. Hal ini menunjukkan
bahwa fluktuasi harga yang tinggi pada komoditas cabai merah terutama
disebabkan fluktuasi produksi antar waktu (bulan dan musim).
17. Pembentukan harga Cabai Merah : (1) Harga Cabai Merah ditentukan oleh sisi
pasokan/suplai dan permintaan/kebutuhan; (2) Pada saat pasokan kurang dari
permintaan maka harga meningkat cepat, sebaliknya pada saat pasokan lebih
besar dari permintaan maka harga anjlok (harga cabai sangat elastis terhadap
pasokan); (3) Permintaan/kebutuhan cenderung ajeg setiap waktu, hanya pada
waktu waktu tertentu yaitu pada hari raya/hari besar keagamaan permintaan
meningkat sekitar 10 -20 persen; (4) Sementara pasokan bersifat musiman,
penanaman cabai bersamaan setelah padi menyebabkan panen raya cabai
cenderung bersamaan; (5) Sangat mendesak mengembangkan kebijakan
perencanaan produksi dan manajemen pola produksi cabai nasional.
5

18. Rata-rata harga cabai merah di tingkat produsen pada tahun 2009 di negara
Australia, Cina, Indonesia dan Malaysia menunjukkan harga tertinggi di jumpai
di Negara Australia dengan harga Rp.19.860/Kg dan terendah di Cina dengan
harga Rp. 1.978/Kg. Sedangkan harga cabai merah di Indonesia mencapai Rp.
18.123/Kg atau sedikit lebih rencah dari pada Australia. Namun rata-rata harga
di Indonesia masih jauh lebih lebih tinggi dibanding rata-rata harga cabai
Malaysia yaitu Rp. 10.329/Kg. (Sumber: FAOSTAT | FAO Statistics Division 2012 |
01 June 2012).

Analisis Pemasaran Cabai Merah

19. Pola alokasi penggunaan hasil panen Cabai Merah oleh petani secara berturut-
turut adalah sebagai berikut : (a) Alokasi penggunaan Cabai Merah langsung
dijual segera setelah panen (75.71 %), (b) Alokasi penggunaan Cabai Merah
stok untuk konsumsi (8.07 %), (c) Alokasi penggunaan Cabai Merah untuk
penggunaan lainnya (6.83 %), (d) Alokasi Cabai Merah disimpan untuk
kebutuhan benih (5.69 %), (e) Alokasi penggunaan Cabai Merah disimpan untuk
keperluan keluarga (2.58 %); dan (f) Alokasi penggunaan untuk disimpan
kemudian untuk dijial (1.32 %).
20. Gambar : Sistem Distribusi dan Pemasaran Komoditas Cabai Merah dari
Daerah Sentra Produksi di Indonesia.
30 %

Pedagan
57% g Besar
Petani Peda- Pedagang 15% Supermark
Bandung,
gang Besar/ 60% et/Hyper
Jabode-
16% pengu- Supplier market
56% tabek 12.5%
Keltan mpul

5% 85%
Lainnya Pedagang
30% Pedagang di pengecer
10% 87.5%
44% Luar
Wilayah/
Luar Pulau
87%
Pedagang Perusahaan
Pengecer di pasar Industri
kabupaten Pengolahan Konsumen
13%

21. Peran pedagang pengumpul : (1) Pedagang Pengepul umumnya adalah


perorangan yang membeli komoditas cabai langsung dari Petani; (2) Petani pada
umumnya akan menjual hasil panennya ke pengepul setempat, dengan tingkat
harga tertentu yang lebih banyak ditentukan oleh pengepul. Beberapa alasan
mengapa menjual ke pengepul: (1) Petani menganggap lebih praktis, karena
tidak memerlukan biaya transportasi; (2) Petani sudah mengenal secara baik

pengepul dan umumnya memiliki hubungan emosional (Famili, kerabat, pinjam


meminjam), sehingga ada rasa saling percaya; (3) Bahkan ada pengepul
(pedagang besar) yang memberi pinjaman modal kepada petani; dan (4)
Pedagang pengepul umumnya tidak membayar secara tunai kepada petani,
namun pembayaran dilakukan setelah beberapa hari kemudian (seminggu
hingga 2 minggu kemudian).
22. Pedagang besar dapat berupa perorangan atau perusahaan (Usaha Dagang)
yang melakukan jual beli komoditas pertanian : (1) Pedagang besar di suatu
wilayah umumnya telah memiliki jaringan pemasaran komoditas cabe seperti:
(a) Pedagang perantara antar wilayah (antar propinsi), (b) Pedagang pengumpul
di pasar induk baik di wilayah lokal, maupun pasar induk di luar propinsi atau di
Jabodetabek (PS Induk Kramat Jati, Cibitung, Tanah Tinggi), dan (c) Pasar
modern.
23. Cabai dari petani oleh Pengepul dijual ke pedagang besar di wilayah setempat.
Alasan pengepul menjual ke pedagang besar setempat: (1) Pengepul sudah
mengenal dengan baik pedagang besar dan sudah terjalin ikatan jual beli dan
saling percaya; (2) Pedagang besar terkadang memberi modal awal bagi
pengepul untuk mendapatkan komoditas cabe; dan (3) Pengepul hampir tidak
mengeluarkan biaya transportasi, karena lokasinya di satu wilayah. Pengepul
menjual cabe ke pedagang besar dengan harga kesepakatan, namun pedagang
besar lebih dominan perannya dalam penentuan harga.
24. Peran pedagang besar (grosir) : (1) Pedagang grosir yang berada di pasar
Induk, disebut pengumpul karena berperan mengumpulkan (menampung)
komoditas cabai dari berbagai wilayah di Indonesia melalui para pedagang besar
wilayah yang berperan sebagai pemasok; (2) Dalam satu pasar induk terdapat
beberapa pedagang grosir yang masing-masing memiliki pemasok sebagai
langganannya dan berasal dari berbagai wilayah di Indonesia; (3) Ikatan jual-
beli yang terjadi dilandaskan atas kepercayaan, dan komitmen, umumnya antar
mereka memiliki hubungan emosional (kedaerahan), meskipun tidak selalu; (4)
Jumlah cabai yang dikirim biasanya sudah diinformasikan terlebih dahulu kepada
pedagang grosir dan bahkan menargetkan jumlah cabai yang harus dikirim dari
setiap pemasok; (5) Salah satu peran sentral dari pedagang grosir ini adalah
mereka menerima berapapun jumlah pasokan cabai dari pedagang
langganannya; (6) Harga awal yang disepakati antara pedagang grosir dengan
Pedagang Besar wilayah umumnya berpedoman pada harga sehari sebelumnya,
kesepakatan harga ini diistilahkan sebagai harga NOTA; dan (7) Harga NOTA
umumnya digunakan sebagai nilai kesepakatan awal, namun dapat berubah
sesuai dengan kondisi pada akhir perdagangan hari itu.
25. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani Cabai Merah tergantung pada musim
panen : (1) pada musim panen raya petani menghadapi struktur pasar yang
cenderung monopolistik hingga oligopolisti; (2) pada musim panen biasa
menghadapi pasar yang mendekati persaingan sempurna; (3) terdapat cukup
mempunyai cukup pilihan dalam menjual hasil cabai (Pedagang Pengumpul,
Pedagang Besar asal Bandung, Pedagang Besar Jakarta, Pedagang Besar
Cirebon, Supplier PT Indofood dan PT Heinz ABC) dan Pasar Kabupaten Tanah
7

Karo didatangi pedagang luar daerah/wilayah (Medan, Aceh, Padang,


Pakanbaru), (4) pada musim panen biasa jumlah pedagang cukup banyak, dan
beberapa pedagang pengumpul beroperasi sampai datang ke kebun petani, (5)
tujuan pasar Cabai Merah asal daerah sentra produksi di Jawa terutama untuk
tujuan pasar Jabodetabek, sedangkan Cabai Merah asal daerah sentra produksi
Tanah Karo sudah demikian meluas, baik pasar domestik (Medan, Aceh, Padang,
Pakanbaru, Batam, Jakarta, Bandung, dan lain-lain) dan secara temporal juga
memasok untuk pasar luar negeri (Malaysia, Singapura), (6) segmen pasarnya
juga luas baik konsumen rumah tangga, hotel, restoran/rumah makan, dan
rumah sakit, dan perusahaan-perusahaan perkebunan, (5) Meskipun demikian
posisi petani Cabai Merah dalam bargaining potition masih lemah karena
penguasaan lahan yang kecil dan tersebar, permodalan yang lemah, dan
lemahnya.

Simpul-Simpul Permasalahan
26. Permasalahan aspek produksi : (1) Cuaca yang tidak menentu (cabai rentan
terhadap hujan dan angin); (2) Luas lahan pertanian yang terus menurun; (3)
Pola tanam yang hampir seragam (link dengan UU Sistem Budidaya Tanaman).
Karakter produk pertanian yang perishable. Masih kecilnya pangsa cabai olahan
(kering dan giling) sehingga petani kurang termotivasi untuk melakukan
pengolahan pasca panen. Budaya cabai sebagai penghasilan harian sehingga
pola yang muncul adalah panen dan langsung jual untuk menutup kebutuhan.
27. Permasalahan aspek pemasaran Cabai Merah di daerah-daerah sentra produksi
adalah : (1) Harga komoditas Cabai Merah sangat berfluktuasi antar musim dan
antar waktu dan sering jatuh pada saat musim panen raya; (2) Tingginya
ketergantungan petani terhadap pedagang pengumpul atau pengepul
menyebabkan rendahnya posisi tawar petani; (4) Rendahnya kemampuan petani
dan pelaku agribisnis Cabai Merah dalam memanfaatkan peluang pasar dan
memperluas akses pasar; (5) Kurangnya infrastruktur pemasaran (penyimpanan,
pengangkutan, alat penanganan pasca panen, pasar) yang memadai; (6) Masih
ditemuinya penjualan hasil dengan sistem ijon; (7) persaingan yang makin ketat
dengan produk-produk Cabai Merah negara pesainga utama; dan (8) Tingginya
biaya distribusi produk Cabai Merah menyebabkan produk Cabai Merah
Indonesia sulit bersaing di pasar domestik dan luar negeri.
28. Sementara itu berdasarkan data ekspor impor komoditas Cabai Merah
menunjukkan bahwa volume dan nilai ekspornya jauh lebih rendah dibandingkan
dengan volume dan nilai impornya. Kesenjangan antara ekspor dan impor dari
tahun ke tahun semakin besar. Disamping itu, pasar domestik kita semakin
dibanjiri oleh produk Cabai Merah impor terutama untuk industri pengolahan
berbahan baku Cabai Merah. Hal ini mengindikasikan bahwa produk Cabai Merah
Indonesia memiliki daya saing yang rendah sehingga tidak mampu bersaing baik
di pasar ekspor maupun pasar domestik.
29. Tingginya impor komoditas hortikultura ini mungkin disebabkan karena: (1)
Komoditas impor memiliki mutu yang lebih baik daripada komoditas lokal karena
iklim yang kurang sesuai di Indonesia (komoditas subtropis seperti apel, anggur,

jeruk tertentu, dan beberapa jenis sayuran dan tanaman hias); (2) Komoditas
lokal memiliki mutu yang tidak kalah dari komoditas impor tetapi tidak mampu
bersaing akibat ekonomi biaya tinggi (kebun terpencar, transportasi mahal,
infrastruktur tidak mendukung, banyaknya pungli), serta penanganan pra dan
pascapanen yang belum optimal sehingga menurunkan mutu produk; dan (3)
Banyak komoditas lokal unggul yang bermutu tinggi (terutama komoditas buah)
tetapi belum berkembang secara luas sehingga buah tersebut di pasar
jumlahnya sangat terbatas atau mungkin tidak ada.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan


Kesimpulan
30. Penentu harga komoditas cabai lebih ditentukan sisi pasokan (suppy), hal ini
disebabkan jumlah konsumsi (demand) dapat dikatakan relatif stabil, kecuali
pada waktu-waktu tertentu (hari besar keagamaan dan musim hajatan).
31. Pelaku utama sebagai penentu harga cabai adalah pedagang grosir di pasar-
pasar induk, kemudian pedagang besar antar wilayah (dari daerah sentra
produksi utama pusat-pusat pasar) yang sangat ditentukan oleh rasio supply dan
demand.
32. Margin tertinggi dinikmati oleh pedagang pengecer yang menjual komoditas ke
konsumen. Namun nilai inipun tak berarti banyak bagi pedagang pengecer akhir,
karena jumlah cabai yang dapat dijual per hari adalah dalam jumlah yang relatif
kecil.
33. Terdapat beberapa model jalur distribusi dari 8 daerah yang disurvei yang dapat
dikelompokkan menjadi dua besaran yakni model klasik dan model kelompok.
Dari kedua model ini, model kelompok lah yang memberikan harga terbaik bagi
petani sementara dari sisi marjin di tingkat pedagang tidak berbeda di kedua
model.
34. Beberapa daerah memiliki kebijakan tersendiri dalam mengendalikan harga cabai
merah. Akan tetapi kebijakan yang diterapkan masih dalam kerangka menjaga
harga cabai tidak jatuh di daerah-daerah sentra produksi terutama pada musim
panen raya.
35. Pola tanam dan perencanaan tanam yang tidak terorganisir dengan baik,
masalah ketidak kelancaran distribusi (infrastruktur dan MH), juga menjadi salah
satu pemicu tingginya lonjakan harga cabai pada saat paceklik karena besarnya
gap supply pada saat panen raya dan paceklik.

Implikasi Kebijakan
36. Langkah stabilisasi pasokan Cabai Merah: (1) Manajemen Produksi: (a)
perencanaan pola tanam antar wilayah, (b) membagi kuota tanam cabai antar
daerah sesuai dengan potensinya, (c) pemantauan luas tambah tanam, produksi
dan harga bulanan; dan (d) Perpanjangan masa panen dengan pengaturan
pemupukan; (2) Perbaikan Teknis Budidaya: (a) Melaksanakan protected
culture, yaitu: Pemberian naungan (dengan mulsa, shading net dan screen
9

house); (b) Pengaturan guludan dan drainase: Guludan/saluran drainase lebih


pada saat kondisi lembab (musim hujan tinggi) dan Guludan/saluran lebih
rendah pada saat kondisi kering (musim hujan rendah); (c) Penggunaan benih
berkualitas (unggul bermutu/bersertifikat); (d) Pengendalian OPT; (e)
Peningkatan populasi tanam per hektar (dari 20,000 pohon ke 30,000
pohon/Ha); (f) Penerapan GAP/SOP untuk meningkatan produktivitas dari
0,32kg/pohon ( 6.4 ton/ha) menjadi minimal rata rata 1kg/pohon atau 20
ton/ha.
37. Langkah stabilisasi harga Cabai Merah : (1) Pemantapan manajemen produksi
yang telah ada sehingga perencanaan dan realisasi lebih akurat; (2) Kemitraan
dengan industri, untuk memberikan jaminan harga (antisipasi harga anjlok).
Saat ini telah berjalan kemitraan petani dengan industri saus cabe ABC Heinz.
Namun kemitraan tertutup tersebut belum didukung oleh dana perbankan; (3)
Promosi konsumsi cabai olahan (saus, cabe giling); (4) Membuka impor, bila
terjadi kekurangan pasokan.
38. Perlunya penguatan kelembagaan petani (kelompok tani, gapoktan, assosiasi
cabai), sehingga petani dapat berkoordinasi dalam hal produksi serta menjual
pada lembaga tersebut dalam rangka menyederhanakan rantai distribusi serta
meningkatkan bargaining power petani.
39. Penyediaan infrastruktur pasca panen dan pemasaran hasil melalui
pengembangan pasar induk di daerah sentra produksi, Sub Terminal Agribisnis,
Pasar Petani/Pasar lelang, dan dukungan gudang penyimpanan berpendingin
(coldstorage).
40. Perlu adanya penguatan kelembagaan keuangan mikro yang mudah diakses
petani dalam rangka mengurangi kebergantungan permodalan petani pada
pedagang pengumpul/tengkulak sehingga petani dapat menerima harga pasar.
Selain itu, juga perlu adanya penguatan kelembagaan yang berfungsi sebagai
penyedia informasi teknologi dan harga untuk pemerataan informasi dan
mengurangi asimetri informasi antar pelaku ekonomi.

10

Anda mungkin juga menyukai