Anda di halaman 1dari 106

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pergeseran pola hidup masyarakat merupakan salah satu penyebab

meningkatnya berbagai penyakit degeneratif. Salah satu diantara penyakit tersebut

adalah diabetes mellitus.

Diabetes mellitus (DM) merupakan sindrom gangguan metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan karena berkurangnya sekresi

insulin (DM tipe 1) atau penurunan sensitivitas jaringan tubuh terhadap insulin

(DM tipe 2) (Guyton and Hall, 2006). Prevalensi DM dari segala kelompok umur

di seluruh dunia adalah 2,8% atau sekitar 171 juta orang pada tahun 2000 dan

diperkirakan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030 yaitu 4,4% atau sekitar 366

juta orang. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita DM keempat

terbanyak di dunia. Jumlah penderita DM di Indonesia adalah sekitar 8,4 juta

orang pada tahun 2000 dan diperkirakan meningkat menjadi 21,3 juta orang pada

tahun 2030 (Wild et al., 2004).

DM dapat menyebabkan kerusakan serius pada berbagai sistem-sistem tubuh,

khususnya saraf dan pembuluh darah. Sekitar 3,2 juta orang meninggal setiap

tahunnya akibat komplikasi DM (WHO, 2009). Beberapa komplikasi yang

dihubungkan dengan DM antara lain penyakit kardiovaskular, neuropati,

retinopati, nefropati, penyakit serebrovaskular dan lain-lain. Jumlah komplikasi

diabetes yang terjadi dan tingkat keparahan komplikasi tersebut dihubungkan

1
2

dengan peningkatan risiko kematian oleh DM (Young et al., 2008). Oleh karena

itu, salah satu sasaran terapi DM adalah mencegah komplikasi jangka pendek

maupun jangka panjang yang dihubungkan dengan DM (Herfindal and Gourlev,

2000).

Tujuan terapi pada pasien DM adalah menjaga kadar glukosa darah tetap

berada dalam kisaran normal dan mencegah atau meminimalkan kemungkinan

terjadinya komplikasi akibat DM (Anonim, 2005). Hal ini dapat ditangani dengan

terapi non-farmakologi (pengaturan pola makan dan olah raga teratur) dan terapi

farmakologi (penggunaan obat antidiabetes oral dan suntikan insulin).

Penggunaan obat-obat antidiabetes untuk terapi DM biasanya digunakan dalam

jangka waktu yang lama sehingga biaya pengobatan DM relatif mahal. Selain itu,

pengobatan komplikasi yang ditimbulkan oleh DM juga memerlukan biaya yang

cukup besar. Menurut Andayani (2006), biaya obat-obat antidiabetes dan biaya

untuk mengatasi komplikasi merupakan biaya tertinggi dalam terapi DM.

Penggunaan obat-obat antidiabetes juga dapat menimbulkan efek samping seperti

mual, muntah, diare, sakit kepala, ataksia, vertigo, leukopenia, anemia aplastik,

asidosis laktat dan hipoglikemia. Oleh karena itu, kini pengobatan tradisional

mulai banyak dikembangkan. Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai

lebih aman daripada penggunaan obat modern karena memiliki efek samping yang

relatif lebih kecil daripada obat modern (Sari, 2006). Disamping itu, pemanfaatan

obat tradisional sebagai pengobatan alternatif atau komplementer dalam terapi

DM diharapkan dapat menekan biaya pengobatan DM tersebut.


3

Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia.

Menurut World Health Organization (WHO), negara-negara di Afrika, Asia dan

Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pengobatan primer. Bahkan di

Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat tradisional untuk

pengobatan primer. WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional dalam

pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,

terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga

mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat

tradisional (WHO, 2003). Maka dari itu, pengembangan penelitan potensi-potensi

obat tradisional secara luas untuk pengobatan alternatif maupun komplementer

berbagai penyakit sangat diperlukan. Hal ini sebagai upaya untuk mendapatkan

pengobatan yang mudah didapat, harga yang lebih murah dan efek samping yang

lebih kecil. Salah satu tumbuhan obat yang saat ini banyak digunakan sebagai obat

alternatif adalah binahong (Anredera scandens (L.) Moq.) (Indriana, 2008).

A. scandens (L.) Moq., termasuk dalam suku Basellaceae, pada umumnya

digunakan oleh masyarakat untuk menyembuhkan luka bakar atau luka terbuka.

Selain itu, secara tradisional A. scandens (L.) Moq juga digunakan untuk

pengobatan diabetes (Anonim, 2008).

Penelitian ilmiah untuk mengetahui aktivitas penurunan kadar glukosa darah

(antidiabetes) dari A. scandens (L.) Moq. belum dilaporkan. Namun kerabat satu

suku dari binahong (A. scandens (L.) Moq.) yaitu Basella alba Linn. dan

Anredera cordifolia (Ten.) Steenis dilaporkan memiliki efek antidiabetes (Lin,

1986 dalam Chuang et al., 2007; Palanuvej et al., 2009). Menurut Erdtman
4

(1963), metode kemotaksonomi merupakan suatu prinsip yang menduga bahwa

penyebaran suatu kandungan kimia yang sama akan terjadi pada tumbuhan-

tumbuhan yang masih memiliki kekerabatan dalam satu suku yang sama.

Berdasarkan pendekatan kemotaksonomi tersebut, maka terdapat kemungkinan

bahwa A. scandens (L.) Moq. juga memiliki kandungan kimia yang sama sebagai

agen antidiabetes.

Berdasarkan uji fitokimia yang telah dilakukan Sawitri (2009), umbi A.

scandens (L.) Moq. mengandung flavonoid, saponin, triterpenoid dan tanin. Oleh

karena itu, perlu dilakukan suatu metode identifikasi sebagai data tambahan untuk

memperjelas dan mendukung data dari uji fitokimia yang telah dilakukan. Salah

satunya dengan menentukan profil KLT-Densitometer. Berdasarkan latar

belakang diatas, maka pada penelitian ini dilakukan uji potensi penurunan kadar

glukosa darah dan penentuan profil KLT-Densitometer dari ekstrak etanol umbi A.

scandens (L.) Moq.

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu ekstraksi umbi A.

scandens (L.) Moq. dengan etanol 95% dilanjutkan dengan penentuan profil KLT-

Densitometer ekstrak etanol umbi A. scandens (L.) Moq. dan uji potensi

antidiabetes ekstrak etanol umbi A. scandens (L.) Moq. secara in vivo pada tikus

putih jantan galur Spraque Dawley.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana profil KLT-Densitometer dari ekstrak etanol umbi Anredera

scandens (L.) Moq.?


5

2. Apakah pemberian ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq.

dapat menurunkan kadar gula darah tikus putih jantan galur Sprague

dawley setelah pembebanan glukosa monohidrat?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui profil KLT-Densitometer dari ekstrak etanol umbi

Anredera scandens (L.) Moq.

2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak umbi Anredera scandens

(L.) Moq. terhadap kadar gula darah tikus putih jantan galur Sprague

dawley setelah pembebanan glukosa monohidrat.

1.4 Hipotesis

Ekstrak etanol 95% umbi Anredera scandens (L.) Moq. memiliki efek

penurunan kadar glukosa darah pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley

yang diberi pembebanan glukosa.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan ekstrak umbi Anredera scandens

(L.) Moq. yang memiliki potensi menurunkan kadar glukosa darah sehingga dapat

menjadi penelitian awal dalam pengembangan terapi alternatif atau terapi

pendukung diabetes mellitus menggunakan umbi A. scandens (L.) Moq. Selain

itu, penelitian ini dapat merangsang penelitian-penelitian lain untuk menemukan

aktivitas antidiabetes dari sumber-sumber bahan alam lainnya.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Binahong (Anredera scandens (L.) Moq.)

Gambar 2.1 Tanaman binahong (Anredera scendens (L.) Moq.)

2.1.1 Klasifikasi tanaman

Divisio : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Bangsa : Caryophyllales

Suku : Basellaceae (Jones dan Luchsinger, 1987)

Marga : Anredera

Jenis : Anredera scandens (L.) Moq. (Backer and Brink, 1963)

6
7

2.1.2 Deskripsi

Tumbuhan herba, batang basah, bulat, membelit ke arah kanan, warna merah

keunguan. Daun tunggal, bentuk bulat hingga bulat telur, ukuran 5 - 10 cm 4,5 -

12 cm, warna hijau, lunak, tepi rata, ujung membulat, pangkal berlekuk, tulang

daun menyirip, bertangkai lunak, hijau muda, panjang 0,5 - 2,5 cm. Karangan

bunga majemuk tak terbatas, tandan, panjang 8 - 23 cm, aksiler, karangan tunggal

atau bercabang 2 - 3 karangan, tiap bunga dilindungi daun pelindung atas terletak

di pangkal tenda bunga, bentuk seperti perahu, warna putih kehijauan 0,5 - 1,5

mm lebih rendah dari daun tenda bunga, daun pelindung bawah terletak dipangkal

tangkai bunga, bentuk oval dengan ujung runcing, panjang 0,5 -1,0 mm. Perhiasan

bunga berupa daun tenda bunga 5, warna putih kehijauan 2 2 mm, benangsari 5,

panjang 2,5 - 3 mm, putik 3, warna putih lebih pendek dari benangsari, bakal buah

lunak 1 - 2 mm. Akar tunggang dengan banyak percabangan dan rambut akar,

umbi muncul dari batang dan ketiak daun, selain banyak mengandung amilum,

sering dari umbi muncul tunas baru (Backer and Brink, 1965; Geesink et al.,

1981; Steenis dkk., 2005).

2.1.3 Kandungan kimia

Daun, batang dan umbi Anredera scandens (L.) Moq. mengandung senyawa

flavonoid, saponin, triterpenoid dan tanin (Sawitri, 2009; Bawana, 2009).

Menurut Manoi (2009), daun Anredera cordifolia (Ten.) Steenis (suku

Basellaceae) mengandung flavonoid, saponin, alkaloid dan terpenoid.


8

2.1.4 Kegunaan

Secara tradisional umumnya A. scandens (L.) Moq digunakan untuk

menyembuhkan luka bakar, luka terbuka, melancarkan peredaran darah,

menormalkan tekanan darah melancarkan buang air, menjaga daya tahan tubuh,

mencegah penyakit maag dan asam urat, serta menyembuhkan radang usus, wasir

dan diabetes mellitus (DM) (Anonim, 2008). Anredera cordifolia (Ten.) Steenis

juga digunakan secara tradisional untuk pengobatan DM. Penggunaan umbi

Anredera cordifolia (Ten.) Steenis secara oral untuk pengobatan DM dapat

dilakukan dengan merebus 3 potong umbi ukuran kurang lebih 2 - 3 cm dengan 5

gelas air kemudian hasilnya diminum 2 - 3 kali sehari (Manoi, 2009).

2.2 Tanaman dengan Aktivitas Antidiabetes

Menurut penelitian Palanuvej et al., (2009), Basella alba Linn. (suku

Basellaceae) dilaporkan memiliki potensi antidiabetes pada uji in vitro dengan

metode glucose entrapment dan penghambatan enzim -glukosidase. Selain itu,

fraksi butanol dari Anredera cordifolia (Ten.) Steenis yang juga termasuk dalam

suku Basellaceae telah dilaporkan memiliki efek antidiabetes pada mencit yang

diinduksi aloksan (Lin, 1986 dalam Chuang et al., 2007).

Menurut Soumyanath (2006), beberapa tanaman yang telah dilaporkan

memiliki aktivitas sebagai antidiabetes antara lain umbi bawang merah (Allium

cepa L.) suku Alliaceae, umbi bawang putih (Allium sativum L.) suku Alliaceae,

seluruh bagian tanaman lada hitam (Piper nigrum L.) suku Piperaceae, rimpang

kunyit (Curcuma longa L.) suku Zingiberaceae, seluruh bagian tanaman jahe
9

(Zingiber officinale Rosc.) suku Zingiberaceae, buah dan daun pare (Momordica

charantia L.) suku Cucurbitaceae, biji kesumba (Bixa orellana L.) suku Bixaceae,

akar wortel (Daucus carota L.) suku Apiaceae dan akar ginseng (Panax ginseng

C.A. Mey.) suku Araliaceae.

Menurut Akbar dkk., (2008), ekstrak etanol buah buncis (Phaseolus vulgaris

L.) suku Papilionaceae dilaporkan memiliki aktivitas antidiabetes dengan dosis

efektif 4,63 mg/kgBB pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley. Setiawan

dkk., (2006) juga melaporkan bahwa suspensi daun lidah buaya (Aloe vera Linn.)

suku Liliaceae memiliki aktivitas antidiabetes dengan dosis efektif 150 mg/kgBB,

250 mg/kgBB dan 350 mg/kgBB pada tikus putih jantan galur Wistar.

Menurut Adnyana dkk., (2004), ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda

citrifolia L.) suku Rubiaceae dilaporkan memiliki aktivitas antidiabetes dengan

dosis efektif 500 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB pada tikus putih jantan galur

Wistar dan mencit jantan galur Bulb/c. Zuhrotun (2007) juga melaporkan ekstrak

etanol biji buah alpukat (Persea americana Mill.) suku Lauraceae memiliki

aktivitas antidiabetes dengan dosis efektif 0,980 g/kgBB pada tikus putih jantan

galur Wistar. Selain itu, Sunarsih dkk., (2007) juga melaporkan infusa umbi

gadung (Dioscorea hispida Dennst.) suku Dioscoreaceae memiliki aktivitas

antidiabetes dengan dosis efektif 630 mg/kgBB dan 1360 mg/kgBB pada tikus

putih jantan galur Wistar.


10

2.3 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan

metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar

glukosa darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan

protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat

dikarenakan berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan

tubuh terhadap insulin (Anonim, 2005; Guyton, 2006).

Pada manusia, defisiensi insulin merupakan keadaan patologik yang sering

terjadi dan bersifat serius. Pada hewan, keadaan ini dapat ditimbulkan dengan

pankreatektomi; dengan pemberian aloksan, streptozotosin, atau toksin lain yang

dengan dosis sesuai akan secara efektif merusak sel-sel pulau Langerhans

kelenjar pankreas; dengan pemberian obat-obat yang menghambat sekresi insulin;

dan dengan pemberian anti insulin. Juga dilaporkan adanya galur-galur mencit,

tikus, tupai, marmut, babi dan monyet yang memiliki insiden tinggi menderita

DM spontan (Ganong, 2001).

DM yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut

dan kronis. Komplikasi diabetes yang sering terjadi adalah hipoglikemia,

hiperglikemia, komplikasi makrovaskular (penyakit jantung koroner, penyakit

pembuluh darah otak, penyakit pembuluh darah perifer) dan komplikasi

mikrovaskular (retinopati, nefropati, neuropati) (Anonim, 2005).

2.3.1 Patofisiologi diabetes mellitus

Etiologi dari DM tidak terlalu lengkap dimengerti dan banyak faktor yang

dihubungkan dengan perkembangannya. Beberapa faktor yang dihubungkan


11

dengan penyakit DM ini antara lain obesitas, peningkatan umur, genetik, stres,

kerusakan sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas karena proses autoimun,

penyakit-penyakit endokrin, virus, kerusakan reseptor insulin atau reseptor post-

insulin, dan obat-obatan misalnya kortikosteroid, tiroid, penitoin dan tiazid

(Herfindal and Gourlev, 2000).

Pada penyakit DM terjadi bermacam-macam kelainan biokimia, tetapi

gangguan yang mendasari sebagian besar kelainan tersebut adalah penurunan

pemasukan glukosa ke dalam berbagai jaringan perifer dan peningkatan

pembebasan glukosa ke dalam sirkulasi darah dari hati (peningkatan

glukoneogenesis hati). Dengan demikian, terjadi kelebihan glukosa intrasel,

penurunan pemasukan asam-asam amino ke dalam otot dan peningkatan lipolisis.

(Ganong, 2001).

2.3.2 Klasifikasi diabetes mellitus

A. Diabetes mellitus tipe 1

Diabetes mellitus (DM) tipe 1 atau Insulin-Dependent Diabetes Mellitus

(IDDM) disebabkan oleh defisiensi insulin yang ditimbulkan oleh destruksi

otoimun sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas dan terdapat kerentanan

genetik yang memudahkan timbulnya penyakit ini (Ganong, 2001). Ada beberapa

tipe antibodi dihubungkan dengan DM tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell

Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet Cell Surface Antibodies), dan antibodi

terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) (DiPiro et al., 2005). Keberadaan

ICCA, ICSA dan antibodi terhadap GAD merupakan prediktor yang cukup akurat

untuk DM tipe 1, dimana titer ketiga antibodi tersebut makin menurun sejalan
12

dengan perjalanan penyakit. Di samping ketiga antibodi tersebut, terdapat pula

autoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan yaitu IAA (Anti-Insulin Antibody)

yang ditemukan pada sekitar 40 % anak-anak yang menderita DM tipe 1 (Anonim,

2005; DiPiro et al., 2005).

Destruksi autoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas

langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang

menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM tipe 1 (Anonim, 2005).

Pada DM tipe 1 gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia,

polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan

pruritus (gatal-gatal pada kulit) serta pasien akan mengalami ketosis dan asidosis

(Anonim, 2005; Ganong, 2001).

B. Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes mellitus (DM) tipe 2 atau Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus

(NIDDM) merupakan tipe DM yang paling sering ditemukan. Penyakit ini

biasanya timbul setelah usia 40 tahun dan tidak berkaitan dengan hilangnya

seluruh kemampuan mensekresi insulin (Ganong 2001). Faktor genetik dan

pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2,

antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat serta kurang berat badan

(Anonim, 2005). Patofisiologis utama pada pasien dengan DM tipe 2 adalah

resistensi insulin dimana pasien tersebut mengalami dua kelainan metabolisme

utama yaitu penurunan sensitivitas jaringan target (umumnya pada hati dan otot

skeletal) terhadap aksi dari insulin dan terjadi gangguan sekresi insulin sehingga

jumlahnya relatif berkurang (Herfindal and Gourlev, 2000). Pada keadaan


13

resistensi insulin tersebut sel - sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon

insulin secara normal (Anonim, 2005). Oleh karena kelainan metabolisme ini,

pasien DM tipe 2 dapat mengalami peningkatan resiko komplikasi makrovaskular

(DiPiro et al., 2005).

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul

gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun,

tidak terjadi perusakan sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas secara

autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi

fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh

sebab itu dalam penanganan DM tipe 2 umumnya tidak memerlukan terapi

pemberian insulin. Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel-sel pulau

Langerhans kelenjar pankreas menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase

pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila

tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita

DM tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel pulau Langerhans kelenjar

pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan

defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen

(Anonim, 2005).

2.4 Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis klinis DM umumnya akan ditegakkan apabila ada keluhan khas DM

berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita


14

antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur,

disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita (Anonim, 2005).

Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah post

prandial >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL juga dapat menjadi patokan

diagnosis DM. Sedangkan untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan

kadar glukosa darah abnormal tinggi (hiperglikemia), dengan melakukan

pemeriksaan satu kali saja tidak cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.

Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan paling

tidak satu kali lagi kadar gula darah post prandial >200 mg/dL, kadar glukosa

darah puasa 126 mg/dL, atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan

kadar glukosa darah pasca pembebanan >200 mg/dL (Anonim, 2005)

2.5 Terapi Diabetes Mellitus

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam terapi diabetes mellitus (DM) yaitu

pendekatan tanpa obat (terapi non farmakologi) dan pendekatan dengan obat

(terapi farmakologi) (Anonim, 2005).

2.5.1 Terapi non farmakologi

Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan diet yang baik dan olahraga

yang teratur. Terapi ini merupakan kunci keberhasilan terapi DM untuk menjaga

kadar glukosa darah tetap berada dalam kisaran normal dan mencegah atau

meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi akibat DM (Anonim, 2005).


15

2.5.2 Terapi farmakologi

Bila terapi diet dan usaha mengurangi berat badan bagi kegemukan gagal

mengoreksi hiperglikemia, maka terapi dilanjutkan dengan pemberian obat

hipoglikemi (Katzung, 2002).

A. Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe 1. Pada DM

tipe 1, sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga

tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM

tipe 1 harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme

karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal (Anonim, 2005).

B. Obat hipoglikemik oral

Obat hipoglikemik oral merupakan senyawa yang mampu memodifikasi

pelepasan insulin. Obat hipoglikemik oral ini digunakan untuk pasien yang tidak

tergantung dengan insulin (Katzung, 2002).

1. Golongan insulin secretagogue

Obat-obat golongan sekretagok insulin obat-obat yang meningkatkan sekresi

insulin oleh sel pulau Langerhans kelenjar pankreas meliputi obat hipoglikemik

oral sulfonilurea dan glinid (meglitinid dan turunan fenilalanin) (Anonim, 2005).

Mekanisme kerja sulfonilurea adalah meningkatkan pengeluaran insulin dari

pankreas, penurunan kadar glukagon serum dan efek ekstrapankreatik dengan

mengadakan efek potensiasi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran

(Katzung, 1995). Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian

senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh


16

kelenjar pankreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh

glukosa, karena ternyata pada saat glukosa gagal merangsang sekresi insulin

(kondisi hiperglikemia), senyawa-senyawa obat ini masih mampu meningkatkan

sekresi insulin (Anonim, 2005).

Meglitinid memiliki aksi merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas,

sedangkan turunan fenilaalanin bekerja dengan meningkatkan kecepatan sintesis

insulin oleh pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan

meglitinida dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan

obat-obat antidiabetik oral lainnya (Anonim, 2005).

2. Golongan insulin sensitizing

Obat golongan ini mempunyai efek meningkatkan sensitifitas sel terhadap

insulin. Obat golongan ini meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida

dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin

secara lebih efektif (Anonim, 2005).

Mekanisme kerja dari biguanid meliputi stimulasi glikolisis secara langsung

dalam jaringan dengan peningkatan eliminasi glukosa dari darah, penurunan

glukoneogenesis hati, melambatkan absorbsi glukosa dari saluran cerna dengan

peningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh entrosit, dan penurunan kadar

glukagon plasma (Katzung, 2002).

Tiazolindindion memilki mekanisme mengurangi resistensi insulin dan

meningkatkan sensitivitas jaringan perifer untuk insulin. Oleh karena itu

penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Efeknya ialah

kadar insulin, glukosa dan asam lemak bebas dalam darah menurun. Golongan
17

obat ini juga menurunkan kecepatan glukoneogenesis dalam hati (Herfindal and

Gourlev, 2000; Tjay dan Raharja, 2006).

3. Golongan penghambat -glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim -glukosidase

yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim -glukosidase (maltase,

isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis

oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif

dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga

dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita DM.

Senyawa inhibitor -glukosidase juga menghambat enzim -amilase pankreas

yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus dan tidak

menyebabkan hipoglikemik. Akarbose termasuk ke dalam obat golongan ini.

Akarbose merupakan penghambat kuat enzim -glukosidase yang terdapat pada

dinding entrosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus (Anonim, 2005).

2.7 Metode Uji Efek Antidiabetes

Keadaan diabetes mellitus (DM) pada hewan percobaan dapat diinduksi

dengan cara pankreatektomi dan dengan cara kimia. Penentuan kadar gula dapat

dilakukan secara kualitatif terhadap glukosa urin, sedangkan kadar glukosa darah

ditentukan secara kuantitatif. Penentuannya dilakukan secara polarimetri atau

spektrometri pada gelombang tertentu. Uji efek anti diabetes dapat dilakukan

dengan dua metode yaitu metode uji dengan perusakan pankreas dan metode uji

toleransi glukosa.
18

2.7.1 Metode uji dengan perusakan pankreas

A. Aloksan

Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi diabetes

pada binatang percobaan. Efek diabetogeniknya bersifat antagonis dengan

glutation yang bereaksi dengan gugus SH-nya. Mekanisme aksi dalam

menimbulkan perusakan yang selektif belum diketahui dengan jelas. Beberapa

hipotesis tentang mekanisme aksi yang telah diajukan antara lain pembentukan

khelat terhadap Zn, interferensi dengan enzim-enzim sel serta deaminasi dan

dekarboksilasi asam amino. Perusakan sel pankreas secara selektif oleh aloksan

belum banyak diketahui. Penelitian terhadap mekanisme kerja aloksan secara in

vitro menunjukkan bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion kalsium dari

mitokondria yang mengakibatkan proses oksidasi sel terganggu. Keluarnya ion

kalsium dari mitokondria ini mengakibatkan gangguan homeostasis yang

merupakan awal dari matinya sel (Suharmiati, 2003).

B. Streptozotosin

Streptozotosin (STZ, 2-deoksi-2-(3-(metil-3-nitrosoureido)-D-glukopiranosa)

disintesis dari Streptomycetes achromogenes. Senyawa ini digunakan sebagai

agen penginduksi diabetes, baik itu DM tipe 1 ataupun DM tipe 2 (Szkudelski,

2001). Mekanisme kerja dari STZ sebagai agen diabetogenik adalah dengan

menginduksi kerusakan rangkaian DNA pada sel-sel pulau Langerhans kelenjar

pankreas (Halliwel and Gutteridge, 1999). STZ berinteraksi dengan sel-sel

pulau Langerhans kelenjar pankreas melalui GLUT2 (Glucose Transporter 2).

Aksi intraseluler dari STZ menimbulkan perubahan DNA pada sel - sel pulau
19

Langerhans kelenjar pankreas dengan mengubah fragmentasinya. Dari beberapa

penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama dari kematian sel-sel pulau

Langerhans kelenjar pankreas yang terinduksi STZ adalah DNA yang teralkilasi.

Rangkaian DNA yang telah rusak karena teralkilasi dapat mengaktivasi poly

ADP-ribose polymerase (PARP). Proses ini menimbulkan terjadinya penipisan

dari NAD+ seluler yang kemudian akan mereduksi pembentukan ATP di

mitokondria dan menghambat sintesis sekaligus sekresi insulin pada sel-sel

pulau Langerhans kelenjar pankreas (Szkudelski, 2001).

2.7.2 Metode uji toleransi glukosa

Hewan uji yang telah dipuasakan 20-24 jam diberi larutan glukosa per oral

dan pada awal percobaan sebelum pemberian obat dilakukan pengambilan

cuplikan darah sebagai kadar glukosa awal. Pengambilan cuplikan darah diulangi

setelah perlakuan pada waktu-waktu tertentu. Keadaan hiperglikemia pada uji

toleransi glukosa hanya berlangsung beberapa jam setelah pemberian glukosa

sebagai diabetogen. Penentuan kadar glukosa setelah pembebanan glukosa

dilakukan menggunakan alat glukosa test dengan metode enzimatik GOD-PAP

(Adnyana dkk, 2004).

2.8 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Anonim,

2000). Ragam ekstraksi yang tepat sudah tentu bergantung pada tekstur dan

kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi.
20

(Harborne, 1987). Secara umum ekstraksi dilakukan dengan metode meserasi,

perkolasi, refluks dan sokhletasi. Masing-masing metode tersebut memiliki

keuntungan dan kerugian yang dapat disesuaikan menurut kebutuhan ekstraksi

yang akan dilakukan.

Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan

dengan cara merendam serbuk simplisia menggunakan pelarut yang cocok dengan

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (Anonim,

1986; Anonim, 2000). Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam

rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel,

maka larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga

terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dan di dalam sel

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan

yang digunakan sederhana dan mudah didapatkan (Anonim, 1986).

2.9 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) - Densitometer

2.9.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan

bahan yang memisahkan (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa

lempeng gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisahkan

ditotolkan berupa bercak atau pita. Lempeng KLT selanjutnya diletakkan dalam

bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak) dan

pemisahan terjadi selama pengembangan. Selanjutnya, senyawa yang tidak


21

berwarna harus dideteksi. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa

menunjukkan penyerapan di daerah UV gelombang pendek (radiasi utama pada

kira-kira 254 nm) atau jika senyawa itu dapat dieksitasi ke fluoresensi radiasi UV

gelombang pendek dan/atau gelombang panjang (365 nm). Jika dengan kedua cara

itu senyawa tidak dapat dideteksi, harus dicoba dengan pereaksi kimia tanpa

pemanasan dan bila perlu dengan pemanasan (Stahl, 1985).

Fase diam yang umum digunakan pada KLT adalah silika dan serbuk selulosa

sedangkan fase gerak berupa cairan. Mekanisme dalam KLT adalah partisi dan

adsorbsi. Pada KLT, untuk fase diam yang polar dapat digunakan fase gerak

nonpolar sampai paling polar. Sedangkan untuk fase diam nonpolar biasanya

digunakan fase gerak berupa larutan metanol dan isopropanol. Parameter migrasi

analitik pada KLT dinyatakan dengan Rf (retention factor). Dua senyawa

dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi

KLT yang sama (Gandjar dan Rohman, 2007).

KLT merupakan metode analisis yang umum telah digunakan sampai batas

tertentu di hampir setiap laboratorium di dunia. Identifikasi tanaman-tanaman obat

merupakan salah satu aplikasi dari KLT. Peran penting KLT dalam identifikasi

tanaman obat ini membuat metode KLT ini masih diimplementasikan di berbagai

farmakope di seluruh dunia. Namun, kini terjadi peningkatan yang luar biasa

dalam penggunaan obat-obatan herbal di seluruh dunia dan kebutuhan

pengembangan metode analisis untuk memastikan keamanan dan kualitas juga

meningkat. Maka kini telah dikembangkan metode kromatografi lapis tipis


22

kinerja tinggi (KLT-KT) yang ditawarkan untuk analisis herbal (Reich and

Blatter, 2003).

KLT-KT merupakan pengembangan dari KLT yang dimaksudkan untuk

memperoleh pemisahan dan hasil analisis yang lebih baik dibandingkan KLT.

Kelebihannya terletak pada fase diam dimana pada KLT-KT fase diam yang

digunakan berukuran lebih kecil sehingga menyebabkan semakin besarnya jumlah

lempeng teoritis. Oleh karena itu pemisahan pada KLT-KT menjadi lebih efisien

dari KLT (Gandjar dan Rohman, 2007). Selain itu, KLT-KT memiliki kelebihan

lainnya seperti jumlah sampel yang ditotolkan lebih sedikit, jarak pengembangan

lebih pendek dan waktu analisis lebih singkat. Oleh karena itu, KLT-KT

seringkali dapat memberikan hasil yang memadai dengan sedikit usaha dan sedikit

biaya sehingga dapat menekan biaya pengawasan mutu dalam memenuhi

persyaratan produksi yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

penggunaan obat-obat herbal (Reich and Blatter, 2003).

KLT dan KLT-KT dapat digunakan dalam penapisan golongan kandungan

kimia tanaman. Fase gerak atau sistem pelarut yang umum digunakan penapisan

kandungan kimia yang terdapat pada tanaman dapat dilihat pada tabel 2.1 dengan

silika gel sebagai fase diam (Reich and Blatter, 2003).


23

Tabel 2.1 Sistem Pelarut yang Digunakan dalam Profil KLT Golongan
Kandungan Kimia Tumbuhan (Reich and Blatter, 2003).
Golongan Kandungan
Sistem Pelarut atau Fase Gerak
Kimia Tumbuhan
Alkaloid Toluen, etil asetat, dietil amin atau amonia (70:20:10)
Purin Etil asetat, metanol, air (100:13,5:10)
Etil asetat, metanol, air (100:13,5:10) atau
Derivat Antrasena
n-propanol, etil asetat air, asam asetat (40:40:29:1)
Etil asetat atau metanol dan toluen atau
Minyak Atsiri
heksan pada berbagai konsentrasi, atau diklorometan
Etil asetat, asam formiat, asam asetat, air (100:11:11:26)
Flavonoid atau asam formiat, air, etil asetat pada berbagai
konsentrasi, dengan atau tanpa etil metil keton
Arbutin, Derivat Etil asetat, metanol, air (100:13,5:10)
Hidrokuinon Asam formiat, air, etil asetat (6:6:88)
Kloroform, metanol, air (70:30:4)
Asam asetat, air, 1-butanol (10:40:50) atau
Saponin
amonia, air, etanol, etil asetat (1:9:25:65) atau
etil asetat, air, 1-butanol (25:50:100)
Asam formiat, air dan eti asetat pada berbagai konsentrasi,
dengan atau tanpa asam asetat, atau etil asetat, toluen
Tanin
(2:98) atau asam asetat, eter, heksan, etil asetat
(20:20:20:40)
Air, asetonitril (10:85) atau natrium dihidrogen fosfat
Karbohidrat
1,6%, 1-butanol, aseton (10:40:50)
Asam Amino 1-butanol, air, asam asetat, asam formiat (28:8:9:2)

Salah satu poin penting analisis dengan KLT/KLT-KT adalah identifikasi

golongan-golongan kandungan kimia tumbuhan dengan pemilihan pereaksi warna

spesifik atau non-spesifik yang sesuai setelah proses kromatografi (Reich and

Blatter, 2003). Beberapa pereaksi-pereaksi warna yang dapat digunakan dalam

identifikasi golongan kandungan kimia tumbuhan dapat dilihat pada tabel 2.2 di

bawah ini.
24

Tabel. 2.2 Pereaksi Warna yang Umum Digunakan dalam Identifikasi Golongan
Kandungan Kimia Tumbuhan (Reich and Blatter, 2003)
Pereaksi Warna Golongan Kandungan Kimia Tumbuhan
Terpenoid, saponin, sterol, iridoid, flavonoid dan
Asam sulfat
sebagian besar komponen-komponen lipofil
Anisaldehid/vanilin dengan Fenol, steroid, glikosida, saponin, karbohidrat (gula),
asam sulfat atau asam fosfat terpen (minyak atsiri)
Fenol, tanin, kumarin, flavonol, kanabinoid, senyawa
Fast blue salt B
amina
Natural products reagent Flavonoid, karbohidrat (gula), antosianin
Alkoloid, flavonoid, opiat, mikotoksin, senosida,
Uap amonia
valepotriat, antrasena
Alkaloid, komponen nitrogen heterosiklik, senyawa
Reagen Dragendorffs
dengan ikatan rangkap terkonjugasi, karotenoid
Anilin-dipenilamin-asam
Gula, glikosida
fosfat
Besi (III) klorida Fenol, flavonoid, tanin, alkaloid ergot, hiperisin.

2.9.2 Densitometer

Densitometri adalah analisis instrumental berdasarkan interaksi

elektromagnetik dengan analit yang merupakan noda pada KLT (Mulya, 1995).

Alat densitometer mempunyai sumber cahaya yang diarahkan menuju

monokromator sehingga menghasilkan sinar monokromatik pada rentang 190-800

nm yang dapat disesuaikan pada absorpsi atau fluoresensi maksimum dari

senyawa target (Reich and Blatter, 2003).


25

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dan dilakukan

dalam beberapa tahap yaitu:

1. Ekstraksi umbi Anredera scandens L. Moq. dengan metode maserasi

menggunakan pelarut etanol 95%.

2. Penentuan profil KLT-Densitometer pada ekstrak etanol umbi A. scandens

L. (Moq. dengan spektrodensitometer CAMAG TLC Scanner 3 (WIN-

CATS 1.24).

3. Uji potensi antidiabetes ekstrak etanol umbi A. scandens (L.) Moq. yang

mengikuti rancangan acak lengkap pola searah. Uji ini dilakukan pada

hewan coba tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang dibagi menjadi

6 kelompok. Setelah diadaptasikan selama satu minggu, kadar glukosa

darah tikus diukur. Selanjutnya, dilakukan tahap perlakuan pada tiap-tiap

kelompok. Kelompok kontrol normal diberikan larutan CMC-Na 1%,

kelompok kontrol positif diberikan suspensi glibenklamid, kelompok

kontrol negatif diberikan larutan glukosa monohidrat dan kelompok

perlakuan diberikan ekstrak umbi A. Scandens (L.) Moq. Setelah 30 menit,

dilakukan pembebanan glukosa. Kadar glukosa darah tikus diukur pada

menit ke-0, 30, 60, 120 setelah pembebanan glukosa. Setelah itu,

dilakukan analisis data.

25
26

30 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley, BB 110 -160g


telah diadaptasikan selama 1 minggu dan dipuasakan 12-18 jam

Dibagi menjadi 6 kelompok secara acak

Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V Kelompok VI


(Kontrol (Kontrol (Kontrol (Kelompok (Kelompok (Kelompok
normal) positif) negatif) Perlakuan) Perlakuan) Perlakuan)

Kadar glukosa darah awal diukur

Diberi Diberi Diberi Diberi ekstrak Diberi ekstrak Diberi ekstrak


larutan glibenklamid larutan umbi A. umbi A. scandens umbi A. scandens
CMC-Na 1,89 mg/kgBB CMC-Na scandens 250 500mg/kgBB 1000mg/kgBB
1% (p.o) (p.o) 1% (p.o) mg/kgBB (p.o) (p.o) (p.o)

Tidak diberi Setelah 30 menit,


perlakuan diberi glukosa monohidrat 2 g/kgBB (p.o)

Kadar glukosa darah diukur pada menit ke-0, 30, 60, 90, 120 setelah diberi glukosa monohidrat

Analisis data

Gambar 3.1 Skema rancangan penelitian uji potensi antidiabetes

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Morfologi dan Anatomi Tumbuhan

Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Udayana untuk melakukan

determinasi jenis tanaman, Laboratorium Farmakognosi dan Fitofarmasi Jurusan

Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana untuk melakukan uji potensi

antidiabetes dan UPT Laboratorium Forensik Universitas Udayana untuk


27

melakukan profil KLT-Densitometer. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari

2010 sampai Mei 2010.

3.3 Subyek Penelitian

Subyek uji yang digunakan berupa hewan tikus putih jantan galur Sprague

Dawley, umur 2 - 3 bulan dengan berat berkisar 110 - 160 gram dan diberikan

makanan pelet dan air ad libitum. Sesudah adaptasi selama satu minggu, hewan

yang sehat digunakan untuk penelitian.

3.4 Bahan Penelitian

3.4.1 Bahan tanaman

Sampel umbi tanaman A. scandens (L.) Moq. diambil dari wilayah Satria,

Klungkung yang telah berumur kira-kira 1 - 2 bulan.

3.4.2 Bahan kimia untuk ekstraksi

Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi umbi A. scandens (L.) Moq. adalah

etanol 95% teknis.

3.4.3 Bahan kimia untuk uji potensi antidiabetes

Bahan-bahan yang digunakan dalam uji potensi antidiabetes adalah aquadest,

glukosa monohidrat p.a. (Criterion) sebagai penginduksi gangguan toleransi

glukosa, glibenklamid generik (Indofarma) sebagai bahan obat yang digunakan

pada kontrol positif dan CMC-Na 1% sebagai bahan larutan pembawa.


28

3.4.4 Bahan untuk KLT

Bahan yang digunakan untuk KLT adalah lempeng KLT silika gel GF254

(Merck), aquadest, etil asetat p.a (Merck), asam formiat teknis, amonia teknis,

asam asetat p.a (Merck), kloroform p.a (Merck), metanol p.a (Merck) dan toluen

p.a (Merck).

3.5 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gluco Dr Plus AGM 3000

Blood Glucose Monitoring System, syringe 5 mL, batang pengaduk, mortir,

stamper, sudip, timbangan hewan, alat sonde, bak plastik dan kawat penutup bak,

gunting, pisau, corong gelas, alat penggiling (blender), timbangan analitik,

desikator, cawan porselen, oven, vaccum rotary evaporator, vial, erlenmeyer,

gelas beker, gelas ukur, pipet ukur, aluminium foil, mikropipet, bejana

pengembang, pipet kapiler, lampu UV, dan spektrodensitometer CAMAG TLC

Scanner 3 dengan piranti lunak yang digunakan yaitu WIN-CATS 1.24.

3.6 Prosedur Kerja

3.6.1 Determinasi jenis tumbuhan

Determinasi tanaman A. scandens (L.) Moq. dilakukan di Laboratorium

Morfologi dan Anatomi Tumbuhan Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana.


29

3.6.2 Pengumpulan dan preparasi sampel

Sampel umbi A. scandens (L.) Moq. diperoleh dari wilayah Satria, Klungkung.

Setelah sampel umbi tersebut dikumpulkan, kemudian dicuci dan dikeringkan

dengan cara diangin-anginkan. Umbi yang sudah kering digiling hingga diperoleh

serbuk. Serbuk umbi A. scandens (L.) Moq. lalu dibungkus dan disimpan di

tempat kering.

3.6.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode gravimetri. Lebih kurang 10

gram serbuk daun A. scandens (L.) Moq. dimasukkan dan ditimbang dengan

seksama dalam wadah yang telah ditara. Kemudian dikeringkan pada suhu 105oC

selama 5 jam dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan kembali setiap 1 jam. Setiap

1 jam, wadah ditimbang kembali. Pekerjaan ini dilakukan sampai perbedaan

antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%. Pekerjaan ini diulang

sebanyak tiga kali (Anonim, 1995).

3.6.4 Pembuatan ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq

Sebanyak 10 g serbuk umbi A. scandens (L.) Moq. dimaserasi dengan

menggunakan 100 mL etanol 95% pada suhu kamar selama satu hari, lalu

disaring. Ampasnya dimaserasi kembali dengan 2 kali pengulangan masing-

masing menggunakan 100 mL etanol 95% selama satu hari, sehingga total jumlah

etanol yang digunakan adalah sebanyak 300 mL. Maserat yang diperoleh melalui

penyaringan ditampung dan diuapkan dengan vaccum rotary evaporator untuk

mendapatkan ekstrak kental. Setelah didapatkan ekstrak kental, kemudian

ditimbang menggunakan timbangan analitis.


30

3.6.5 Uji fitokimia ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq.

Uji fitokimia terhadap ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq.

meliputi pemeriksaan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, glikosida,

steroid dan triterpenoid.

A. Pembuatan larutan uji fitokimia

Pembuatan larutan uji untuk skrining fitokimia dilakukan dengan

melarutkan 500 mg ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq. dalam 50

mL etanol 95%.

B. Pemeriksaan minyak atsiri

Sebanyak 1 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselen hingga

didapat residu. Hasil positif minyak atsiri ditandai dengan adanya bau khas yang

dihasilkan oleh residu (Ciulei, 1984).

C. Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga di

dapat residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCl 2N. Larutan yang

didapat kemudian di bagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan

dengan asam encer yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan

pereaksi Dragendorff sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi

Mayer sebanyak 3 tetes. Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua dan

endapan kuning pada tabung ketiga menunjukkan adanya alkaloid (Farnsworth,

1966).
31

D. Pemeriksaan steroid dan triterpenoid

Pemeriksaan steroid dan triterpenoid dilakukan dengan reaksi Liebermann-

Burchard. Sebanyak 2 mL larutan uji diuapkan dalam cawan penguap. Residu

dilarutkan dengan 0,5 mL kloroform, kemudian ditambahkan 0,5 mL asam asetat

anhidrat. Selanjutnya ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding

tabung. Terbentuknya cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan

menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul cincin biru kehijauan

menunjukan adanya steroid (Ciulei, 1984).

E. Pemeriksaan saponin

Sebanyak 10 mL larutan ekstrak uji dalam tabung reaksi dikocok vertikal

selama 10 detik kemudian dibiarkan selama 10 detik. Pembentukan busa setinggi

1 - 10 cm yang stabil selama tidak kurang dari 10 menit, menunjukkan adanya

saponin. Pada penambahan 1 tetes HCL 2N, busa tidak hilang (Anonim, 1989).

F. Pemeriksaan tanin

Sebanyak 1 mL larutan ekstrak uji direaksikan dengan larutan besi (III)

klorida 10 %, jika terjadi warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan

adanya tanin (Robinson, 1991).

G. Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia uji dilarutkan dalam pelarut etanol, diuapkan di atas tangas

air. Larutkan sisa dalam 5 mL asam asetat anhidrat P, ditambahkan 10 tetes asam

sulfat P. Terjadinya warna biru atau hijau menunjukkan adanya glikosida (reaksi

Liebermann-Burchard) (Anonim, 1989).


32

H. Pemeriksaan flavonoid

1. Pemeriksaan flavonoid dengan reaksi kimia

Sebanyak 1 mL larutan ekstrak uji, basahkan sisanya dengan aseton P,

tambahkan sedikit serbuk halus asam borat P dan serbuk halus asam oksalat P,

panaskan hati-hati di atas tangas air dan hindari pemanasan berlebihan. Campur

sisa yang diperoleh dengan 10 mL eter P. Amati dengan sinar UV 366 nm; larutan

berfluoresensi kuning intensif, menunjukkan adanya flavonoid (Anonim, 1989)

2. Pemeriksaan flavonoid dengan KLT

Larutan uji untuk pemeriksaan flavonoid dibuat dengan melarutkan 10 mg

ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq. dalam 5 mL metanol. Sebanyak

6 L larutan ekstrak uji selanjutnya ditotolkan menggunakan pipet kapiler pada

lempengan KLT silika gel GF254. Lempengan dielusi di dalam bejana pengembang

yang telah dijenuhkan dengan sistem pelarut n-butanol : asam asetat : aquadest

(4:1:5) hingga tanda batas. Setelah elusi, lempengan dikering dalam oven pada

suhu 60oC selama 5 menit. Bercak yang diperoleh dideteksi dibawah sinar UV

366 nm baik sebelum maupun sesudah diuapi amonia. Lihat dan identifikasi

fluoresensi yang terlihat (Markham, 1988).

3.6.6 Profil KLT-Densitometer ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.)

Moq.

A. Pemilihan Fase Gerak

Pemilihan fase gerak disesuaikan dengan hasil yang diperoleh dari uji

fitokimia pada umbi A. scandens (L.) Moq. Pemilihan fase gerak yang sesuai

untuk penentuan profil kandungan kimia A. scandens (L.) Moq. dikerjakan


33

mengacu pada publikasi Reich and Blatter (2003) dan Harbone (1987), seperti

ditunjukkan pada tabel 3.1 di bawah ini.

Tabel 3.1 Sistem Fase Gerak yang Digunakan untuk Pembuatan Profil Kandungan
Kimia Umbi Anredera scandens (L.) Moq.
Golongan
Fase Gerak
Senyawa
Flavonoid Etil asetat : Asam Formiat : Asam Asetat : Air (100:11:11:26)
Saponin Kloroform : Metanol : Air (70:30:4)
Tanin Etil asetat : Toluen (2:98)
Triterpenoid Kloroform : Metanol (10:1)

B. Penentuan profil KLT-Densitometer ekstrak etanol umbi Anredera scandens

(L.) Moq.

Bejana pengembang dijenuhkan dengan kombinasi fase gerak yang sesuai

dengan tabel 3.1 selama 30 menit. Ekstrak kental daun Anredera scandens (L.)

Moq. dilarutkan dalam metanol. Sebanyak 10 L larutan ekstrak ditotolkan pada

lempangan KLT silika gel GF254. Lempengan KLT dimasukkan ke dalam bejana

pengembang yang telah dijenuhkan selama 30 menit dan dielusi sampai tanda

batas. Setelah dielusi, lempengan KLT dikeluarkan dari bejana pengembang dan

dikeringkan dalam oven selama 5 menit pada suhu 500C. Lempengan yang telah

dikeringkan, selanjutnya diamati di bawah sinar ultraviolet dengan panjang

gelombang 254 nm dan 366 nm. Kemudian dipayar dengan spektrodensitometer

CAMAG TLC Scanner 3. Data puncak yang dihasilkan dari ekstrak etanol umbi

Anredera scandens (L.) Moq. kemudian diamati profil kromatogramnya.

Selanjutnya lempengan KLT dideteksi dengan pereaksi pendeteksi yang sesuai


34

dan diamati reaksi warna yang terjadi. Pereaksi pendeteksi yang digunakan dan

hasil positifnya setelah disemprot untuk masing-masing kandungan kimia umbi

Anredera scandens (L.) Moq. yang digunakan pada penentuan profil KLT-

Densitometer dapat dilihat pada tabel 3.2.

Tabel 3.2 Jenis Pereaksi Pendeteksi dan Hasil Positif yang Dihasilkan
Golongan
Jenis Pereaksi Semprot Hasil Positif Setelah Disemprot
Senyawa
Flavonoid Vanilin 1% - Asam Sulfat P. Berwarna Merah Lembayung
Saponin Vanilin 1% - Asam Sulfat P. Berwarna Biru atau Ungu
Berwarna Ungu di Bawah Sinar
Tanin Uap Amonia
UV 366 nm
Berwarna Ungu setelah
Triterpenoid Vanilin 1% - Asam Sulfat P. Pemanasan pada Suhu 850C -
900C
(Markham, 1988; Wagner and Bladt, 1996; Harborne, 1987; Robinson, 1991)

3.6.7 Uji potensi antidiabetes

A. Pembuatan larutan glibenklamid

Berdasarkan penelitian Akbar dkk., (2008), dosis glibenklamid yang

digunakan pada tikus jantan galur Sprague Dawley untuk penurunan kadar

glukosa darah adalah 1,89 mg/kg BB. Penetapan ini didasarkan pada konversi dari

dosis terapi manusia:

- Manusia (50 kg) dosis sekali pakai: 5 mg

- Dosis sehari: 5 mg 3 = 15 mg

70
- Manusia (70 kg) dosis sehari: 15 mg = 21 mg
50

- Tikus (200 g) dosis sehari: 0,018 21 mg = 0,378 mg/200 gBB

= 1,89 mg/kgBB
35

Larutan stok glibenklamid dibuat dengan kadar 2,835 mg/ 15mL dengan larutan

CMC-Na 1% sebagai larutan pembawa.

B. Pembuatan larutan CMC-Na 1%

Dua gram CMC-Na ditimbang lalu dilarutkan dengan aquadest panas sedikit

demi sedikit sampai semua CMC-Na larut. Sisa aquadest ditambahkan sampai

didapatkan volume larutan CMC-Na sebanyak 100 mL.

C. Pembuatan larutan glukosa monohidrat

Dosis larutan glukosa monohidrat yang digunakan sesuai hasil orientasi dosis

glukosa monohidrat yaitu 2 g/kgBB. Larutan stok 15 g/50 mL glukosa monohidrat

dibuat dengan cara dilarutkan dalam air hangat.

D. Perlakuan hewan uji

Penelitian menggunakan 30 ekor tikus yang kemudian dibagi ke dalam 6

kelompok yaitu kelompok kontrol normal, kelompok kontrol negatif, kelompok

kontrol positif, kelompok perlakuan 1, kelompok perlakuan 2, dan kelompok

perlakuan 3. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus . Sebelum diberi

perlakuan, semua tikus dipuasakan selama 12 - 18 jam kemudian diperiksa kadar

gula darah awal. Selanjutnya, diberikan perlakuan per oral sebagai berikut:

1. Kelompok I (kontrol normal) sebanyak 5 ekor

Kelompok ini tidak diberi perlakuan apapun baik glukosa monohidrat oral,

larutan glibenklamid, maupun ekstrak umbi A. scandens (L.) Moq.

Kelompok ini hanya diberikan larutan CMC-Na 1%.


36

2. Kelompok II (kontrol positif) sebanyak 5 ekor

Kelompok ini diberi larutan glibenklamid dosis 1,89 mg/kg BB secara per

oral.

3. Kelompok III (kontrol negatif) sebanyak 5 ekor

Kelompok ini hanya diberi larutan glukosa monohidrat.

4. Kelompok IV (perlakuan 1) sebanyak 5 ekor

Kelompok ini diberi suspensi ekstrak umbi A. scandens (L.) Moq. dengan

dosis 250 mg/kg BB.

5. Kelompok V (perlakuan 2) sebanyak 5 ekor

Kelompok ini diberi suspensi ekstrak umbi A. scandens (L.) Moq. dengan

dosis 500 mg/kg BB.

6. Kelompok VI (perlakuan 3) sebanyak 5 ekor

Kelompok ini diberi suspensi ekstrak umbi A. scandens (L.) Moq. dengan

dosis 1000 mg/kg BB.

Tiga puluh menit kemudian, semua kelompok kecuali kelompok kontrol

normal diberikan pembebanan glukosa monohidrat per oral dengan dosis

2 g/kgBB. Sampel darah diambil pada menit ke-0, menit ke-30, menit ke-60,

menit ke-90 dan menit ke-120 dihitung dari saat pembebanan glukosa.

Pengambilan sampel darah dilakukan dengan memotong sedikit ujung ekor tikus.

Pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan dengan meneteskan sampel darah

yang diambil dari ekor tikus pada strip yang telah dipasangkan pada alat Gluco Dr

Plus AGM 3000 Blood Glucose Monitoring System kemudian ditunggu selama 5

detik, maka kadar glukosa darah akan muncul pada layar monitor alat.
37

E. Analisis data

Data kadar gula darah kemudian dianalisis secara statistik menggunakan

aplikasi SPSS 17 for Windows dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk melihat

distribusi data dan Levene test untuk melihat kehomogenan data. Jika distribusi

data normal dan homogen, maka analisis dilanjutkan dengan analisis pola searah

(ANOVA - one way) taraf kepercayaan 95% dan uji LSD untuk mengetahui

perbedaan masing-masing kelompok.

Determinasi Tumbuhan

Pengumpulan dan pengeringan Umbi


Binahong (Anredera scandens (L.) Moq.)

Penggilingan
Serbuk umbi A. scandens (L.) Moq.

Ekstraksi dengan etanol 95 %

Ekstrak etanol
umbi A. scandens (L.) Moq.

Profil Uji potensi


KLT-Densitometer antidiabetes

Analisis data

Gambar 3.2 Skema kerja penelitian


38

3.7 Jadwal penelitian

Tabel 3.3 Rancangan Jadwal Penelitian


No. Tahun 2009 Tahun 2010
Kegiatan
Jul Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Persiapan
- Studi
1. pustaka
- Penyusunan
Proposal
Seminar
2.
Proposal
Pengumpulan
3.
alat dan bahan
4. Ekstraksi
Penentuan
5. profil KLT-
Densitometer
Uji potensi
6.
diabetes
7. Analisis data
Penyusunan
8.
laporan
39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Tanaman

Tanaman yang digunakan sebagai sampel pada penelitian ini berasal dari

daerah Satria, Klungkung. Setelah sampel terkumpul, selanjutnya dilakukan

determinasi yang dilakukan di Laboratorium Morfologi dan Anatomi Tumbuhan

Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana. Berdasarkan data hasil

determinasi dari Laboratorium Morfologi dan Anatomi Tumbuhan Jurusan

Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana menyatakan bahwa tanaman yang

digunakan untuk penelitian adalah benar jenis Anredera scandens (L.) Moq.

Adapun kunci determinasinya (Lampiran 1) yaitu sebagai berikut:

1b, 2b, 3b, 4a, 12b, 13b, 405b, 403b, 404b, 414b, 415b, 451b, 466b, 467b, 468b,

469b, 470e, 541a ... (49. Fam. Basellaceae) 1b. Genus Anredera, 2b. Anredera

scandens (L.) Moq. (Backer and Brink, 1965).

1b, 16b, 158a, 159b, 1572a, 1573a, 1574b, 1654b, 1680b, 1681b, 1839a, 1840a,

1841a, 1842a, 1844b ... (Fam. Basellaceae) (Geesink et al., 1981).

1b, 2b, 3b, 4b, 7b, 9b, 10b, 11b, 41b, 42b, 43b, 54b, 59b, 61b, 62b, 63a, 64b ...

(45. Fam. Basellaceae) (Steenis et al., 2005).

4.2 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan pada serbuk simplisia umbi binahong

(Anredera scandens (L.) Moq.) untuk mengetahui besarnya kandungan air dalam

39
40

simplisia. Metode yang digunakan untuk penetapan kadar air adalah metode

gravimetri. Hasil penetapan kadar air yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Nilai Kadar Air Serbuk Umbi A. scandens (L.) Moq.
Nilai Rata-Rata
Simplisia Kadar Air (%)
Kadar Air SD (%)
Pengulangan 1 20,02
Umbi Pengulangan 2 19,89 19,70 0,43
Pengulangan 3 19,21

Nilai kadar air dari serbuk umbi binahong lebih tinggi dari syarat umum nilai

kadar air serbuk simplisia. Menurut Anonim (1994), syarat kadar air untuk suatu

simplisia adalah di bawah 10%. Kadar air yang tinggi dapat memicu reaksi

enzimatik maupun pertumbuhan mikroba pada simplisia sehingga dapat terjadi

pembusukan atau degradasi senyawa yang ada di dalam simplisia tersebut.

4.3 Uji Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Anredera scandens (L.) Moq

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan golongan senyawa

kimia yang terdapat dalam ekstrak etanol umbi binahong (Anredera scandens (L.)

Moq.). Hasil uji fitokimia ditampilkan pada tabel 4.2.

Berdasarkan hasil uji fitokimia pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa ekstrak

etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq. mengandung golongan senyawa

flavonoid, saponin, triterpenoid dan tanin. Hal ini sesuai dengan uji fitokimia yang

telah dilakukan pada penelitian sebelumnya dimana golongan kandungan kimia

dari umbi Anredera scandens (L.) Moq. adalah flavonoid, saponin, triterpenoid

dan tanin (Sawitri, 2009).


41

Tabel 4.2 Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Umbi Anredera scandens (L.) Moq.
No. Uji Fitokimia Pustaka Hasil Kesimpulan
[2] Tidak terdapat
1. Minyak Atsiri Adanya bau khas aromatik Negatif
bau khas
Terbentuk endapan jingga Terbentuk
(pereaksi Dragendorff) [3] endapan hijau
2. Alkaloid Negatif
Terbentuk endapan kuning Terbentuk
(pereaksi Mayer)[3] endapan hijau
Tidak terbentuk
Cincin hijau
Steroid cincin hijau Negatif
kebiruan[2]
Steroid dan kebiruan
3.
Triterpenoid Terbentuk
Cincin Positif
Triterpenoid cincin coklat
coklat/violet[2] triterpenoid
violet
Terbentuk busa
Adanya busa yang bertahan setinggi 2 cm Positif
4. Saponin
>10 menit setinggi 1-10 cm[1] bertahan >10 saponin
menit
Terbentuk
Larutan berwarna biru tua
5. Tanin larutan hijau Positif tanin
atau hijau kehitaman [5]
kehitaman
Terbentuk
Larutan berwarna biru atau
6. Glikosida larutan berwarna Negatif
hijau [1]
oranye
Larutan berfluoresensi Larutan
Positif
kuning intensif di bawah UV berfluoresensi
flavonoid
366 nm [1] kuning intensif
Kemungkinan
Kuning redup
7. Flavonoid Amati fluoresensi bercak flavonol
sebelum diuapi
pada KLT dibawah sinar UV (kadang
dan tanpa
366 nm sebelum dan sesudah berasal dari
perubahan
penguapan dengan amonia [4] dihidro-
setelah diuapi
flavonol)
(1Anonim, 1989; 2Ciulei, 1984; 3Farnsworth,1966; 4Markham, 1988; 5Robinson, 1991)

Selain itu, telah dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui

kemungkinan jenis senyawa flavonoid dalam ekstrak etanol umbi binahong.

Setelah dilakukan identifikasi fluoresensi bercak yang terbentuk pada lempengan

KLT silika GF254 dengan sistem fase gerak n-butanol : asam asetat : aquadest

(4:1:5 v/v) di bawah sinar ultraviolet (UV) 366 nm baik sebelum atau sesudah

diuapi amonia maka kemungkinan jenis flavonoid yang terdapat dalam ekstrak
42

etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq. adalah flavonol yang mengandung 3-

OH bebas dan mempunyai atau tak mempunyai 5-OH bebas (kadang-kadang

berasal dari dihidroflavonol) (Markham, 1988).

4.4 Profil KLT-Densitometer Ekstrak Etanol Umbi Anredera scandens (L.)

Moq.

Penentuan profil KLT-densitometer dari ekstrak etanol A. scandens (L.) Moq

meliputi penentuan profil KLT-densitometer untuk golongan senyawa flavonoid,

saponin, triterpenoid dan tanin. Penentuan profil KLT-Densitometer dilakukan

untuk mendapatkan profil kromatogram umum dalam identifikasi golongan

kandungan kimia ekstrak etanol umbi A. scandens (L.) Moq. dengan KLT dan

menentukan bentuk spektrum dari golongan senyawa kimia yang terkandung

dalam ekstrak etanol umbi A. Scandens (L.) Moq. Profil KLT-Densitometer ini

dapat digunakan sebagai data tambahan untuk mendukung dan memperjelas data

uji fitokimia yang telah dilakukan.

4.4.1 Profil KLT-Densitometer golongan senyawa flavonoid

Pada penentuan profil KLT-Densitometer ekstrak umbi Anredera scandens

(L.) Moq. untuk golongan senyawa flavonoid digunakan fase diam silika gel

GF254 dan fase gerak etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100:11:11:26

v/v). Jumlah sampel yang ditotolkan adalah 10 l. Lempengan KLT yang telah

dielusi kemudian diamati secara visual di bawah sinar UV dengan panjang

gelombang 254 nm dan 366 nm.


43

Kemudian lempengan KLT dipayar dengan spektrodensitometer CAMAG TLC

Scanner 3 pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm sehingga diperoleh profil

kromatogram. Setelah dipayar, lempengan KLT disemprot dengan pereaksi

pendeteksi untuk mengetahui adanya golongan senyawa flavonoid pada

lempengan KLT. Pereaksi pendeteksi yang digunakan adalah vanilin 1% - asam

sulfat. Reaksi warna yang terjadi diamati pada lempengan KLT yang telah

disemprot dengan pereaksi pendeteksi. Pengamatan lempengan KLT di bawah

sinar UV 254 nm, sinar UV 366 nm dan setelah penyemprotan dengan pereaksi

pendeteksi dapat dilihat pada gambar 4.1. Bercak dengan Rf yang sama ditandai

dengan nomor yang sama dan telah disesuaikan dengan Rf pada profil

kromatogram yang diperoleh dengan Densitometer.


44

20 20
19 19 19

17

15

11

10 10 10
9
8
7
7

(a) (b) (c)

Gambar 4.1 Profil kromatogram ekstrak etanol umbi A. scandens (L.) Moq.
dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak etil asetat : asam
formiat : asam asetat : air (100:11:11:26 v/v) pada penentuan profil
KLT-Densitometer golongan flavonoid di bawah sinar UV 254 nm
(a), sinar UV 366 nm (b) dan setelah penyemprotan vanilin 1% -
as. sulfat (c)

Keterangan:
Angka pada kromatogram di atas merupakan nomor dari bercak yang disesuaikan dengan nomor
bercak pada tabel 4.3 dan apabila ada angka yang tidak tercantum pada gambar di atas, maka
bercak tersebut tidak tampak.

Berdasarkan gambar 4.1, pengamatan warna bercak pada lempengan KLT di

bawah sinar UV 254 nm, sinar UV 366 nm dan setelah penyemprotan pereaksi

pendeteksi dapat dilihat pada tabel 4.3. Nilai Rf pada setiap bercak telah

disesuaikan dengan profil kromatogram yang diperoleh dari Densitometer.


45

Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Warna Bercak Lempengan KLT pada Penentuan
Profil KLT-Densitometer Golongan Senyawa Flavonoid di Bawah
Sinar UV 254 nm, Sinar UV 366 nm dan setelah Penyemprotan
Vanilin 1% - Asam Sulfat
Rf Berdasarkan
Profil Kromatogram Pengamatan Warna Bercak Secara Visual
Bercak dari Densitomer
Sinar Sinar Vanilin 1% -
254 nm 366 nm
UV 254 nm UV 366 nm Asam Sulfat
1 0 0 - - -
2 0,01 - - - -
3 0,03 0,03 - - -
4 0,08 0,08 - - -
5 0,10 - - - -
6 0,12 0,12 - -
7 - 0,15 - Hijau muda Coklat
8 0,18 0,18 - Hijau muda -
9 0,22 0,22 - - Oranye
10 0,29 0,29 Lembayung Merah
Kuning
gelap Lembayung*
11 - 0,34 - - Biru
12 0,45 - - - -
13 0,54 - - -
14 0,55 - - - -
15 - 0,62 - - Biru
16 - 0,65 - - -
17 0,82 - - - Biru
18 - 0,89 - - -
19 0,95 0,95 Lembayung
Hijau muda Oranye
gelap
20 0,98 - Merah
- Hijau
jingga
Keterangan:
* = diduga mengandung golongan senyawa flavonoid

Profil kromatogram pada panjang gelombang 254 nm menghasilkan 15

puncak dan pada panjang gelombang 366 nm menghasilkan 13 puncak. Profil

kromatogram yang diperoleh pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm

beserta penandaan masing-masing puncak dapat dilihat pada gambar 4.2. Puncak
46

pada kedua profil kromatogram dengan nilai Rf yang sama ditandai dengan nomor

yang sama.

(a)

(b)

Gambar 4.2 Profil kromatogram ekstrak etanol umbi Anredera Scandens (L.)
Moq. dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak etil asetat :
asam formiat : asam asetat : air (100:11:11:26 v/v) dengan KLT-
Densitometer pada panjang gelombang 254 nm (a) dan 366 nm (b)

Keterangan:
Angka pada gambar profil kromatogram hasil Densitometer di atas merupakan nomor dari bercak
yang disesuaikan dengan nomor bercak pada tabel 4.3 dan apabila ada angka yang tidak tercantum
pada gambar di atas, maka bercak tersebut tidak tampak
47

Menurut Markham (1988), terjadinya bercak berwarna merah atau merah

lembayung setelah disemprot pereaksi pendeteksi vanilin 1% - asam sulfat

menandakan adanya golongan senyawa flavonoid. Berdasarkan tabel 4.3, bercak

ke-10 (Rf 0,29) menghasilkan bercak berwarna merah lembayung. Hal ini

menunjukkan pada bercak tersebut kemungkinan mengandung golongan senyawa

flavonoid. Spektrum yang dihasilkan dari bercak ke-10 (Rf 0,29) pada panjang

gelombang 254 nm dan panjang gelombang 366 nm dapat dilihat pada gambar 4.3

dan gambar 4.4.

Gambar 4.3 Bentuk spektrum UV in situ kromatogram gambar 4.2 (a) puncak
ke-10 (Rf 0,29) pada awal, tengah dan akhir setelah dipayar.

Gambar 4.4 Bentuk spektrum UV in situ kromatogram gambar 4.2 (b) puncak
ke-10 (Rf 0,29) pada awal, tengah dan akhir setelah dipayar.
48

Data overlay antara spektrum pada awal, puncak dan akhir bercak ke-10 (Rf

0,29) menunjukkan nilai koefisien korelasi (r) pada spektrum awal ke puncak

bercak dan dari puncak ke akhir bercak pada panjang gelombang 254 nm masing-

masing adalah 0,996 dan 0,992 serta pada panjang gelombang 366 nm masing-

masing adalah 0,975 dan 0,999. Dapat diamati bahwa nilai koefisien (r) overlay

spektrum pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm >0,95. Hal ini

menunjukkan bahwa pemisahan pada bercak ke-10 pada lempengan KLT dapat

dikatakan baik dan tidak ada intervensi dari bercak lainnya.

Jika diamati, bentuk spektrum bercak ke-10 (Rf 0,29) pada panjang gelombang

254 nm dan 366 nm relatif sama. Dapat diamati pula bahwa spektrum pada

gambar 4.3 dan gambar 4.4 memiliki rentangan serapan spektrum UV pada pita I

antara 300-310 nm (bahu) dan pita II antara 275-285 nm. Menurut Markham

(1988), rentangan serapan spektrum UV flavonoid pada pita I antara 300-330 nm

(bahu) dan pada pita II antara 275-295 nm dimiliki oleh flavonoid jenis flavanon

dan dihidroflavonol. Maka rentangan spektrum dari bercak ke-10 berada dalam

rentangan spektrum yang dimiliki flavonoid jenis flavonon dan dihidroflavonol.

Data ini juga didukung oleh hasil dari uji fitokimia yang menunjukkan bahwa

kemungkinan jenis flavonoid dari ekstrak umbi Anredera scandens (L.) Moq.

adalah flavonol yang mengandung 3-OH bebas dan mempunyai atau tak

mempunyai 5-OH bebas (kadang-kadang berasal dari dihidroflavonol). Maka dari

itu, bila melihat hasil uji fitokimia, rentangan serapan spektrum UV pada pita I

dan pita II (Lampiran 5) serta bentuk spektrumnya (Lampiran 6), bercak ke-10

merupakan flavonoid jenis dihidroflavonol.


49

4.4.2 Profil KLT-Densitometer golongan senyawa saponin

Pada penentuan profil KLT-Densitometer ekstrak umbi Anredera scandens

(L.) Moq. untuk golongan senyawa saponin digunakan fase diam silika gel GF254

dan fase gerak kloroform : metanol : air (70:30:4 v/v). Jumlah sampel yang

ditotolkan adalah 10 l. Lempengan KLT yang telah dielusi kemudian diamati

secara visual di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.

Kemudian lempengan KLT dipayar dengan spektrodensitometer CAMAG TLC

Scanner 3 pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm sehingga diperoleh profil

kromatogram. Setelah dipayar, lempengan KLT disemprot dengan pereaksi

pendeteksi untuk mengetahui adanya golongan senyawa saponin pada lempengan

KLT. Pereaksi pendeteksi yang digunakan adalah vanilin 1% - asam sulfat. Reaksi

warna yang terjadi diamati pada lempengan KLT yang telah disemprot dengan

pereaksi pendeteksi. Pengamatan lempengan KLT di bawah sinar UV 254 nm,

sinar UV 366 nm dan setelah penyemprotan dengan pereaksi pendeteksi dapat

dilihat pada gambar 4.5. Bercak dengan Rf yang sama ditandai dengan nomor

yang sama dan telah disesuaikan dengan Rf pada profil kromatogram yang

diperoleh dengan Densitometer.


50

17 17 17
16 16
15
14 14
12
11 11

10

5
4 5 4
3 4 3
3

(a) (b) (c)

Gambar 4.5 Profil kromatogram ekstrak etanol umbi A. scandens (L.) Moq.
dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak kloroform :
metanol : air (70:30:4 v/v) pada penentuan profil KLT-
Densitometer golongan saponin di bawah sinar UV 254 nm (a),
sinar UV 366 nm (b) dan setelah penyemprotan vanilin 1% - as.
sulfat (c)

Keterangan:
Angka pada kromatogram di atas merupakan nomor dari bercak yang disesuaikan dengan nomor
bercak pada tabel 4.4 dan apabila ada angka yang tidak tercantum pada gambar di atas, maka
bercak tersebut tidak tampak.

Berdasarkan gambar 4.5, pengamatan warna bercak pada lempengan KLT

di bawah sinar UV 254 nm, sinar UV 366 nm dan setelah penyemprotan pereaksi
51

pendeteksi dapat dilihat pada tabel 4.4. Nilai Rf pada setiap bercak telah

disesuaikan dengan profil kromatogram yang diperoleh dari Densitometer

Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Warna Bercak Lempengan KLT pada Penentuan
Profil KLT-Densitometer Golongan Saponin di Bawah Sinar UV
254 nm, Sinar UV 366 nm dan setelah Penyemprotan Vanilin 1% -
Asam Sulfat
Rf Berdasarkan
Profil Kromatogram Pengamatan Warna Bercak Secara Visual
Bercak dari Densitometer
Sinar Sinar Vanilin 1% -
254 nm 366 nm
UV 254 nm UV 366 nm As. Sulfat
1 0 - - - -
2 - 0,03 - - -
3 0,05 0,05 Lembayung gelap Hijau Kuning
4 0,15 0,15 Lembayung gelap Kuning Ungu*
5 - 0,17 Lembayung gelap Kuning -
6 0,20 0,20 - - Biru*
7 0,23 - - - -
8 - 0,49 - - -
9 - 0,51 - - -
10 0,54 - - Hijau -
11 0,68 0,68 Lembayung gelap Biru -
12 0,72 - - Biru -
13 0,77 - - - -
14 0,80 0,80 Lembayung gelap Merah -
15 0,83 0,83 - Ungu -
16 0,88 0,88 Lembayung gelap Merah -
17 0,94 0,94 Lembayung gelap Merah Hijau
keunguan
Keterangan:
* = diduga mengandung golongan senyawa saponin

Profil kromatogram dari Densitometer pada panjang gelombang 254 nm

menghasilkan 13 puncak dan pada panjang gelombang 366 nm menghasilkan 12

puncak. Profil kromatogram yang diperoleh pada panjang gelombang 254 nm dan

366 nm beserta penandaan pada masing-masing puncak dapat dilihat pada gambar
52

4.6. Puncak pada kedua profil kromatogram dengan nilai Rf yang sama ditandai

dengan nomor yang sama.

(a)

(b)

Gambar 4.6 Profil kromatogram ekstrak etanol umbi Anredera Scandens (L.)
Moq. dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak kloroform :
metanol : air (70:30:4 v/v) dengan KLT-Densitometer pada panjang
gelombang 254 nm (a) dan 366 nm (b)

Keterangan:
Angka pada gambar profil kromatogram hasil Densitometer di atas merupakan nomor dari bercak
yang disesuaikan dengan nomor bercak pada tabel 4.4 dan apabila ada angka yang tidak tercantum
pada gambar di atas, maka bercak tersebut tidak tampak
53

Menurut Wagner and Bladt (1996), terjadinya bercak berwarna biru atau ungu

setelah disemprot pereaksi pendeteksi vanilin 1% - asam sulfat menandakan

adanya golongan senyawa saponin. Berdasarkan tabel 4.4, bercak ke-4 (Rf 0,15)

menghasilkan bercak berwarna ungu dan bercak ke-6 (Rf 0,20) menghasilkan

bercak berwarna biru. Hal ini menunjukkan pada bercak-bercak tersebut

kemungkinan mengandung golongan senyawa saponin. Spektrum yang dihasilkan

bercak ke-4 (Rf 0,15) dan bercak ke-6 (Rf 0,20) pada panjang gelombang 254

maupun pada panjang gelombang 366 nm dapat dilihat pada gambar 4.7, gambar

4.8, gambar 4.9 dan gambar 4.10.

Gambar 4.7 Bentuk spektrum UV in situ kromatogram gambar 4.6 (a) puncak
ke-4 (Rf 0,15) pada awal, tengah dan akhir setelah dipayar.

Gambar 4.8 Bentuk spektrum UV in situ kromatogram gambar 4.6 (b) puncak
ke-4 (Rf 0,15) pada awal, tengah dan akhir setelah dipayar.
54

Data overlay antara spektrum pada awal, puncak dan akhir bercak ke-4 (Rf

0,15) menunjukkan nilai koefisien korelasi (r) pada spektrum awal ke puncak

bercak dan dari puncak ke akhir bercak pada panjang gelombang 254 nm masing-

masing adalah 0,999 dan 0,997 serta pada panjang gelombang 366 nm masing-

masing adalah 0,999 dan 0,994. Dapat diamati bahwa nilai koefisien korelasi

overlay spektrum pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm >0,95. Hal ini

menunjukkan bahwa pemisahan pada bercak ke-4 pada lempengan KLT dapat

dikatakan baik dan tidak ada intervensi dari bercak lainnya.

Gambar 4.9 Bentuk spektrum UV in situ kromatogram gambar 4.6 (a) puncak
ke-6 (Rf 0,20) pada awal, tengah dan akhir setelah dipayar.

Gambar 4.10 Bentuk spektrum UV in situ kromatogram gambar 4.6 (b) puncak
ke-6 (Rf 0,20) pada awal, tengah dan akhir setelah dipayar.
55

Data overlay antara spektrum pada awal, puncak dan akhir bercak ke-6 (Rf

0,20) menunjukkan nilai koefisien korelasi (r) pada spektrum awal ke puncak

bercak dan dari puncak ke akhir bercak pada panjang gelombang 254 nm masing-

masing adalah 0,993 dan 0,994 serta pada panjang gelombang 366 nm masing-

masing adalah 0,995 dan 0,994. Dapat diamati bahwa nilai koefisien korelasi

overlay spektrum pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm >0,95. Hal ini

menunjukkan bahwa pemisahan pada bercak ke-6 pada lempengan KLT dapat

dikatakan baik dan tidak ada intervensi dari bercak lainnya.

Berdasarkan bentuk spektrum pada gambar 4.7, gambar 4.7, gambar 4.9 dan

gambar 4.10, spektrum bercak ke-4 (Rf 0,15) pada panjang gelombang 254 nm

dan 366 nm memiliki bentuk yang relatif sama begitu pula pada bercak ke-6 (Rf

0,20). Panjang gelombang maksimum dari bercak ke-4 pada adalah 205 nm

sedangkan panjang gelombang maksimum dari bercak ke-6 adalah 204 nm.

Menurut Ishtiaq, et al. (2010) dan Malgalhaes, et al, (2003), panjang gelombang

maksimum dari golongan senyawa saponin adalah 206 nm. Nilai panjang

gelombang maksimum dari bercak ke-4 dan bercak ke-6 mendekati nilai panjang

gelombang maksimum pada pustaka, sehingga kemungkinan golongan senyawa

yang terdapat pada bercak ke-4 (Rf 0,15) dan bercak ke-6 (Rf 0,20) adalah

golongan senyawa saponin. Nilai panjang gelombang maksimum yang tidak tepat

antara hasil penelitian dengan pustaka kemungkinan diakibatkan karena sampel

yang dianalisis masih berupa ekstrak sehingga masih terdapat senyawa pengotor

yang mengganggu selama proses penentuan profil KLT-Densitometer untuk

golongan senyawa saponin.


56

4.4.3 Profil KLT-Densitometer golongan senyawa triterpenoid

Pada penentuan profil KLT-Densitometer ekstrak umbi Anredera scandens

(L.) Moq. untuk golongan senyawa triterpenoid digunakan fase diam silika gel

GF254 dan fase gerak kloroform : metanol (10 : 1 v/v). Jumlah sampel yang

ditotolkan adalah 10 l. Lempengan KLT yang telah dielusi kemudian diamati

secara visual di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.

Kemudian lempengan KLT dipayar dengan spektrodensitometer CAMAG TLC

Scanner 3 pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm sehingga diperoleh profil

kromatogram. Setelah dipayar, lempengan KLT disemprot dengan pereaksi

pendeteksi untuk mengetahui adanya golongan senyawa triterpenoid pada

lempengan KLT. Pereaksi pendeteksi yang digunakan adalah vanilin 1% - asam

sulfat. Reaksi warna yang terjadi diamati pada lempengan KLT yang telah

disemprot dengan pereaksi pendeteksi dan dipanaskan dengan suhu 90oC.

Pengamatan lempengan KLT di bawah sinar UV 254 nm, sinar UV 366 nm dan

setelah penyemprotan dengan pereaksi pendeteksi disertai pemanasan dengan

suhu 90oC dapat dilihat pada gambar 4.11. Bercak dengan Rf yang sama ditandai

dengan nomor yang sama dan telah disesuaikan dengan Rf pada profil

kromatogram yang diperoleh dengan Densitometer.


57

16 16 16
15

14

10 10 10
9 9
8
7 7
6 6 6
4
4 4

(a) (b) (c)


Gambar 4.11 Profil kromatogram ekstrak etanol umbi A. scandens (L.) Moq.
dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak kloroform :
metanol (10 : 1 v/v) pada penentuan profil KLT-Densitometer
golongan saponin di bawah sinar UV 254 nm (a), sinar UV 366 nm
(b) dan setelah penyemprotan vanilin 1% - as. sulfat disertai
pemasanasan dengan suhu 90oC (c)

Keterangan:
Angka pada kromatogram di atas merupakan nomor dari bercak yang disesuaikan dengan nomor
bercak pada tabel 4.5 dan apabila ada angka yang tidak tercantum pada gambar di atas, maka
bercak tersebut tidak tampak.

Berdasarkan gambar 4.11, pengamatan warna bercak pada lempengan KLT di

bawah sinar UV 254 nm, sinar UV 366 nm dan setelah penyemprotan pereaksi

pendeteksi dapat dilihat pada tabel 4.5. Nilai Rf pada setiap bercak telah

disesuaikan dengan profil kromatogram yang diperoleh dari Densitometer.


58

Tabel 4.5 Hasil Pengamatan Warna Bercak Lempengan KLT pada Penentuan
Profil KLT-Densitometer Golongan Triterpenoid di Bawah Sinar UV
254 nm, Sinar UV 366 nm dan setelah Penyemprotan Vanilin 1% -
Asam Sulfat Disertai Pemanasan dengan Suhu 90oC.
Rf Berdasarkan
Profil Kromatogram PengamatanWarna Bercak Secara Visual
dari Densitometer
Bercak Vanilin 1% - As.
Sinar Sinar Sulfat dengan
254 nm 366 nm
UV 254 nm UV 366 nm Pemanasan Suhu
90oC
1 0 - - - -
2 0,01 - - - -
3 0,05 0,05 - - -
4 0,21 0,21 Lembayung
Biru Biru tua
gelap
5 0,24 - - - -
6 0,26 0,26 Lembayung Merah
Hijau
gelap keunguan
7 0,29 0,29 - Biru -
8 0,34 0,34 Lembayung
Ungu -
gelap
9 0,38 - - Biru Biru tua
10 0,46 0,46 Lembayung
Merah Hijau
gelap
11 0,62 0,62 - - -
12 0,67 - - - -
13 - 0,74 - - -
14 0,79 0,79 - - Ungu*
15 0,84 - - Biru muda -
16 0,93 0,93 Lembayung
Merah Hijau
gelap
Keterangan:
*= diduga mengandung golongan senyawa triterpenoid

Profil kromatogram pada panjang gelombang 254 nm menghasilkan 15

puncak dan pada panjang gelombang 366 nm menghasilkan 10 puncak. Profil

kromatogram yang diperoleh pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm

beserta penandaan pada masing-masing puncak dapat dilihat pada gambar 4.12.
59

Puncak pada kedua profil kromatogram dengan nilai Rf yang sama ditandai

dengan nomor yang sama.

(a)

(b)

Gambar 4.12 Profil kromatogram ekstrak etanol umbi Anredera Scandens (L.)
Moq. dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak kloroform -
metanol (10:1 v/v) dengan KLT-Densitometer pada panjang
gelombang 254 nm (a) dan 366 nm (b)

Keterangan:
Angka pada gambar profil kromatogram hasil Densitometer di atas merupakan nomor dari bercak
yang disesuaikan dengan nomor bercak pada tabel 4.5 dan apabila ada angka yang tidak tercantum
pada gambar di atas, maka bercak tersebut tidak tampak
60

Menurut Harbone (1987), terjadinya bercak ungu setelah disemprot pereaksi

pendeteksi vanilin 1% - asam sulfat dan dipanaskan pada suhu 90oC menandakan

adanya golongan senyawa triterpenoid. Berdasarkan tabel 4.5, bercak ke-14

(Rf 0,79) menghasilkan bercak berwarna ungu. Hal ini menunjukkan pada bercak

tersebut kemungkinan mengandung golongan senyawa triterpenoid. Spektrum

yang dihasilkan bercak ke-14 (Rf 0,79) pada panjang gelombang 254 nm dan

panjang gelombang 366 nm dapat dilihat pada gambar 4.13 dan gambar 4.14.

Gambar 4.13 Bentuk spektrum UV in situ kromatogram gambar 4.12 (a) puncak
ke-14 (Rf 0,79) pada awal, tengah dan akhir setelah dipayar.

Gambar 4.14 Bentuk spektrum UV in situ kromatogram gambar 4.12 (b) puncak
ke-14 (Rf 0,79) pada awal, tengah dan akhir setelah dipayar.
61

Data overlay antara spektrum pada awal, puncak dan akhir bercak ke-14 (Rf

0,79) menunjukkan nilai koefisien korelasi (r) pada spektrum awal ke puncak

bercak dan dari puncak ke akhir bercak pada panjang gelombang 254 nm masing-

masing adalah 0,964 dan 0,984 serta pada panjang gelombang 366 nm masing-

masing adalah 0,986 dan 0,993. Dapat diamati bahwa nilai koefisien korelasi dari

overlay spektrum pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm >0,95. Hal ini

menunjukkan bahwa pemisahan pada bercak ke-14 pada lempengan KLT dapat

dikatakan baik dan tidak ada intervensi dari bercak lainnya.

Berdasarkan bentuk spektrum pada gambar 4.12 dan gambar 4.13, spektrum

bercak ke-14 (Rf 0,79) pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm memiliki

bentuk yang relatif sama. Panjang gelombang maksimum dari bercak ke-14 adalah

199 nm. Menurut Jain and Agrawal (2008) dan Merkuria, et al, (2005), panjang

gelombang maksimum dari golongan senyawa triterpenoid adalah 210 nm. Nilai

panjang gelombang maksimum dari bercak ke-14 mendekati nilai panjang

gelombang maksimum pada pustaka, sehingga kemungkinan golongan senyawa

yang terdapat pada bercak ke-14 (Rf 0,79) adalah golongan senyawa triterpenoid.

Nilai panjang gelombang maksimum yang tidak tepat antara hasil penelitian

dengan pustaka kemungkinan dapat diakibatkan karena sampel yang dianalisis

masih berupa ekstrak sehingga masih terdapat senyawa pengotor yang

mengganggu selama proses penentuan profil KLT-Densitometer untuk golongan

senyawa triterpenoid.
62

4.4.4 Profil KLT-Densitometer golongan senyawa tanin

Pada penentuan profil KLT-Densitometer ekstrak umbi Anredera scandens

(L.) Moq. untuk golongan senyawa tanin digunakan fase diam silika gel GF254 dan

fase gerak etil asetat : toluen (2 : 98 v/v). Jumlah sampel yang ditotolkan adalah

10 l. Lempengan KLT yang telah dielusi kemudian diamati secara visual di

bawah sinar ultraviolet (UV) dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.

Kemudian lempengan KLT dipayar dengan spektrodensitometer CAMAG TLC

Scanner 3 pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm sehingga diperoleh profil

kromatogram. Setelah dipayar, lempengan KLT disemprot dengan pereaksi

pendeteksi untuk mengetahui adanya golongan senyawa tanin pada lempengan

KLT. Pereaksi pendeteksi yang digunakan adalah uap amonia. Reaksi warna yang

terjadi diamati pada lempengan KLT yang telah diuapi dengan uap amonia

dibawah sinar UV 366 nm. Pengamatan lempengan KLT dibawah sinar UV

254 nm, sinar UV 366 nm dan sinar UV 366 nm setelah diberi uap amonia dapat

dilihat pada gambar 4.15. Bercak dengan Rf yang sama ditandai dengan nomor

yang sama dan telah disesuaikan dengan Rf pada profil kromatogram yang

diperoleh dengan Densitometer.


63

5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2

(a) (b) (c)


Gambar 4.15 Profil kromatogram ekstrak etanol umbi A. scandens (L.) Moq.
dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak etil asetat : toluen
(2 : 98 v/v) pada penentuan profil KLT-Densitometer golongan
saponin di bawah sinar UV 254 nm (a), sinar UV 366 nm (b) dan
sinar UV 366 nm setelah diuapi amonia (c)

Keterangan:
Angka pada kromatogram di atas merupakan nomor dari bercak yang disesuaikan dengan nomor
bercak pada tabel 4.6 dan apabila ada angka yang tidak tercantum pada gambar di atas, maka
bercak tersebut tidak tampak.

Berdasarkan gambar 4.15, pengamatan warna bercak pada lempengan KLT di

bawah sinar UV 254 nm, sinar UV 366 nm dan sinar UV 366 nm setelah diuapi

amonia dapat dilihat pada tabel 4.6. Nilai Rf pada setiap bercak telah disesuaikan

dengan profil kromatogram yang diperoleh dari Densitometer.


64

Tabel 4.6 Hasil Pengamatan Warna Bercak Lempengan KLT pada Penentuan
Profil KLT-Densitometer Golongan Tanin di Bawah Sinar UV
254 nm, Sinar UV 366 nm dan Sinar UV 366 nm setelah Diuapi
Amonia
Rf Berdasarkan
Profil Kromatogram Pengamatan Warna Bercak Secara Visual
dari Densitometer
Bercak Penguapan dengan
Sinar UV Sinar UV Amonia dan
254 nm 366 nm
254 nm 366 nm Diamati di Bawah
Sinar UV 366 nm
1 0 0 - - -
2 0,04 0,04 Lembayung
Ungu Ungu
gelap
3 0,10 0,10 Lembayung
Merah Merah
gelap
4 0,18 0,18 Lembayung
Merah Ungu*
gelap
5 0,21 0,21 Lembayung Biru muda
Biru muda terang
gelap terang
6 - 0,34 - - -
7 0,72 - - - -
8 0,78 - - - -
9 0,82 - - - -
Keterangan:
* = diduga mengandung golongan senyawa tanin

Profil kromatogram pada panjang gelombang 254 nm menghasilkan 8 puncak

dan pada panjang gelombang 366 nm menghasilkan 6 puncak. Profil

kromatogram yang diperoleh pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm

beserta penandaan pada masing-masing puncak dapat dilihat pada gambar 4.16.

Puncak pada kedua profil kromatogram dengan nilai Rf yang sama ditandai

dengan nomor yang sama.


65

(a)

(b)

Gambar 4.16 Profil kromatogram ekstrak etanol umbi Anredera Scandens (L.)
Moq. dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak etil asetat :
toluen (2 : 98 v/v) dengan KLT-Densitometer pada panjang
gelombang 254 nm (a) dan 366 nm (b)

Keterangan:
Angka pada gambar profil kromatogram hasil Densitometer di atas merupakan nomor dari bercak
yang disesuaikan dengan nomor bercak pada tabel 4.6 dan apabila ada angka yang tidak tercantum
pada gambar di atas, maka bercak tersebut tidak tampak
66

Menurut Robinson (1991), terjadinya perubahan warna bercak menjadi ungu

di bawah sinar UV 366 nm setelah diuapi dengan amonia menandakan adanya

golongan senyawa tanin. Berdasarkan tabel 4.6, bercak ke-4 (Rf 0,18) mengalami

perubahan warna menjadi ungu. Hal ini menunjukkan pada bercak tersebut

kemungkinan mengandung golongan senyawa tanin. Spektrum yang dihasilkan

dari bercak ke-4 (Rf 0,18) pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm dapat

dilihat pada gambar 4.17 dan gambar 4.18.

Gambar 4.17 Bentuk spektrum UV in situ kromatogram gambar 4.16 (a) puncak
ke-4 (Rf 0,18) pada awal, tengah dan akhir setelah dipayar.

Gambar 4.18 Bentuk spektrum UV in situ kromatogram gambar 4.16 (b) puncak
ke-4 (Rf 0,18) pada awal, tengah dan akhir setelah dipayar.
67

Data overlay antara spektrum pada awal, puncak dan akhir bercak ke-4 (Rf

0,18) menunjukkan nilai koefisien korelasi (r) pada spektrum awal ke puncak

bercak dan dari puncak ke akhir bercak pada panjang gelombang 254 nm masing-

masing adalah 0,978 dan 0,941 serta pada panjang gelombang 366 nm masing-

masing adalah 0,976 dan 0,941. Dapat diamati bahwa terdapat nilai koefisien

korelasi overlay spektrum pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm <0,95.

Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan pada bercak ke-4 pada lempengan KLT

dapat dikatakan kurang baik karena kemungkinan ada intervensi dari bercak

lainnya.

Berdasarkan bentuk spektrum pada gambar 4.16 dan gambar 4.17, spektrum

bercak ke-4 (Rf 0,18) pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm memiliki

bentuk yang relatif sama. Panjang gelombang maksimum dari bercak ke-4 pada

195 nm. Menurut Hagerman (2003), panjang gelombang maksimum dari

golongan senyawa tanin adalah 220 nm dan 280 nm. Nilai panjang gelombang

maksimum dari bercak ke-4 mendekati nilai panjang gelombang maksimum pada

pustaka, sehingga kemungkinan golongan senyawa yang terdapat pada bercak ke-

4 (Rf 0,18) adalah golongan senyawa tanin. Nilai panjang gelombang maksimum

yang tidak tepat antara hasil penelitian dengan pustaka kemungkinan dapat

diakibatkan karena sampel yang dianalisis masih berupa ekstrak sehingga masih

terdapat senyawa pengotor yang mengganggu selama proses penentuan profil

KLT-Densitometer untuk golongan senyawa tanin. Selain itu, diketahui bahwa

terdapat nilai koefisien korelasi dari overlay spektrum senyawa tersebut dengan
68

nilai <0,95 sehingga kemungkinan adanya intervensi dari bercak lain

mempengaruhi nilai panjang gelombang maksimum dari senyawa tersebut.

4.5 Uji Potensi Antidiabetes Ekstrak Etanol Umbi Anredera scandens (L.)
Moq.
4.5.1 Orientasi dosis glukosa monohidrat
Orientasi dosis glukosa monohidrat bertujuan untuk mendapatkan dosis yang

akan digunakan untuk meningkatkan kadar glukosa darah hewan coba hingga

tercapai keadaan diabetes (kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL). Pada orientasi

dosis glukosa monohidrat digunakan 4 kelompok tikus terdiri dari 1 kelompok

kontrol normal yang diberikan aquadest dan 3 kelompok uji masing-masing

diberikan glukosa monohidrat secara oral dengan dosis 1 g/kgBB, 2 g/kgBB dan 4

g/kgBB. Hasil orientasi dosis glukosa monohidrat berupa rata-rata kadar glukosa

darah tiap kelompok pada menit ke-0, 30, 60, 120, 240 dan 300 setelah

pembebanan glukosa monohidrat dapat dilihat pada tabel 4.7. Gambaran

peningkatan kadar glukosa darah pada tiap kelompok uji dari hasil orientasi dosis

glukosa monohidrat dapat dilihat pada gambar 4.19.


69

Tabel 4.7 Rata-Rata Kadar Glukosa Darah Tikus terhadap Waktu Pengukuran
setelah Pembebanan Glukosa pada Orientasi Dosis Glukosa
Waktu Nilai Rata-Rata Kadar Glukosa Darah Tikus SD (mg/dL)
(menit) I II III IV
0 81,00 18,57 74,25 14,73 74,25 7,63 80,00 10,99
30 83,75 5,38 170,50 54,95 185,25 33,07 215,00 45,68
60 84,50 7,14 100,25 11,87 122,25 14,73 175,75 32,76
120 77,50 6,46 85,00 9,06 81,00 3,56 103,25 23,51
240 73,50 11,39 66,25 19,35 75,25 5,12 87,00 6,68
300 71,75 4,11 76,00 17,98 86,50 4,20 90,25 5,50
Keterangan:
I : Kelompok kontrol normal (pemberian aquadest)
II : Kelompok uji 1 (pemberian glukosa monohidrat 1 g/kgBB)
III : Kelompok uji 2 (pemberian glukosa monohidrat 2 g/kgBB)
IV : Kelompok uji 3 (pemberian glukosa monohidrat 4 g/kgBB)
SD : Standar deviasi

224
210
196
182
Kadar Glukosa Darah (mg/dL)

168
154
140 Kontrol Normal
126
Uji 1
112
98 Uji 2
84 Uji 3
70
56
42
28
14
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300
Waktu (menit)

Gambar 4.19 Grafik hubungan rata-rata kadar glukosa darah tikus terhadap
waktu pengukuran setelah pembebanan glukosa pada orientasi
dosis glukosa

Dari gambar 4.19 dapat dilihat bahwa seluruh kelompok uji dapat

meningkatkan kadar glukosa darah dan mencapai kedaaan diabetes (kadar glukosa
70

darah puasa 126 mg/dL) pada menit ke-30 setelah pembebanan glukosa

monohidrat.

Uji normalitas (Lampiran 7) dan uji homogenitas (Lampiran 8) telah

dilakukan terhadap data kadar glukosa darah hasil orientasi glukosa monohidrat.

Hasil menunjukkan data terdistribusi normal dan homogen (p>0,05). Oleh karena

data berdistribusi normal dan homogen, maka dapat dilanjutkan dengan uji

ANOVA-one way untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaaan yang

bermakna antar kelompok yang diuji (Lampiran 9). Ringkasan nilai probabilitas

antar kelompok pada uji ANOVA dapat dilihat pada tabel 4.8

Tabel 4.8 Ringkasan Hasil Uji ANOVA pada Orientasi Dosis Glukosa
Waktu (menit) Probabilitas
Kadar glukosa darah pada saat
0,835
pembebanan glukosa monohidrat
Kadar glukosa darah 30 menit setelah
0,003*
pembebanan glukosa monohidrat
Kadar glukosa darah 60 menit setelah
<0,001*
pembebanan glukosa monohidrat
Kadar glukosa darah 120 menit setelah
0,070
pembebanan glukosa monohidrat
Kadar glukosa darah 240 menit setelah
0,159
pembebanan glukosa monohidrat
Kadar glukosa darah 300 menit setelah
0,067
pembebanan glukosa monohidrat
Keterangan: * = berbeda bermakna pada uji ANOVA (p<0,05)

Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan nilai kadar glukosa yang

bermakna antar kelompok hanya terjadi pada menit ke-30 dan menit ke-60 setelah

pembebanan glukosa monohidrat (p<0,05). Oleh karena itu, uji LSD dapat

dilakukan untuk melihat perbedaan nilai probabilitas tiap kelompok pada menit

ke-30 (Lampiran 10) dan menit ke-60 (Lampiran 11) setelah pembebanan glukosa
71

monohidrat. Ringkasan nilai probabilitas tiap kelompok pada uji LSD dapat

dilihat pada tabel 4.9.

Tabel 4.9 Ringkasan Hasil Uji LSD Menit ke-30 dan Menit ke-60 setelah
Pembebanan Glukosa Monohidrat pada Orientasi Dosis Glukosa
Waktu Kelompok Uji 1 Uji 2 Uji 3
30 menit Kontrol Normal 0,009* 0,003* 0,001*
setelah pembebanan Uji 1 0,607 0,137
glukosa monohidrat Uji 2 0,307
60 menit Kontrol Normal 0,270 0,017* <0,001*
setelah pembebanan Uji 1 0,132 <0,001*
glukosa monohidrat Uji 2 0,002*
Keterangan : * = Berbeda bermakna (p<0,05)
Kontrol normal : Pemberian aquadest
Uji 1 : Pemberian glukosa monohidrat dosis 1 g/kgBB
Uji 2 : Pemberian glukosa monohidrat dosis 2 g/kgBB
Uji 3 : Pemberian glukosa monohidrat dosis 4 g/kgBB

Hasil uji LSD menunjukkan pada menit ke-30 setelah pembebanan glukosa,

seluruh kelompok uji memiliki nilai kadar glukosa darah yang berbeda bermakna

dibandingkan dengan kontrol normal (p<0,05). Pada menit ke-60 setelah

pembebanan glukosa, nilai kadar glukosa darah kelompok uji 1 tidak memiliki

perbedaan yang bermakna dengan kontrol normal (p>0,05), sebaliknya kelompok

uji 2 dan kelompok uji 3 menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan kontrol

normal (p<0,05). Namun, kelompok uji 2 tidak menyebabkan keadaan diabetes

(kadar glukosa darah puasa <126 mg/dL) pada menit ke-60 setelah pembebanan

glukosa monohidrat (Tabel 4.7). Hal ini menunjukkan bahwa seluruh dosis

glukosa monohidrat yang diberikan pada masing-masing kelompok uji dapat

menginduksi keadaan diabetes (kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL) pada

menit ke-30 setelah pembebanan glukosa monohidrat (Gambar 4.19). Oleh karena
72

itu, penentuan dosis glukosa monohidrat pada penelitian ini didasarkan pada data

kadar glukosa darah pada menit ke-30 setelah pembebanan glukosa monohidrat.

Penentuan dosis penginduksi keadaan diabetes dilakukan dengan mengamati

sebaran data kadar glukosa darah masing-masing kelompok uji pada menit ke-30

setelah pembebanan glukosa monohidrat. Semakin baik sebaran suatu data

ditandai dari nilai standar deviasi yang semakin kecil. Berdasarkan data pada tabel

4.7, maka dapat ditentukan dosis glukosa monohidrat yang digunakan adalah

dosis pada kelompok uji 2 yaitu 2 g/kgBB karena sebaran data yang dimiliki lebih

baik daripada sebaran data kelompok uji yang lainnya. Selain itu, penelitian uji

aktivitas antidiabetes yang dilakukan Akbar dkk. (2008) dengan metode uji

toleransi glukosa dan subyek uji tikus jantan galur Sprague Dawley juga

mendukung data dosis glukosa monohidrat 2 g/kgBB sebagai dosis untuk

menginduksi keadaan diabetes.

Pada penentuan waktu pengukuran kadar glukosa darah, dapat diamati hasil

uji ANOVA dari data orientasi dosis glukosa monohidrat (Tabel 4.8). Hasil uji

ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai kadar glukosa darah

yang bermakna antar kelompok mulai menit ke-120 hingga menit ke-300 setelah

pembebanan glukosa monohidrat (p>0,05). Berdasarkan hasil tersebut dapat

diamati bahwa kadar glukosa darah pada seluruh kelompok uji telah berada dalam

kondisi kadar glukosa darah yang normal mulai menit ke-120 setelah pembebanan

glukosa monohidrat (Gambar 4.19). Hal tersebut mendasari penetapan waktu

pengukuran yang dilakukan pada pengujian potensi antidiabetes dari ekstrak umbi
73

Anredera scandens (L.) Moq. yaitu pada menit ke-0, 30, 60, 90 dan 120 menit

setelah pembebanan glukosa monohidrat.

4.5.2 Pengujian potensi antidiabetes ekstrak etanol umbi Anredera scandens


(L.) Moq
Setelah data orientasi dosis glukosa monohidrat diperoleh maka penelitian

dilanjutkan pada pengujian potensi antidiabetes menggunakan bahan uji yaitu

ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq. Parameter yang teramati dalam

penelitian ini adalah kadar glukosa darah tikus. Hasil uji potensi antidiabetes

dalam bentuk nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus setelah pembebanan

glukosa monohidrat terhadap waktu pengukuran dapat dilihat pada tabel 4.10.

Gambaran rata-rata kadar glukosa darah pada tiap kelompok uji dari hasil uji

potensi antidiabetes dapat dilihat pada gambar 4.20.

Tabel 4.10 Rata-Rata Kadar Glukosa Darah Tikus terhadap Waktu Pengukuran
setelah Pembebanan Glukosa pada Pengujian Potensi Antidiabetes
Ekstrak Etanol Umbi Anredera scandens (L.) Moq.
Waktu (menit)
Kelompok
0 30 60 90 120
I 88,50 10,15 87,50 8,34 83,67 8,91 79,67 7,50 78,17 12,78
II 77,33 13,20 137,00 19,22 88,17 19,75 63,00 18,25 50,00 8,58
III 88,83 8,38 170,33 15,11 140,17 12,20 106,83 8,61 93,33 8,26
IV 84,17 9,83 173,67 35,42 139,83 18,59 104,17 12,72 91,33 9,31
V 93,00 6,51 160,33 13,29 134,50 25,13 121,00 23,38 105,00 11,26
VI 98,33 9,69 168,33 25,79 133,50 22,18 106,83 12,17 102,17 12,97
Keterangan:
I : Kelompok kontrol normal (pemberian CMC-Na 1% tanpa pembebanan glukosa)
II : Kelompok kontrol positif (pemberian glibenklamid)
III : Kelompok kontrol negatif (pemberian CMC-Na 1% dengan pembebanan glukosa)
IV : Kelompok perlakuan 1 (pemberian ekstrak umbi binahong dosis 250 mg/kgBB)
V : Kelompok perlakuan 2 (pemberian ekstrak umbi binahong dosis 500 mg/kgBB)
VI : Kelompok perlakuan 3 (pemberian ekstrak umbi binahong dosis 1000 mg/kgBB)
74

182
168
Kadar Glukosa Darah (mg/dL) 154
140
Kontrol Normal
126
112 Kontrol Positif
98 Kontrol Negatif
84 Perlakuan 1
70 Perlakuan 2
56
Perlakuan 3
42
28
14
0
0 30 60 90 120
Waktu (menit)

Gambar 4.20 Grafik hubungan rata-rata kadar glukosa darah tikus terhadap
waktu pengukuran setelah pembebanan glukosa pada pengujian
potensi antidiabetes ekstrak etanol umbi A. scandens (L.) Moq.

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa kadar glukosa darah kelompok kontrol

normal tetap stabil pada tiap waktu pengukuran kadar glukosa darah dan tidak

melampaui batas kadar glukosa darah puasa untuk keadaan diabetes (126 mg/dL)

sehingga dapat dikatakan larutan CMC-Na 1% yang digunakan sebagai larutan

pembawa untuk beberapa bahan uji pada penelitian ini tidak mempengaruhi kadar

glukosa darah tikus selama penelitian.

Pada menit ke-30 setelah pembebanan glukosa monohidrat dapat diamati

bahwa terjadi peningkatan kadar glukosa darah pada kelompok kontrol positif,

kelompok kontrol negatif dan kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol

normal. Pada menit ke-60 setelah pembebanan glukosa terlihat adanya penurunan

kadar glukosa darah yang lebih besar pada kelompok kontrol positif daripada

kelompok kontrol negatif dan kelompok perlakuan. Begitu juga pada menit ke-90
75

dan ke-120 setelah pembebanan glukosa monohidrat tetap terjadi penurunan kadar

glukosa darah yang cukup besar pada kelompok kontrol positif namun nilai kadar

glukosa darah pada kelompok perlakuan tidak terlalu berbeda jauh dibandingkan

dengan kelompok kontrol negatif.

Dari data yang diperoleh, lalu dilakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov

(Lampiran 12) dan uji homogenitas Levene (Lampiran 13). Hasil menunjukkan

data terdistribusi normal dan homogen (p>0,05). Selanjutnya dapat dilakukan uji

ANOVA-one way dan uji LSD.

A. Uji ANOVA-one way

Uji ANOVA digunakan untuk mengetahui nilai probabilitas antar kelompok,

sehingga dapat diketahui adanya perbedaaan yang bermakna antar kelompok yang

diuji (Lampiran 14). Ringkasan nilai probabilitas antar kelompok pada uji

ANOVA dapat dilihat pada tabel 4.11

Tabel 4.11 Ringkasan Hasil Uji ANOVA pada Pengujian Potensi Antidiabetes
Ekstrak Etanol Umbi Anredera scandens (L.) Moq.
Waktu (menit) Probabilitas
Kadar glukosa darah 30 menit setelah
<0,001*
pembebanan glukosa monohidrat
Kadar glukosa darah 60 menit setelah
<0,001*
pembebanan glukosa monohidrat
Kadar glukosa darah 90 menit setelah
<0,001*
pembebanan glukosa monohidrat
Kadar glukosa darah 120 menit setelah
<0,001*
pembebanan glukosa monohidrat
Keterangan: * = berbeda bermakna pada uji ANOVA (p<0,05)

Hasil uji ANOVA menunjukkan baik pada pada menit ke-30, 60, 90 maupun

120 setelah pembebanan glukosa monohidrat terdapat perbedaan bermakna antar

kelompok yang diuji (p<0,05). Oleh karena itu dapat dilanjutkan dengan uji LSD.
76

B. Uji LSD

Hasil uji LSD digunakan untuk mengetahui probabilitas tiap kelompok

sehingga dapat mengetahui perbedaan masing-masing kelompok pada menit ke-30

(Lampiran 15), 60 (Lampiran 16), 90 (Lampiran 17) dan 120 (Lampiran 18)

setelah pembebanan glukosa monohidrat. Ringkasan nilai probabilitas antar

kelompok pada uji LSD dapat dilihat pada tabel 4.12.

Tabel 4.12 Ringkasan Hasil Uji LSD Pengujian Potensi Antidiabetes Ekstrak
Etanol Umbi Anredera scandens (L.) Moq.
Kontrol Kontrol Perlakuan Perlakuan Perlakuan
Waktu Kelompok
Positif Negatif 1 2 3
30 menit Kontrol Normal <0,001* <0,001* <0,001* <0,001* <0,001*
setelah Kontrol Positif 0,012* 0,006* 0,069 0,017*
pembebanan Kontrol Negatif 0,790 0,426 0,873
glukosa Perlakuan 1 0,290 0,670
monohidrat Perlakuan 2 0,523
60 menit Kontrol Normal 0,682 <0,001* <0,001* <0,001* <0,001*
setelah Kontrol Positif <0,001* <0,001* <0,001* <0,001*
pembebanan Kontrol Negatif 0,976 0,606 0,544
glukosa Perlakuan 1 0,627 0,564
monohidrat Perlakuan 2 0,927
90 menit Kontrol Normal 0,061 0,003* 0,008* <0,001* 0,003*
setelah Kontrol Positif <0,001* <0,001* <0,001* <0,001*
pembebanan Kontrol Negatif 0,758 0,108 1,000
glukosa Perlakuan 1 0,059 0,758
monohidrat Perlakuan 2 0,108
120 menit Kontrol Normal <0,001* 0,020* 0,041* <0,001* 0,001*
setelah Kontrol Positif <0,001* <0,001* <0,001* <0,001*
pembebanan Kontrol Negatif 0,748 0,069 0,163
glukosa Perlakuan 1 0,035 0,090
monohidrat Perlakuan 2 0,650
Keterangan : * = Berbeda bermakna (p<0,05)

Kontrol normal : Pemberian CMC-Na1% tanpa pembebanan glukosa monohidrat


Kontrol positif : Pemberian glibenklamid 1,89 mg/kgBB
Konrol negatif : Pemberian CMC-Na 1% dengan pembebanan glukosa monohidrat
Perlakuan 1 : Pemberian ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq. 250 mg/kgBB
Perlakuan 2 : Pemberian ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq. 500 mg/kgBB
Perlakuan 3 : Pemberian ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq. 1000 mg/kgBB
77

Diketahui pada menit ke-30 setelah pembebanan glukosa monohidrat,

kadar glukosa darah kelompok kontrol negatif mengalami peningkatan dan tetap

berada dalam keadaan diabetes (kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL) hingga

menit ke-60 (Gambar 4.20). Hal ini juga didukung oleh hasil uji LSD (Tabel 4.12)

dimana nilai kadar glukosa darah kelompok kontrol negatif berbeda bermakna

dibandingkan dengan kontrol normal (p<0,05) pada menit ke-30 hingga menit ke-

60 setelah pembebanan glukosa monohidrat. Pada menit ke-90, kadar glukosa

darah kelompok kontrol negatif mengalami penurunan dan mendekati nilai kadar

glukosa darah kelompok kontrol normal hingga menit ke-120 setelah pembebanan

glukosa monohidrat (Tabel 4.12). Hal ini sejalan dengan penelitian Adnyana dkk.

(2004) dimana dengan metode toleransi glukosa, kadar glukosa darah kelompok

yang hanya diberi larutan glukosa akan kembali normal pada menit ke-120.

Namun menurut hasil uji LSD, nilai kadar glukosa darah kelompok kontrol

negatif masih menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan kelompok kontrol

normal (p<0,05) pada menit ke-90 hingga menit ke-120 setelah pembebanan

glukosa monohidrat walaupun tidak dalam keadaan diabetes .

Berdasarkan gambar 4.20, dapat diamati bahwa nilai kadar glukosa darah

kelompok kontrol positif pada menit ke-30 lebih rendah dibandingkan kontrol

negatif dan berdasarkan hasil uji LSD (tabel 4.12) menunjukkan perbedaan yang

bermakna dengan kontrol negatif (p<0,05), sehingga dapat dikatakan kelompok

kontrol positif telah dapat menekan kenaikan kadar glukosa darah pada menit ke-

30 menit setelah pembebanan glukosa monohidrat, namun belum mampu

menurunkan kadar glukosa darah hingga keadaan normal. Hal ini dapat dilihat
78

dari kadar glukosa darah puasa nya yang masih 126 mg/dL dan didukung hasil

uji LSD yang masih menunjukkan perbedaan bermakna dengan kontrol normal

(p<0,05). Pada menit ke-60 hingga menit ke-90 setelah pembebanan glukosa

monohidrat, nilai kadar glukosa darah kelompok kontrol positif telah dapat

mendekati kadar glukosa darah kelompok kontrol normal (Gambar 4.20) dimana

hal ini didukung dengan hasil uji LSD yang menunjukkan perbedaan yang

bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (p<0,05) dan

menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dibandingkan dengan kontrol

normal (p>0,05). Pada menit ke-120 setelah pembebanan glukosa monohidrat,

kelompok kontrol positif terlihat masih dapat menurunkan kadar glukosa darah

dan lebih rendah dibandingkan kadar glukosa darah kontrol normal hingga

menimbulkan keadaan hipolikemia atau kadar glukosa darah <60 mg/dL. (Gambar

4.20) dan data ini didukung dengan hasil uji LSD yang menunjukkan perbedaan

yang bermakna dibandingkan dengan kontrol negatif dan kontrol normal (p<0,05).

Untuk kelompok perlakuan yang mendapat ekstrak etanol umbi Anredera

scandens (L.) Moq, baik pada menit ke 30 dan ke-60 setelah pembebanan glukosa

monohidrat seluruh kelompok masih dalam keadaan diabetes. Namun, kelompok

perlakuan 2 (dosis ekstrak 500 mg/kgBB) dan kelompok perlakuan 3 (dosis

ekstrak 1000 mg/kgBB) pada pengamatan 30 dan 60 menit setelah pembebanan

glukosa monohidrat serta kelompok perlakuan 1 (dosis ekstrak 250 mg/kgBB)

pada pengamatan 60 menit setelah pembebanan glukosa monohidrat sudah

menunjukkan penurunan kadar glukosa darah bila dibandingkan dengan kontrol

negatif, walaupun berdasarkan hasil uji LSD penurunannya tidak berbeda


79

bermakna (p>0,05). Jika dibandingkan dengan kelompok kontrol positif pada

menit ke 30 setelah pembebanan glukosa monohidrat menurut hasil uji LSD, nilai

kadar glukosa darah kelompok perlakuan 1 (dosis ekstrak 250 mg/kgBB) dan

perlakuan 3 (dosis ekstrak 1000 mg/kgBB) menunjukkan perbedaan yang

bermakna (p<0,05) sedangkan kelompok perlakuan 2 (dosis ekstrak 500

mg/kgBB) tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05). Namun pada

waktu pengukuran tersebut, kelompok kontrol positif juga masih dalam keadaan

diabetes (Gambar 4.20) sehingga kelompok perlakuan 2 belum bisa dikatakan

dapat menurunkan kadar glukosa darah. Sedangkan pada menit ke-60 setelah

pembebanan glukosa monohidrat, dimana kelompok kontrol positif diketahui

telah dapat menurunkan kadar glukosa darah secara bermakna hingga ke keadaan

normal, ternyata nilai kadar glukosa darah seluruh kelompok perlakuan

menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) dengan kontrol positif (Tabel

4.12). Berdasarkan hal tersebut dapat diamati seluruh kelompok perlakuan yang

mendapat ekstrak etanol umbi Anredera scandens (L.) Moq efektivitasnya tidak

sebanding dengan kontrol positif glibenkamid dalam menurunkan kadar glukosa

darah hingga ke keadaan normal pada menit ke-60 setelah pembebanan glukosa

monohidrat. Hal ini juga didukung hasil uji LSD dimana nilai kadar glukosa

seluruh kelompok perlakuan berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok

kontrol normal (p<0,05) dan tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan

kelompok kontrol negatif (p>0,05). Pada menit ke-90 hingga menit ke-120,

seluruh kelompok perlakuan mengalami penurunan kadar glukosa darah bila

dibandingkan dengan waktu pengamatan sebelumnya dan sudah tidak mengalami


80

diabetes lagi (Gambar 4.20). Namun hasil uji LSD menunjukkan bahwa nilai

kadar glukosa darah seluruh kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna

dibandingkan dengan kontrol negatif (p>0,05) dan berbeda bermakna

dibandingkan dengan kontrol normal dan kontrol positif (p<0,05).

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok

perlakuan 1 (dosis ekstrak 250 mg/kgBB), perlakuan 2 (dosis ekstrak 500

mg/kgBB) dan perlakuan 3 (dosis ekstrak 1000 mg/kgBB) tidak memiliki efek

antidiabetes. Hal ini dapat diamati dari nilai kadar glukosa darah seluruh

kelompok perlakuan secara umum berbeda bermakna dengan kelompok kontrol

normal (p<0,05), berbeda bermakna dengan kelompok kontrol positif (p<0,05)

dan tidak berbeda bermakna dengan kelompok kontrol negatif (p>0,05) pada

menit ke-30, 60, 90 hingga 120 setelah pembebanan glukosa monohidrat.

Penyebab dari tidak berpengaruhnya ekstrak etanol umbi Anredera scandens

(L.) Moq. dalam menurunkan kadar glukosa pada penelitian ini belum diketahui

pasti. Namun, jika melihat hasil uji fitokimia yang tercantum pada tabel 4.2,

golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanol umbi Anredera

scandens (L.) Moq., seperti saponin dan flavonoid telah banyak dilaporkan

memiliki aktivitas sebagai antidiabetes (Soumyanath, 2006). Selain itu, tanaman

lain yang termasuk ke dalam suku Basellaceae, juga telah ada yang dilaporkan

memiliki aktivitas sebagai antidiabetes yaitu Basella alba Linn (Palanuvej et al.,

2009) dan Anredera cordifolia (Ten.) (Chuang et al., 2007). Beberapa faktor yang

kemungkinan dapat menyebabkan kecenderungan tersebut adalah:


81

1) Penggunaan metode toleransi glukosa pada beberapa penelitian-penelitian uji

aktivitas antidiabetes (Adnyana, 2004; Akbar, 2008) cenderung mendapatkan

hasil data rata-rata kadar glukosa darah dengan standar deviasi (SD) yang

besar dimana hal ini menandakan bahwa sebaran data yang dihasilkan

memiliki variasi yang besar. Data dengan SD yang besar cenderung dapat

menyebabkan hasil yang diperoleh tidak bermakna secara statistik (Adnyana

dkk, 2004). Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya kecenderungan

hewan coba yang mengalami stres pada saat perlakuan Selain itu, efek

hiperglikemi yang dihasilkan dengan metode toleransi glukosa hanya bersifat

sementara.

2) Kemungkinan terdapat kandungan pati dalam umbi Anredera scandens (L.)

Moq. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.20 dimana kadar glukosa rata-rata

pada menit ke-90 dan menit ke-120 dari kelompok perlakuan dosis ekstrak

500 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB relatif lebih besar dari kontrol negatif.

Proses ekstraksi pada penelitian ini menggunakan etanol sebagai pelarut

dimana pati dapat tersari dalam etanol yang bersifat polar. Pati merupakan

jenis karbohidrat yang banyak ditemukan pada berbagai jenis tanaman dan

merupakan sumber energi yang penting. Sebagai sumber karbohidrat, pati

dapat diproduksi menjadi glukosa darah setelah melewati proses-proses

biokimia dalam tubuh dan pengaruhnya terhadap peningkatan kadar glukosa

darah bervariasi darah tergantung dari berbagai faktor, salah satunya struktur

dari pati tersebut (Soumyanath, 2006). Oleh karena itu, perlu dilakukan

pengujian adanya kandungan pati pada umbi Anredera scandens (L.) Moq.
82

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Profil KLT-Densitometer pada ekstrak etanol umbi binahong (Anredera

scandens (L.) Moq.) menunjukkan bahwa penentuan profil KLT-

Densitometer menggunakan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak etil

asetat : asam formiat : asam asetat : air (100:11:11:26 v/v) menunjukkan

bahwa bercak ke-10 (Rf 0,29) dengan maks 282 nm yang berwarna merah

lembayung setelah dideteksi dengan vanilin 1% - asam sulfat diduga

mengandung golongan senyawa flavonoid; penentuan profil KLT-

Densitometer menggunakan fase diam silika gel GF254 dan fase fase gerak

kloroform : metanol : air (70:30:4 v/v) menunjukkan bahwa bercak ke-4

(Rf 0,15) dengan maks 205 nm dan bercak ke-6 (Rf 0,20) dengan maks

204 nm yang berwarna ungu dan biru setelah dideteksi dengan vanilin 1%

- asam sulfat diduga mengandung golongan senyawa saponin; penentuan

profil KLT-Densitometer menggunakan fase diam silika gel GF254 dan fase

gerak kloroform : metanol (10:1 v/v) menunjukkan bahwa bercak ke-14

(Rf 0,79) dengan maks 199 nm yang berwarna ungu setelah dideteksi

vanilin 1% - asam sulfat dan dipanaskan pada suhu 90oC diduga

mengandung golongan senyawa triterpenoid; penentuan profil KLT-

Densitometer menggunakan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak etil

asetat : toluen (2:98 v/v) menunjukkan bahwa bercak ke-4 (Rf 0,18)

82
83

dengan maks 195 nm yang berwarna ungu setelah dideteksi dengan uap

amonia diduga mengandung golongan senyawa tanin.

2. Ekstrak etanol umbi binahong (Anredera scandens (L.) Moq.) dosis

250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB maupun 1000 mg/kgBB tidak memiliki

pengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah secara bermakna pada

tikus putih jantan galur Sprague Dawley setelah pembebanan glukosa

monohidrat.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian uji bioaktivitas yang lain dari ekstrak umbi

binahong (Anredera scendens (L.) Moq.) didasarkan pada pengetahuan

manfaat secara empiris dari penggunaan umbi binahong.

2. Perlu dilakukan uji toksisitas dari ekstrak etanol umbi Anredera scandens

(L.) Moq. untuk mengetahui dosis toksik dari ekstrak etanol umbi

Anredera scandens (L.) Moq.


84

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I. K, E. Yulinah, A. A. Soemardji, E. Kumolosasi, M. I. Iwo, J. I. Sigit,


dan Suwendar. 2004. Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Buah
Mengkudu (Morinda citrifolia L.). Acta Pharmaceutica Indonesia, XXIX
(2): hal. 43-49.

Andayani, T. M. 2006. Analisis Biaya Terapi Diabetes Mellitus di Rumah Sakit


dr. Sadjito Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia, Vol. 17(3):hal.130-135.

Akbar, Z., H. Anggraini dan N. Yuniarti. 2008. Pengujian Efek Anti Diabetes
Mellitus Tipe II dari Ekstrak Etanolik Buah Buncis (Phaseolus vulgaris L.)
terhadap Tikus Jantan Galur Sprague Dawley. Prosiding Kongres Ilmiah
XVI ISFI, hal. 208-218.

Anonim. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Depkes RI.

Anonim. 1994. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 661-


MENKES/SK/VII-1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Anonim. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Cetakan


Pertama. Jakarta : Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.

Anonim. 2005. Pharmaceutical Care untuk Diabetes Mellitus. Jakarta: Direktorat


Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.

Anonim. 2008. Binahong Herba Alami. (serial online), (cited 2009 Dec, 28).
Available from: http://uk.groups.yahoo.com/group/binahong.

Backer, C.A. and R.B.K.V.D. Brink. 1963. Flora of Java, Vol. I : N. V. F.


Noordhoff. Netherland: Groningen-The Netherland.

Bawana, I. B. A. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Binahong


(Anredera scandens (L.) Moq.) yang Dikoleksi dari Berbagai Tempat di
Bali (skripsi). Denpasar : Universitas Udayana.

Chuang, M. T., Y. S. Lin and W. C. Hou. 2007. Acordin, The Mayor rhizome
Protein of Madeira-Vine, with Trypsin Inhibitory and Stimulatory Actvities
in Nitric Oxide Productions. Peptide 28, p. 1311-1316.
85

Ciulei, J. 1984. Metodology for Analysis of Vegetables and Drugs. Faculty of


Pharmacy, Bucharest Rumania. p. 11-26.

DiPiro, J. T., R. L. Talbert., G. C. Yee., G. R. Matzke., B. G. Wells., L. M. Posey.


2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Sixth Edition.
USA: The McGraw-Hill Companies.

Erdtman, H. 1963. Some Aspects of Chemotaxonomy. (serial online), (cited 2009,


Des, 25). Available from:
http://media.iupac.org/publications/pac/1963/pdf/0604x0679.pdf.

Gandjar, I. G., dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Ganong, W. F. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20, editor


Widjajakusumah, H. M. D. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Geesink, R., A.J.M. Leewenberg, C.E. Risdale and J.F. Veldkamp. 1981.
Thonners Analytical Key to The Families of Flowering Plants, Leyden
Botanical Series Vol. 5. London : Leyden University Press.

Guyton, A. C., and J. E. Hall. 2006. Textbook of Physiology. Eleventh Edition.


Philadelphia : Elsevier Inc.

Hagerman, A.E. 2002. Tannin Chemistry. (serial online), (cited 2010, Apr, 25).
Available from : http://www.users.muohio.edu/Hagermae/tannin.pdf.

Halliwel, B. and J.M.C. Gutteridge. 1999. Free Radicals in Biology and


Medicine. Oxford University Press: New York.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Terbitan Kedua. Bandung: Penerbit ITB.

Herfindal, E. T., and D. R. Gourlev. 2000. Textbook of Therapeutics: Drug and


Disease Management. Book 1. Seventh Edition. USA: Lippincott Williams
and Wilkins.

Indriana, A. 2008. Pengaruh Kadar Sukrosa Terhadap Kultur Kalus Daun


Binahong (Anredera scandens (L.) Moq.). (serial online), (cited 2009, Nov,
17). Available from : http://fbaugm.wordpress.com/ category/skripsi/page/2.

Ishtiaq, M., Q. He, S. Feng , Y. Wang, P.G. Xiao, Y. Cheng and H. Ahmed. 2010.
Determination of Taxonomic Status of Chinese Species of Genus Clematics
by Using High Performance Liquid Chromatography-Mass Spectrometry
(HPLC-MS) Technique. Pak. J. Bot., Vol. 42(2): p. 691-702.
86

Jain, P.K. and R.K. Agrawal. 2008. High Performance Liquid Chromatographic
Analysis of Asiaticoside in Centella asiatica (L.) Urban. Chiang Mi J. Sci.,
Vol. 35 (3): p. 521 - 525.

Jones, S.B. and A.E. Luchsinger.1987. Plant Systematics. Second Edition.


Singapore: The McGraw Hill Book Company, Inc.

Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku 2. Edisi 8. Jakarta:
EGC.

Magalhaes, A.F., A.M. Goulart, C.C. Santos, D.R. Serrano, E.M.Z. Magalhaes,
E.G. Magalhaes and L.A. Malgahaes. 2003. Saponins from Swartzia
langsdorffii: Biological Activities. Mem Inst Oswaldo Cruz Rio de Janeiro,
Vol. 98(5): p. 713-718.

Manoi, F. 2009. Binahong sebagai Obat. Warta Penelitian dan Pengembangan


Tanaman Industri, Vol. 15(1): hal. 3-5.

Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung : Penerbit ITB.

Merkuria, D.B., T. Kashiwagi, S. Tebayashi, and C. Kim. 2005. Cucurbitane


Triterpenoid Oviposition Deterrent from Momordica Charantia to The
Leafminer; Liriomyza trifolii. Biosci Biotechnol Biochem, Vol. 69 (9): p.
1706-1710.

Mulya M. S. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga University Press.

Palanuvej, C., S. Hokputsa, T. Tunsaringkarn and N. Ruangrungsi. In Vitro


Glucose Entrapment and Alpha-Glucosidase Inhibition of Mucilaginous
Substances from Selected Thai Medicinal Plants. Scientia Pharmaceutica: p.
1-13.

Reich, E. and A. Blatter. 2003. Handbook of Thin-Layer Chromatography. 3rd


Edition. J. Sherma and B. Fried Eds. Marcel Dekker: New York.

Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung :


Penerbit ITB.

Sari, L. O. R. K. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan


Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. 3 (1): hal. 1-7.

Sawitri, S. A. P. D. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Batang dan Umbi


Binahong (Anredera scandens (L.) Moq.) terhadap Pertumbuhan Bakteri
Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif (skripsi). Denpasar: Universitas
Udayana.
87

Setiawan, M. W., F. Wijaya dan P. Liben. 2006. Uji Antidiabetes Daun Lidah
Buaya pada Tikus Putih Diabetes Aloksan. Jurnal Obat Bahan Alam, Vol. 5
(2): hal. 79-86.

Soumyanath, A. 2006. Traditional Medicines for Modern Times: Antidiabetic


Plants. Boca Raton: Taylor and Francis Group.

Sthal, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung:


ITB.

Steenis, C. G. G. J.V., G. D. H S. Bloembergen dan P. J. Eyma. 2005. Flora.


Cetakan ke 10. Jakarta: PT. Pradya Paramita.

Suharmiati. 2003. Pengujian Bioaktivitas Anti Diabetes Mellitus Tumbuhan Obat.


Cermin Dunia Kedokteran, No. 140: hal 8 - 13.

Sunarsih, E. S., Djatmika dan R. S. Utomo. 2007. Pengaruh Pemberian Infusa


Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst) terhadap Penurunan Kadar
Glukosa Darah Tikus Putih Jantan Diabetes yang Diinduksi Aloksan.
Majalah Farmasi Indonesia, 18(1): hal. 29 - 33.

Szkudelski, T. 2001. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin Action in B


Cells of the Rat Pancreas. Department of Animal Physiology and
Biochemistry. Poland: University of Agriculture Res. Vol. 50: p. 536-546.

Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2008. Obat-Obat Penting. Edisi VI. Jakarta:
Gramedia.

Young, B. A., E. Lin, M. Von-Korff, G. Simon, P. Ciechanowski, E. J. Ludman,


S. Everson-Stewart, L. Kinder, M. Oliver, E. J. Boyko and W. J. Katon.
2008. Diabetes Complications Severity Index and Risk of Mortality,
Hospitalization, and Healthcare Utilization. The American Journal of
Managed Care 14 (1): p. 15-24.

Wagner, H. and Bladt, S. 1996. Plant Drugs Analysis: A Thin Layer


Chromatography Atlas. 2nd Edition. Germany : Springer-Verlag Berlin
Heidelberg.

WHO. 2003. Traditional Medicine. (serial online). (cited 2009 Nov. 22).
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en.

Wild, S., G. Roglic, A. Green, R. Sicree and H. King. 2004. Global Prevalence of
Diabetes. Diabetes Care Vol. 27: p. 1047-1053.

Zuhrotun, Ade. 2007. Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Biji Buah Alpukat
(Persea americana Mill.) Bentuk Bulat. Jatinangor: Universitas Padjajaran.
88

Lampiran 1. Surat Keterangan Determinasi Tanaman Binahong (Anredera


scandens (L.) Moq.)

KLASIFIKASI
Divisi : Magnoliophyta
Klasis : Magnoliopsida
Bangsa : Caryophyllales
Suku : Basellaceae (Jones and Luchsinger, 1987)
Marga : Anredera
Jenis : Anredera scandens (L.) Moq (Backer and Van Den Brink,
1963; Steenis dkk., 2005)

KEPUSTAKAAN
Backer, C.A. and R.B.K. Van Den Brink 1963. Flora of Java. Vol I. N.V.P.
Published under the Auspices of the Ruksherbarium, Leyden Noordhoff,
Groningen, The Netherlands
Geesink, R., A.J.M. Leeuwenberg, C.E. Ridsdale and J.F. Veldkamp. 1981.
Thonners Analytical Key to The Families of Flowering Plants. Leyden
Botanical Series Vol.5. Leyden University Press, The Hague Boston:
London.
Jones, S.B. and A.E. Luchsinger. 1987. Plant Systematics. Second Edition.
McGraw Hill Book Company: Printed in Singapore
Steenis, C.G.G.J.V., G.D.H.S. Bloembergen dan P.J. Eyma. 2005. Flora. Cetakan
ke 10. PT Pradya Paramita: Jakarta.

Bukit Jimbaran, 18 Januari 2010


89

Lampiran 2. Surat keterangan kalaikan etik


90

Lampiran 3. Prosedur Pemeliharaan dan Perlakuan Hewan Coba (Tikus)

1. Kandang

Ukuran kandang 604015 cm. Tiap kandang berisi 5 ekor tikus. Penutup

kandang berupa kawat yang berbentuk jaring. Kandang dibersihkan 2 kali

seminggu untuk menjaga kesehatan hewan.

2. Makanan

Selama pemeliharaan, tikus diberi makanan Pelet ABS pada pagi hari dan sore

hari sebanyak 100 gram tiap kandang.

3. Minum

Selama pemeliharaan, tikus diberikan minum air ad libitum setiap hari.

4. Tempat Pemeliharaan

Pemeliharaan hewan coba dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan

Fitofarmasi Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana. Cahaya pada

tempat pemeliharaan diatur agar tidak terlalu terang karena retina tikus sensitif

terhadap cahaya. Suhu ruangan juga dijaga agar tidak terjadi perubahan suhu

secara tiba-tiba.

5. Pra perlakuan hewan coba

Sebelum hewan coba diberi perlakuan, hewan coba dipuasakan terlebih dahulu

selama 18 jam. Agar tidak terjadi kanibalisme antar tikus tiap kelompoknya maka

pada saat dipuasakan, kandang diberikan sekat-sekat antara satu tikus dengan

tikus yang lainnya. Selama dipuasakan, hewan coba tetap diberikan minum air ad

libitum.
91

6. Cara Pemberian Bahan Uji pada Hewan Coba

Pemberian larutan CMC-Na 1% pada kontrol normal, glukosa monohidrat

pada kontrol negatif, glibenklamid pada kontrol positif dan ekstrak etanol umbi

binahong pada kelompok perlakuan dilakukan dengan menggunakan spuite dan

jarum kanula (sonde) untuk menjamin bahan uji yang diberikan sudah sesuai

dengan dosis. Selama pemberian bahan uji, hewan coba diusahakan agar tetap

tenang dan tidak dalam keadaan tertekan agar selama pemberian bahan uji hewan

coba tidak merasa kesakitan.

7. Cara Pengambilan Darah dari Hewan Coba

Setelah perlakuan, darah dari tikus diambil untuk menentukan kadar glukosa

darahnya. Darah tikus diambil sekitar 1-2 tetes pada setiap variasi waktu yang

telah ditentukan dengan cara memotong sedikit ekornya. Pengambilan darah ini

tidak melebihi persyaratan pengambilan darah berulang dari tikus yaitu kurang

dari 1 % berat tubuhnya karena darah yang diambil dari tikus tidak terlalu banyak

dan tidak sampai mengganggu sistem homeostatis tikus.

8. Perlakuan Hewan Coba Setelah Penelitian Berakhir

Pada penelitian ini, tikus tidak dieuthanasia karena keadaan diabetes yang

diinduksi dengan pembebanan glukosa selama penelitian hanya bersifat

sementara. Sehingga keadaan tikus dapat kembali normal dengan pemeliharaan

seperti yang dilakukan selama adaptasi. Oleh karena itu, setelah penelitian

berakhir tikus-tikus tetap dipelihara dengan baik hingga akhir hayatnya.


92

Lampiran 4. Tabel Konversi Dosis

Mencit Tikus Marmot Kelinci Anjing Manusia


20 g 200 g 400 g 1,5 kg 12 kg 70 kg
Mencit
1,0 7,0 12,25 27,8 12,42 387,9
20 g
Tikus
0,14 1,0 1,74 3,9 17,8 56,0
200 g
Marmot
0,08 0,57 1,0 2,25 10,2 31,5
400 g
Kelinci 0,04
0,25 0,44 1,0 4,5 14,2
1,5 kg
Anjing 0,008
0,06 0,10 0,22 1,0 3,1
12 kg
Manusia
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,32 1,0
70 kg
(Laurence dan Bacharach, 1964)
93

Lampiran 5. Rentangan Serapan Spektrum UV-Vis Flavonoid

Pita II (nm) Pita I (nm) Jenis flavonoid


250 280 310 350 Flavon
250 280 330 360 Flavonol (3-OH tersubstitusi)
250 280 350 385 Flavonol (3-OH bebas)
310 330 bahu Isoflavon
245 275
kira-kira 320 puncak Isoflavon (5-deoksi-6,7-dioksigenasi)
275 295 300 330 bahu Flavanon dan dihidroflavonol
230 270
340 390 Khalkon
(kekuatan rendah)
230 270
380 430 Auron
(kekuatan rendah)
270 - 280 465 560 Antosianidin dan antosianin
(Markham, 1988)
94

Lampiran 6. Bentuk Spektrum Serapan UV-Vis Beberapa Jenis Flavonoid

(Markham, 1988)
95

Lampiran 7. Uji Normalitas Data Orientasi Dosis Glukosa Monohidrat

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Sebelum_Pem
bebanan
N 16
Mean 73,44
Normal Parameters(a,b)
Std. Deviation 12,055
Most Extreme Absolute ,166
Differences Positive ,166
Negative -,089
Kolmogorov-Smirnov Z ,663
Asymp. Sig. (2-tailed) ,771
a Test distribution is Normal.
b Calculated from data.
96

Lampiran 8. Uji Homogenitas Data Orientasi Dosis Glukosa Monohidrat

Test of Homogeneity of Variances

Orientasi_glukosa
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
3,176 3 12 ,063
97

Lampiran 9. Uji ANOVA pada Orientasi Dosis Glukosa Monohidrat

ANOVA

Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Sebelum Between Groups 577,688 3 192,563 1,442 ,279
Within Groups 1602,250 12 133,521
Total 2179,938 15
t0 Between Groups 158,250 3 52,750 ,285 ,835
Within Groups 2221,500 12 185,125
Total 2379,750 15
t30 Between Groups 38137,250 3 12712,417 8,164 ,003
Within Groups 18686,500 12 1557,208
Total 56823,750 15
t60 Between Groups 19046,188 3 6348,729 17,138 ,000
Within Groups 4445,250 12 370,438
Total 23491,438 15
t120 Between Groups 1575,688 3 525,229 3,048 ,070
Within Groups 2067,750 12 172,313
Total 3643,438 15
t240 Between Groups 887,500 3 295,833 2,059 ,159
Within Groups 1724,500 12 143,708
Total 2612,000 15
t300 Between Groups 905,250 3 301,750 3,109 ,067
Within Groups 1164,500 12 97,042
Total 2069,750 15
98

Lampiran 10. Uji LSD menit Ke-30 setelah Pembebanan Glukosa pada Orientasi
Dosis Glukosa Monohidrat

Multiple Comparisons
t30
LSD
95% Confidence Interval
Mean Difference
(I) Kelompok (J) Kelompok (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
*
Kontrol Normal Dosis 1 g/kgBB -86.750 27.903 .009 -147.55 -25.95
Dosis 2 g/kgBB -101.500* 27.903 .003 -162.30 -40.70
*
Dosis 4 g/kgBB -131.250 27.903 .001 -192.05 -70.45
*
Dosis 1 g/kgBB Kontrol Normal 86.750 27.903 .009 25.95 147.55
Dosis 2 g/kgBB -14.750 27.903 .607 -75.55 46.05
Dosis 4 g/kgBB -44.500 27.903 .137 -105.30 16.30
*
Dosis 2 g/kgBB Kontrol Normal 101.500 27.903 .003 40.70 162.30
Dosis 1 g/kgBB 14.750 27.903 .607 -46.05 75.55
Dosis 4 g/kgBB -29.750 27.903 .307 -90.55 31.05
*
Dosis 4 g/kgBB Kontrol Normal 131.250 27.903 .001 70.45 192.05
Dosis 1 g/kgBB 44.500 27.903 .137 -16.30 105.30
Dosis 2 g/kgBB 29.750 27.903 .307 -31.05 90.55
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
99

Lampiran 11. Uji LSD Menit ke-60 setelah Pembebanan Glukosa pada Orientasi
Dosis Glukosa Monohidrat

Multiple Comparisons
t60
LSD
95% Confidence Interval
Mean Difference
(I) Kelompok (J) Kelompok (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
Kontrol Normal Dosis 1 g/kgBB -15.750 13.610 .270 -45.40 13.90
*
Dosis 2 g/kgBB -37.750 13.610 .017 -67.40 -8.10
*
Dosis 4 g/kgBB -91.250 13.610 .000 -120.90 -61.60
Dosis 1 g/kgBB Kontrol Normal 15.750 13.610 .270 -13.90 45.40
Dosis 2 g/kgBB -22.000 13.610 .132 -51.65 7.65
*
Dosis 4 g/kgBB -75.500 13.610 .000 -105.15 -45.85
Dosis 2 g/kgBB Kontrol Normal 37.750* 13.610 .017 8.10 67.40
Dosis 1 g/kgBB 22.000 13.610 .132 -7.65 51.65
*
Dosis 4 g/kgBB -53.500 13.610 .002 -83.15 -23.85
*
Dosis 4 g/kgBB Kontrol Normal 91.250 13.610 .000 61.60 120.90
*
Dosis 1 g/kgBB 75.500 13.610 .000 45.85 105.15
*
Dosis 2 g/kgBB 53.500 13.610 .002 23.85 83.15
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
100

Lampiran 12. Uji Normalitas Data Uji Potensi Antidiabetes

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Sebelum_Pembe
banan
N 36
Normal Parametersa,,b Mean 75.28
Std. Deviation 12.441
Most Extreme Differences Absolute .130
Positive .130
Negative -.063
Kolmogorov-Smirnov Z .779
Asymp. Sig. (2-tailed) .578
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
101

Lampiran 13. Uji Homogenitas Data Uji Potensi Antidiabetes

Test of Homogeneity of Variances

uji_potensi_antidiabetes
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
.568 5 30 .724
102

Lampiran 14. Uji ANOVA Data Uji Potensi Antidiabetes

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.


Sebelum_Pembe Between Groups 1552.889 5 310.578 2.411 .060
banan
Within Groups 3864.333 30 128.811

Total 5417.222 35
t0 Between Groups 1562.472 5 312.494 3.231 .019
Within Groups 2901.833 30 96.728
Total 4464.306 35
t30 Between Groups 32942.139 5 6588.428 14.303 .000
Within Groups 13818.833 30 460.628
Total 46760.972 35
t60 Between Groups 21156.139 5 4231.228 11.943 .000
Within Groups 10628.833 30 354.294
Total 31784.972 35
t90 Between Groups 13662.917 5 2732.583 12.421 .000
Within Groups 6599.833 30 219.994
Total 20262.750 35
t120 Between Groups 12355.667 5 2471.133 21.586 .000
Within Groups 3434.333 30 114.478
Total 15790.000 35
103

Lampiran 15. Uji LSD Menit ke-30 setelah Pembebanan Glukosa pada Uji
Potensi Antidiabetes

Multiple Comparisons
t30
LSD
95% Confidence
Interval
Mean
Difference Lower Upper
(I) Kelompok (J) Kelompok (I-J) Std. Error Sig. Bound Bound
*
Kontrol Normal Kontrol Positif -49.500 12.391 .000 -74.81 -24.19
Kontrol Negatif -82.833* 12.391 .000 -108.14 -57.53
*
Binahong 250 mg/kgBB -86.167 12.391 .000 -111.47 -60.86
Binahong 500 mg/kgBB -72.833* 12.391 .000 -98.14 -47.53
*
Binahong 1000 mg/kgBB -80.833 12.391 .000 -106.14 -55.53
*
Kontrol Positif Kontrol Normal 49.500 12.391 .000 24.19 74.81
*
Kontrol Negatif -33.333 12.391 .012 -58.64 -8.03
*
Binahong 250 mg/kgBB -36.667 12.391 .006 -61.97 -11.36
Binahong 500 mg/kgBB -23.333 12.391 .069 -48.64 1.97
*
Binahong 1000 mg/kgBB -31.333 12.391 .017 -56.64 -6.03
*
Kontrol Negatif Kontrol Normal 82.833 12.391 .000 57.53 108.14
*
Kontrol Positif 33.333 12.391 .012 8.03 58.64
Binahong 250 mg/kgBB -3.333 12.391 .790 -28.64 21.97
Binahong 500 mg/kgBB 10.000 12.391 .426 -15.31 35.31
Binahong 1000 mg/kgBB 2.000 12.391 .873 -23.31 27.31
Binahong 250 Kontrol Normal 86.167* 12.391 .000 60.86 111.47
mg/kgBB Kontrol Positif 36.667* 12.391 .006 11.36 61.97
Kontrol Negatif 3.333 12.391 .790 -21.97 28.64
Binahong 500 mg/kgBB 13.333 12.391 .290 -11.97 38.64
Binahong 1000 mg/kgBB 5.333 12.391 .670 -19.97 30.64
*
Binahong 500 Kontrol Normal 72.833 12.391 .000 47.53 98.14
mg/kgBB Kontrol Positif 23.333 12.391 .069 -1.97 48.64
Kontrol Negatif -10.000 12.391 .426 -35.31 15.31
Binahong 250 mg/kgBB -13.333 12.391 .290 -38.64 11.97
Binahong 1000 mg/kgBB -8.000 12.391 .523 -33.31 17.31
*
Binahong 1000 Kontrol Normal 80.833 12.391 .000 55.53 106.14
mg/kgBB Kontrol Positif 31.333
*
12.391 .017 6.03 56.64
Kontrol Negatif -2.000 12.391 .873 -27.31 23.31
Binahong 250 mg/kgBB -5.333 12.391 .670 -30.64 19.97
Binahong 500 mg/kgBB 8.000 12.391 .523 -17.31 33.31
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
104

Lampiran 16. Uji LSD Menit ke-60 setelah Pembebanan Glukosa pada Uji
Potensi Antidiabetes

Multiple Comparisons
t60
LSD
95% Confidence
Interval
Mean
Difference Std. Lower Upper
(I) Kelompok (J) Kelompok (I-J) Error Sig. Bound Bound
Kontrol Normal Kontrol Positif -4.500 10.867 .682 -26.69 17.69
*
Kontrol Negatif -56.500 10.867 .000 -78.69 -34.31
*
Binahong 250 mg/kgBB -56.167 10.867 .000 -78.36 -33.97
*
Binahong 500 mg/kgBB -50.833 10.867 .000 -73.03 -28.64
Binahong 1000 mg/kgBB -49.833* 10.867 .000 -72.03 -27.64
Kontrol Positif Kontrol Normal 4.500 10.867 .682 -17.69 26.69
Kontrol Negatif -52.000* 10.867 .000 -74.19 -29.81
*
Binahong 250 mg/kgBB -51.667 10.867 .000 -73.86 -29.47
*
Binahong 500 mg/kgBB -46.333 10.867 .000 -68.53 -24.14
*
Binahong 1000 mg/kgBB -45.333 10.867 .000 -67.53 -23.14
*
Kontrol Negatif Kontrol Normal 56.500 10.867 .000 34.31 78.69
Kontrol Positif 52.000* 10.867 .000 29.81 74.19
Binahong 250 mg/kgBB .333 10.867 .976 -21.86 22.53
Binahong 500 mg/kgBB 5.667 10.867 .606 -16.53 27.86
Binahong 1000 mg/kgBB 6.667 10.867 .544 -15.53 28.86
*
Binahong 250 Kontrol Normal 56.167 10.867 .000 33.97 78.36
mg/kgBB Kontrol Positif 51.667
*
10.867 .000 29.47 73.86
Kontrol Negatif -.333 10.867 .976 -22.53 21.86
Binahong 500 mg/kgBB 5.333 10.867 .627 -16.86 27.53
Binahong 1000 mg/kgBB 6.333 10.867 .564 -15.86 28.53
*
Binahong 500 Kontrol Normal 50.833 10.867 .000 28.64 73.03
mg/kgBB Kontrol Positif 46.333
*
10.867 .000 24.14 68.53
Kontrol Negatif -5.667 10.867 .606 -27.86 16.53
Binahong 250 mg/kgBB -5.333 10.867 .627 -27.53 16.86
Binahong 1000 mg/kgBB 1.000 10.867 .927 -21.19 23.19
Binahong 1000 Kontrol Normal 49.833* 10.867 .000 27.64 72.03
mg/kgBB Kontrol Positif 45.333 *
10.867 .000 23.14 67.53
Kontrol Negatif -6.667 10.867 .544 -28.86 15.53
Binahong 250 mg/kgBB -6.333 10.867 .564 -28.53 15.86
Binahong 500 mg/kgBB -1.000 10.867 .927 -23.19 21.19
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
105

Lampiran 17. Uji LSD Menit ke-90 setelah Pembebanan Glukosa pada Uji
Potensi Antidiabetes

Multiple Comparisons
t90
LSD
95% Confidence Interval
Mean
Difference Std. Lower Upper
(I) Kelompok (J) Kelompok (I-J) Error Sig. Bound Bound
Kontrol Normal Kontrol Positif 16.667 8.563 .061 -.82 34.16
*
Kontrol Negatif -27.167 8.563 .003 -44.66 -9.68
*
Binahong 250 mg/kgBB -24.500 8.563 .008 -41.99 -7.01
*
Binahong 500 mg/kgBB -41.333 8.563 .000 -58.82 -23.84
*
Binahong 1000 -27.167 8.563 .003 -44.66 -9.68
mg/kgBB
Kontrol Positif Kontrol Normal -16.667 8.563 .061 -34.16 .82
*
Kontrol Negatif -43.833 8.563 .000 -61.32 -26.34
*
Binahong 250 mg/kgBB -41.167 8.563 .000 -58.66 -23.68
*
Binahong 500 mg/kgBB -58.000 8.563 .000 -75.49 -40.51
*
Binahong 1000 -43.833 8.563 .000 -61.32 -26.34
mg/kgBB
Kontrol Negatif Kontrol Normal 27.167* 8.563 .003 9.68 44.66
Kontrol Positif 43.833* 8.563 .000 26.34 61.32
Binahong 250 mg/kgBB 2.667 8.563 .758 -14.82 20.16
Binahong 500 mg/kgBB -14.167 8.563 .108 -31.66 3.32
Binahong 1000 .000 8.563 1.000 -17.49 17.49
mg/kgBB
Binahong 250 Kontrol Normal 24.500* 8.563 .008 7.01 41.99
mg/kgBB Kontrol Positif 41.167 *
8.563 .000 23.68 58.66
Kontrol Negatif -2.667 8.563 .758 -20.16 14.82
Binahong 500 mg/kgBB -16.833 8.563 .059 -34.32 .66
Binahong 1000 -2.667 8.563 .758 -20.16 14.82
mg/kgBB
Binahong 500 Kontrol Normal 41.333* 8.563 .000 23.84 58.82
mg/kgBB Kontrol Positif 58.000 *
8.563 .000 40.51 75.49
Kontrol Negatif 14.167 8.563 .108 -3.32 31.66
Binahong 250 mg/kgBB 16.833 8.563 .059 -.66 34.32
Binahong 1000 14.167 8.563 .108 -3.32 31.66
mg/kgBB
Binahong 1000 Kontrol Normal 27.167* 8.563 .003 9.68 44.66
mg/kgBB Kontrol Positif 43.833* 8.563 .000 26.34 61.32
Kontrol Negatif .000 8.563 1.000 -17.49 17.49
Binahong 250 mg/kgBB 2.667 8.563 .758 -14.82 20.16
Binahong 500 mg/kgBB -14.167 8.563 .108 -31.66 3.32
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
106

Lampiran 18. Uji LSD Menit ke-120 setelah Pembebanan Glukosa pada Uji
Potensi Antidiabetes

Multiple Comparisons
t120
LSD
95% Confidence Interval
Mean
Difference Std. Lower Upper
(I) Kelompok (J) Kelompok (I-J) Error Sig. Bound Bound
Kontrol Normal Kontrol Positif 28.167* 6.177 .000 15.55 40.78
*
Kontrol Negatif -15.167 6.177 .020 -27.78 -2.55
Binahong 250 mg/kgBB -13.167* 6.177 .041 -25.78 -.55
*
Binahong 500 mg/kgBB -26.833 6.177 .000 -39.45 -14.22
*
Binahong 1000 mg/kgBB -24.000 6.177 .001 -36.62 -11.38
*
Kontrol Positif Kontrol Normal -28.167 6.177 .000 -40.78 -15.55
*
Kontrol Negatif -43.333 6.177 .000 -55.95 -30.72
*
Binahong 250 mg/kgBB -41.333 6.177 .000 -53.95 -28.72
Binahong 500 mg/kgBB -55.000* 6.177 .000 -67.62 -42.38
Binahong 1000 mg/kgBB -52.167* 6.177 .000 -64.78 -39.55
*
Kontrol Negatif Kontrol Normal 15.167 6.177 .020 2.55 27.78
*
Kontrol Positif 43.333 6.177 .000 30.72 55.95
Binahong 250 mg/kgBB 2.000 6.177 .748 -10.62 14.62
Binahong 500 mg/kgBB -11.667 6.177 .069 -24.28 .95
Binahong 1000 mg/kgBB -8.833 6.177 .163 -21.45 3.78
Binahong 250 Kontrol Normal 13.167* 6.177 .041 .55 25.78
mg/kgBB Kontrol Positif 41.333
*
6.177 .000 28.72 53.95
Kontrol Negatif -2.000 6.177 .748 -14.62 10.62
*
Binahong 500 mg/kgBB -13.667 6.177 .035 -26.28 -1.05
Binahong 1000 mg/kgBB -10.833 6.177 .090 -23.45 1.78
Binahong 500 Kontrol Normal 26.833* 6.177 .000 14.22 39.45
mg/kgBB Kontrol Positif 55.000* 6.177 .000 42.38 67.62
Kontrol Negatif 11.667 6.177 .069 -.95 24.28
*
Binahong 250 mg/kgBB 13.667 6.177 .035 1.05 26.28
Binahong 1000 mg/kgBB 2.833 6.177 .650 -9.78 15.45
*
Binahong 1000 Kontrol Normal 24.000 6.177 .001 11.38 36.62
mg/kgBB Kontrol Positif 52.167
*
6.177 .000 39.55 64.78
Kontrol Negatif 8.833 6.177 .163 -3.78 21.45
Binahong 250 mg/kgBB 10.833 6.177 .090 -1.78 23.45
Binahong 500 mg/kgBB -2.833 6.177 .650 -15.45 9.78
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Anda mungkin juga menyukai