Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN) merupakan kelainan ginjal terbanyak dijumpai pada anak, dengan
angka kejadian 15 kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Insidennya sekitar 2-
3/100.000 anak per tahun, dan sebagian besar anak SN merupakan tipe sensitif terhadap
pengobatan steroid yang dimasukkan sebagai kelainan minimal.1-4

Gambaran klinis SN ditandai dengan proteinuria masif(>40 mg/m2/jam),


hipoalbuminemia (<2,5 g/dl),edema, dan hiperlipidemia.2,3 Sebagian besar (90%) SN
pada anak-anak merupakan SN yang idiopatik. Sisanya (10%) merupakan SN sekunder
yang berhubungan dengan kelainan glomerulus seperti nefropati membranosa dan
glomerulonephritis membranoproliferatif.

Sindrom nefrotik terjadi karena peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus


yang mengakibatkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Penyebab peningkatan
permeabilitas dinding kapilertersebut belum diketahui dengan pasti.4,5 Mekanisme
terjadinya edema pada SN diakibatkan protein yang hilang lewat urin sehingga
mengakibatkan hipoalbuminemia, selanjutnya terjadi penurunan tekanan onkotik plasma
yang mengakibatkan perpindahan cairan dari ruang intravaskular ke ruang interstisial.6,7

Diagnosis SN ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang seringkali ditandai dengan


edema yang timbul pertamakali pada daerah sekitar mata dan ekstremitas bagian bawah.
Selanjutnya edema semakin meluas yang ditandai dengan asites efusi pleura, dan edema
pada daerah genital. Seringkali dijumpai dengan gejala anokreksia, nyeri perut dan diare.
Pada kasus lain dapat disertai hipertensi maupun hematuria gross.2,3 Hasil pemeriksaan
urin menunjukkan proteinuria 3+ atau 4+ atau protein dalam urin >40 mg/m2/jam; pada
20% kasus dapat dijumpai hematuria mikroskopik. Kadar albumin serum umum
berkurang dari 2,5 g/ dL dan terjadi peningkatan kolesterol dengan kadar C3 maupun C4
normal.

Pengobatan SN anak yang baru pertama kali kena dengan gejala edema ringan dapat
dilakukan rawat jalan. Anak SN pada rentan usia 1-8 tahun diduga merupakan SN
kelainan minimal. Oleh karena itu pasien dapat diobati tanpa didahului dengan biopsi
ginjal. Sebagian besar pasien dengan SN kelainan minimal akan mengalami kekambuhan
dan frekuesi relaps akan menurun sesuai dengan umur yang bertambah.

BAB II

PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An.R Nama Ayah :J


Umur : 11 bulan Umur : 30 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jagapura Kidul Pekerjaan : Buruh

Nama Ibu :J
Masuk RS : 29/11/2016 Umur : 29 Tahun
Tgl. Diperiksa : 8/12/2016 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis ibu pasien)

1. Keluhan Utama : BAB cair

2. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke RSUD Arjawinangun diantar oleh ibunya dengan keluhan


BAB cair 10x/hari sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, ampas (+), lendir (+),
darah (-), demam (+) sejak 3 hari SMRS mual (+), muntah 5x/hari sejak 2 hari
SMRS, intake berkurang, pasien hanya minum ASI, tidak terdapat riwayat atopi,
BAK pasien normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

5. Riwayat makanan :

6. Riwayat imunisasi :
Menurut keterangan ibu pasien, pasien sudah di imunisasi lengkap, tetapi ibu
pasien tidak ingat apa saja jenis imunisasi yang sudah diberikan. Terakhir imunisasi
campak usia 9 bulan,

7. Riwayat tumbuh kembang :


Mulai berjalan usia 18 bulan
Mulai bicara usia 19 bulan dan hanya menyebutkan mama ayah, ibu pasien
mengatakan hingga saat ini pasien belum bicara dengan lancar.

III. PEMERIKSAAN FISIK:


Mei 2016
A. Pemeriksaan Umum
1. Kesan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 70 x/m
Frekuensi napas : 28 x/m
Suhu : 37,8oC
4. Status Gizi:
Klinis : Tampak kurus, tidak ada edema

Antropometri :
Berat Badan (BB) : 10 kg
Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) : 84 cm
Lingkar kepala : 46 cm
Lingkar lengan atas :-
BB/U : -3 SD (kurang)
TB/U : -3 SD (kurang)
BB/TB : -1 SD (normal)
BMI : 14,28 (kurus)
Lingkar kepala : Normocephal

B. Pemeriksaan Khusus

1. Kulit :Tidak ada hematom dan tidak ikterik.


2. Kepala :Tidak ada deformitas, rambut hitam kecoklatan, tidak
mudah dicabut.
3. Mata :Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat
isokor, reflek cahaya langsung dan tidak langsung positif.
4. Leher :Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, trakea
berada ditengah, tiroid tidak membesar.
5. Telinga :Normal, tidak terdapat serumen yang keluar.
6. Hidung :Simetris, tidak ada sekret, tidak ada penapasan cuping
hidung.
7. Tenggorok :Faring tidak hiperemis, tonsil t1- t1.
8. Mulut :Terdapat karies dentis, gusi tidak hipertrofi, tidak ada
perdarahan, lidah tidak makroglosia.
9. Dada :
a. Jantung
Inspeksi : iktus kordis di sela iga ke 5 medial linea midclavicularis sinistra
Palpasi : tidak teraba thrill
Perkusi : (Tidak dilakukan)
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, tidak terdengar murmur dan
gallop.
b. Paru
Depan:
Kanan Kiri
Inspeksi Gerakan simetris Gerakan simetris

Palpasi Fremitus normal Fremitus normal

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi Tidak terdengar ronki Tidak terdengar ronki dan


dan wheezing wheezing

Belakang:
Kanan Kiri
Inspeksi Pergerakan simetris Pergerakan simetris

Palpasi Fremitus normal Fremitus normal

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi Tidak terdengar ronki Tidak terdengar ronki dan


dan wheezing wheezing

10. Abdomen : Lemas, turgor kulit kembali cepat, bising usus terdengar,
hepar tidak teraba, lien tidak teraba
11. Akral teraba hangat, Capilary Refill Time kurang dari 2 detik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah Lengkap (29/11/2016)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Lengkap :
Hemoglobin 12.3 gr/dL 11.5-16.5
Hematokrit 38.4 % 35.0-49.0
Lekosit 13.4 10^3/uL 4000-11000
Trombosit 343 10^3/uL 150000-450000
Eritrosit 4.50 mm3 4.1-5.8
Index Eritrosit :
MCV 85.3 fl 79-99
MCH 27.3 pg 27-31
MCHC 32.0 g/dL 33-37
RDW 15.4 fL 33-47
MPV 7.2 fL 7.9-11.1
PDW 13.4 fL 9.0-13.0
Hitung Jenis
(DIFF) :
Eosinofil 0 % 0-3
Basofil 0 % 0-1
Segmen 59.2 % 25-70
Limfosit 31.9 % 20-40
Monosit 8.9 % 0-9
Stab 0 % 35-47
GDS 100 Mg/dL 70-140
Feces Lengkap (29/11/2016)
Makroskopis:
Warna Kuning Hijau Coklat;Kuning
Konsistensi Lembek Biasa
Darah Negatif Negatif
Darah Samar - Negatif
Lendir Positif Negatif
Mikroskopis
Lekosit (+) 4 6 Negatif
Eritrosit (+) 0 2 Negatif
Amoeba Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Telur Cacing Negatif Negatif

Elektrolit (30/11/2016)
Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Natrium 144 mmol/l 135 155
Kalium 2.8 mmol/l 3.5 5.5
Klorida 109 mmol/l 95 105

Kimia Klinik (1/12/2016)


Albumin 3.40 g/dl 3.5 5.2

Darah lengkap (6/12/2016)


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Lengkap :
Hemoglobin 11.0 gr/dL 11.5-16.5
Hematokrit 35.3 % 35.0-49.0
Lekosit 9.30 10^3/uL 4000-11000
Trombosit 497 10^3/uL 150000-450000
Eritrosit 4.22 mm3 4.1-5.8
Index Eritrosit :
MCV 83.6 fl 79-99
MCH 26.0 pg 27-31
MCHC 31.1 g/dL 33-37
RDW 14.3 fL 33-47
MPV 8.4 fL 7.9-11.1
PDW 40.3 fL 9.0-13.0
Hitung Jenis
(DIFF) :
Eosinofil 1.0 % 0-3
Basofil 0.8 % 0-1
Segmen 57.1 % 25-70
Limfosit 29.9 % 20-40
Monosit 6.7 % 0-9
Stab 4.4 % 35-47

Kimia Klinik:
Ureum 7.9 mg/dl 10 45
Kreatinin 0.16 mg/dl 0.50 1.10
Albumin 2.92 g/dl 3.5 5.2

Kimia Klinik:
Ureum 12.8 mg/dl 10 45
Kreatinin 0.18 mg/dl 0.50 1.10
Albumin 3.17 g/dl 3.5 5.2
Feces Lengkap (10/12/2016)
Makroskopis:
Warna Kuning Hijau Coklat;Kuning
Konsistensi Lembek Biasa
Darah Negatif Negatif
Lendir Positif Negatif
Mikroskopis
Lekosit (+) 2 3 Negatif
Eritrosit (+) 1 3 Negatif
Amoeba Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Telur Cacing Negatif Negatif

Urine Lengkap (10/12/2016)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Makroskopis :
Warna Merah Kuning muda Kuning

Kekeruhan Jernih Jernih


Kimia Urine :
pH/Reaksi 6.0 4.8 7.8
Berat Jenis 1.025 1.015 1.030
Reduksi negatif normal
Bilirubin negatif negatif
Urobilinogen normal normal
Protein 3+
Nitrit negatif negatif
Keton 1+ negatif
Mikroskopis :
Epitel (+) 1 2 0 10
Lekosit (+) 3 5 05
Eritrosit (+) 5 7 02
Bakteri negatif negatif
Jamur negatif negatif
Silinder negatif negatif
Kristal negatif negatif

Urine Lengkap (15/12/2016)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Makroskopis :
Warna Kuning Kuning muda Kuning

Kekeruhan Jernih Jernih


Kimia Urine :
pH/Reaksi 7.5 4.8 7.8
Berat Jenis 1.010 1.015 1.030
Reduksi negatif normal
Bilirubin negatif negatif
Urobilinogen normal normal
Protein negatif
Nitrit negatif negatif
Keton negatif negatif
Mikroskopis :
Epitel (+) 1 2 0 10
Lekosit (+) 2 3 05
Eritrosit (+) 3 5 02
Bakteri negatif negatif
Jamur negatif negatif
Silinder negatif negatif
Kristal negatif negatif
Hasil CT Scan (6/12/2016)
Dilakukan pemeriksaan CT Scan tanpa kontras, hasil :
Gyri dan sulci tampak prominent di regio frontalis bilateral.
Batas cortex dan medulla tegas.
Tak tampak lesi hypodens maupun hyperdens intracerebralmaupun intracerebellar.
Sistema ventrikel tidak menyempit atau melebar.
Struktur mediana di tengah

KESAN:
Subdural hygroma frontalis
Tak tampak perdarahan intracerebri maupun intracerebellar

V. RESUME
Pasien berumur 3 tahun diantar oleh ibunya dengan keluhan demam 10 hari
sebelum masuk rumah sakit, demam dirasakan tinggi terus menerus. Ada keluhan mual
dan muntah sebelumnya. Tidak ada keluhan batuk dan pilek. Pasien bab cair 2 kali/hari
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak terdapat ampas, lendir atau darah. Tidak
ada keluhan dalam buang air kecil. Orang tua pasien mengeluh bahwa anaknya susah
makan dan minum.
Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit sedang dengan kesadaran
composmentis, dengan tanda vital pasien seperti nadi, yaitu 70 kali per menit, suhu
37,8C, dan frekuensi pernafasan 28 kali per menit. Berat badan 10 kg dan tinggi badan
84 cm.

VI. DIAGNOSIS KERJA


Sindroma Nefrotik, CP, gagal tumbuh

VII. DIAGNOSIS BANDING


Sindrom Nefritik
Glomerulonefritis Akut
Lupus Sistemik Eritematosus
VIII. Rencana pengelolaan
1. Rencana pemeriksaan :
Pada kasus ini rencana pemeriksaan yang dilakukan adalah USG Ginjal, EEG.

2. Rencana pengobatan :
Pasien diberikan KAEN 1B 10 tetes per menit, antrain 3 x 100 mg, ranitidine 2 x 10
mg, ondansentron 3 x 0,2 mg, ceftazidin 3 x 500 mg.

3. Rencana Pemantauan :
Pantau tanda vital pasien
Pantau gejala penyakit penyerta

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : as malam

FOLLOW UP
Tanggal 29/11/2016

S/ Pasien masih demam hari ke 3, BAB cair 3x berwarna hijau ampas (+), lendir (+),
darah (-), muntah (-). Pasien masih susah untuk makan dan minum. Bengkak pada kedua
kaki (+/+). Kateter terisi urine, berwarna agak kemerahan, urine terisi 50cc. Mata sebelah
kanan?

O / 1. Kesan Umum : tampak sakit sedang


2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 120 x/m
Frekuensi napas : 28 x/m
Suhu : 37,2oC
UUB dan UUK cekung
Mata cekung
Air mata (+)
Mukosa bibir dan mulut kering
Turgor kembali cepat
Edema anasarka (+/+)
Status Gizi : 4.5 / 10 x 100% = 45 % (Gizi Buruk)
A/ Diare akut dengan dehidrasi ringan sedang + gizi buruk
P/ KAEN 3B 32 tpm mikro
Ranitidine 2 x 5 mg
Cefotaxime 2 x 225 mg
L-Bio 2 x sachet
Zinckid 2 x 1 cth
Konsul bag. mata
Rujuk RSHS
Cek Feces Lengkap

Konsul Bagian Mata:


Hasil pemeriksaan didapat OD. Defek epitel kornea ec. Keratitis exposure.
Terapi :
Tobro 3 x 1 OD
Eyefresh 3 x 1 ODS
Chloramphenicol e.d 2 x 1 ODS
Kontrol 2 3 minggu poli mata

Tanggal 30/11/2016
S/ Orang tua pasien masih mengeluh demam naik turun. Bengkak pada kaki berkurang,
BAB cair 4x/hari, ampas (+), lendir (+), darah (+), muntah tidak ada. BAK masih
berwarna merah, kateter terisi 80cc.

O / 1. Kesan Umum : tampak sakit sedang


2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 100 x/m
Frekuensi napas : 24 x/m
Suhu : 36oC
UUB dan UUK normal
Mata cekung (-)
Air mata (+)
Mukosa bibir dan mulut normal
Turgor kembali cepat
Edema anasarka (+/+)

A/ Diare akut dengan dehidrasi terkoreksi + gizi buruk


P/ KAEN 3B 29 tpm mikro
Ranitidine 2 x 5 mg
Cefotaxime 2 x 225 mg
L-Bio 2 x sachet
Zinckid 2 x 1 cth
Tobro 3 x 1 OD
Eyefresh 3 x 1 ODS
Chloramphenicol e.d 2 x 1 ODS

Cek Elektrolit

Tanggal 1/12/2016
S/ Pasien masih mengeluh demam hari ke 13. Keluhan mual dan muntah tidak ada.
Mengeluh masih batuk tetapi tidak ada pilek. Bak dalam batas normal. Bab masih
berlendir dan berwarna coklat. Orang tua masih mengeluh pasien susah untuk makan.

O / 1. Kesan Umum : tampak sakit sedang


2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 100 x/m
Frekuensi napas : 40 x/m
Suhu : 37,9oC
A/ Prolonged fever
P/ KAEN 1b 10 tpm
Antrain 3 x 100 mg
Ceftazidin 3 x 500 mg
Test CMV / Tokso
Kultur darah

Tanggal 27 Mei 2016


S/ Pasien masih mengeluh demam hari ke 14. Keluhan mual dan muntah tidak ada.
Keluhan batuk berkurang, tidak ada keluhan pilek. Bak dalam batas normal. Bab normal
sudah tidak berlendir dan tidak berwarna coklat. Orang tua masih mengeluh pasien susah
untuk makan.

O / 1. Kesan Umum : tampak sakit sedang


2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 104 x/m
Frekuensi napas : 40 x/m
Suhu : 38,3oC
A/ Prolonged fever
P/ KAEN 1b 10 tpm
Antrain 3 x 100 mg
Ceftazidin 3 x 500 mg

Tanggal 28 Mei 2016


S/ Orang tua pasien mengatakan bahwa demam sudah berkuran di hari ke 15. Keluhan
mual dan muntah tidak ada. Keluhan batuk berkurang, tidak ada keluhan pilek. Bak dan
bab dalam batas normal. Orang tua masih mengeluh pasien susah untuk makan.
O / 1. Kesan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 100 x/m
Frekuensi napas : 36 x/m
Suhu : 37,4oC
A/ Prolonged fever
P/ KAEN 1b 10 tpm
Antrain 3 x 100 mg
Ceftazidin 3 x 500 mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Yang dimaksud proteinuria masif
adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih.
Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-
gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-
kadang azotemia.7,8
Sindrom nefrotik idiopatik merupakan bentuk terbanyak dari sindrom nefrotik pada
anak yang tidak diketahui penyebabnya. Angka kejadian sindrom nefrotik idiopatik berkisar
1-3/100.000 anak <16 tahun.1 Di Indonesia diperkirakan 6 kasus per tahun dari setiap
100.000 anak kurang dari 14 tahun.2 Sebagian besar (80%) akan memberikan respon
terhadap pengobatan kortikosteroid (SNSS), 20% tidak memberikan respon dan
diklasifikasikan sebagai resisten steroid (SNRS).6

3.2 Epidemiologi
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar ( 74% ) dijumpai pada
usia 2-7 tahun dengan perbandingan wanita dan pria 1:2. Pada remaja dan dewasa rasio
ini berkisar 1:1. 7,8
Sindrom nefrotik dapat terjadi primer atau sekunder. Anak yang memperlihatkan
gambaran SN primer, sebelum dilakukan biopsy ginjal, dianggap menderita SN idiopatik.
Pada anak, kelainan patologi anatomi yang paling sering ditemukan adalah sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM). Lebih dari 80% penderita SN berusia kurang dari 7
tahun menunjukkan kelainan SNKM. Pada anak berusia 7-16 tahun yang menderita SN,
memiliki peluang 50% untuk menderita SNKM, dan anak lelaki terkena lebih sering
daripada perempuan (2:1).3

Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun dengan perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1. Perbandingan kasus pada laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan, lebih banyak berlaku pada masa anak dan rasio tersebut berubah pada SN
yang dijumpai pada remaja dan usia dewasa.5,9

3.3 Etiologi dan Klasifikasi

Penyebab utama umum sindrom nefrotik termasuk penyakit ginjal seperti perubahan-
minimal nephropati, kolitis nephropati, dan proses glomerulosklerosis focal. Penyebab
sekundernya adalah penyakit sistemik seperti diabetes melitus, lupus eritematosus, dan
amyloidosis. Kelainan bawaan dan keturunan dengan glomerulosklerosis fokal mungkin
akibat dari mutasi gen-gen yang mengode untuk protein podosit, termasuk nephrin,
podocin, atau saluran kation 6 protein. Sindrom nefrotik dapat terjadi karena
penyalahgunaan obat, seperti heroin.

Kisaran proteinuria pada nefrotik terjadi pada kehamilan trimester ketiga adalah
penemuan klasik preeklamsia. Dalam keadaan seperti ini, juga dikenal sebagai toksemia,
hipertensi. Dapat terjadi de novo atau superimposed pada penyakit ginjal kronik lainnya.
Dalam kasus yang berikutnya, di sana akan telah memutarkhirkan proteinuria yang akan
memburuk selama kehamilan.
Obat-obatan dapat menyebabkan sindrom nefrotik. Hal ini termasuk kejadian yang
sangat jarang dari perubahan nephropati minimal dengan penggunaan OAINS, dan
kejadian kolitis nephropati dengan administrasi dari penicillamine dan emas, obat-obatan
yang lebih lama digunakan untuk penyakit reumatik; telah dilaporkan juga laporan
tentang proses glomerulosklerosis dalam association dengan focal bisphosphonates
intravena. Terapi litium dan interferon juga yang ditimbulkan dalam terapi proses
glomerulosklerosis fokal tipe kolaps 2
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom
nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan
pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering
dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom
nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak
itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan
menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in
Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan
mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan
mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan
klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan
terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in
Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971). 7,8

Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer


1. Kelainan minimal (KM)
2. Glomerulopati membranosa (GM)
3. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
4. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) 7,8
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan
minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda
dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan
minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di
Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi. 7,8

Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
2. Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute
Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.
4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,
purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor gastrointestinal.
6. Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome7,8

3.4 Patofisologi dan Patogenesis


3.4.1 Patofisiologi
Perubahan fisiologis awal sindrom nefrotik adalah perubahan sel pada membrane dasar
glomerular. Hal ini mengakibatkan membrane tersebut menjadi hiperpermeabel (karena
berpori-pori) sehingga banyak protein yang terbuang dalam urine (proteinuria).
Banyaknya protein yang terbuang dalam urine mengakibatkan albumin serum menurun
(hipoalbuminemia). Kurangnya albumin serum mengakibatkan albumin serum menurun
(hipoalbuminemia). Kurangnya albumin serum mengakibatkan berkurangnya tekanan
osmotic serum. Tekanan hidrostatik kapiler dalam jaringan seluruh tubuh menjadi lebih
tinggi daripada tekanan osmotic kapiler. Oleh karena itu, terjadi edema di seluruh tubuh.
Semakin banyak cairan yang terkumpul dalam jaringan (edema), semakin berkurang
volume plasma yang menstimulasi sekresi aldosterone untuk menahan natrium dan air.
Air yang ditahan ini juga akan keluar dari kapiler dan memperberat edema.

Tabel 1. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Sindrom Nefrotik

o Proteinuria
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif
tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar
kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Edema muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma
ke ruang interstitial.
Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti eksresi protein > 50
mg/kgBB/hari atau >40 mg/m2/jam atau secara kualitatif proteinuria +++ sampai ++++.
Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan mbg , maka proteinuria dapat dipakai
sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang
diukur adalah Index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan cara
mengukur ratio antara Clearance IgG dan Clearence Transferin.
ISP = Clearance IgG
Clearance Transferin

Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang secara klinik
menunjukkan kerusakan glomerulus ringan dan respons terhadap kortikosteroid baik. Bila
ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective Proteinuria) yang secara klinik
menunjukkan kerusakan glomerulus berat dan tidak adanya respons terhadap
kortikosteroid. 7,8

o Hiperlipidemia
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang
lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun
dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Dikatakan
hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang meninggi ( kolesterol > 250
mg/100 ml ) tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen
lemak itu adalah kolesterol, Low Density Lipoprotein(LDL), Very Low Density
Lipoprotein(VLDL), dan trigliserida (baru meningkat bila plasma albumin < 1gr/100 mL.
Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-
banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel sel hepar juga akan membuat
VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL pleh lipoprotein lipase.
Tetapi, pada SN aktivitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan
tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktivitas lipoprotein
lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat
keluarnya protein ke dalam urine. Jadi, hiperkolesteronemia ini tidak hanya disebabkan
oleh produksi yang berlebihan , tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid. 7,8

o Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia terjadi apabila kadar albumin dalam darah < 2,5 gr/100 ml.
Hipoalbuminemia pada SN dapat disebabkan oleh proteinuria, katabolisme protein yang
berlebihan dan nutrional deficiency. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi
cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang
menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul
sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler
tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan
demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat
ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air,
sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis
ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar
renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak
semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita
sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan
aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut
teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium
renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.
Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen
interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan
kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia. 7,8

o Edema
Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan
atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit
glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari
satu.3Edema mula-mula nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema
yang hebat / anasarca sering disertai edema genitalia eksterna. Edema anasarca terjadi
bila kadar albumin darah < 2 gr/ 100 ml. Selain itu, edema anasarca ini dapat
menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus. Akibat
anoreksia dan proteinuria masif, anak dapat menderita PEM. Hernia umbilikalis, dilatasi
vena, prolaps rekstum dan sesak nafas dapat pula terjadi akibat edema anasarca ini. 7,8

Pada umumnya tipe SNKM mempunyai gejala-gejala klinik yang disebut diatas
tanpa gejala-gejala lain. Oleh karena itu, secara klinik SNKM ini dapat dibedakan dari
SN dengan kelainan histologis tipe lain yaitu pada SNKM dijumpai hal-hal sebagai
berikut pada umunya :
o Anak berumur 1-6 tahun
o Tidak ada hipertensi
o Tidak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis
o Fungsi ginjal normal
o Titer komplemen C3 normal
o Respons terhadap kortikosteroid baik sekali.
Oleh karena itulah, bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejala diatas dan
mengingat bahwa SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada beberapa penelitian
tidak dilakukan biopsi ginjal. 7,8

3.4.2 Patogenesis
Yang dimaksud dengan SN ialah SN yang idiopatik dengan kelainan histologik
berupa SNKM. Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya SN pada anak yaitu
Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibody sehingga terjadi
reaksi antigen dan antibody yang larut (soluble) dalam darah. SAAC ini
kemudian menyebabkan system komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga
komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian
terperangkap di bawah epitel kapsula Bowman yang secara imunofloresensi
terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS sepanjang membrane basalis
glomerulus (mbg) berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada
dalam HUMPS ini lah yang menyebabkan permeabilitas mbg terganggu sehingga
eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati mbg sehingga dapat dijumpai dalam
urine. 7,8
Perubahan Elektrokemis
Selain perubahan struktur mbg, maka perubahan elektrokemis dapat juga
mneimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan
terpenting pada glomerulus berupa gangguan fungsi elektrostatik ( sebagai sawar
glomerulus terhadap filtrasi protein ) yaitu hilangnya fixed negative ion yang
terdapat pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini
maka permeabilitas mbg terhadap protein berat molekul rendah seperti albumin
meningkat sehingga albumin dapat keluar bersama urine. 7,8

3.5 Manifestasi Klinik


Gejala sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra dan pretibia.
Edema palpebra timbul pada saat bangun tidur, semakin siang edema palpebra akan
semakin berkurang namun akan tampak edema pretibia. Apabila lebih berat akan disertai
asites, edema skrotum/labia, dan efusi pleura. Ketika sudah terdapat efusi pleura dapat
timbul gejala sesak napas. Asites dan sesak napas sering menyebabkan anak menjadi
rewel, tidak mau makan, tampak lemah, nyeri perut, dan gejala lain. Protein yang terdapat
dalam urin menyebabkan urin menjadi berbuih. Gejala lain yang dapat timbul namun
jarang terjadi misalnya hipertensi, hematuria, diare, dan lain-lain. Pada sindrom nefrotik
sekunder akan disertai gejala penyakit dasarnya.sariped
Adapun manifesitasi klinik dari sindrom nefrotik adalah :
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang
tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul
secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase
awal edema sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-
daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misalnya daerah
periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema menjadi menyeluruh dan masif
(anasarka).
o Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai edema
muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak
pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan
edema hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Edema
biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-
pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan
hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.
o Edema paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe
kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, edema biasanya terbatas pada
daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah
periorbita, skrotum, labia. Edema bersifat menyeluruh, dependen dan
pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak
dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi
berupa tachypnea. Akibat edema kulit, anak tampak lebih pucat.
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema
mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau
edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang
berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena edema
dinding perut atau pembengkakan hati.
Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein
mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-
steroid.
Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini
dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat
dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang
sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan
respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh
anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama
menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%
pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil
umur.

Tanda sindrom nefrotik yaitu :


Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari.
Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien
dengan tipe yang lain.
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5
g/dL.
Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya,
berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan
VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap
tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun
tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit.
Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum
biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal
tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak
langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG
ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran
ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal. 7,8

3.6 Diagnosis
Adanya proteinuria +1 atau lebih pada dua atau tiga kali pemeriksaan urin sewaktu
menunjukkan proteinuria peristen yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Nilai UPr/Kr
diatas 0,2 pada sampel urin yang diambil pagi hari saat bangun tidur mengeksklusi
proteinuria ortostastik. Nilai UPr/Kr diatas 0,2 menunjukkan kadar nefrosis.
Selain proteinuria, hiperkolesterolemia, dan hipoalbuminemia, pemeriksaan rutin
pada kasus SN adalah pemeriksaan kadar komplemen C3 serum. Kadar komplemen C3
yang rendah merupakan petunjuk lesi selain SNKM sehingga terindikasi untuk
pemeriksaan biopsi ginjal sebelum pemberian terapi steroid. Hematuria mikroskopik
dapat ditemukan pada 25 % SNKM namun tidak dapat memprediksi respon terhadap
steroid. Pemeriksaan laboratorium tambahan: kadar elektrolit, blood urea nitrogen
(BUN), kreatinin, kadar protein total dan kadar albumin ditentukan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pemeriksaan USG ginjal seringkali berguna dan biopsi
ginjal dilakukan sesuai indikasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.3
1) Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan
lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
2) Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang
ditemukan hipertensi.
3) Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :
Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan albumin secara kualitatif +2 sampai +4.
Secara kuantitatif > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa memakai reagen ESBACH ).
Pada sedimen ditemukan oval fat bodies yakni epitel sel yang mengandung butir-
butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin dan toraks
eritrosit.
Pada pemeriksaan darah didapatkan protein total menurun (N:6,2-8,1 gm/100ml),
albumin menurun (N: 4-5,8 gm/100ml), 1 globulin normal (N: 0,1-0,3
gm/100ml), 2 globulin meninggi (N:0,4-1 gm/100ml), globulin normal (N: 0,5-
09 gm/100ml), globulin normal (N:0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1
(N:3/2), komplemen C3 normal/rendah (N:80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin
dan klirens kreatinin normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal,
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat.
Foto Thorax PA dan LDK dilakukan bila ada sindrom gangguan nafas untuk
mencari penyebabnya apakah pneumonia atau edema paru akut.
Pemeriksaan histologik yaitu biopsy ginjal. Namun biopsy ginjal secara perkutan
atau pembedahan bersifat invasive, maka biopsy ginjal hanya dilakukan atas
indikasi tertentu dan bila orang tua dan anak setuju. 7,8

3.7 Diagnosis Banding


Proteinuria Transien, ditemukan setelah latihan berat, demam, dehidrasi, kejang dan
terapi agonis adrenergic. Biasanya proteinuria bersifat ringan (UPr/Kr < 1), berasal dari
glomerulus, dan membaik dalam beberapa hari. Hal tersebut tidak mengindikasikan
adanya kelainan ginjal.3
Proteinuria Postural, terjadi saat berdiri,sedangkan bila berbaring, ekskresi protein
berada dalam rentang normal. Proteinuria jenis ini merupakan tipe glomerular, biasanya
ditemukan pada remaja yang tinggi, kurus dan tidak berhubungan dengan kelainan ginjal
yang progresif. Beberapa anak mengalami keadaan ini sampai memasuki masa dewasa.3
Proteinuria Tubular, ditandai dengan pengeluaran protein dengan berat molekul rendah
dalam jumlah besar dan biasanya dihubungkan dengan nekrosis tubular akut (NTA),
pielonefritis, kelainan struktur ginjal, penyakit ginjal polikistik, dan toksin tubular seperti
antibiotik dan obat kemoterapi tertentu. Suatu kondisi proteinuria tubular yang disertai
kebocoran elektrolit dan glikosuria, disebut sindrom Fanconi.3
Proteinuria Glomerular, ditandai dengan proteinuria yang terdiri atas protein dengan
berat molekul besar dan kecil disertai bukti penyakit glomerular (hematuria, hipertensi,
dan insufisiensi ginjal). Proteinuria glomerular terjadi pada disrupsi kapilar gromelurus
(sindrom hemolitik uremik, glomerulonefritis kresentik); deposisi kompleks imun di
kapilar glomerulus (glomerulonefritis pasca-streptococcus dan nefritis lupus; dan
peningkatan permeabilitas kapilar glomerulus (SNKM, SN kongenital).3

Diagnosis banding lainnya :


1. Edema non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal.
2. Glomerulonefritis akut
3. Sindrom Nefritik
4. Lupus sistemik eritematosus. 7,8

Tabel 2. Perbedaan Sindrom Nefrotik dan Sindrom Nefritik

3.8 Tatalaksana
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa
memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus.
Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari. Untuk
menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik
digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut : 7,8
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik

Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam


selama 3 hari berturut-turut.
Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari
berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh tidak Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode
sering 12 bulan.

Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau 4
kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi
steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid
dihentikan.
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison
60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari
tanpa tambahan terapi lain.
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal.
Nonresponder Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-
lambat steroid.

PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk
memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan
sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
CD =4 minggu
AD/ID =4 minggu Tapp.off(remisi)

Stop
Mg 1 2 3 4 5 6 7 8

Remisi Remisi
Gambar protocol pengobatan sindrom nefrotik (serangan 1)
CD = Continuous day : prednisone 60mg/m2/hari atau 2 mg/kgBB/hari
ID = Intermittent day : prednisone 40mg/m2/hari atau 2/3 dosis CD,diberikan 3 hari
berturut turut dalam 1 minggu
AD = Pemberian prednisone berselang-seling sehari

o Sindrom nefrotik serangan pertama


1. Perbaiki keadaan umum penderita :
Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Protein 1-2
gr/kgBB/hari, bila ureum dan kreatinin meningkat diberi protein 0,5-1 gr. Kalori
rata-rata 100 kalori/kgBB/hari. Garam dibatasi bila edema hebat. Bila tanpa
edema, diberi 1-2 mg/hari. Pembatasan cairan bila terdapat gejala-gejala gagal
ginjal. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada
pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat.
Berantas infeksi.
Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Metode
yang lebih efektif dan fisiologik untuk mengurangi edema ialah merangsang
diuresis dengan pemberian albumin (salt poor albumin) 0,5-1 mg/kgBB selama
1 jam disusul kemudian oleh furosemid IV 1-2 mg/kbBB/hari. Pengobatan ini
dapat diulang setiap 6 jam kalau perlu. Diuretik yang biasa dipakai ialah diutetik
jangka pendek seperti furosemid atau asam etakrinat. Jika ada hipertensi, dapat
ditambahkan obat antihipertensi. 7,8
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi
spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau
kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu
waktu 14 hari.

o Sindrom nefrotik kambuh (relapse)


A. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan.
B. Perbaiki keadaan umum penderita.
Cara pemberian pada relapse seperti pada serangan I, hanya CD diberikan sampai
remisi (tidak perlu menunggu sampai 4 minggu)
CD
AD/ID Tapp.Off

Stop
Mg1 2 3 4
Remisi Remisi

o Sindrom Nefrotik Nonresponder : Tidak ada respons sesudah 8 minggu pengobatan


prednisone
CD pred CD imunosupresan + ID pred
(40mg/m2/hr)
ID pred

1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Remisi (-)
Setelah 8 minggu pengobatan prednisone tidak berhasil, pengobatan selanjutnya
dengan gabungan imunosupresan lain ( endoxan secara CD dan prednisone 40
mg/m2/hr secara ID)

o Sindrom Nefrotik Frequent Relapser : initial responder yang relaps >= 2 kali dalam
waktu 6 bulan pertama.
CD imunosupresan + CD prednisone 0,2 mg/kg/hr

1 2 3 4 5 6 7 8
Diberikan kombinasi pengobatan imunosupresan lain dan prednisone 0,2
mg/kgBB/hr, keduanya secara CD.

o Sindrom nefrotik kambuh tidak sering


Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali
dalam masa 12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.

Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison
dihentikan.
o Sindrom nefrotik kambuh sering
adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali
dalam masa 12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis
prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu,
kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1
minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison
dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari
diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan.
Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons
terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra
steroid atau untuk biopsi ginjal. 7,8

3.9 Komplikasi
Komplikasi utama SN adalah infeksi. Kejadian infeksi serius meningkat, terutama
bacteremia dan peritonitis (khususnya infeksi Streptococcus pneumonia, Escherichia coli,
atau klebsiella), yang disebabkan oleh hilangnya immunoglobulin dan komplemen di
urin. Efek samping steroid juga banyak ditemukan pada pasien yang resisten steroid atau
relaps
o Infeksi sekunder : mungkin karena kadar immunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia
o Syok : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (<1 gm/100 ml) yang
menyebabkan hipovolemi berat sehingga terjadi syok.
o Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan system koagulasi sehingga terjadi
peninggian fibrinogen plasma atau factor V,VII,VIII dan X. Trombus lebih sering
terjadi di system vena apalagi bila disertai pengobatan kortikosteroid.
o Komplikasi lain yang bisa timbul ialah malnutrisi atau kegagalan ginjal.3

3.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5.Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal. Misalnya pada focal
glomerulosklerosis, membranoproliferative glomerulonephritis mempunyai prognosis
yang kurang baik karena sering mengalami kegagalan ginjal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid. 7,8

Anda mungkin juga menyukai