Case Anak SN 1
Case Anak SN 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom nefrotik (SN) merupakan kelainan ginjal terbanyak dijumpai pada anak, dengan
angka kejadian 15 kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Insidennya sekitar 2-
3/100.000 anak per tahun, dan sebagian besar anak SN merupakan tipe sensitif terhadap
pengobatan steroid yang dimasukkan sebagai kelainan minimal.1-4
Pengobatan SN anak yang baru pertama kali kena dengan gejala edema ringan dapat
dilakukan rawat jalan. Anak SN pada rentan usia 1-8 tahun diduga merupakan SN
kelainan minimal. Oleh karena itu pasien dapat diobati tanpa didahului dengan biopsi
ginjal. Sebagian besar pasien dengan SN kelainan minimal akan mengalami kekambuhan
dan frekuesi relaps akan menurun sesuai dengan umur yang bertambah.
BAB II
PRESENTASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Ibu :J
Masuk RS : 29/11/2016 Umur : 29 Tahun
Tgl. Diperiksa : 8/12/2016 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis ibu pasien)
5. Riwayat makanan :
6. Riwayat imunisasi :
Menurut keterangan ibu pasien, pasien sudah di imunisasi lengkap, tetapi ibu
pasien tidak ingat apa saja jenis imunisasi yang sudah diberikan. Terakhir imunisasi
campak usia 9 bulan,
Antropometri :
Berat Badan (BB) : 10 kg
Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) : 84 cm
Lingkar kepala : 46 cm
Lingkar lengan atas :-
BB/U : -3 SD (kurang)
TB/U : -3 SD (kurang)
BB/TB : -1 SD (normal)
BMI : 14,28 (kurus)
Lingkar kepala : Normocephal
B. Pemeriksaan Khusus
Belakang:
Kanan Kiri
Inspeksi Pergerakan simetris Pergerakan simetris
10. Abdomen : Lemas, turgor kulit kembali cepat, bising usus terdengar,
hepar tidak teraba, lien tidak teraba
11. Akral teraba hangat, Capilary Refill Time kurang dari 2 detik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah Lengkap (29/11/2016)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Lengkap :
Hemoglobin 12.3 gr/dL 11.5-16.5
Hematokrit 38.4 % 35.0-49.0
Lekosit 13.4 10^3/uL 4000-11000
Trombosit 343 10^3/uL 150000-450000
Eritrosit 4.50 mm3 4.1-5.8
Index Eritrosit :
MCV 85.3 fl 79-99
MCH 27.3 pg 27-31
MCHC 32.0 g/dL 33-37
RDW 15.4 fL 33-47
MPV 7.2 fL 7.9-11.1
PDW 13.4 fL 9.0-13.0
Hitung Jenis
(DIFF) :
Eosinofil 0 % 0-3
Basofil 0 % 0-1
Segmen 59.2 % 25-70
Limfosit 31.9 % 20-40
Monosit 8.9 % 0-9
Stab 0 % 35-47
GDS 100 Mg/dL 70-140
Feces Lengkap (29/11/2016)
Makroskopis:
Warna Kuning Hijau Coklat;Kuning
Konsistensi Lembek Biasa
Darah Negatif Negatif
Darah Samar - Negatif
Lendir Positif Negatif
Mikroskopis
Lekosit (+) 4 6 Negatif
Eritrosit (+) 0 2 Negatif
Amoeba Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Telur Cacing Negatif Negatif
Elektrolit (30/11/2016)
Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Natrium 144 mmol/l 135 155
Kalium 2.8 mmol/l 3.5 5.5
Klorida 109 mmol/l 95 105
Kimia Klinik:
Ureum 7.9 mg/dl 10 45
Kreatinin 0.16 mg/dl 0.50 1.10
Albumin 2.92 g/dl 3.5 5.2
Kimia Klinik:
Ureum 12.8 mg/dl 10 45
Kreatinin 0.18 mg/dl 0.50 1.10
Albumin 3.17 g/dl 3.5 5.2
Feces Lengkap (10/12/2016)
Makroskopis:
Warna Kuning Hijau Coklat;Kuning
Konsistensi Lembek Biasa
Darah Negatif Negatif
Lendir Positif Negatif
Mikroskopis
Lekosit (+) 2 3 Negatif
Eritrosit (+) 1 3 Negatif
Amoeba Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Telur Cacing Negatif Negatif
KESAN:
Subdural hygroma frontalis
Tak tampak perdarahan intracerebri maupun intracerebellar
V. RESUME
Pasien berumur 3 tahun diantar oleh ibunya dengan keluhan demam 10 hari
sebelum masuk rumah sakit, demam dirasakan tinggi terus menerus. Ada keluhan mual
dan muntah sebelumnya. Tidak ada keluhan batuk dan pilek. Pasien bab cair 2 kali/hari
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak terdapat ampas, lendir atau darah. Tidak
ada keluhan dalam buang air kecil. Orang tua pasien mengeluh bahwa anaknya susah
makan dan minum.
Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit sedang dengan kesadaran
composmentis, dengan tanda vital pasien seperti nadi, yaitu 70 kali per menit, suhu
37,8C, dan frekuensi pernafasan 28 kali per menit. Berat badan 10 kg dan tinggi badan
84 cm.
2. Rencana pengobatan :
Pasien diberikan KAEN 1B 10 tetes per menit, antrain 3 x 100 mg, ranitidine 2 x 10
mg, ondansentron 3 x 0,2 mg, ceftazidin 3 x 500 mg.
3. Rencana Pemantauan :
Pantau tanda vital pasien
Pantau gejala penyakit penyerta
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : as malam
FOLLOW UP
Tanggal 29/11/2016
S/ Pasien masih demam hari ke 3, BAB cair 3x berwarna hijau ampas (+), lendir (+),
darah (-), muntah (-). Pasien masih susah untuk makan dan minum. Bengkak pada kedua
kaki (+/+). Kateter terisi urine, berwarna agak kemerahan, urine terisi 50cc. Mata sebelah
kanan?
Tanggal 30/11/2016
S/ Orang tua pasien masih mengeluh demam naik turun. Bengkak pada kaki berkurang,
BAB cair 4x/hari, ampas (+), lendir (+), darah (+), muntah tidak ada. BAK masih
berwarna merah, kateter terisi 80cc.
Cek Elektrolit
Tanggal 1/12/2016
S/ Pasien masih mengeluh demam hari ke 13. Keluhan mual dan muntah tidak ada.
Mengeluh masih batuk tetapi tidak ada pilek. Bak dalam batas normal. Bab masih
berlendir dan berwarna coklat. Orang tua masih mengeluh pasien susah untuk makan.
3.1 Definisi
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Yang dimaksud proteinuria masif
adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih.
Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-
gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-
kadang azotemia.7,8
Sindrom nefrotik idiopatik merupakan bentuk terbanyak dari sindrom nefrotik pada
anak yang tidak diketahui penyebabnya. Angka kejadian sindrom nefrotik idiopatik berkisar
1-3/100.000 anak <16 tahun.1 Di Indonesia diperkirakan 6 kasus per tahun dari setiap
100.000 anak kurang dari 14 tahun.2 Sebagian besar (80%) akan memberikan respon
terhadap pengobatan kortikosteroid (SNSS), 20% tidak memberikan respon dan
diklasifikasikan sebagai resisten steroid (SNRS).6
3.2 Epidemiologi
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar ( 74% ) dijumpai pada
usia 2-7 tahun dengan perbandingan wanita dan pria 1:2. Pada remaja dan dewasa rasio
ini berkisar 1:1. 7,8
Sindrom nefrotik dapat terjadi primer atau sekunder. Anak yang memperlihatkan
gambaran SN primer, sebelum dilakukan biopsy ginjal, dianggap menderita SN idiopatik.
Pada anak, kelainan patologi anatomi yang paling sering ditemukan adalah sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM). Lebih dari 80% penderita SN berusia kurang dari 7
tahun menunjukkan kelainan SNKM. Pada anak berusia 7-16 tahun yang menderita SN,
memiliki peluang 50% untuk menderita SNKM, dan anak lelaki terkena lebih sering
daripada perempuan (2:1).3
Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun dengan perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1. Perbandingan kasus pada laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan, lebih banyak berlaku pada masa anak dan rasio tersebut berubah pada SN
yang dijumpai pada remaja dan usia dewasa.5,9
Penyebab utama umum sindrom nefrotik termasuk penyakit ginjal seperti perubahan-
minimal nephropati, kolitis nephropati, dan proses glomerulosklerosis focal. Penyebab
sekundernya adalah penyakit sistemik seperti diabetes melitus, lupus eritematosus, dan
amyloidosis. Kelainan bawaan dan keturunan dengan glomerulosklerosis fokal mungkin
akibat dari mutasi gen-gen yang mengode untuk protein podosit, termasuk nephrin,
podocin, atau saluran kation 6 protein. Sindrom nefrotik dapat terjadi karena
penyalahgunaan obat, seperti heroin.
Kisaran proteinuria pada nefrotik terjadi pada kehamilan trimester ketiga adalah
penemuan klasik preeklamsia. Dalam keadaan seperti ini, juga dikenal sebagai toksemia,
hipertensi. Dapat terjadi de novo atau superimposed pada penyakit ginjal kronik lainnya.
Dalam kasus yang berikutnya, di sana akan telah memutarkhirkan proteinuria yang akan
memburuk selama kehamilan.
Obat-obatan dapat menyebabkan sindrom nefrotik. Hal ini termasuk kejadian yang
sangat jarang dari perubahan nephropati minimal dengan penggunaan OAINS, dan
kejadian kolitis nephropati dengan administrasi dari penicillamine dan emas, obat-obatan
yang lebih lama digunakan untuk penyakit reumatik; telah dilaporkan juga laporan
tentang proses glomerulosklerosis dalam association dengan focal bisphosphonates
intravena. Terapi litium dan interferon juga yang ditimbulkan dalam terapi proses
glomerulosklerosis fokal tipe kolaps 2
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom
nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan
pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering
dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom
nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak
itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan
menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in
Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan
mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan
mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan
klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan
terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in
Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971). 7,8
Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
2. Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute
Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.
4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,
purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor gastrointestinal.
6. Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome7,8
o Proteinuria
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif
tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar
kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Edema muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma
ke ruang interstitial.
Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti eksresi protein > 50
mg/kgBB/hari atau >40 mg/m2/jam atau secara kualitatif proteinuria +++ sampai ++++.
Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan mbg , maka proteinuria dapat dipakai
sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang
diukur adalah Index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan cara
mengukur ratio antara Clearance IgG dan Clearence Transferin.
ISP = Clearance IgG
Clearance Transferin
Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang secara klinik
menunjukkan kerusakan glomerulus ringan dan respons terhadap kortikosteroid baik. Bila
ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective Proteinuria) yang secara klinik
menunjukkan kerusakan glomerulus berat dan tidak adanya respons terhadap
kortikosteroid. 7,8
o Hiperlipidemia
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang
lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun
dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Dikatakan
hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang meninggi ( kolesterol > 250
mg/100 ml ) tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen
lemak itu adalah kolesterol, Low Density Lipoprotein(LDL), Very Low Density
Lipoprotein(VLDL), dan trigliserida (baru meningkat bila plasma albumin < 1gr/100 mL.
Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-
banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel sel hepar juga akan membuat
VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL pleh lipoprotein lipase.
Tetapi, pada SN aktivitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan
tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktivitas lipoprotein
lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat
keluarnya protein ke dalam urine. Jadi, hiperkolesteronemia ini tidak hanya disebabkan
oleh produksi yang berlebihan , tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid. 7,8
o Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia terjadi apabila kadar albumin dalam darah < 2,5 gr/100 ml.
Hipoalbuminemia pada SN dapat disebabkan oleh proteinuria, katabolisme protein yang
berlebihan dan nutrional deficiency. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi
cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang
menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul
sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler
tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan
demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat
ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air,
sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis
ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar
renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak
semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita
sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan
aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut
teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium
renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.
Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen
interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan
kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia. 7,8
o Edema
Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan
atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit
glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari
satu.3Edema mula-mula nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema
yang hebat / anasarca sering disertai edema genitalia eksterna. Edema anasarca terjadi
bila kadar albumin darah < 2 gr/ 100 ml. Selain itu, edema anasarca ini dapat
menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus. Akibat
anoreksia dan proteinuria masif, anak dapat menderita PEM. Hernia umbilikalis, dilatasi
vena, prolaps rekstum dan sesak nafas dapat pula terjadi akibat edema anasarca ini. 7,8
Pada umumnya tipe SNKM mempunyai gejala-gejala klinik yang disebut diatas
tanpa gejala-gejala lain. Oleh karena itu, secara klinik SNKM ini dapat dibedakan dari
SN dengan kelainan histologis tipe lain yaitu pada SNKM dijumpai hal-hal sebagai
berikut pada umunya :
o Anak berumur 1-6 tahun
o Tidak ada hipertensi
o Tidak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis
o Fungsi ginjal normal
o Titer komplemen C3 normal
o Respons terhadap kortikosteroid baik sekali.
Oleh karena itulah, bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejala diatas dan
mengingat bahwa SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada beberapa penelitian
tidak dilakukan biopsi ginjal. 7,8
3.4.2 Patogenesis
Yang dimaksud dengan SN ialah SN yang idiopatik dengan kelainan histologik
berupa SNKM. Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya SN pada anak yaitu
Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibody sehingga terjadi
reaksi antigen dan antibody yang larut (soluble) dalam darah. SAAC ini
kemudian menyebabkan system komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga
komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian
terperangkap di bawah epitel kapsula Bowman yang secara imunofloresensi
terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS sepanjang membrane basalis
glomerulus (mbg) berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada
dalam HUMPS ini lah yang menyebabkan permeabilitas mbg terganggu sehingga
eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati mbg sehingga dapat dijumpai dalam
urine. 7,8
Perubahan Elektrokemis
Selain perubahan struktur mbg, maka perubahan elektrokemis dapat juga
mneimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan
terpenting pada glomerulus berupa gangguan fungsi elektrostatik ( sebagai sawar
glomerulus terhadap filtrasi protein ) yaitu hilangnya fixed negative ion yang
terdapat pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini
maka permeabilitas mbg terhadap protein berat molekul rendah seperti albumin
meningkat sehingga albumin dapat keluar bersama urine. 7,8
3.6 Diagnosis
Adanya proteinuria +1 atau lebih pada dua atau tiga kali pemeriksaan urin sewaktu
menunjukkan proteinuria peristen yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Nilai UPr/Kr
diatas 0,2 pada sampel urin yang diambil pagi hari saat bangun tidur mengeksklusi
proteinuria ortostastik. Nilai UPr/Kr diatas 0,2 menunjukkan kadar nefrosis.
Selain proteinuria, hiperkolesterolemia, dan hipoalbuminemia, pemeriksaan rutin
pada kasus SN adalah pemeriksaan kadar komplemen C3 serum. Kadar komplemen C3
yang rendah merupakan petunjuk lesi selain SNKM sehingga terindikasi untuk
pemeriksaan biopsi ginjal sebelum pemberian terapi steroid. Hematuria mikroskopik
dapat ditemukan pada 25 % SNKM namun tidak dapat memprediksi respon terhadap
steroid. Pemeriksaan laboratorium tambahan: kadar elektrolit, blood urea nitrogen
(BUN), kreatinin, kadar protein total dan kadar albumin ditentukan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pemeriksaan USG ginjal seringkali berguna dan biopsi
ginjal dilakukan sesuai indikasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.3
1) Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan
lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
2) Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang
ditemukan hipertensi.
3) Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :
Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan albumin secara kualitatif +2 sampai +4.
Secara kuantitatif > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa memakai reagen ESBACH ).
Pada sedimen ditemukan oval fat bodies yakni epitel sel yang mengandung butir-
butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin dan toraks
eritrosit.
Pada pemeriksaan darah didapatkan protein total menurun (N:6,2-8,1 gm/100ml),
albumin menurun (N: 4-5,8 gm/100ml), 1 globulin normal (N: 0,1-0,3
gm/100ml), 2 globulin meninggi (N:0,4-1 gm/100ml), globulin normal (N: 0,5-
09 gm/100ml), globulin normal (N:0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1
(N:3/2), komplemen C3 normal/rendah (N:80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin
dan klirens kreatinin normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal,
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat.
Foto Thorax PA dan LDK dilakukan bila ada sindrom gangguan nafas untuk
mencari penyebabnya apakah pneumonia atau edema paru akut.
Pemeriksaan histologik yaitu biopsy ginjal. Namun biopsy ginjal secara perkutan
atau pembedahan bersifat invasive, maka biopsy ginjal hanya dilakukan atas
indikasi tertentu dan bila orang tua dan anak setuju. 7,8
3.8 Tatalaksana
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa
memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus.
Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari. Untuk
menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik
digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut : 7,8
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik
Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau 4
kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi
steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid
dihentikan.
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison
60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari
tanpa tambahan terapi lain.
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal.
Nonresponder Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-
lambat steroid.
PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk
memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan
sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
CD =4 minggu
AD/ID =4 minggu Tapp.off(remisi)
Stop
Mg 1 2 3 4 5 6 7 8
Remisi Remisi
Gambar protocol pengobatan sindrom nefrotik (serangan 1)
CD = Continuous day : prednisone 60mg/m2/hari atau 2 mg/kgBB/hari
ID = Intermittent day : prednisone 40mg/m2/hari atau 2/3 dosis CD,diberikan 3 hari
berturut turut dalam 1 minggu
AD = Pemberian prednisone berselang-seling sehari
Stop
Mg1 2 3 4
Remisi Remisi
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Remisi (-)
Setelah 8 minggu pengobatan prednisone tidak berhasil, pengobatan selanjutnya
dengan gabungan imunosupresan lain ( endoxan secara CD dan prednisone 40
mg/m2/hr secara ID)
o Sindrom Nefrotik Frequent Relapser : initial responder yang relaps >= 2 kali dalam
waktu 6 bulan pertama.
CD imunosupresan + CD prednisone 0,2 mg/kg/hr
1 2 3 4 5 6 7 8
Diberikan kombinasi pengobatan imunosupresan lain dan prednisone 0,2
mg/kgBB/hr, keduanya secara CD.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison
dihentikan.
o Sindrom nefrotik kambuh sering
adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali
dalam masa 12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis
prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu,
kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1
minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison
dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari
diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan.
Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons
terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra
steroid atau untuk biopsi ginjal. 7,8
3.9 Komplikasi
Komplikasi utama SN adalah infeksi. Kejadian infeksi serius meningkat, terutama
bacteremia dan peritonitis (khususnya infeksi Streptococcus pneumonia, Escherichia coli,
atau klebsiella), yang disebabkan oleh hilangnya immunoglobulin dan komplemen di
urin. Efek samping steroid juga banyak ditemukan pada pasien yang resisten steroid atau
relaps
o Infeksi sekunder : mungkin karena kadar immunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia
o Syok : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (<1 gm/100 ml) yang
menyebabkan hipovolemi berat sehingga terjadi syok.
o Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan system koagulasi sehingga terjadi
peninggian fibrinogen plasma atau factor V,VII,VIII dan X. Trombus lebih sering
terjadi di system vena apalagi bila disertai pengobatan kortikosteroid.
o Komplikasi lain yang bisa timbul ialah malnutrisi atau kegagalan ginjal.3
3.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5.Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal. Misalnya pada focal
glomerulosklerosis, membranoproliferative glomerulonephritis mempunyai prognosis
yang kurang baik karena sering mengalami kegagalan ginjal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid. 7,8