Beberapa sumber mendefinisikan Post Traumatic Stress Disorder sebagai berikut: Post
Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah
peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan
dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam (American Psychological
Association, 2004). Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang
dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau membuat
anda merasa tidak berdaya (Smith & Segal, 2008).
Faktor-faktor penyebab PTSD
Kejadian traumatic
Trauma masa kecil
Trauma fisik
Prosedur medikasi
Jenis kepribadian introvert
Lingkungan kerja
Tingkat spiritual
Tingkat pendidikan
Pengalaman
Faktor presipitasi :
Bencana alam, perang, kehilangan, kekerasan .
Faktor Psikodinamika:
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas
fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh
ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan,
superego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian
traumatic tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsive tidak
terkendali.
Biologis
Dari hasil penelitin, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan eliminasi katekolamin
yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala dan hipokampus.
Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak dapat belajar.
Amigdala sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta lokasi
waktu dan ruang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat otak membuat hubungan
perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan dalam bentuk mimpi
buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain.
Dinamika Keluarga
Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan perkiraan yang
signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku
orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan PTSD.
Faktor psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada perkembangan
terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikalmenimbulkan emosi yang negatif ( sedih,
marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis
( fight or flight response).
Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang mengalami peristiwa trauma
kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari
dan merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan
mobil yang serius akan timbulrespon berupa ketakutan, berkeringat, takkardi setiap kali dia
melewatitempat kejadian tersebut.
Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma yang
dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan diulangi.
Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka iaakan berusaha untuk
menghindari berada di dalam mobil.
Modelling : merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan dalam
perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orangtua terhadap pengalaman traumatik anak
merupakan prediksi terhadap keparahan gejala PTSD anak.
Faktor sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan meningkatkan risiko
perkembangan PTSD setelah anak mengalami kejadian traumatik.
Gejala PTSD
Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah:
Pertama, mengalami kembali kejadian traumatic (re-eksperience). Seseorang kerap teringat
akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala flashback (merasa
seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-
kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu
oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
Kedua, penghindaran (avoidance) stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau
mati rasa dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir
tentang trauma atau menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut,
dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan
pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidak mampuan untuk merasakan berbagai
emosi positif. Gejala ini menunjukkan adanya penghindaran aktivitas, tempat, berpikir,
merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan
minat terhadaps emua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal.
Ketiga, gejala ketegangan (hyperarousal). Gejala ini meliputi sulit tidur atau
mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, wasapada berlebihan, respon terkejut yang
berlebihan, termasuk meningkatnya reaktivitas fisiologis
Fase-fase PTSD
Fase-fase keadaan mental pasca bencana:
a. Fase kritis
Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana terjadi selama kira-kira
kurang dari sebulan setelah menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan orang akan
mengalami gejala-gejala depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah
tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.
b. Fase setelah kritis
Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan penstabilan kejiwaan,
umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah bencana, pada fase ini telah tertanam
suatu mindset yang menjadi suatu phobia/trauma akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga
bila bencana tersebut terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan
pengalaman terdahulunya.
c. Fase stressor
Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat berlangsung seumur
hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma semua telah berubah.
Periode bencana menurut Rice (1999):
a. Periode impak hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini, korban selalu
diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini selalu berlangsung
singkat.
b. Periode penyejukan suasana (Recoil period) berlangsung beberapa hari selepas kejadian.
Pada periode ini, tampak bahwa para korban mulai merasakan diri mereka lapar dan mencari
bekal makanan untuk dimakan. Mereka tidak memahami bagaimana mereka harus memulihkan
keadaan dan mengganti harta benda mereka yang hilang.
c. Periode post traumatic (Recovery period) berlangsung lama, bahkan sepanjang hayat.
Periode ini berlangsung tatkala korban bencana berjuan untuk melupakan pengalaman yang
terjadi berupa tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang mereka alami.
Patofisiologi PTSD
Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD,
ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk
menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yangmungkin menyebabkan
kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti
hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus,mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin
untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak
depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun
begitu pada penelitianterhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami
kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.
Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini kemudian memicu
respon emosional termasuk fight, flight, or freezing" dan perubahan dalam hormon stress dan
katekolamin. Hipokampus dan korteks prefrontal medial (gambar 1) mempengaruhi respon
amigdala dalam menentukan respon ketakutan akhir. Ketika kita dalam keadaan takut dan
terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight . Dalam reaksi ini tubuh
mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,denyut jantung,
glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang makatubuh akan memulai proses
inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh
tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan
kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin.
Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon
stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini
mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam
kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan
fisik. Beberapa studi telah menemukan konsentrasi kortisol rendah orang dengan post-
traumatic stress disorder dan berlawanan menanggapi penindasan deksametason tes daripada
yang terlihat dengan depresi berat.
Dampak PTSD
Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fisik,
kognitif,emosi,behavior (perilaku),dan sosial.
Gejala gangguan fisik:
pusing,
gangguan pencernaan,
sesak napas,
tidak bisa tidur,
kehilangan selera makan,
impotensi, dan sejenisnya.
Gangguan kognitif:
gangguan pikiran seperti disorientasi,
mengingkari kenyataan,
linglung,
melamun berkepanjangan,
lupa,
terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan,
tidak fokus dan tidak konsentrasi.
tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana,
tidak mampu mengambil keputusan.
Gangguan emosi :
halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan memerlukan perawatan
aktif yang dini),
mimpi buruk,
marah,
merasa bersalah,
malu,
kesedihan yang berlarut-larut,
kecemasan dan ketakutan.
Gangguan perilaku :
menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Contoh, duduk berjam-jam
dan perilaku repetitif (berulang-ulang).
Gangguan sosial:
memisahkan diri dari lingkungan,
menyepi,
agresif,
prasangka,
konflik dengan lingkungan,
merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.
Non Farmakologi
A. Terapi perilaku kognitif atau CBT. Ada beberapa bagian untuk CBT, termasuk:
o Exposure therapy. Terapi ini membantu orang menghadapi dan mengendalikan ketakutan
mereka. Karena menghadapkan mereka ke trauma yang mereka alami dengan cara yang
aman. Menggunakan mental imagery, menulis, atau kunjungan ke tempat di mana peristiwa
itu terjadi. Terapis menggunakan alat ini untuk membantu orang dengan PTSD mengatasi
perasaan mereka. Terapi ini dapat dilakukan dengan 2 cara:
a. Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-
kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
b. Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman, tetapi ingin dihindarkan
karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat. Pengulangan situasi yang disertai
penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya
o Kognitif restrukturisasi. Terapi ini membantu orang memahami kenangan buruk. Kadang-
kadang orang mengingat kejadian berbeda dari bagaimana hal itu terjadi. Mereka mungkin
merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu
orang dengan PTSD melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis.
o Stress inoculation training. Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan
mengajar orang bagaimana untuk mengurangi kecemasan. Seperti restrukturisasi kognitif,
pengobatan ini membantu orang melihat kenangan mereka dengan cara yang sehat.
B. Cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang
mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban
kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi
adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa
pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi
pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim,
2005b).
C. EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan
informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagailandasan yang mendasari patologi
sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi,
sikap dan perilakukita.Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan memori
D. Anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu
mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis
dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama,
2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan
menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman,
bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala,
3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan
mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor),
4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi
tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang
memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b).
E. Terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD.
Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan
untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak
lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b).
F. Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak
kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam debriefing
yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan
perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban -korban trauma (Rose et al, 2002).
Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya (Small et
al., 2000). Meski begitu, Boyce dan Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan
debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika
melahirkan (Boyce & Condon, 2000).
G. Support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh peserta
merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana
tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan
tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama
lain (Swalm, 2005). Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam
sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai
trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan
beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan
merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari
trauma yang diderita dan melawan kecemasan (Anonim, 2005b).
H. Terapi psikodinamik berfokus pada membantu orang tersebut memeriksa nilai-nilai pribadi
dan konflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa traumatis.
I. Terapi keluarga mungkin berguna karena perilaku orang dengan PTSD dapat memiliki
mempengaruhi anggota keluarga lainnya.
Pengelolaan kesehatan jiwa pasca bncana dibagi 2 tahap:
1. Tahap I tahap kegawatdaruratan akut. Hal yang harus dilakukan pada tahap ini adalah
mengelola keluhan psikiatrik yang mendesak.
2. Tahap II Tahap rekonsolidasi dilakukan setelah 4 minggun pasca bencana. Kegiatan
berupa pendidikan psikologis, dukungan psikologis,, dan lain-lain.
Prognosis PTSD
PTSD dapat terjadi pada semua usia, bahkan di masa kecil. Pada penderita yang menerima
perawatan, durasi rata-rata gejala adalah sekitar 36 bulan. Pada pasien yang tidak menerima
pengobatan, Durasi rata-rata gejala meningkat ke 64 months. Lebih dari sepertiga pasien yang
memiliki PTSD pernah sepenuhnya recover. Faktor yang terkait dengan prognosis yang baik
termasuk keterlibatan cepat pengobatan dini, dukungan sosial yang berkelanjutan, menghindari
retraumatization, positif premorbid fungsi, dan tidak adanya gangguan kejiwaan lainnya atau
substansi abuse.
Komorbiditas PTSD terkait dengan tingkat peningkatan gangguan afektif, gangguan
kecemasan, dan penyalahgunaan obat. Data dari National Comorbidity Survey menunjukkan
bahwa setidaknya tambahan satu gangguan kejiwaan hadir dalam 88,3 persen pria dan 79,0
persen wanita yang memiliki riwayat PTSD. Selain itu,59 persen pria dan 44 persen wanita
yang telah PTSD memenuhi kriteria untuk tiga atau lebih kejiwaan diagnosis. Wanita yang
telah PTSD 4,1 kali lebih mungkin untuk mengembangkan depresi mayor dan 4,5 kali lebih
mungkin mengembangkan mania sebagai perempuan yang tidak memiliki PTSD.Men yang
memiliki PTSD 6,9 kali lebih mungkin mengembangkan depresi dan 10,4 kali lebih mungkin
untuk mengembangkan mania sebagai laki-laki yang tidak memiliki PTSD. Lebih dari satu
setengah pria dengan PTSD juga memiliki masalah alkohol komorbid, dan signifikan sebagian
pria dan wanita yang memiliki PTSD memiliki penggunaan zat terlarang-komorbid problem.
Pada pasien yang memiliki PTSD, fobia cenderung lebih besar dari yang umum gangguan
kecemasan atau gangguan panik, yang risiko hampir semua gangguan kecemasan meningkat
nyata dalam . Tingkat percobaan bunuh diri pada pasien yang memiliki PTSD diperkirakan 20
percent.
1 komentar:
1.
1. proses perilaku
Seperti yg telah dijelaskan di atas, ejakulasi dini mampu berjalan dikarenakan kamu
merasa terpojok. daya upaya perilaku sanggup dibilang tak runyam, kamu bisa jadi
dapat direkomendasikan guna masturbasi seputar tunggal, atau dua jam sebelum
lakukan senggama. tabiat ini ditujukan buat membimbing ejakulasi dini selagi kamu
bersambung seksual. rahasia yang lain yg sepertinya direkomendasikan yaitu
menghindari senggama selagi sekian banyak kala buat konsentrasi buat kategori
permainan/rangsangan seksual saja, maka tekanan yg menyulut pendapat dekat
pikiran kamu bisa dihilangkan.
- dapatkan otot yg sah. Caranya kamu dapat cobalah aktivitas mengganjal ajaran
kencing, atau kencangkan otot disaat kamu mengganjal buang udara. apabila kamu
telah meraih otot yg sahih, kamu dapat lakukan kegiatan ini kapan saja. Pastikan
perihal ini tak menciptakan kamu jadi mengganjal urin, atau menyangga buang cuaca,
lantaran dampaknya tak apik terhadap kesegaran. melakukan kegiatan tertera kala tak
mau buang air mungil atau buang angin.
- sejak mulai laksanakan usaha latihan. kamu mampu mengganjal otot basic panggul
sewaktu tiga detik, dulu lemaskan buat tiga detik seterusnya. waktu kamu merasakan
otot panggul telah sejak mulai menguat, kamu dapat melakukannya sambil bersila,
berdiri, atau berjalan
- Latih konsentrasi kamu. siap sedia terhadap tak latihan melenturkan otot perut, paha,
atau pantat. konsentrasi saja terhadap mengencangkan otot panggul. selagi latihan,
sebaiknya kamu bernapas leluasa saja, tak butuh menyangga napas Anda
- Ulangi latihan ini. supaya akhirnya maksimal laksanakan tiga kali pada sehari.
kalau, kamu telah bisa melakukannya sekian banyak kali, targetkan 10 kali klise dekat
sehari
Balas