Pancasila Dalam Orde Lama Prasejarah DLL
Pancasila Dalam Orde Lama Prasejarah DLL
Disusun Oleh:
Indriani Amelinda
135211018
2013/2014
A. Pancasila dalam Era Pra Kemerdekaan
Bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa asing mulai tahun 1511 sampai dengan 1945 yaitu
bangsa Portugis, Belanda, inggris dan Jepang. Selama penjajahan peristiwa yang menonjol
adalah tahun 1908 yang dikenal sebagai Gerakan Kebangkitan Nasional Pertama, yaitu
lahirnya organisasi pergerakan Budi Utomo yang dipelopori oleh Dr. Sutomo Dan Dr.
Wahidin Sudirohusodo, Dan 20 tahun kemudian pada tanggal 28 Oktober 1928 ditandai
dengan lahirnya Sumpah Pemuda sebagai titik awal dari kesadaran masyarakat untuk
berbangsa Indonesia, dimana putra putri bangsa Indonesia berikrar : BERBANGSA SATU,
BERTANAH AIR SATU, DAN BERBAHASA SATU : INDONESIA. Pernyataan ikrar ini mempunyai
nilai tujuan yang sangat strategis di masa depan yaitu persatuan dan kesatuan Indonesia.
Niiai yang terkandung selama penjajahan adalah Harga diri, solidaritas, persatuan dan
kesatuan, serta jati diri bangsa.
Dimulai dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1949; dimana pada tanggal 8 Maret 1948
Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang me!alui Perjanjian Kalijati. Selama
penjajahan Jepang pemuda pemudi Indonesia dilatih dalam olah kemiliteran dengan tujuan
untuk membantu Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya. Pelatihan tersebut melalui
Seinendan, Heiho, Peta dan lain-lain, sehingga pemuda Indonesia sudah memiliki bekal
kemiliteran. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu disebabkan
dibom atomnya kota Hirosima dan Nagasaki. Kekalahan Jepang kepada Sekutu dan
kekosongan kekuasaan yang terjadi di Indonesia digunakan dengan sebaik-baiknya oleh para
pemuda Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Dengan semangat juang yang tidak kenal
menyerah yang dilandasi iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta keikhlasan
berkorban telah terpatri dalam jiwa para pemuda dan rakyat Indonesia untuk merebut
kemerdekaannya, yang kemudian diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh
Soekarno-Hatta. Setelah merdeka bangsa Indonesia harus menghadapi Belanda yang ingin
menjajah kembali Indonesia dengan melancarkan aksi militernya pada tahun 1948 (Aksi
Militer Belanda Pertama) dan tahun 1948 (Aksi Militer Belanda Kedua), dan pemberontakan
PKI Madiun yang didalangi oleh Muso dan Amir Syarifuddin pada tahun 1948. Era merebut
dan mempertahankan kemerdekaan mengandung nilai juang yang paling kaya dan lengkap
sebagai titik kulminasinya adalah pada perang Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Nilai-nilai
kejuangan yang terkandung dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan adalah
sebagai berikut :
1.Nilai kejuangan relegius (iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa).
2. Nilai kejuangan rela dan ikhlas berkorban.
3. Nilai kejuangan tidak mengenal menyerah.
4. Nilai kejuangan harga diri.
5. Nilai kejuangan percaya diri.
6. Nilai kejuangan pantang mundur.
7. Nilai kejuangan patriotisme.
8. Nilai kejuangan heroisme.
9. Nilai kejuangan rasa senasib dan sepenanggungan.
10. Nilai kejuangan rasa setia kawan.
11. Nilai ke juangan nasionalisme dan cinta tahah air
12. Nilai kejuangan persatuan dan kesatuan.
B. Era Kemerdekaan
Pada awal mengisi kemerdekaan timbul berbagai masalah antara lain timbul
pergantian kabinet sebanyak 27 kali dan terjadinya berbagai pemberontakan-
pemberontakani seperti : DIITII, APRA, RMS, Andi Azis, Kahar Muzakar, PRRI/Permesta, dan
lain-lain serta terjadinya berbagai penyimpangan dalam penyelenggaraan negara sehingga
timbul Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali pada UUD 1945,
penyimpangan yang sangat mendasar adalah mengubah pandangan hidup bangsa
Indonesia Pancasila menjadi ideologi Komunis, yaitu dengan meletusnya peristiwa G30S/PKI.
Peristiwa ini dapat segera ditumpas berkat perjuangan TNI pada waktu itu bersama-sama
rakyat, maka lahir Orde Baru yaitu kembali kepada tatanan kehidupan yang baru dengan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara mumi dan konsekuen. Selama Orde Baru
pembangunan berjalan lancar, tingkat kehidupan rakyat perkapita naik, namun
penyelenggaraan negara dan rakyat bermental kurang baik sehingga timbul korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) mengakibatkan krisis keuangan, krisis ekonomi dan krisis moneter
serta akhimya terjadi krisis kepercayaan yang ditandai dengan turunnya Kepemimpinan
Nasional, kondisi tersebut yang menjadi sumber pemicu terjadinya gejolak sosial. Kondisi
demikian ditanggapi oleh mahasiswa dengan aksi-aksi dan tuntutan Reformasi, yang pada
hakekatnya reformasi adalah perubahan yang teratur, terencana, terarah dan tidak
merubah/menumbangkan suatu yang sifatnya mendasar Nilai yang terkandung pada era
mengisi kemerdekaan adalah semangat dan tekad untuk mencerdaskan bangsa,
mengentaskan kemiskinan dan memerangi keterbelakangan, kemandirian, penguasaan
IPTEK serta daya saing yang tinggi berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 sehingga siap
menghadapi abad ke-21 dalam era globalisasi.
Dari uraian tersebut diatas bahwa sejarah perjuangan bangsa memiliki peranan
dalam memberikan kontribusi niJai-niiai kejuangan bangsa dalam mempertahankan dan
mengisi kemerdekaan untuk tetap utuh dan tegaknya NKRI yaitu SATU INDONESIA SATU.
Proses Bangsa Yang Menegara.
Proses bangsa menegara adalah suatu proses yang memberikan gambaran tentang
bagaimana terbentuknya bangsa, di mana sekelompok manusia yang ada di dalamnya
merasakan sebagai bagian dari bangsa dan terbentuknya negara merupakan organisasi yang
mewadahi bangsa serta dirasakan kepentingannya oleh bangsa itu, sehingga tumbuh
kesadaran untuk mempertahankan tetap tegak dan utuhnya negara melalui upaya Bela
Negara. Dalam rangka upaya Bela Negara agar dapat terlaksana dengan baik apabila tercipta
pola pikir, sikap dan tindak/perilaku bangsa yang berbudaya sebagai dorongan/motivasi
adanya keinginan untuk sadar Bela Negara sebagai berikut : Bangsa Yang Berbudaya, artinya
bangsa yang mau melaksanakan hubungan dengan penciptanya Tuhan disebut Agama;
Bangsa Yang Mau Berusaha, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebut Ekonomi;
Bangsa Yang Mau Berhubungan Dengan lingkungan, berhubungan sesamanya dan alam
sekitarnya disebut Sosial; Bangsa Yang Mau Berhubungan Dengan Kekuasaan, disebut
Politik; Bangsa Yang Mau Hidup Aman Tenteram dan Sejahtera, berhubungan dengan rasa
kepedulian dan ketenangan serta kenyamanan hidup dalam negara disebut Pertahanan dan
Keamanan.
Pada zaman modern adanya negara lazim_ya dibenarkan oJeh anggapan-anggapan
atau pandangan kemanusiaan. Demikian pula halnya menurut bangsa Indonesia,
sebagaimana dirumuskan di dalam Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945, adanya Negara
Kesatuan Republik Indonesia ialah karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa sehingga
penjajahan, yang bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan harus
dihapuskan. Apabila dalil inj kita analisis secara teoritis, maka hidup berkelompok baik
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seharusnya tidak mencerminkan eksploitasi
sesama manusia (penjajahan) harus berperikemanusiaan dan harus berperikeadilan. Inilah
teori pembenaran paling mendasar dari pada bangsa Indonesia tentang bernegara. Hal yang
kedua yang memerlukan suatu analisa ialah bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa,
mengapa dalam penerapannya sering timbul pelbagai ragam konsep bernegara yang
kadang-kadang dapat saling bertentangan. Perbedaan konsep tentang negara yang dilandasi
oleh pemikiran ideologis adalah penyebab utamanya, sehingga perlu kita pahami filosofi
ketatanegaraan tentang makna kebebasan atau kemerdekaan suatu bangsa dalam
kaitannya dengan ideologinya. Namun di dalam penerapannya pada zaman modern, teori
yang universal ini didalam kenyataannya tidak diikuti orang. Kita mengenal banyak bangsa
yang menuntut wilayah yang sama, demikian pula halnya banyak pemerintahan yang
menuntut bangsa yang sama. Orang kemudian beranggapan bahwa pengakuan dari bangsa
lain, memerlukan mekanisme yang memungkinkan hal tersebut adalah lazim disebut
proklamasi kemerdekaan suatu negara.
Perkembangan pemikiran seperti ini mempengaruhi pula perdebatan di dalam PPKI, baik
didalam membahas wilayah negara maupun di dalam merumuskan Pembukaan UUD 1945
yang sebenarnya direncanakan sebagai naskah Proklamasi. Oleh karena itu merupakan
suatu kenyataan pula bahwa tidak satupun warga negara Indonesia yang tidak menganggap
bahwa terjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pada waktu Proklamasi 17
Agustus 1945, sekalipun ada pihak-pihak terutama luar negeri yang beranggapan berbeda
dengan dalih teori yang universal
C Pancasila dalam Era Orde Lama
Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang
terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil dalam
artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini. Stabilitas yang
entah semu atau memang riil tersebut, diiringi juga dengan maraknya pembangunan di
segala bidang. Era pembangunan, era penuh kestabilan, yang saat ini menimbulkan
romantisme dari banyak kalangan di negara ini, ditandai dengan semakin gencarnya
campaign piye kabare di seantero pelosok nusantara. Menariknya, dua hal yang menjadi
warna Indonesia di era Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak
lepas dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah (baca: Soeharto)
untuk semakin menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan;
Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan rakyat tidak
memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal, kala itu tentunya.
Hendro Muhaimin juga menambahkan bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri
terkesan menunggangi Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai
alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Pada dasarnya, yang salah bukanlah Pancasila,
karena Pancasila dibuat dari penggalian kepribadian bangsa ini, dari cerminan bangsa
Indonesia, maka para pemegang kekuasaan pada rezim itu, yang menggunakan Pancasila
secara politis, adalah pihak yang seharusnya bertanggungjawab akan gejolak-gejolak yang
terjadi, ujarnya. Namun disamping hal-hal tersebut, penanaman nilai-nilai Pancasila di era
Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia.
Kepedulian antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan
budaya gotong-royong kala itu sangat dijunjung tinggi.
Selain itu, contoh dari gencarnya penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari
penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang
menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi masyarakat,
komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas
utamanya. Apabila ada asas-asas organisasi lain yang ingin ditambahkan sebagai asasnya,
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Oleh karena itu, muncul juga anggapan bahwa
Pancasila dianggap sebagai pembius bangsa, karena telah melumpuhkan kebebasan
untuk berorganisasi.
Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah
dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi
kepentingan kekuasaan. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda
dengan apa yang terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada posisinya sebagai
alat pembenar rezim otoritarian baru di bawah Soeharto.
Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru
sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga
Pancasila oleh rezim orde baru kemudian ditafsirkan sedemikian rupa sehingga
membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Maka dari itu Pancasila perlu
disosialisasikan sebagai doktrin komprehensif dalam diri masyarakat Indonesia guna
memberikan legitimasi atas segala tindakan pemerintah yang berkuasa. dalam diri
masyarakat Indonesia. Adapun dalam pelaksanaannya upaya indroktinisasi tersebut
dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari pengkultusan Pancasila sampai dengan
Penataran P4.
- Penyimpangan Pancasila pada masa orde baru
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada demokrasi pancasila era Orde baru antara
lain :
a. Penyelenggaraan pemilu yang tidak jujur dan tidak adil,
b. Pengekangan kebebasan berpolitik bagi pegewai negri sipil (PNS),
c. Kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang tidak mandiri / tidak independen karena para
hakim adalah anggota PNS Departemen Kehakiman,
d. Kurangnya jaminan kebebasan mengemukakan pendapat,
e. Sistem kepartaian yang tidak otonomi dan berat sebelah,
f. Maraknya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme diberbagai bidang,
g. Menteri-menteri dan gubernur diangkat menjadi anggota MPR,
h. Organisasi sosial dipegang/dipangku oleh pejabat birokrasi.
Pada masa Orde Baru penguasa menjadikan Pancasila sebagai Ideologi politik, hal ini
bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan
keharusan elemen masyarakat (orpol dan kemasyarakatan serta seluruh sendi kehidupan
masyarakat ) yang harus berasaskan Pancasila.
Berbeda dengan saat era orde baru yang didominasi karismatik Bung Karno. Pada era
orde Baru Pancasila harus diterima masyarakat melalui indomtrinasi dan pemaksaan dalam
sistem pendidikan nasional yang membuat Pancasila melekat erat dalam kehidupan bangsa.
Era orde baru itu pemerintah menggunakan Pancasila sebagai alat untuk melegitimasi
berbagai produk kebijakan. Dengan berjalannya waktu muncul persoalan yaitu infrastruktur
politik terlalu larut dalam mengaktualisasi nilai dasar, sehingga mulai muncul wacana
adanya berbagai kesenjangan di tengah masyarakat .
Kondisi ini ditambah dengan bergulirnya globalisasi yang menjadikan tidak adanya lagi
sekat-sekat pemisah antarnegara sehingga pembahasan dan wacana yang mengaitkan
Pancasila dengan ideologi atau pemahaman liberalisasi, kapitalisasi dan sosialisasi tak
terelakkan lagi. Dibandingkan dengan ideologi liberal misalnya maka pemecahan persoalan
yang terjadi akan mudah karena ideologi liberal mempunyai konsep jelas ( kebebasan di
bidang ekonomi, ketatanegaraan, agama) demikian juga jika ideologi sosialis (komunis)
menjawab persoalan pasti rumusnya juga jelas yaitu dengan pemusatan pengaturan untuk
kepentingan kebersamaan. Pada pertengahan Orba mulai banyak wacana yang
menginginkan agar Pancasila nampak dalam kehidupan nyata, konkret, tidak angan-angan
semata ( utopia ). Itu berarti Pancasila menjadi ideologi praktis.
Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan
penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan.
Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan
dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik
rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem
politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang
harus dilupakan.
E. Peranan Pancasila di Era Reformasi
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara
dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia
memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama
terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Apalagi manakala dikaji perkembangannya secara konstitusional
terakhir ini dihadapkan pada situasi yang tidak kondusif sehingga kridibilitasnya menjadi
diragukan, diperdebatkan, baik dalam wacana politis maupun akademis.
1. Dengan berakhirnya peran sosial politik, maka paradigma baru TNI terus
diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial
politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian
dari sistem nasional.
Epistimologi, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan
metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu
pengetahuan ; yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang dicapainya
adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri. Aksilogi yaitu bahwa dengan
menggunakan epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan dan efek pengemabgnan ilmu
pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan Pancasila dan secara positif
mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila. Lebih dari itu, dengan penggunaan
Pancasila sebagai paradigma, merupakan keharusan bahwa Pancasila harus dipahami secara
benar, karena pada gilirannya nilai-nilai Pancasila kita jadikan asumsi-asumsi dasar bagi
pemahaman di bidang otologis, epistemologis, dan aksiologisnya.