A. Limbah Cair
Secara sederhana limbah cair dapat didefinisikan sebagai air buangan yang berasal
dari aktivitas manusia dan mengandung berbagai polutan yang berbahaya baik
cair dapat dibedakan atas limbah rumah tangga dan limbah industri, sedangkan
polutan yang terdapat dalam limbah dapat dibedakan atas polutan organik dan
polutan anorganik dan umumnya terdapat dalam bentuk terlarut atau tersuspensi.
Polutan yang terdapat dalam limbah cair merupakan ancaman yang cukup serius
terhadap biota perairan, polutan juga mempunyai dampak terhadap sifat fisika,
kimia, dan biologis lingkungan perairan. Dengan kata lain, perubahan sifat-sifat
air akibat adanya polutan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas air sehingga
Limbah cair dapat didefinisikan sebagai sampah berwujud cair yang dihasilkan
dari proses industri atau kegiatan lain yang dilakukan oleh manusia. Limbah cair
limbah rumah tangga, limbah pertanian, dan limbah industri (Daryanto, 1995).
Apabila limbah cair dibuang langsung ke perairan tanpa diolah terlebih dahulu,
maka akan menimbulkan berbagai dampak pada biota perairan, sifat kimia dan
Sifat fisika yang bekaitan dengan pencemaran air adalah suhu, warna, bau, rasa
dan kekeruhan. Suhu air limbah umumnya lebih tinggi dibandingkan suhu air
normal, karena kadar oksigen terlarut dalam limbah lebih rendah dari pada kadar
oksigen terlarut pada air normal. Timbulnya warna pada air disebabkan oleh
adanya bahan organik terlarut dan tersuspensi termasuk diantaranya yang bersifat
dengan konsentrasi polutan dalam limbah, yang artinya intensitas warna dapat
memperlihatkan kualitas suatu limbah. Bau dan rasa pada air limbah timbul
Kekeruhan adalah ciri lain dari limbah cair yang disebabkan oleh partikel
tersuspensi dalam limbah yang menimbulkan dampak negatif paling nyata yaitu
turunnya daya serap air akan cahaya matahari, sehingga proses kehidupan biota
perairan terganggu.
7
Selain sifat fisika, polutan dalam limbah juga akan mempengaruhi sifat kimia air
yaitu adanya perubahan derajad keasaman (pH) serta tingginya nilai Biological
Oxygen Demand (BOD) dan nilai Chemical Oxygen Demand (COD) limbah.
Derajad keasaman air merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
pada air tercemar adalah akibat dari penguraian berbagai polutan organik yang
terdapat dalam limbah, sehingga akan mempengaruhi nilai COD dan BOD. pH,
COD dan BOD ketiganya merupakan parameter kualitas limbah karena dapat
dalam limbah.
bakteri, protozoa, dan virus (Fardiaz, 1992), yang memanfaatkan bahan organik
yang ada dalam limbah sebagai media untuk pertumbuhannya. Hal tersebut
Perubahan sifat-sifat pada limbah cair (sifat biologis, fisika dan kimia), sangat
dipelajari pada penelitian ini adalah pH (derajad keasaman), kekeruhan, COD dan
BOD yang mengacu pada standar baku mutu limbah cair dalam Surat Keputusan
limbah cair industri termasuk industri rumah makan (restoran) yang tertera pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Standar Baku Mutu Limbah Cair Industri Rumah Makan (Restoran) di
Provinsi Lampung Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi
Lampung Nomor G/624/B.VII/Hk.1999
Keterangan:
Mg = miligram
ml = milliliter
L = Liter
NTU = Nepnelometrik Turbidity Unit
dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam sejumlah sampel.
Oksidator yang paling umum digunakan adalah K2Cr2O7 (Alaerts, 1984). Nilai
COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara
alamiah dapat dioksidasi melalui proses kimiawi. Maka, semakin tinggi COD
maka semakin tinggi kadar oksigen terlarut untuk oksidasi dan oksigen yang
reflux, penggunaan asam pekat, pemanasan, dan titrasi (Apha, 1989). Peralatan
9
reflux (seperti pada Gambar 2.1) diperlukan untuk menghindari berkurangnya air
yang telah ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat (Ag2SO4), kemudian
diatasi dengan cara titrasi. Dengan demikian kalium bikromat yang terpakai
untuk oksidasi bahan organik dalam sampel dapat dihitung dan nilai COD dapat
E
CaHbOc + Cr2O72- + +
H nCO2 + OH + 2Cr3+ . (1)
Ag2SO4
(kuning) (hijau)
campuran dari kuning menjadi hijau, yang menunjukkan reduksi Cr2O72- menjadi
kondisi aerobik (Metcalf, 1991). Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan
organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap
mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh
masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian ini dapat dikatakan
bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya
dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah terurai
kandungan oksigen terlarut awal (DOi) dari sampel segera setelah pengambilan
contoh, kemudian mengukur kandungan oksigen terlarut pada sampel yang telah
diinkubasi selama 5 hari pada kondisi gelap dan suhu tetap (20 oC) yang sering
disebut dengan DO5. Selisih DOi dan DO5 (DOi - DO5) merupakan nilai BOD
yang dinyatakan dalam miligram oksigen per liter (mg/L). Pengukuran oksigen
dapat dilakukan secara analitik dengan cara titrasi (metode Winkler, iodometri)
atau dengan menggunakan alat yang disebut DO meter yang dilengkapi dengan
probe khusus. Jadi pada prinsipnya dalam kondisi gelap, agar tidak terjadi proses
fotosintesis yang menghasilkan oksigen, dan dalam suhu yang tetap selama lima
yang terjadi hanyalah penggunaan oksigen, dan oksigen tersisa adalah sebagai
DO5. Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah mengupayakan agar masih
ada oksigen tersisa pada pengamatan hari kelima sehingga DO5 tidak nol. Bila
Total suspended solid (TSS) merupakan penyebab utama kekeruhan air yang
fitoplankton untuk melakukan fotosintesis (Arnelli dkk., 1999). Oleh karena itu,
semakin tinggi TSS maka akan semakin rendah kualitas air. TSS meliputi seluruh
12
padatan yang terdapat dalam air, baik senyawa organik maupun anorganik.
memisahkan suatu kontaminan dari air limbah sampai batas yang dikehendaki.
Menyadari banyaknya dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh limbah cair,
berbagai metode pengolahan limbah cair telah dikembangkan dan secara garis
besar dapat dikelompokkan menjadi metode biologis, metode fisika dan metode
kimia. Setiap metode mempunyai keunggulan dan kelemahan, karena unjuk kerja
dari setiap metode sangat dipengaruhi oleh karakteristik limbah cair yang akan
diolah.
limbah cair. Menurut Mahida (1989), proses biologis mampu membusukkan zat-
zat organik dan secara efektif menstabilkannya sehingga setelah proses tersebut,
zat-zat organik tidak mampu menyerap oksigen di dalam limbah secara cepat dan
lambat karena sangat bergantung pada populasi dari mikroorganisme yang ada
itu, metode ini hanya efektif untuk limbah yang mempunyai COD antara 500-
2000mg/L, sedangkan untuk limbah dengan COD lebih kecil, metode pengolahan
Pengolahan limbah secara fisika dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara
filtrasi dan sedimentasi (pengendapan). Kedua metode ini adalah proses yang
industri atau limbah rumah tangga. Menurut Kagaya et al. (1999), pengolahan
tidak efisien untuk digunakan, sebab prosesnya berlangsung lambat, apalagi jika
limbah berada dalam jumlah yang cukup besar meskipun biayanya relatif murah.
Selain itu juga efektivitas dari membran cepat menurun karena pori-porinya
dipertahankan. Pada umumnya metode pengolahan limbah cair secara kimia yang
reduksi, adsorpsi, serta pertukaran ion. Dua metode utama yang sering diterapkan
dalam pengolahan limbah secara kimia adalah metode adsorpsi (Heijman et al.,
1999) dan juga metode koagulasi (Chow et al., 1999). Selain itu, pengolahan
limbah cair secara oksidasi juga merupakan metode yang umum diterapkan.
metode secara kimia sering digunakan karena prosesnya berlangsung cepat serta
4. Koagulasi
proses koagulasi biasanya bermuatan positif, karena ion-ion yang terdapat dalam
hilangnya gaya tolak menolak antar partikel polutan, gaya kohesi akan bekerja
Dalam aplikasinya, metode koagulasi yang dapat digunakan ada dua macam,
15
elektrokoagulasi.
a. Koagulasi Konvensional
Metode koagulasi konvensional sudah umum digunakan dan sudah cukup dikenal
sebagai koagulan. Koagulan yang umum digunakan adalah alumunium sulfat .dan
ferri klorida (FeCl3) (Ritter et al.,1999). Namun, dari ketiga koagulan tersebut
yang paling sering digunakan dan dikenal luas adalah Al2(SO4)3, karena harganya
muatan berlangsung jika kation dari koagulan berinteraksi dengan partikulat yang
bermuatan negatif menghasilkan produk yang bermuatan netral dan tak larut.
organik yang ada dalam limbah dapat dihilangkan melalui mekanisme penjebakan
dan adsorpsi.
Dalam mekanisme penjebakan ini, partikel koloid akan berfungsi sebagai inti
partikel dengan kerapatan muatan yang lebih besar. Proses adsorpsi ini dapat
Mekanisme keempat yaitu interaksi kimia antara limbah dengan ion logam
pengendapan limbah dapat terjadi tanpa netralisasi muatan. Pada proses ini, akan
berbagai reaksi. Menurut Van Loon dan Duffy (2000), reaksi-reaksi yang terjadi
berikut:
temperatur, waktu, jenis serta dosis koagulan yang digunakan. Dari berbagai
faktor tersebut, yang paling berperan dalam menentukan kondisi optimum proses
koagulasi adalah pH dan waktu (Chow et al.,1999) serta dosis dari koagulan
(Gregor et al.,1997). Dosis koagulan sangat bergantung pada jenis limbah dan
dalam limbah, maka dosis koagulan yang digunakan dalam proses koagulasi juga
Faktor penting lainnya yang berpengaruh pada proses koagulasi adalah derajad
kekeruhan secara efektif adalah antara 5,5-7. Penelitian oleh Vann Loon dan Duff
(2000) serta Holt (2002), tentang pengaruh pH terhadap kelarutan berbagai jenis
antara lain yaitu prosesnya yang relatif lambat karena memerlukan pengadukan
dan penentuan dosis koagulan yang kurang tepat karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain jenis dan konsentrasi polutan yang ada dalam limbah.
b. Metode Elektrokoagulasi
elektroda (Fe) dan sebuah bejana (bak) untuk wadah sampel yang dihubungkan
dengan pompa sirkulasi air dan dilengkapi pula dengan power supply yang
Voltage V
suplier
Bejana
Sampel
Perangkat
Elektrokimia
Pompa Sirkulasi
Air
Gambar 2.2 Perangkat Elektrokoagulasi
menghilangkan polutan dalam air (Song et al., 2000). Dalam proses elektrolisis,
(Holt et al., 2002), Fe (Jiang et al., 2002), dan Pt/I (Buso et al., 1997). Diantara
logam-logam tersebut, yang paling sering digunakan adalah logam Al, karena
Menurut penelitian yang dilakukan Holt et al. (2002), mekanisme yang terjadi
Gambar 2.3 menunjukkan berbagai macam rekasi yang terjadi di dalam reaktor
Pada proses elektrolisis, terjadi reaksi oksidasi pada anoda menghasilkan Al3+
dan gas oksigen, sedangkan pada katoda terjadi reaksi reduksi menghasilkan gas
hidrogen. Proses selanjutnya yaitu proses koagulasi yang terjadi karena kation
Al3+ berinteraksi dengan partikel organik dalam limbah yang bermuatan negatif
proses hidrodinamis, endapan yang terbentuk akan bergerak karena adanya gas
hidrogen dan oksigen yang dihasilkan dari elektrolisis air. Reaksi yang terjadi
Proses elektrokoagulassi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pH, waktu,
kuat arus (Chen et al., 2000), potensial dan jenis elektroda (Tsai et al., 1997) serta
Jenis elektroda merupakan faktor penting dalam pengolahan limbah cair secara
(Bejankiwar et al., 2002). Berdasarkan penelitian Sheng et al., (1998) serta Sheng
dan Chi (1994) diketahui bahwa elektroda besi mampu mengoksidasi senyawa
21
organik pada pengolahan limbah industri tekstil dan industri penggaraman yang
dilakukan, diketahui bahwa metode elektrokoagulasi lebih efektif dan lebih cepat
kekeruhan sebesar 90%. Selain itu, Jiang et al. (2002), dengan menggunakan
lebih cepat, peralatan yang digunakan sederhana dan dapat dibuat dalam unit kecil
sehingga sesuai untuk industri rumah tangga seperti rumah makan (restoran).
senyawa organik dalam limbah. Tetapi karena konsentrasi polutan dalam limbah
dalam limbah. Sifat-sifat limbah yang umum digunakan adalah kekeruhan, DOC
(dissolved organic carbon) dan TOC (total organic carbon). Dalam prakteknya
waktu yang relatif lama dan biaya yang cukup mahal. Oleh karena hal tersebut,
warna, BOD, COD, dan absorbansi karakteristik pada UV-Vis (Jiang et al., 2002).
kendala, seperti pada pengukuran COD dan BOD membutuhkan waktu yang
relatif lama antara 2-4 jam untuk COD dan 4-5 hari untuk BOD, juga memerlukan
biaya yang relatif mahal. Parameter kekeruhan meskipun sederhana dan murah,
dilakukan penelitian ini adalah dengan melihat perubahan nilai absorbansi pada
absorbansi pada panjang gelombang 254, 272, dan 285 nm, karena absorbansi
pada ketiga panjang gelombang tersebut telah diketahui mempunyai korelasi yang
baik dengan konsentrasi senyawa organik dalam limbah (Kittis et al., 2002).
elektronik yang terjadi ada yang diserap oleh materi dan ada pula yang diteruskan.
melalui medium yang menyerap cahaya. Jika suatu sinar radiasi monokromatik
melewati suatu medium dengan ketebalan tertentu, diketahui bahwa tiap lapisan
menyerap bagian yang sama dari radiasi yang dipancarkan. Dari hukum Lambert
dan hukum Beer, dapat dilihat adanya hubungan antara absorbansi dengan
A = . b. c . (2)
Dengan : A= Absorbansi
= Serapan molar/ekstingsi
b = Panjang jalan lewat medium penyerap
c = Konsentrasi senyawa (solute yang menyerap)
konsentrasi.