Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemahaman dan pembenahan kembali terhadap pendidikan hukum di tengah-tengah
masyarakat dapat menjadi jendela masa depan bagi pelaksanaan sistem hukum yang dianut. Dalam hal
ini, seseorang akan menemukan kerangka ekspresi dan tingkah laku dasar mengenai hukum; apakah
hukum itu, apakah yang harus dilakukan oleh para ahli hukum, bagaimana suatu sistem hukum bekerja
atau bagaimana seharusnya suatu sistem beroperasi. Melalui pendidikan hukum, budaya hukum terus
dialirkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Pendidikan hukum memberi peluang kepada kita untuk dapat turut menentukan arah dan masa
depan dari suatu masyarakat. Mereka yang akan menjadi penentu sistem hukum dan mengisi posisi-
posisi penting kepemimpinan di dalam pemerintahan dan sektor privat, pada umumnya akan jatuh
terutama kepada para ahli hukum, setidaknya hal ini terjadi pada masyarakat dunia barat, atau mereka
yang lulus dari sekolah hukum. Apa yang mereka pelajari dan bagaimana hal tersebut diajari kepada
mereka sedikit banyak telah memberikan efek dan nuansa terhadap tujuan akhir mereka, tingkah laku
mereka dan cara-cara bagaimana mereka mengambil peran penting di dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan.

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembangan ilmu perbandingan hukum.

2. Untuk mengetahui perbedaan sistem hukum anglosaxon dan hukum kontinental

3. Untuk mengetahui ciri-ciri sistem hukum anglosaxon dan hukum kontinental

4. Mengetahui perbedaan sistem hukum pidana di Indonesia dengan Negara lain misalnya
Cina, Malaysia, Arab Saudi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Ilmu Perbandingan Hukum


Menjadi pertanyaan kemudian yaitu apakah sebenarnya perbandingan hukum itu sendiri? Pada
awalnya, masyarakat hukum menghadapi kesulitan untuk mengartikan penggunaan dari terminologi
perbandingan hukum (comparative law). Secara garis besar telah terjadi pembagian ilmu hukum menjadi
cabang-cabang tersendiri dari hukum nasional, seperti misalnya hukum keluarga, hukum pidana, hukum
perjanjian, dan sebagainya. Namun demikian, perbandingan hukum tidak juga dibedakan sebagaimana
ilmu hukum lainnya. Ketidakjelasan ini ternyata memberikan andil yang cukup besar terhadap munculnya
kontroversi dan kesalahpahaman yang menjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya studi
perbandingan hukum. Salah satu konsekuensi logisnya, sebagaimana dikemukakan oleh Myres
McDougal bahwa perbandingan hukum seakan menjadi suatu literatur yang tersimpan rapat, obsesif dan
steril untuk jangka waktu yang cukup panjang
Metode suatu perbandingan dapat kita katakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
pemikiran dan pengetahuan manusia sehari-hari. Secara sederhana, dalam berbagai tingkatannya,
memperbandingkan satu dengan yang lainnya merupakan hal yang pasti terjadi hampir di dalam seluruh
bidang kehidupan manusia. Sebagaimana Hall menegaskan, to be sapiens is to be a comparatist.

Melalui sejarah yang panjang, teknik perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang
teramat penting dan berpengaruh di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini,
perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang sistematis dari teknik perbandingan
terhadap bidang hukum. Artinya, perbandingan hukum mencoba untuk mempelajari dan meneliti hukum
dengan menggunakan perbandingan yang sistematik dari dua atau lebih sistem hukum, bagian hukum,
cabang hukum, serta aspek-aspek yang terkait dengan ilmu hukum.
Arti penting dari studi perbandingan sebagai sebuah elemen dasar dalam pendidikan hukum
juga telah digarisbawahi dalam berbagai laporan resmi. Salah satu di antaranya yaitu datang
dari American Bar Associations Committee on International dan Comparative Law jauh hari sebelum

maraknya perkembangan ilmu perbandingan hukum diperbincangkan. Dalam laporan tersebut, pertama,
berbagai langkah disarankan sebagai bentuk praktik dalam mempromosikan penerapan perbandingan
sebagai suatu metodologi untuk pengajaran terhadap prinsip-prinsip sistem hukum Common Law
Kedua, perbandingan hukum memiliki posisi sentral untuk memberikan kontribusi khusus bagi
para ahli hukum yaitu studi yang memiliki signifikansi dan nilai penting untuk penegakan hukum dalam
bingkai formulasi dan pengembangan konsep maupun gagasan, serta memberikan pengetahuan
terhadap tipe-tipe kelembagaan yang terlibat di dalamnya. Studi terhadap ide dan konsep, serta
signifikansinya terhadap hubungan antarmanusia merupakan kajian utama dalam disiplin ilmu sosial,
seperti misalnya ilmu hukum, hal mana untuk mencapai maksud dan tujuannya haruslah dikerjakan
secara ekstensif verbalisasi
Para ahli perbandingan hukum dapat pula menyumbangkan kontribusi penting bagi studi ilmu
hukum dengan menemukan pengertian konsekuensi umum dari pelaksanaan suatu sistem hukum
terhadap pola atau struktur tertentu dari model kelembagaannya. Sebagai contoh, permasalahan apa
yang menjadi kendala utama dalam suatu sistem hukum; dan bagaimana cara menghindarinya ketika
suatu sistem mempunyai struktur prosedur dan institusi dari tipe umum yang dijalankan di negara-negara
Eropa guna menangani kasus-kasus perdata? Tentunya pertanyaan yang serupa dapat juga diajukan
mengenai bagaimanakah sistem dan prosedur hukum yang saat ini digunakan di negara-negara dunia
lain seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris atau India.
Penguasaan teknik perbandingan secara otomatis akan memberikan pengetahuan tambahan
bagi para Mahasiswa hukum mengenai pola kerja berjalannya suatu sistem hukum, khususnya sistem
hukum pada negaranya masing-masing. Lebih dari itu, ilmu dasar dan lanjutan dari subjek perbandingan
hukum di masa yang akan datang tentunya menjadikan para mahasiswa hukum lebih peduli terhadap
interaksi di antara sistem hukum melebihi kepeduliannya pada sistem hukum yang berlaku saat ini.
Sebagai contoh, di seluruh Amerika Serikat, mata kuliah perbandingan hukum nampaknya telah
dilaksanakan hampir secara keseluruhan dalam bingkai penelaahan berbagai materi kuliah dan diskusi.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan metode yang digunakan dalam mempelajari mata kuliah sistem
common law yang mereka anut. Metode pengajaran ini, di mana pada umumnya dilakukan di negara-
negara Eropa dan Amerika Serikat sebelum terjadinya perkembangan metode kasus, sudah semakin
menyebar di berbagai Universitas.
Namun demikian, untuk mengembangkan ilmu perbandingan hukum perlu juga kita ketahui
beberapa hambatan utamanya. Hambatan ini pernah dikemukakan oleh beberapa ahli dan pengajar ilmu
perbandingan hukum, salah satu di antaranya yaitu oleh Profesor Thayer. Menurutnya, perbandingan
suatu hukum pada dasarnya lebih tepat digunakan sebagai terminologi deskriptif dan hal inilah yang
sebenarnya dimaksudkan apabila kita berbicara mengenai perbandingan hukum, yaitu suatu
perbandingan baik secara keseluruhan ataupun suatu bagian hukum tertentu dari dua atau lebih negara
dengan membawa perbedaan dan persamaan di antara mereka guna diambil suatu kesimpulan.
Di satu sisi, permasalahan linguistik biasanya menjadi kendala utama yang dialami oleh
sebagian besar peneliti bahan perbandingan. Sayangnya, pertanyaan ini tidaklah pernah bisa dijawab
melalui pendekatan teoritis semata. Hal ini menjadi penting dan seringkali menjadi faktor penghambat
utama karena arti penting dari nilai perbandingan pada dasarnya hanya dapat diselesaikan oleh
seseorang yang tidak mempunyai kendala dalam dunia bahasa. Oleh karena itu, bisa saja dikatakan
bahwa berbagai macam studi perbandingan hanya dapat dijalankan oleh mereka yang dianugerahi atau
mempunyai kemampuan di bidang bahasa. Sebagai contoh, terdapat beberapa aspek dari perbandingan
hukum yang tidak dapat dilakukan tanpa adanya pengetahuan terhadap prinsip-prinsip pengetahuan
bahasa di Eropa.
Pada sisi lain, hal tersebut menjadi sangat tidak mungkin apabila studi perbandingan hukum
terhadap sistem hukum dari negara asal dengan sistem hukum dari negara lain, seperti misalnya negara-
negara Timur-Tengah atau Afrika, tidak sedikit pun menemukan kendala bahasa. Sehingga bisa
dikatakan bahwa sedikit-banyak kendala ini akan sangat berpengaruh terhadap terjadinya perubahan
makna dari terminologi hukum yang digunakan. Lebih lanjut, permasalahan bahasa ini juga telah menjadi
hambatan utama dari sebagian besar studi pascasarjana dan kegiatan penelitian, sebab sangat jarang
ditemukan pada saat ini studi perbandingan yang hanya menggunakan bentuk dan bahasa yang
sederhana dan mendasar.

B. Perbedaan System Hukum Anglo Saxon Dengan Eropa Continental

Ada perbedaan yang sangat mendasar antara sistem hukum Continental (Eropa) dan sistem
hukum Anglo-Saxon (AS). Pada sistem hukum continental, filosofinya tampak pada sifat-sifatnya yang
represif, yang senantiasa cenderung melindungi yang berkuasa. Hal ini bisa dimaklumi karena yang
berkuasa (waktu itu) adalah kolonial Belanda yang jelas ingin mempertahankan dan mengokohkan
kekuasaannya melalui berbagai undang-undang atau sistem hukumnya.
Sedang sistem hukum Anglo Saxon selain tentunya ada sifat yang represif, namun sifat penekanannya
lebih mengutamakan pada sifat-sifat yang preventif. Pasal-pasalnya merupakan rambu-rambu untuk
mencegah munculnya KKN dalam segala bentuk maupun manifestasinya.
Selain mencegah terjadinya white collar crime dan corporate crime juga untuk mencegah
terjadinya distorsi, keharusan memberikan proteksi bagi kepentingan umum dan bukan untuk
kepentingan orang perorang, serta menjamin partisipasi dan pengawasan sosial secara transparan dan
demokratis.
Dengan pengalaman krisis yang multidimensi sekarang ini, bukankah sudah tiba waktunya
untuk memikirkan secara serius, untuk mengalihkan sistem hukum Continental kita ke hukum Angl-Saxon
bagi sistem hukum Indonesia Baru di masa mendatang. Mudah-mudahan. (Cartono Soejatman)
Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan Continental terletak pada perangkat hukum yang
dipakai dan sistem politik yang digunakan.
System anglo saxon
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu
keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.
Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali
Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem
hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut,
beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India
dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan
hukum adat dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat
pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan
prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara
Anglo-Saxon adalah sebuah wilayah yang menarik. Nama Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim
dipakai untuk menyebut penduduk Britania Raya, yakni bangsa Germania yang berasal dari suku-suku
Anglia, Saks, dan Yut. Konon, pada tahun 400 M mereka menyeberang dari Jerman Timur dan
Skandinavia Selatan untuk menaklukkan bangsa Kelt, lantas mendirikan 7 kerajaan kecil yang disebut
Heptarchi. Mereka dinasranikan antara 596-655 M.
Perbedaan paling utama ialah lapisan menengah mancanegara kini lebih banyak berpangkal
pada ekonomi informasi atau ekonomi pengetahuan. Berbeda dengan masa pra-1966, gerak ekonomi di
dunia sekarang lebih mengandalkan peran pengolahan (informasi, jasa, teknologi) daripada
perekonomian produksi dan perdagangan. Ini berarti pendorong perekonomian lebih banyak dilakukan
oleh kecepatan dan ketepatan pengolahan ilmu pengetahuan daripada pemroses produksi barang dan
distribusi. Setiap hari sekitar US$ 1,6 trilyun diolah dalam transaksi valuta asing, sedangkan
perdagangan barang manufaktur (bermakna membuat barang dengan tangan) hanya sekitar US$ 600
milyar. Ini berarti lapisan menengah di mancanegara sebagian terbesar adalah ahli pengolah otak
daripada pengolah otot. Maka lapisan menengah masa kini bukan lagi kaum pedagang tahun 1940-an
atau 1950-an yang menjadi pemilik tanah, modal, dan tenaga kerja. Lapisan menengah Indonesia kini
makin terdiri atas pekerja otak (insinyur, ahli hukum, akuntan, pialang pasar modal, dokter spesialis).
Kesetiaan mereka adalah pada keahlian profesinya, bukan terhadap perusahaan tertentu.
Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan Continental terletak pada perangkat hukum yang
dipakai dan sistem politik yang digunakan.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan
hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai
lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta
kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari
(hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur
hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang,
perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang
bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga
mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang
berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang
terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum
komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan
pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
System hukum kontinental
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai
ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut
oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut
sistem hukum ini.
Hal yang membedakan sistem Civil Law dengan sistem Common Law (yang juga disebut
sistem Anglo-Saxon) adalah, pertama, pada Civil Law dikenal apa yang dinamakan kodifikasi hukum.
Artinya pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan
lengkap. Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan hukum, dan kesatuan
hukum. Contoh hukum yang sudah dikodifikasi dalam kitab undang-undang adalah Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (KUHD). Kitab-kitab di atas ditulis dan disusun oleh pemerintah kolonial Belanda dan
diberlakukan di Indonesia sampai sekarang. Kedua, sistem hukum Eropa Kontinental tidak mengenal
adanya juri di pengadilan. Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara selalu
adalah majelis hakim (panel),yang terdiri dari tiga orang. Kecuali untuk kasus-kasus ringan dan kasus
perdata, yang menangani bisa hakim tunggal.

C. Ciri-ciri Negara Hukum Anglosaxon dan Eropa Kontinental


ANGLO SAXON

Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu
keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.
Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali
Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem
hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut,
beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India
dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan
hukum adat dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat
pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan
prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.
EROPA KONTINENTAL
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai
ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut
oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut
sistem hukum ini.
1. Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat
2. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau
peraturan perundang-undangan
3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
5. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam
arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh
eksekutif.
6. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta
mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah
7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang
diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi
dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di
dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan
dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Memang memprihatinkan cara kerja hukum di Indonesia khusus untuk kasus korupsi. Terlalu
lembut dan terkesan memanjakan. Tak ada hukum yang memerintahkan koruptor yang kabur keluar
negeri untuk diseret pulang ke Indonesia. Yang paling bobrok adalah kasus Anggoro, polisi tahu tempat
tinggalnya di Singapura, polisi pun tahu kalau anggoro adalah tersangka Koruptor, tapi hingga detik ini,
kaki sang koruptor tersebut tak bisa disentuh untuk diseret ke Indonesia.
Jika sudah begini, tak ada penyelesain dan tak ada kepastian hukum di Indonesia. Kalau perlu revisi
kembali undang-undang yang mengatur hukum di Indonesia, hilangkan asas-asas HAM untuk para
tersangka, karena si tersangka pun tak menggunakan HAM ketika melakukan aksi kejahatannya.
Berdasarkan beberapa pengalaman penelitian yang pernah dilakukan, cara untuk mengatasi kendala
bahasa, jika hal ini diperlukan, dapat diatasi dengan melakukan kerjasama secara berkelompok. Artinya
ketidaktahuan bahasa dapat ditanyakan kepada mereka yang menguasai betul struktur dan tata bahasa
yang sedang ditelitinya. Sehingga, kendala yang dihadapi akan dapat saling ditutupi antara satu dengan
yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

John Henry Merryman, Legal Education There and Here: A Comparison dalam Stanford Law Review,
Vol. 27, No. 3. (Feb., 1975), hal. 859-878.

Rudolf B. Schlesinger, The Role of the Basic Course in the Teaching of Foreign and Comparative Law
dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 19, No. 4. (Autumn, 1971), hal. 616-623.

Arthur T. von Mehren, An Academic Tradition for Comparative Law? dalam the American Journal of
Comparative Law, Vol. 19, No. 4. (Autumn, 1971), hal. 624-632.

George Winterton, Comparative Law Teaching dalam the American Journal of Comparative Law, Vol.
23, No. 1. (Winter, 1975), hal. 69-118.

Myres S. McDougal, The Comparative Study of Law for Policy Purposes: Value Clarification as an
Instrument of Democratic World Order , 1 Am.J. Comp.L., 1952, hal. 24 dan 29.Hall, Comparative Law
and Social Theory, Baton Rouge, 1963, hal. 9. H. C. Gutteridge, Comparative Law as a Factor in English
Legal

Education dalam Journal of Comparative Legislation and International Law, 3rd Ser., Vol. 23, No. 4.
(1941), hal. 130-144.

Arthur T. von Mehren, An Academic Tradition for Comparative Law, supra note no. 3.

Anda mungkin juga menyukai