Anda di halaman 1dari 26

Presentasi Kasus

Hidrocephalus Non Komunikan e.c Intracerebral Hemorrhage dengan


Hipertensi

Pembimbing :
dr. Teguh Manulima, Sp. BS

Disusun Oleh:
Ainul Mardliyah
G4A015021

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRESENTASI KASUS

Hidrocephalus Non Komunikan e.c Intracerebral Hemorrhage dengan


Hipertensi

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


Di Bagian SMF Bedah
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :

Ainul Mardliyah G4A015021

Telah dipresentasikan dan disetujui,

Pada tanggal Oktober 2016

Pembimbing,

dr. Teguh Manulima, Sp. BS


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan presentasi kasus dengan judul
Hidrocephalus Non Komunikan e.c Intracerebral Hemorrhage dengan
Hipertensi. Tujuan penulisan laporan presentasi kasus ini ialah untuk materi
pembelajaran dan memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di
bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto.
Dalam kesempatan ini perkenakanlah penulis untuk menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Teguh Manulima, Sp.BS selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan pada laporan presentasi kasus ini.
2. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan presentasi kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan
presentasi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak terdapat
kekurangan. Penulis berharap semoga laporan presentasi kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang kedokteran.

Purwokerto, Oktober 2016

Penyusun
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Tn. S
No.CM : 00267525
Usia : 77 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : tidak bekerja
Alamat : Bumireja 01/03
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal/Jam Masuk : Rabu, 5 Oktober 2016/ Pukul 11.00 WIB
Tanggal/Jam Anamnesa : Senin, 10 Oktober 2016/ Pukul 14.00WIB

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pusing
2. Keluhan Tambahan
Muntah, lemah, dan pelo.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto pada hari Rabu, 5 Oktober 2016 pukul 11.00 WIB. Pasien
merupakan pasien rujukan dari RS. DKT dengan keluhan pusing, muntah,
lemah, dan pelo.
Pada awalnya pasien merasa pusing dan lemah sehingga dibawa ke
puskesmas, dirawat selama 4 hari akan tetapi keluhan tidak membaik
sehingga dirujuk ke RS DKT. Selama 3 hari dirawat di RS DKT keluhan
juga tidak membaik sehingga dirujuk ke RS Margono Soekarjo.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Penyakit jantung : disangkal
2. Alergi : makanan (+) tongkol, obat (-)
3. Penyakit diabetes melitus : disangkal
4. Penyakit hipertensi : (+) rutin minum obat
5. Riwayat trauma kepala : disangkal
6. Riwayat batuk lama : disangkal
7. Riwayat stroke : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Penyakit jantung : disangkal
2. Penyakit diabetes melitus : disangkal
3. Penyakit ginjal : disangkal
4. Penyakit hipertensi : disangkal
5. Penyakit bronkhitis : disangkal
6. Penyakit stroke : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama dengan anak dan cucunya. Pasien berobat
ke Rumah Sakit Margono Soekarjo dengan menggunakan BPJS PBI.

C. Pemeriksaan Fisik Tanggal 10 Oktober 2016 pukul 14.00


Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : GCS E3M6V4
Vital Sign : TD: 150/100 mmHg, N: 80 x/menit
RR : 24x/menit, S: 36,40C
Berat Badan : 68 kg
Tinggi Badan : 165 cm
Status Generalis
1. Pemeriksaan kepala
Kepala : mesocephal, simetris, jejas (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek cahaya
+/+, pupil isokor 3mm/3mm
Maxilla : krepitasi maxilla (-)
Floatting maxilla (-)
Nasal : deformitas os nasal (-), bloody rhinorhea (-)
Telinga : bloody othorhea (-/-)
Mandibula : unstable mandibular (-)

Status Pemeriksaan Bedah Saraf


GCS E3M6V4
Reflek cahaya +/+ pupil isokor 3mm/3mm
Bloody Rhinorhea (-)
Bloody Othorhea (-/-)
Brill Hematoma (-/-)
Battle Sign (-/-)
2. Pemeriksaan leher : Fraktur cervical (-), hematoma (-),
benjolan pada leher (-), nyeri tekan pada leher (-)
3. Pemeriksaan Thoraks
Paru
Inspeksi : Dada simetris, ketertinggalan gerak (-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan=paru kiri, ketertinggalan gerak
(-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+,Ronkhi basah halus di basal -/-,
Ronkhi basah kasar di parahiler -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : tampak pulsasi ictus cordis di SIC VI 2 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba SIC VI 2 jari medial LMCS
ictus cordis kuat angkat
Perkusi : batas jantung kanan atas SIC II LPSD
batas jantung kiri atas SIC II LPSS
batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
batas jantung kiri bawah SIC VI 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)

4. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : nyeri tekan (-)
5. Pemeriksaan ekstermitas
Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), kekuatan
motorik (5/5)
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), kekuatan
motorik (5/5)
6. Pemeriksaan neurologis
Mulut : merot (-), pelo (+)
Sistem Motorik
Trofi : eutrofi
Tonus : normotonus
Reflek Fisiologi : Superior +/+, inferior +/+
Reflek Patologi : Superior -/-, inferior -/-

D. Diagnosis Banding
1. Stroke Hemoragi
2. Stroke Non-Hemoragi
3. Space occupying lesion (SOL)
4. Hipertensi
E. Pemeriksaan Tambahan
1. CT Scan Kepala

Gambar 1. CT Scan TN. S


2. Pemeriksaan rontgen thoraks

Gambar 2. Foto thorax Tn. S


3. Pemeriksaaan Laboratorium
tanggal 05 Oktober 2016
Hb : 14.6 g/dL
Leukosit : 10420 U/L
Ht : 49 %
Trombosit : 191.000 /uL
Eritrosit : 5.0 106/uL
Pt : 10.3 detik
Aptt : 31.8 detik
SGOT : 18 U/L
SGPT : 29 U/L (L)
Ureum : 47.5 mg/dL (H)
Kreatinin : 0.86 mg/dL
GDS : 101 mg/dL
Natrium : 148 mmol/L
K : 4.2 mmol/L
Klorida : 106 mmol/L
Ca : 8.9 mmol/L

F. Diagnosis Kerja
Hidrocephalus Non Komunikan e.c Intracerebral Hemorrhage dengan
Hipertensi

G. Terapi
Instruksi tanggal 5 Oktober 2016
1. Edukasi keluarga untuk pro-operasi
2. IVFD NaCl 2lt/hari
3. IVFD Manitol 6x 100
4. PCT 3x500 tab
5. Glaukon 3x250 mg
6. Lab lengkap persiapan operasi
H. Follow up Pasien
Tabel 1. Follow Up Pasien
Waktu Keluhan dan Pemeriksaan fisik
S : Pusing, lemah, pelo, muntah (-)
O: GCS E3M6V4
TD: 170/100mmHg, N: 80x/menit, RR: 24x/menit, S: 36,4oC
Kepala : mesocephal, simetris, jejas (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek
cahaya +/+, pupil isokor 3mm/3mm
Hidung : deformitas os nasal (-), rhinorhea (-/-)
Telinga : othorhea (-/-)
Mulut : merot (-), pelo (+)
10 Oktober
Kekuatan motorik :
2016
Superior: 5/5, Inferior : 5/5
A: Hidrocephalus Non Komunikan e.c Intracerebral
Hemorrhage dengan Hipertensi
P: NaCl 2000 cc / 24 jam
Manitol 6x100
Glaukon 4x500
Metoklopramide 2x1 mg
Bed rest
Head up 30o
S : Pusing, lemah, pelo, muntah (-)
O: GCS E3M6V4
TD: 150/100cmHg, N: 80x/menit, RR: 20x/menit, S: 36,7oC
Kepala : mesocephal, simetris, jejas (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek
cahaya +/+, pupil isokor 3mm/3mm
Hidung : deformitas os nasal (-), rhinorhea (-/-)
Telinga : othorhea (-/-)
Mulut : merot (-), pelo (+)
Kekuatan motorik :
11 Oktober
Superior: 5/5, Inferior : 5/5
2016
A: Hidrocephalus Non Komunikan e.c Intracerebral
Hemorrhage dengan Hipertensi
P: NaCl 1500 cc / 24 jam
Manitol 2x100
Glaukon 4x500
Metoklopramide 2x1 mg
Bed rest
Head up 30o
Talak cardio: Amlodipine 1x5 mg, Valsartan 1x80 mg

S : Pusing, lemah, pelo, muntah (-)


12 Oktober O: GCS E3M6V4
2016 TD: 140/100cmHg, N: 80x/menit, RR: 20x/menit, S: 36,7oC
Kepala : mesocephal, simetris, jejas (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek
cahaya +/+, pupil isokor 3mm/3mm
Hidung : deformitas os nasal (-), rhinorhea (-/-)
Telinga : othorhea (-/-)
Mulut : merot (-), pelo (+)
Kekuatan motorik :
Superior: 5/5, Inferior : 5/5
A: Hidrocephalus Non Komunikan e.c Intracerebral
Hemorrhage dengan Hipertensi
P: Manitol 2x100
Glaukon 4x500
Metoklopramide 2x1 mg
Amlodipine 1x5 mg
Valsartan 1x80 mg
Bed rest
Head up 30o
S : Pusing berkurang, lemah, pelo, muntah (-)
O: GCS E3M6V4
TD: 140/100cmHg, N: 80x/menit, RR: 20x/menit, S: 36,7oC
Kepala : mesocephal, simetris, jejas (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek
cahaya +/+, pupil isokor 3mm/3mm
Hidung : deformitas os nasal (-), rhinorhea (-/-)
13 Oktober Telinga : othorhea (-/-)
2016 Mulut : merot (-), pelo (+)
Kekuatan motorik :
Superior: 5/5, Inferior : 5/5
A: Hidrocephalus Non Komunikan e.c Intracerebral
Hemorrhage dengan Hipertensi
P: Manitol stop
Acetazolamid
Pasien menolak operasi, alih rawat saraf
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Stroke merupakan gangguan fungsional otak yang terjadi secara
mendadak, ditandai dengan adanya defisinsi neurologis fokal maupun global
yang berlangsung >24jam yang hanya disebabkan gangguan vascular (WHO,
2013).
Stroke hemoragik yang disebabkan oleh intracerebral hemorrhage
merupakan adanya gejala klinis disfungsi neurologis yang berhubungan
dengan adanya focal darah didalam parenkim atau sistem ventricular yang
tidak disebabkan oleh trauma (ASA, 2013)

B. Epidemiologi

WHO memperkirakan angka kejadian stroke mencapai 15 juta tiap


tahunnya, diperkirakan sepertiga kasus mengalami kematian, sepertiga kasus
mengalami gangguan disability, sedangkan sepertiga lainnya memiliki hasil
yang bagus. Hipertensi merupakan faktor yang berkontribusi pada lebih dari
12.7 juta kasusstroke yang terjadi tiap tahunnya. Insiden lebih sering terjadi
pada usia lanjut. Secara umum stroke yang berkaitan dengan ICH berkisar
10% dari semua kasus stroke. Akan tetapi sekarang insiden ICH yang
disebabkan hipertensi telah menurun, memperlihatkan adanya peningkatan
dalam pengontrolan tekanan darah dalam populasi (Alfredo et al, 2012).

C. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya ICH dapat dibedakan menjadi 2 yaitu dapat


dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi (Magritis, F et al, 2013).
1. Dapat dimodifikasi
a. hipertensi
b. Konsumsi alcohol memperngaruhi tekanan darah, fungsi
platelet dan koagulasi serta kelainan endotel vascular.
c. Kolesterol
d. Konsumsi obat antikoagulan
e. Drug abuse terutama kokain
2. Tidak dapat dimodikasi
a. Usia
b. Ras negro
c. cerebral amyloidosis
d. arteriovenous malformations (AVM)

D. Klasifikasi

ICH dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:


1. ICH primer
ICH primer terjadi tanpa adanya malformasi vascular atau
koagulopati. ICH primer lebih sering terjadi dibanding sekunder. 80%
ICH primer terjadi akibat hipertensi dan cerebral amyloid angiopathy
(CAA). ICH yang disebabkan hipertensi menyebabkan peningkatan
tekanan didalam circulus willisi yang mengakibatkan proliferasi sel
otot halus yang diikuti dengan nekrosis. Oleh karena itu ICH yang
berkaitan dengan hipertensi memiliki letak yang agak dalam seperti di
bangsal ganglia, thalamus, cerebellum, pons, dan jarang pada
neocortex. (Sutherland & Auer 2006).
2. ICH sekunder
ICH sekunder terjadi karena adanya underlying disease seperti
malformasi vascular, stroke infark yang menyebabkan perdarahan,
koagulopathy, tumor intracerebral. AVM dan cavernous malformation
merupakan mayoritas penyebab terjaidnya ICH yang disebabkan
malformasi vascular (Sutherland and Auer 2006). Stroke infark yang
disebabkan adanya emboli sering mengakibatkan perdarahan . Dapat
dicurigai adanya thrombosis sinus pada pasien dengan tanda dan
gejala peningkatan tekanan intracerebral dan pemeriksaan radiografi
yang menunjukkan adanya perdarahan kortikal superficial atau
simetris bilateral (Canhoe & Ferro 2005).
E. Patomekanisme

ICH terdiri dari 3 fase yaitu (Magistris, F et al, 2013):


1. initial hemorrhage
initial hemorrhage disebabkan oleh pecahnya arteri serebral yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor risiko. Prognosis bergantung pada 2
fase selanjutnya.
2. Perluasan hematoma
Hematoma akan mengalami perluasan beberapa jam setelah onset
awal gejala terjadi, dengan menunjukkan adanya peningkatan tekanan
intrakranial, yang mengganggu integritas jaringan lokal. Selain itu,
aliran vena akan mengalami obstruksi yang menginduksi pelepasan
faktor koagulopati. Ukuran awal pendarahan dan kecepatan ekspansi
hematoma merupakan variabel prognostik yang penting dalam
memprediksi kerusakan neurologis . Hematoma ukuran> 30 ml
dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Edema cereberal akan
terbentuk disekeliling hematoma menyebabkan terjadinya inflamasi
dan gangguan pada sawar darah otak.
3. Edema peri-hematoma.
Edema peri-hematoma merupakan etiologi utama dari kerusakan
neurologis. Hingga 40% dari kasus ICH perdarahannya meluas ke
ventrikel serebral sehingga menyebabkan perdarahan intraventrikel
(IVH). Hal ini dapat dikaitkan dengan hidrosefalus obstruktif akut dan
secara signifikan memperburuk prognosis.
F. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan


aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa
peningkatan tekanan intrakranial yaitu nyeri kepala, muntah, gangguan
memori, bingung, perdarahan retina, dan epistaksis. Penurunan kesadaran
yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese dan dapat disertai
kejang fokal / umum. Serta faktor risiko yang menyertai.
2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan primer (primary survey)

yang mencakup jalan napas (airway), pernafasan (breathing), dan tekanan

darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi.

a. Pemeriksaan kesadaran dan GCS

b. Pemeriksaan generalis

1) kepala : +/-jejas
2) mata : +/- hematom; +/- palpebra hematom; reflex cahaya
3) maxilla: +/- krepitasi maxilla; +/- floating maxilla
4) mandibula: +/- unstable mandibula
5) nasal : +/- deformitas os nasal.
6) pemeriksaan leher dan thorax : +/- jejas
7) pemeriksaan abdomen
8) pemeriksaan ekstremitas superior & inferior : kekuatan motorik
9) pemeriksaan neurologis : reflex fisiologis maupun patologis
Status Pemeriksaan Bedah Saraf
a. GCS
b. Reflek cahaya, pupil isokor/anisokor
c. Bloody Rhinorhea
d. Bloody Othorhea
e. Brill Hematoma
f. Battle Sign
3. Pemeriksaan Penunjang (PERDOSSI, 2006)
a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.

b. Foto Polos Kepala

Foto polos kepala memiliki sensitivitas dan spesifsitas rendah dalam

mendeteksi perdarahan intrakranial. Oleh karena itu, sejak ditemukan

CT-scan, foto polos kepala sudah mulai ditinggalkan.

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI lebih unggul untuk mengidentifikasi subakut atau lesi traumatik

kronis, termasuk intraserebral atau hematoma ekstra-aksial, khususnya

di fossa posterior atau batang otak. Namun, MRI tidak sensitif seperti

CT scan dalam mendiagnosis perdarahan akut karena darah segar

tidak baik digambarkan; MRI membutuhkan waktu lebih lama.

d. Computed Tomography (CT-Scan)

CT-scan kepala merupakan standar baku untuk mendeteksi

perdarahan intrakranial. Semua pasien dengan GCS <15 sebaiknya

menjalani pemeriksaan CT-scan. Indikasi CT-scan yaitu:

1) Mata hanya membuka bila ada rangsang sakit (nilai GCS 12).

2) Terdapat penurunan kesadaran (nilai GCS <14) dan tidak membaik

dalam 1 jam setelah diobservasi ataupun 2 jam setelah trauma.

3) Terdapat fraktur atau depresi pada dasar tengkorak atau trauma

penetrasi.

4) Terdapat penurunan kesadaran atau tanda defsit neurologi baru.


5) Kesadaran penuh (GCS 15) tanpa fraktur, tetapi nyeri kepala berat

dan persisten & terdapat setidaknya 2 kali muntah pada selang

waktu yang berbeda.

6) Ada riwayat gangguan pembekuan darah seperti menguunakan obat

antikoagulan dan penurunan kesadaran, amnesia, dan tampak gejala

defsit neurologis.

Gambar 3. Gambaran CT-scan perdarahan intracerebral

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ICH terdiri dari beberapa hal, yaitu (Sahni, R et al,
2007):
1. Manajemen akut
ICH merupakan keadaan darurat neurologis dan manajemen awal harus
fokus pada penilaian jalan napas pasien, bernapas kapasitas, tekanan
darah dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Pasien harus
diintubasi tergantung pada risiko aspirasi, ventilasi kegagalan (PaO2<60
mmHg atau pCO2>50 mmHg), dan tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). langkah-langkah darurat untuk mengontrol TIK yang
tepat untuk pasien stupor atau koma, atau dengan tanda-tanda klinis dari
batang otak herniasi yaitu elevasi kepala 30 derajat, berikan manitol 20%
1,0-1,5 g / kg dengan infus cepat, dan pasien harus hiperventilasi dengan
target pCO2 30-35 mm Hg. Langkah-langkah ini dimaksudkan untuk
mengurangi TIK sesegera mungkin sebelum dilakukan tindakan
pembedahan. Pasien dengan riwayat trauma perhatikan adanya laserasi,
fraktur tulang, stabilisasi tulang cervical.
2. Stabilisasi tekanan darah
Tekanan darah tinggi terlihat pada 46 -56% dari pasien dengan ICH.
Tidak diketahui jika tekanan darah tinggi secara langsung menyebabkan
perluasan hematoma, namun penelitian telah menunjukkan sistolik,
diastolik, dan berarti tekanan arteri berhubungan dengan prognosis yang
buruk di ICH (Vemmos et al, 2004).
Namun, pengobatan hipertensi pada pasien dengan ICH yang terlalu
agresif dapat menurunkan tekanan perfusi otak dan secara teoritis
memperburuk cedera otak. Pedoman untuk pengelolaan perdarahan
intraserebral dianjurkan untuk mempertahankan tekanan arteri rata-rata
kurang dari 130 mmHg pada pasien dengan riwayat hipertensi. Pada
pasien dengan peningkatan TIK yang memiliki monitor TIK, tekanan
perfusi serebral (MAP-TIK) harus dipertahankan pada 70 mm Hg.

3. Terapi hemostatik awal


Di masa lalu, awal kerusakan neurologis ICH disebabkan edema dan efek
massa sekitar hematoma. Secara patologis, CT, dan studi SPECT
menunjukkan bahwa perdarahan terus menerus dalam jaringan rusak yang
kongesti berkaitan dengan hasil klinis yang buruk. terapi hemostatik
didasarkan pada pertumbuhan hematoma awal sering terlihat dalam waktu
enam jam dari timbulnya ICH pada 14% -38% dari pasien. Upaya awal
bertujuan untuk mengidentifikasi trombolitik, antiplatelet atau
antikoagulan dan membalikkan efeknya. Waktu paruh jaringan
rekombinan plasminogen activator (rt-PA) di lokasi trombus terbatas pada
45 menit dan komplikasi perdarahan sebagai akibat dari rt-PA terjadi
dalam beberapa jam pertama. Menurut pedoman yang dikembangkan oleh
ASA, jika dicurigai adanya perdarahan langkah-langkah berikut harus
diambil: (1) pemeriksaan hematokrit, hemoglobin, waktu tromboplastin
parsial, waktu protrombin / INR , jumlah trombosit pasien, dan fibrinogen
(2) cross-matched jika transfusi diperlukan. Perawatan ini harus tersedia
untuk administrasi darurat.
Agen anti-fibrinolitik seperti e-aminokaproat, Asam traneksamat,
aprotinin, dan rekombinan faktor VII (rFVIIa) dapat digunakan sebagai
terapi hemostatik awal tanpa mendasari koagulopati.

4. Management TIK
Peningkatan TIK yaitu TIK >20 mmHg selama lebih dari 5 menit. volume
besar ICH sering dikaitkan dengan perubahan TIK. Masalah ini dapat
diperburuk oleh perdarahan intraventrikular, yang mengarah ke
hidrosefalus obstruktif akut. Tujuan terapi pengobatan TIK adalah untuk
mempertahankan TIK 20 mmHg dengan mempertahankan tekanan perfusi
serebral 70 mmHg. Ketika TIK dipantau, gunakan standar dari hasil
algoritma manajemen untuk kontrol yang lebih baik, kurang gangguan,
dan durasi terpendek terapi. Awalnya, peningkatan akut dan berkelanjutan
dalam peningkatanTIK harus segera dilakukan CT ulang untuk menilai
kebutuhan pembedahan. Obat penenang intravena : propofol (0,6-6,0 mg /
kg / h) atau fentanil (0,5-3,0 g / kg / h) harus diberikan kepada pasien
gelisah untuk mencapai keadaan stasioner. Selanjutnya, pengobatan harus
diarahkan untuk mengendalikan tekanan darah dengan vasopressor seperti
dopamin dan phenylephrine jika CPP <70 mmHg atau agen antihipertensi
jika CPP adalah >70 mmHg. Jika TIK tidak memberi respon terhadap obat
sedasi dan pengelolaan perfusi serebral, pertimbangkan agen osmotik dan
hiperventilasi. Agen osmotik yang sering digunakan: manitol, gliserol dan
sorbitol, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan karakteristik.
Sorbitol dan gliserol dimetabolisme oleh hati dan mengganggu
metabolisme glukosa. Namun, sorbitol jarang digunakan karena waktu
paruh pendek dan penetrasi rendah ke cairan serebrospinal (CSF). Gliserol
memiliki paruh kurang dari satu jam, tetapi memasuki cairan serebrospinal
paling baik. Manitol umumnya digunakan karena dimetabolisme oleh
ginjal, memiliki waktu paruh hingga 4 jam, dan mencapai konsentrasi
dalam CSF.
Ventrikel drain digunakan pada pasien dengan atau berisiko hidrosefalus.
Volume IVH sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pada 30 hari
pertama. Studi awal dengan urokinase, menyarankan penggunaan
trombolisis secara intraventrikular dalam waktu 72 jam dapat membantu
mengalirkan darah yang mengisi ventrikel, mempercepat resolusi
gumpalan dan mengurangi mortalitas dalam 30 hari akan tetapi hal ini
masih dalam masa percobaan.

5. Antikonvulsan
Risiko kejang dalam 30 hari pada pasien ICH adalah 8%. Kejang terjadi
paling sering pada awal perdarahan dan bahkan mungkin merupakan
gejala yang paling mencolok. Meskipun belum terdapat uji coba
antiepilepsi profilaksis pada pasien ICH, ASA menyarankan terapi
antiepilepsi profilaksis dapat dipertimbangkan untuk 1 bulan pada pasien
dengan perdarahan intraserebral dan berhenti jika tidak ada kejang. Dapat
digunakan lorazepam intravena (0,05-0,10 mg / kg) diikuti dengan dosis
intravena fenitoin atau fosphenytoin (15-20 mg / kg), asam valproik (15-45
mg / kg), atau fenobarbital (15 - 20 mg / kg) pada manajemen awal.

6. kontrol demam
Demam setelah ICH adalah umum dan harus ditangani secara agresif
karena secara berkaitan dengan prognosis yang buruk. Demam
berkepanjangan lebih dari 38,3 C (101,0 F) harus diberikan
acetaminophen dan pendinginan selimut. Pasien harus diperiksa secara
fisik dan harus menjalani laboratorium atau tes imaging untuk menentukan
sumber infeksi. demam neurogenik adalah diagnosis eksklusi dan dapat
dilihat ketika darah meluas ke subarachnoid atau intraventrikular. pasien
perdarahan intraserebral dengan demam persisten yang refrakter terhadap
asetaminofen dan tidak ada penyebab infeksi mungkin memerlukan
perangkat pendinginan untuk menjadi Normothermic. sistem pendinginan
permukaan perekat dan kateter endovascular thermal lebih baik dalam
menjaga normothermia dari pengobatan konvensional. Namun, masih
belum jelas apakah pemeliharaan normothermia akan meningkatkan hasil
klinis.
7. Profilaksis trombosis vena
keadaan immobile karena paresis merupakan faktor predisposisi pasien
ICH mengalami trombosis vena dan emboli paru Heparin dosis rendah
pada hari ke-2 dapat mencegah komplikasi pada pasien ICH tsecara
signifikan mengurangi kejadian emboli paru.

8. Pembedahan
a. Indikasi Operasi
Indikasi operasi antara lain :
1) Lesi dengan efek desak ruang yang jelas, edema, atau midline
shifting pada radiologis dengan ancaman terjadinya herniasi.
2) Lesi Intracerebral dengan gejala deficit neurologis seperti penurunan
kesadaran, hemiparese, afasia, yang disebabkan peningkatan tekanan
intracerebral khususnya oleh hematom intraserebral.
3) Volume hematom :
< 10cc tidak significan untuk dilakukan operasi
>30cc kandidat operasi dengan deficit neurologis yang
menyertai
>85cc memiliki outcome yang buruk meski di operasi
4) Lokasi dipermukaan akan memiliki prognosa yang lebih baik
dibandingkan lokasi yang dalam. Pada lobar hematom perdarahan
berada pada tepi jaringan otak sehingga merupakan kandidat yang
baik untuk dilakukan operasi. Perdarahan dengan lokasi di
cerebellum memiliki beberapa catatan khusus yaitu :
GCS 14 dan diameter hematom 2 cm : konservatif
GCS 13 atau diameter hematom >2 cm perlu dilakukan
evakuasi hematom
Pasien dengan penekanan batang otak : konservatif
5) Usia pasien muda memiliki prognosa yang lebih baik dibandingkan
usia lanjut. Ada beberapa perbedaan parameter usia yang dapat
dijadikan patokan. Factor usia ini memiliki kontribusi karena otak
pada usia muda memiliki daya akomodasi yang lebih baik terhadap
adanya masa bekuan darah dibandingkan usia tua atau dengan atrofi
serebri.
b. Tindakan Operasi
1) Craniotomy Decompresi
Operasi dilakukan dengan membuka tulang kepala secara lebar sebagai
upaya memberikan space bagi jaringan otak yang bengkak dan tekanan
intracerebral yang tinggi. Tindakan ini biasanya dilanjutkan dengan
duraplasty yaitu membuka durameter sebagai selaput yang membatasi otak
dan memberikan penutup tambahan sebagai cadangan bila otak
membengkak beberapa hari pasca onset.
Pada operasi ini dilakukan juga evakuasi hematom dengan teknik micro.
Teknik ini dilakukan dengan menggunakan bantuan mikroskop khusus
sehingga perlukaan pada jaringan otak dapat dibatasi seminimal mungkin
tetapi evakuasi hematom tetap dapat optimal. Penggunaan tehnik micro ini
juga mengurangi resiko deficit neurologis pasca operasi akibat tindakan
operasi.
Pada operasi kraniotomy tulang tengkorak tidak langsung dikembalikan ke
posisi semula akan tetapi disimpan cara khusus dan steril. Tujuannya
adalah untuk memberikan cadangan ruang bagi otak yang akan
membengkak pada beberapa hari pertama pasca serangan stroke.
Selanjutnya 1-3 bulan kemudian dapat dilakukan kembali pengembalian
tulang melalui operasi kranioplasty.
2) Eksternal Ventrikular drainage
Operasi ini adalah mengeluarkan hematom yang berada pada
intraventrikel. Pada kasus intracerebral hemoragik sering kali disertai
adanya intraventrikular hemorragik yang berakibat terjadinya sumbatan
aliran liquor ke spinal. Efek sekundernya adalah hidrosefalus obstruktif
dan mengancam jiwa pasien. Pada kondisi seperti ini operasi external
ventricular drainage sangat membantu mengurangi efek hidrosefalus
sekaligus mengeluarkan hematom yang ada didalam ventrikel.
3) Clipping Aneurisma
Tindakan clipping dilakukan pada kasus intracerebral hemorrhage yang
telah ditangani dengan DSA dan embolisasi akan tetapi masih belum
optimal misalnya pada giant aneurisma. Sebagai upaya tambahan
mencegah terjadinya rebleeding perlu dilakukan clipping dan evakuasi
hematom.

H. Prognosis

Angka mortalitas ICH yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah gejala
awal mencapai angka 50% pada semua kasus mortalitas ICH. Angka
mortalitas mendekati 50% pada 30 hari kemudian. Faktor yang terkait dengan
prognosis yang buruk meliputi volume ukuran hematoma (> 30 ml), lokasi
fossa posterior, usia lanjut, mean arterial pressure (MAP)> 130 mmHg dan
skor GCS 3 pada saat pertama mendapat fasilitas kesehatan. Faktor yang
sama juga merupakan prediktor paling kuat dari mortalitas 30 hari kemudian.
Perluasan hematoma juga terbukti menjadi prediktor independen dari
penurunan fungsional neurologis dan mortalitas. ICH dan skor FUNC adalah
dua skala penilaian klinis yang digunakan untuk memprediksi prognosis
pasien dengan stroke hemoragik.

Table 2. Skor ICH


Skor ICH memperkirakan mortalitas pada 30 hari kemudian menggunakan
faktor seperti usia, volume ICH, skor GCS dan adanya hemolisis
intravaskular Dalam sebuah studi oleh Hemphill et al. (2001), ke-26 pasien
dengan skor ICH 0 berhasil selamat dan 6 pasien dengan skor ICH lebih dari
5 meninggal dalam 30 hari. Akan tetapi, skor ICH hanya dapat digunakan
untuk memprediksi mortalitas pada 30 hari kemudian tanpa hasil fungsional.
skor ICH harus digunakan dalam kombinasi dengan skor FUNC (Functional
outcome risk stratification) untuk mengevaluasi prognosis fungsional.

Tabel 3. Skor FUNC

Skor FUNC menilai risiko cacat fungsional pada 90 hari pasca stroke.
Skor FUNC berkisar dari nol sampai sebelas oleh volume, usia, ICH, letak
ICH, skor GCS dan gangguan kognitif pra-ICH. Skor yang lebih besar
memiliki prognosis fungsional yang lebih baik. Menurut Rost et al. (2008),
tidak ada pasien dengan skor 4 FUNC memiliki prognosis fungsional baik
dan lebih dari 80% dengan skor FUNC maksimal 11 dapat memiliki
prognosis yang baik dalam 90 hari. Akan tetapi skor FUNC memiliki batasan
yaitu bahwa hanya skor yang benar-benar rendah/tinggi yang berguna secara
klinis, pada mid-range skor prediktif valuenya rendah.
Meskipun skor prediksi sementara nilai prognostik adalah alat penting di
rumah sakit, AHA merekomendasikan perawatan yang komprehensif yang
cepat dan agresif saat onset ICH terjadi (Magistris, F et al, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

PERDOSSI. 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma


Spinal.
ASA. 2013. An Updated Definition of Stroke for the 21st Century. Consensus
Document

Magistris, F et al. 2013. ICH: pathophysiology, diagnosis, and management.


Clinical Review. MJM

Sahni, R et al. 2007. Management of Intracerebral Hemorrhage. Clinical review.


Vascular health and risk management.

Alfredo et al. 2012. Intracerebral Hemorrhage. Review article. Emergency


Medical Clinic North America

Sutherland GR, Auer RN. 2006. Primary intracerebal hemorrhage. Review article.
J Clin Neuroscience

Canhoe P, Ferro JM. 2005. Causes And Predictors of Death in Cerebral Venous
Thrombosis. Clinical review. Stroke

Anda mungkin juga menyukai