Oleh :
Pembimbing :
Dr. dr. Rosiana A. Marbun, Sp.A
Laporan Kasus
Judul
Tonsilofaringitis Akut dengan Dipepsia
Oleh :
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya periode
Baturaja, 2016
2
KATA PENGANTAR
Baturaja, 2016
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Bayu
b. Umur : 11 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Nama Ayah : Imas Kardi
e. Nama Ibu : Marni
f. Bangsa : Jawa
g. Alamat : Desa Karang Mulia Filip 3 Lubai Ulu
h. Dikirim oleh : datang sendiri
i. MRS Tanggal : 25 April 2016
II. ANAMNESIS
Tanggal : 25 April 2016
Diberikan oleh : ibu kandung
5
Riwayat sakit kepala serupa sebelumnya disangkal
Riwayat kontak dengan orang sakit malaria disangkal
Riwayat kontak dengan orang sakit demam berdarah disangkal
Keterangan :
: ayah sehat
: ibu sehat
: anak sakit
: anak sehat
6
Tanggal :
BB : 3500 gram
PB : ibu lupa
Lingkar Kepala : ibu lupa
Riwayat Makanan
ASI : 0-1,5 tahun
Susu botol : Tidak pernah
Nasi tim/lembek : 8 bulan-9 bulan
Nasi biasa : 10 bulan- sekarang
Daging : jarang makan daging (setahun sekali)
Ikan : 10 bulan sekarang (1 minggu/kali)
Tempe : 10 bulan-sekarang hampir setiap hari
@1potong
Tahu : 10 bulan sekarang hampir setiap hari @ 1
potong
Sayuran :10 bulan- sekarang (setiap hari)
Buah : 10 bulan-sekarang (setiap hari)
Kesan : kuantitas : cukup
Kualitas : kurang
Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
BCG (usia lupa)
DPT 1 (usia lupa) DPT 2 (usia DPT 3 (usia
lupa) lupa)
Hepatitis B 1 (usia lupa) Hepatitis B 2 (usia Hepatitis B 3 (usia
lupa) lupa)
Hib 1 (usia lupa) Hib 2 (usia Hib 3 (usia
lupa) lupa)
Polio 1 (usia lupa) Polio 2 (usia Polio 3 (usia
lupa) lupa)
Campak (usia lupa) Polio 4 (usia
lupa)
Kesan : imunisasi dasar lengkap
7
Riwayat Keluarga
Ayah ibu
Perkawinan pertama pertama
Umur 38 34
Pendidikan tamat smp tamat sd
Pekerjaan petani ibu rumah tangga
Penyakit yang pernah diderita - -
Riwayat Perkembangan
Berbalik : 4 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Merangkak : 6 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 10 bulan
Berbicara : 1,5 tahun berbicara lancar
Sekarang : anak masih dapat bermain atau bersosialisasi dengan
lingkungan sekitar
Kesan : perkembangan dalam batas normal
Riwayat Kebiasaan
Sepulang sekolah anak suka pergi main dan lupa makan siang, main
hingga waktu sore, setiap hari penderita jajan diluar.
8
Suhu : 37oC
Respirasi : 23 x/menit
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 103 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Kulit : ptekiae (-), ekimosis (-), purpura (-), hematom (-)
9
Pemeriksaan Khusus
KEPALA :
Bentuk : normocepali, simetris, dismorfik (-)
Rambut : warna hitam, lurus, halus, tidak mudah dicabut, distribusi
merata.
Mata : edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik
(-), refleks cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, 3mm.
Hidung : deformitas (-), napas cuping hidung (-), deviasi septum (-),
mukosa hiperemi (+), hipertropi konka (-), secret (-)
Telinga : deformitas (-), nyeri tarik aurikula (-), nyeri tekan tragus
(-),nyeri tekan mastoid (-)MAE lapang,serumen
Mulut : kelainan kongenital (-), bibir sianosis (-), cheilitis (-)
stomatitis (-), atropi papil (-)
Tenggorok : faring hiperemi (+), uvula ditengah hiperemis (+), detritus
(-), kirpta (-), tonsil T3
Leher : pembesaran KGB (-)
THORAX
Inspeksi : simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis, scar (-),
massa (-), retraksi (-)
Palpasi : stemfremitus kiri=kanan
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
JANTUNG
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR 102/mnt, bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-),
gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : datar, scar (-), massa (-), luka (-), pelebaran pembuluh
darah (-)
Palpasi : nyeri tekan (+) di epigastrik, lemas, hepar dan lien tidak
teraba, cubitan perut kembali lambat (-)
Perkusi : timpani (+), shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal (4X/menit)
EKSTREMITAS
Akral hangat, tidak pucat, CRT <3, edema (-), rumple leed (-)
Pemeriksaan Neurologis
10
Pemeriksaan Tungkai Tungkai Kiri Lengan Lengan
Kanan Kanan Kiri
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Klonus - -
Reflek patologis - - - -
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah rutin (25 April 2016)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin(Hb) 12,22 L: 12-14 g/dl
P : 12-13 g/dl
Eritrosit (RBC) 4.800.000 4,40 4,48. 106/mm3
Leukosit (WBC) 9000 /mm3 4,5 13,5. 103/mm3
Hematokrit (Ht) 38% 37 - 41%
Trombosit (PLT) 92000/L 217 497.103/L
CDR Plasmodium tidak
ditemukan
Widal
11
Salmonella typhi O 1/160
Salmonella paratyphi AO 1/80
Salmonella paratyphi BO 1/80
Salmonella paratyphi CO 1/80
Salmonella typhi H 1/80
Salmonella paratyphi AH 1/80
Salmonella paratyphi BC 1/80
Salmonella paratyphi CH 1/160
Kesan : negative
IV. RESUME
Berdasarkan anamnesis, 4 hari SMRS, anak mengeluh sakit kepala, badan
dingin, serta menggigil. Sakit kepala hilang timbul, terasa menyut di daerah frontal
dengan durasi yang lama, sakit kepala tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan gerakan.
Anak juga mengeluh demam, demam muncul saat sakit kepala, demam tinggi saat
malam hari. Mual (-), muntah (-), batuk (-) ,pilek (-), belum BAB hingga sekarang,
BAK normal bewarna kuning seperti biasa. Anak juga mengeluh adanya nafsu
makan menurun, nyeri perut, dan konstipasi.
Anak tidak memiliki memiliki riwayat penyakit dengan keluhan yang sama
sebelumnya. Anak memiliki kebiasaan sering jajan di luar. Riwayat kontak dengan
orang sakit malaria dan DBD disangkal. Riwayat imunisasi dasar lengkap, riwayat
perkembangan normal, penyakit yang pernah diderita tidak ada.
Dari hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, tanda vital dalam batas normal. Didapatkan status gizi kurang,
mukosa hidung hiperemi, faring hiperemi, pembesaran tonsil T2, nyeri tekan
abdomen di epigastrik, serta hepar/lien tidak teraba.
12
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan plasmodium tidak ditemukan dan
tes widal negatif.
V. DAFTAR MASALAH
Sakit kepala
Nyeri perut
Demam
IX. TATALAKSANA
a. Pemeriksaan Anjuran
Lab darah rutin dan DDR
b. Farmakologi
Inj ampisilin 3 x 800 mg
Inj gentamisin 2x 50 mg
Paracetamol tab
X. PROGNOSIS
Qua 13e vitam : dubia ad bonam
Qua 13e functionam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
13
26 April S : sakit kepala berkurang, sakit perut berkurang saat ditekan di epigastrik.
2016 O : KU : tampak sakit sedang
Sens : compos mentis, TD : 90/60 mmHg, N: 92x/menit, RR: 21x/menit, T:
36,5oC
BB : 24 kg, TB : 134 cm.
KS : kepala : Nafas cuping hidung (-), Conjungtiva anemis (-), edema
palpebra (-), tonsil
Leher : tidak teraba massa
Axilla : tidak teraba massa
Thorax :
Paru :
I : statis (simetris), dinamis (simetris), retraksi (-)
P : stem fremitus kanan =kiri
P : sonor di kedua lapangan paru, batas paru hati ICS VI linea
midklavikularis dextra.
A : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis tidak teraba
P : batas atas jantung ICS II linea midklavikularis sinistra, batas kiri
jantung ICS IV linea midklavikularis sinistra, batas kanan jantung ICS IV
linea parasternal sinistra.
A : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
I : datar
P : lemas, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba
P : timpani di seluruh kuadran abdomen
A : bising usus (+) normal
Ekstremitas: akral hangat, pucat edema tungkai (-),CRT <3, rumple leed
test (-)
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2. Epidemiologi
Faringitis merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak.
Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan derajat beratnya
penyakit. Tonsilofaringitis biasanya terjadi pada anak, meskipun jarang terjadi pada
anak di bawah usia 1 tahun. Insiden meningkat sesuai dengan beratambahnya usia,
mencapai puncak pada umur 4-7 yahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insiden
tonsilofaringitis streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang di bawah usia 3
tahun dan sebanding antara laki-laki dengan perempuan.
3.1.3. Etiologi
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada anak
berusia 3 tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti adenovirus, rhinovirus,
dan virus parainfluenza dapat menjadi penyebabnya. Virus Epstein Barr (EBV)
dapat menyebabkan tonsilofaringitis, tetapi disertai dengan gejala
infeksimononukleosis seperti splenimegali dan limfadenopati generalisata.Infeksi
sistemik seperti infeksi virus campak, virus Rubella, Citomegalovirus (CMV),
dan berbagai virus lainnya juga dapat menyebabkan gejala tonsilofaringitis akut
15
Streptococcus beta hemolitikus grup A adalah bakteri terbanyak penyebab penyakit
faringitis atau tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% pada anak
sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus.mikroorganisme seperti klamidia
dan mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi.
3.1.4. Patogenesis
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak
langsung dengan mukosa nasofaring dan orofaring yang terinfeksi atau dengan benda
yang terkontaminasi, serta melalui makanan merupakan cara penularan yang kurang
berperan. Penyebaran Streptococcus beta hemolitikus grup A memerlukan penjamu
yang rentan dan difasilitasi dengan kontak yang erat.
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang
kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Sebagian besar peradangan
melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi
inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan local sehingga
menyebabkan eritem faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptococcus ditandai
dengan invasi lokal serta penglepasan toksin ekstraseluler dan protease.
Transmisi dari virus dan Streptococcus beta hemolitikus grup A lebih banyak
terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung atau droplet dibandingkan kontak
oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 24-72 jam.
16
Lidah awalnya tertutup lapisan putih, namun papilla lidah yang bewarna merah dan
edema tampak menembus lapisan tersebut sehingga tampak gambaran white
strawberry tongue. Saat lapisan putih terkelupas, lidah di area yang dikerok akan
bewarna merah seperti daging segar dan terlihat tonjolan-tonjolan papilla.
Dibandingkan dengan infeksi streptokokus yang klasik, awitan akibat infeksi virus
secara tipikal bersifat gradual dan gejala klinis yang sering muncul adala riorea,
batuk, dan diare.
3.1.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri atau
virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Pada saat ini
terdapat metode cepat mendeteksi antigen streptococcus grup A dengan sensitivitas
dan spesivitas yang cukup tinggi. Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior
iperemis, tonsil biasanya membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga
mengecil (atrofi), terutam pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan
dan pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula. Thane & Cody membagi
pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4 :
T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior-uvula
T2 : batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior uvula sampai jarak
anterior-uvula
T3 : batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar
anterior-uvula
T4 : batas medial tonsil melewti jarak anterior uvla sampai uvula atau lebih
17
3.1.7. Diagnosis Banding
Infeksi lokal pada rongga mulut
Abses retrofaringeal
Difteria
Abses peritonsilar
epiglotitis
18
memiliki rasa yang enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi 2
selama 6 hari.
Selain itu eritromisin 40mg/kgBB/hari, Klindamisin 30 mg/kgBB/hari, atau
sefadroksil monohidrat 15 mg/kgBB/hari dapat digunakan untuk pengobatan
faringitis streptococcus pada penderita yang alergi terhadap penisilin. Pembedahan
elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk mengurangi frekuensi
tonsillitis rekuren. Indikator klinis yang digunakan adalah Childrens Hospital of
Pittsburgh Study yaitu tujuh atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi
dengan antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau lebih episode infeksi tenggorok
yang diterapi antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih
episode infeksi tenggorok yang diterapi dengan antibiotik selama 3 tahun
sebelumnya. Adenoidektomi sering direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada
otitis media kronis dan berulang. Indikasi tonsiloadenektomi yang lain adalah bila
terjadi obstructive sleep apneu akibat pembesaran adenotonsil.
3.1.9. Komplikasi
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Kompilkasi
biasanya menggambarkan perluasan infeksi streptococcus dari nasofaring. Beberapa
kasus dapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri
dan virus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang luas. Komplikasi faringitis
bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara hematogen. Akibat perluasan
langsung dapat terjadi rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis servikal, abses
retrofaringeal atau faringeal, atau pneumonia. Penyebaran hematogen Streptococcus
beta hemolitikus grup A dapat mengakibatkan meningitis, osteomielitis, atau arthritis
septic, sedangkan komplikasi non supuratif berupa demam reumatik dan
gromerulonefritis.
3.1.10. Pencegahan
Pemberian profilaksis antimicrobial dengan penisilin V oral mencegah
infeksi streptokokus berulang dan direkomendasikan hanya untuk mencegah
terjadinya demam rematik.
3.2. Dispepsia
19
3.2.1. Definisi
Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau ketidaknyamanan
berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan.
Gejalanya meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat
menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), dan rasa penuh setelah makan.
Dispepsia fungsional adalah bagian dari gangguan pencernaan fungsional yang
memiliki gejala umum gastrointestinal dan tidak ditemukan kelainan
organikberdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi.
Kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat pemeriksaaan tidak
ditemukannya kelainan organik yang dapat menjelaskan keluhan tersebut (seperti
chronic peptic ulcer disease, gastro-oesophageal reflux, malignancy).
3.2.2. Epidemiologi
Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak-anak tidak jelas diketahui.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja mengalami
nyeri perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar 8%
dari seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan tentang keluhan nyeri perut yang
dialaminya ke dokter. Rerksppaphol mengemukakan pada anak dan remaja berusia di
atas 5 tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual setidaknya
dalam waktu satu bulan, dijumpai 62 % merupakan dispepsia fungsional dan 35%
peradangan mukosa. Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-
alat kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit gastroduodenum yang
disebabkan Helicobacter pylori, maka diperkirakan makin banyak kelainan organik
yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak dijumpai perbedaan
karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang terinfeksi H. pylori dengan yang
tidak. Pada anak dibawah 4 tahun sebagian besar disebabkan kelainan organik,
sedangkan pada usia diatasnya kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak.
3.2.3. Patofisiologi
Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan gastrointestinal
fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin antiinflamasi (Il-
10,TGF-). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat menyebabkan peningkatan
sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan dengan protein
20
dari sistem reuptake synaptic serotonin serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik
yang mempengaruhi motilitas dari usus.
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal
berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus
pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan
gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity
adrenal
Faktor Psikososial
Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres adalah faktor
yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosional yang labil memberikan
kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini akibat dari pengaruh
pusat di enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat mengubah gerakan dan
aktivitas sekresi traktus gastrointestinal melalui mekanisme-neuroendokrin.
Pada beberapa literatur menyebutkan bahwa anak-anak dengan gangguan
fungsi gastrointestinal lebih lazim disebabkan oleh karena kecemasan pada diri
mereka dan orang tuanya terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa pada stres atau
kecemasan dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus gastrointestinal
yang dapat menyebabkan gejala sakit perut berulang.
Pengaruh Flora Bakteri
Infeksi Helicobacter pylori(Hp) mempengaruhi terjadinya dispepsia fungsional.
Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien dengan
dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh
Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel
neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi
lambung dan menurunkan tingkat somatostatin.
3.2.4 Klasifikasi
Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kategori berdasarkan gejala atau
keluhan:
a Postprandial Distress Syndrome
Rasa kembung setelah makan, terjadi setelah mengkonsumsi makanan porsi
biasa paling sedikit beberapa kali selama seminggu.
21
Cepat terasa penuh perut sehingga tidak dapat mernghabiskan makanan
dengan porsi biasa paling tidak beberapa kali selama seminggu.
b. Epigastric Pain Syndrome
Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium dengan tingkat
keparahan sedang yang dialami minimal sekali seminggu.
Nyeri interimiten tidak berkurang dengan defekasi atau flatus
Tidak memenuhi kriteria kelainan kandung empedu.
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut
atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tak nyaman pada perut atas
atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi)
Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada
penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu
makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). Jika
dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon
terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak
biasa seperti adanya alarm symtoms, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.
Alarm symptoms
Nyeri terlokalisir,jauh dari umbilicus
Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
Nyeri timbul tiba-tiba
Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
Disertai gangguan motilitas(diare, obstipasi, inkontinensia)
Disertai perdarahan saluran cerna
Terdapat disuria
Berhubungan dengan menstruasi
Terdapat gangguan tumbuh kembang
Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun
Terjadi pada usia < 4 tahun
Terdapat organomegali
Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi
22
Kelainan perirektal: fisura, ulserasi
3.2.6. Penatalaksanaan
Non farmakologis
Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu,diet
tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak
dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga yang merekomendasikan
untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi
asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan
yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku.
Farmakologis
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu
1. Antasida
23
Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir sekresi asam
lambung. Antasida biasanya mengandung natrium bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2,
dan magnesium trisiklat. Pemberianantasida tidak dapat dilakukan terus-menerus,
karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat
merupakan adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare
karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik
Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin yang bekerja
sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar
28% sampai 43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
3. Antagonis resptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah simetidin,
ranitidin, dan famotidin.
4. Proton pump inhibitor (PPI )
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses
sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeprazol,
lansoprazol, dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2) selain
bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat
berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan meningkatkan sekresi bikarbonat
mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sile protective)yang bersenyawa dengan
protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid.
Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks
esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki asam lambung.
24
BAB III
ANALISIS KASUS
25
plasmodium, sehingga kemungkinan tifoid dan malaria bisa disingkirkan. Pada
pemeriksaan fisik juga didapatkan rumple leede negatif serta tidak ditemukan tanda
tanda perdarahan spontan, sehingga kemungkinan demam berdarah dengue dapat
disingkirkan. Oleh sebab itu, maka kemungkinan penyebab keluhan gastrointestinal
pada pasien ini adalah gastritis, duodenitis, atau esofagitis. Karena ketiga diagnosis
tersebut baru bisa ditegakkan setelah dilakukan endoskopi, maka keluhan
gastrointestinal tersebut didiagnosis sebagai dispepsia.
DAFTAR PUSTAKA
Rusmarjono dkk. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jakarta :
FKUI.2007
Sudarmo, S dkk. Infeksi Streptococcus grup A dalam Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Jakarta:IDAI.2008
26