Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KECIL

KOLELITHIASIS

Pembimbing:
dr. Mamun Sp.PD

Oleh:
Ainul Mardliyah G4A015021
Puti Hasana Kasih G4A015022

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KECIL
KOLELITHIASIS

Oleh:
Ainul Mardliyah G4A015021
Puti Hasana Kasih G4A015022

Disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik


SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Margono Soekarjo
Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Telah disetujui,
Purwokerto Februari 2017

Pembimbing

dr. Mamun Sp.PD


I. KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. S

Usia : 78 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Status : Sudah menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiunan

Alamat : Sidamakmur RT 02 RW 05 Karangjati-Susug

Tanggal masuk RS : 18 Januari 2017


Tanggal periksa : 23 Januari 2017

No. CM : 00954910

B. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Nyeri perut

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan utama pasien adalah nyeri perut sejak beberapa hari yang
lalu. Nyeri perut dirasakan pada daerah ulu hati dan perut kanan atas,
perih seperti diremas, bersifat hilang timbul dan terkadang menjalar
hingga bahu kanan, keluhan memberat setelah pasien makan gorengan
dan makanan berlemak. Pasien juga mengeluhkan mual (+) muntah (+)
dan lidah terasa pahit. Perut terasa begah atau penuh disangkal pasien,
demam disangkal. BAK(+) N BAB (+) N

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan serupa : (+)
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang tidak padat penduduk. Rumah
satu dan rumah lainnya tidak berdekatan. Pasien aktif pada kegiatan di
lingkungan rumah pasien. Hubungan pasien dengan keluarga dan
tetangga baik.

b. Home
Rumah pasien berdinding tembok. Pasien tinggal bersama istrinya.

c. Occupational
Pasien adalah seorang pensiunan

d. Personal habit
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok tidak memiliki kebiasaan
minum alkohol, namun pasien menjelaskan bahwa sering
mengkonsumsi goring-gorengan

C. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos mentis, GCS = E4M6V5
c. BB : 58 Kg
d. TB : 162 cm
e. IMT : 22,1 kg/m2 (normal)
f. Vital sign
TD : 140/90 mmHg

Nadi : 80x/menit

RR : 20 x/menit

Suhu : 36,4 0C

Status generalis :

Kepala : Mesocephal, simetris, tanda radang (-)


Rambut : Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, terdistribusi
merata
Mata : Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) normal isokor 3 mm
Telinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah sianosis (-), atrofi
papil lidah (-)
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran tiroid (-), JVP 52 cmH20
Status lokalis :
Pulmo
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan
gerak (-), jejas (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan = hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+), RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing
(-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V 2 jari medial linea
midclavicula sinistra, kuat angkat (-), pulsasi epigastrium
(-), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial linea
midclavicula sinistra dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+), tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : Supel, datar, nyeri tekan regio hipocondriaca dextra (+),
nyeri tekan epigastrium (+).
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
Inferior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap (18 Januari 2017)
Darah lengkap
Jenis pemeriksaan Hasil Keterangan
Hb 9.9 g/dl L
Leukosit 15.770 U/L H
Ht 30% L
Eritrosit 3.8x10^6/uL L
Trombosit 362.000/uL N
MCV 78.8 L
MCH 25.9 L
MCHC 32.9 N
RDW 15.1 H
MPV 9.6 N
Hitung jenis :
Basofil 0.3% N
Eosinofil 0.6% L
Batang 4.5% N
Segmen 78.1% H
Limfosit 11.2% L
Monosit 5.3% N
Kimia klinik :
Alkali fosfatase 46 N
Gamma GT 35 N
SGOT 23 mmol/L N
SGPT 23 mmol/L N
Bilirubin Total 0.76 mg/dL N
Bilirubin Direk 0.16 mg/dL N
Bilirubin Indirek 0.60 mg/dL N
Total protein 6.94 N
Albumin 3.06 L
Globulin 3.88 H
b. Hasil Pemeriksaan USG Abdomen
Kesan: Kolelithiasis

D. ASSESSMENT
1. Diagnosis Klinis:
Kolethiasis
F. PLANNING

1. Terapi

a. Farmakologi
- Infus aminofusin hepar 20tpm
- Cefadroksil 2x500mg
- Inj omeprazole 2x1vial
- Inj. Kaltrofen sup 3x1 K/P
- Diazepam 3x2ml
- Scopamin 3x1
- Spironolakton 1x100mg
b. Non farmakologi
- Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit dan komplikasi yang
dapat terjadi
- Hindari makanan yang berlemak: hindari makan gorengan, santan,
jeroan, apabila hendak memasak ayam baiknya direbus/kukus,
apabila hendak memakan daging pisahkan lemaknya terlebih
dahulu
- Edukasi pasien mengenai pengangkatan batu empedu (operasi)

2. Monitoring
Monitoring

a. Keadaan umum dan kesadaran


b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi

G. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kolelithiasis merupakan batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu dan dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran
empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran
empedu sekunder. Berdasarkan gambaran makroskopik dan komposisi
kimianya, kolelithiasis dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori mayor,
yaitu:
1. batu kolesterol dimana komposisi kolesterol melebihi 70%
2. batu pigmen cokelat atau batu kalsium bilirubinate yang mengandung co
bilirubinate sebagai komponen utama
3. batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak terekstraksi

B. Epidemiologi
Kolelithiasis merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia
internasional dan negara-negara eropa dan amerika, sementara di indonesia
publikasi penelitian kolelithiasis masih terbatas. Penelitian di amerika serikat
menunjukkan, setia tahun ada 20 juta orang yang enderita kolelithiasis,
dimana 1-3% dari populasi dewasa menderita kolelithiasis yang simptomatik
dan membutuhkan kolesistektomi. Selain itu, setiap tahun kolelithiasis
memakan korban kematian sebanyak 10.000 jiwa di AS (Heuman, 2016).
Secara epidemiologi, wanita cenderung lebih sering menderita kolelithiasis
dibanding pria, terutama pada usia reproduktif, dimana kejadian kolelithiasis
pada wanita 2-3 kali lebih besar dari jumlah pria. Perbedaan ini ditengarai
berhubungan dengan hormon estrogen, dimana hormon ini dapat
mempengaruhi sekresi kolesterol bilier (wang et al., 2009). Selain itu, risiko
terjadinya kolelithiasis semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Jarang
ditemukan kasus kolelithiasis kongenital maupun pada anak-anak. Pada usia
pubertas, kadar kolesterol bilier terus meningkat hingga dewasa. Namun, pada
usia menopause, dilaporkan kolelithiasis jarang menimpa wanita, sehubungan
dengan pengaruh kadar estrogen yang turun.
C. Etiologi
Mayoritas komposisi utama batu yang ditemukan pada penelitian di
Jakarta adalah batu pigmen (73%) dan batu kolesterol (23%), Ada tiga faktor
penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol, yaitu hipersaturasi
kolesterol dalam kandung empedu, percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol
dan gangguan motilitas kandung empedu dan usus. Sedangkan adanya pigmen
di dalam inti batu kolesterol berhubungan dengan lumpur kandung empedu
pada stadium awal pembentukan batu.

D. Patogenesis
Patogenesis Pembentukan Kolelithiasis
Kolelithiasis dibagi berdasarkan komponen yang terbesar yang
terkandung di dalamnya.:
1. Batu Kolesterol
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan
prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan
permukaannya halus. Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol
bertanggung jawab bagi lebih dari 90% kolelitiasis di negara Barat.
Sebagian besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang
mengandung paling sedikit 75% kolesterol berdasarkan berat serta dalam
variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik
lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam
empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang
koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam empedu,
lesitin dan kolesterol (Doherty, 2010).
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:
a. Supersaturasi empedu dengan kolesterol
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah
komponen yang tak larut dalam air.Ketiga zat ini dalam perbandingan
tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung
empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali
lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap
lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20
sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan
relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini
kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai
berikut:
- Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu
dan lecithin jauh lebih banyak.
- Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi
sehingga terjadi supersaturasi.
- Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
- Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol
jaringan tinggi.
- Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi
(gangguan sirkulasi enterohepatik).
- Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan
kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat
efeknya melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi
kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB
pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau
heterogen.Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium
bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang
homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena
perubahan rasio dengan asam empedu.
c. Fase pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus
cukup waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan
normal dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi
empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar
ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal
kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu
tersebut.
Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus,
kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah
operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi
kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari
mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar
dipompa keluar.
2. Batu Pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari kolelithiasis di Amerika
Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan
batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm),
multipel, sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu
tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer
bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan
banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat
dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua kolelithiasis. Batu ini
lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam.(Hunter, 2007) bilirubin
pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, aktiv disekresikan ke
empedu oleh sel liver. Kebanyakan bilirubin dalam empedu dibentuk dari
konjugat glukorinide yang larut air dann stabil. Tetapi ada sedikit yang
terdiri dari bilirubin tidak terkkonjugasi yang tidak larut dengan kalsium.
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol.
Kemungkinan mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat
atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu.
Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu
pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi
(anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara
Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan
dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di
infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli
membentuk B-glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin
di dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat
yang tak dapat larut (Hunter,2007).
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:
a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena
pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan
penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi
karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar
larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase yang
dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu
mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa
juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki
melaporkan bahwa 55% batu pigmen dengan inti telur atau bagian
badan dari cacing ascaris lumbricoides.Sedangkan Tung dari Vietnam
mendapatkan 70% inti batu adalah dari cacing tambang.
3. Batu Campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium.
Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis.
batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu
campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu
kolesterol.

E. Penegakkan Diagnosis
1. Manifestasi Klinis
Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu:
asimptomatik (adanya kolelithiasis tanpa gejala), simptomatik (kolik
bilier), dan kompleks (menyebabkan kolesistitis, koledokolitiasis, serta
kolangitis). Sekitar 60-80% kolelitiasis adalah asimptomatik.Setengah
sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa
nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa
nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya
nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba
(Schwartz, 2000).
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke
puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat
penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan
antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam. Episode kolik ini sering disertai dengan
mual dan muntah-muntah dan pada sebagian pasien diikuti dengan
kenaikan bilirubin serum bilamana batu migrasi ke duktus koledokus.
Adanya demam atau menggigil yang menyertai kolik bilier biasanya
menunjukkan komplikasi seperti kolesistitis, kolangitis atau pankreatitis.
Kolik bilier dapat dicetuskan sesudah makan banyak yang berlemak.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Manifestasi batu kandung empedu
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau
umum, hidrops kandung empedu, empiema kandung empedu, atau
pankreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum
maksimum di daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda murphy
positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas
panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas.
b. Manifestasi batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda
dalam fase tenang. Kadang teraba hepar agak membesar dan sclera
ikterik. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, baru akan
timbul ikterus klinis. Apabila timbul serangan kolangitis yang
umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai
dengan beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis
bakterial nonplogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam
dan menggigil, nyeri didaerah hepar, dan ikterus. Apabila terjadi
kolangiolitis biasanya berupa kolangiti piogenik intrahepatik, akan
timbul 5 gejala pentaderainold, berupa 3 gejala trias charcot ditambah
syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
Kalau ditemukan riwayat kolangitis yang hilang timbul, harus
dicurigai kemungkinan hepatolitiasis (Beckingham, 2001).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita
bati empedu di antaranya hitung sel darah lengkap, urinalisis,
pemeriksaan feses, tes fungsi hepar, dan kadar amilase serta lipase
serum.
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Diduga
terdapat kolesistitis akut jika ditemukan leukositosis dan hingga 15%
penderita memiliki peningkatan sedang dari enzim hepar, bilirubin
serum dan alkali fosfatase. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan
ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus
koledokus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar alkali
fosfatase serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut (Friedman,
2005).
Alkali fosfatase merupakan enzim yang disintesis dalam sel
epitel saluran empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum
meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar
yang sangat tinggi, menggambarkan obstruksi saluran empedu. Tetapi
alkasi fosfatase juga ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat
pada kerusakan tulang. Selain itu alkali fosfatase juga meningkat
selama kehamilan karea sintesis plasenta (Vogt, 2002).
Pada pemeriksaan urinalisis adanya bilirubin tanpa adanya
urobilinogen dapat mengarahkan pada kemungkinan adanya obstruksi
saluran empedu. Sedangkan pada pemeriksaan feses, tergantung pada
obstruksi total saluran empedu, maka feses tampak pucat.
b. Pemeriksaan radiologis
Diagnosis kolelithiasis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan radiologis terutama pemeriksaan Ultrasonography (USG).
Pemeriksaan radiologis lain yang dapat dilakukan adalah dengan foto
polos abdomen, Computed tomography [CTl, Magnetic nesonance
cholangiography [MRCP], Endoscopic ultrasound [EUS], dan Biliary
scintigraphy.(Beckingham, 2001)Hanya sekitar l0% dari kasus
kolelithiasis adalah radioopak karena kolelithiasis tersebut
mengandung kalsium dan dapat terdeteksi dengan pemeriksaan foto
polos abdomen. Ultasonography (USG) dan cholescintigraphy adalah
pemeriksaan imaging yang sangat membantu dan sering digunakan
untuk mendiagnosis adanya kolelithiasis.
1) Ultrasonography (USG)
Ultrasonography (USG) merupakan suatu prosedur non-
invasif yang cukup aman, cepat, tidak memerlukan persiapan
khusus, relatif tidak mahal dan tidak melibatkan paparan radiasi,
sehingga menjadi pemeriksaan terpilih untuk pasien dengan
dugaan kolik biliaris. Ultrasonography mempunyai spesifisitas
90% dan sensitivitas 95% dalam mendeteksi adanya batu kandung
empedu. Prosedur ini menggunakan gelombang suara (sound
wave) untuk membentuk gambaran (image) suatu organ tubuh.
Indikasi adanya kolesistitis akut pada pemeriksaan USG
ditunjukkan dengan adanya batu, penebalan dinding kandung
empedu, gas intramural, pengumpulan cairan perikolesistikus dan
Murphy sign positif akibat kontak dengan probe USG .USG juga
dapat menunjukkan adanya obstruksi distal dengan ditemukannya
pelebaran saluran intrahepatik atau saluran empedu ekstrahepatik.
Tes ini kurang berguna untuk menemukan batu yang berada di
common bile duct.

Gambar 1. USG Kandung Empedu


2) Computed Tomography (CT) Scan
Pada pemeriksaan ini gambaran suatu organ ditampilkan
dalam satu seripotongan cross sectional yang berdekatan, biasanya
10-12 gambar. Deteksi kolelithiasis dapat dilakukan juga dengan
Computed tomography, tetapi tidak seakurat USG dalam
mendeteksi kolelithiasis, oleh karena itu CT scan tidak digunakan
untuk mengevaluasi pasien dengan kemungkinan penyakit biliaris
kronik. CT scan berguna dalam menunjukkan adanya massa dan
pelebaran saluran empedu Pada kasus akut, pemeriksaan ini dapat
menunjukkan adanya penebalan dinding kandung empedu atau
adanya cairan perikolesistikus akibat kolesistitis akut
(Beckingham, 2001).
3) Cholescintigraphy
Pemeriksaan cholescintigraphy menggunakan zat
radioaktif, biasanya derivat imidoacetic acid, yang dimasukkan ke
dalam tubuh secara infravena, zat ini akan diabsorpsi hati dan
diekskresikan ke dalam empedu. Scan secara serial menunjukkan
radioaktivitas di dalam kandung empedu, duktus koledokus dan
usus halus dalam 30-60 menit. Pemeriksaan ini dapat memberikan
keterangan mengenai adanya sumbatan pada duktus sistikus.
Cholescintigraphy mempunyai nilai akurasi 95% untuk pasien
dengan kolesistitis akut, tetapi pemeriksaan ini mempunyai nilai
positif palsu 30-40% pada pasien yang telah dirawat beberapa
minggu karena masalah kesehatan lain, terutama jika pasien
tersebut telah mendapat nutrisi parenteral(Johns, 2012).
4) Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography
Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP)
adalah suatu pemeriksaan yang menggunakan MRI imaging
dengan software khusus. Pemeriksaan ini mampu menghasilkan
gambaran (images) yang serupa Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreatography (ERCP) tanpa risiko sedasi, pankreatitis atau
perforasi. MRCP membantu dalam menilai obstruksi biliaris dan
anatomi duktus pankreatikus. Pemeriksaan ini lebih efektif dalam
mendeteksi kolelithiasis dan mengevaluasi kandung empedu untuk
melihat adanya kolesistitis (Johns, 2012).
Gambar 2. MRCP
5) Oral Cholecystography
Oral Cholecystography adalah suatu pemeriksaan non
invasif lain, tetapi jarang dilakukan. Pemeriksaan ini memerlukan
persiapan terlebih dahulu, yaitu pasien harus menelan sejumlah zat
kontras oral yang mengandung iodine sehari sebelum dilakukan
pemeriksaan. Zat kontras tersebut akan diabsorpsi dan disekresikan
ke dalam empedu. Iodine di dalam zat kontras menghasilkan
opasifikasi dari lumen kandung empedu pada foto polos abdomen
keesokan harinya. Kolelithiasis tampak sebagai gambaran fiiling
defects. Pemeriksaan ini terutama digunakan untuk menentukan
keutuhan duktus sistikus yang diperlukan sebelum melakukan
lithotripsy atau metode lain untuk menghancurkan kolelithiasis.
Pemeriksaan ini memerlukan persiapan 48 jam sebelumnya.
6) Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography
Endoscopic Retrograde Cholangio pancreatography
(ERCP) adalah pemeriksaan gold standard untuk mendeteksi
kolelithiasis di dalam duktus koledokus dan mempunyai
keuntungan terapeutik untuk mengangkat kolelithiasis. ERCP
adalah suatu teknik endoskopi untuk visualisasi duktus koledokus
dan duktus pankreatikus. Pada pemeriksaan ini mengggunakan
suatu kateter untuk memasukkan alat yang dimasukkan ke dalam
duktus biliari dan pankreatikus untuk mendapatkan gambaran x-ray
dengan fluoroscop. Selama prosedur, klinisi dapat melihat secara
langsung gambaran endoskopi dari duodenum dan papila major,
serta gambaran duktus biliari dan pankreatikus seperti tampak pada
gambar berikut (Beckingham, 2001).
7) Endoscopic Ultrasonography Endoscopic Ultrasonography (EUS)
Endoscopic Ultrasonography Endoscopic Ultrasonography
(EUS) adalah suatu prosedur diagnostik yang menggunakan
ultrasound frekuensi tinggi untuk mengevaluasi dan mendiagnosis
kelainan traktus digestivus. EUS menggunakan duodenoskop
dengan probe ultrasound pada bagian distal yang dapat
menggambarkan organ, pembuluh darah, nodus limfatikus dan
duktus empedu. Dari bagian dalam lambung atau duodenum,
endoskop dapat memberikan gambaran pankreas dan struktur yang
berdekatan. EUS dapat mendiagnosis secara akurat adanya
kolelithiasis di dalam duktus koledokus tetapi tidak mempunyai
nilai terapeutik seperti ERCP.

Gambar 3. EUS
8) Foto Polos Abdomen
Pemeriksaan foto polos abdomen dapat mengidentifikasi
batu jika batu tersebut radio opak atau terbuat dari kalsium dalam
konsentrasi tinggi. Pada radiografi polos, kolelithiasis biasanya
muncul sebagai tunggal atau ganda, piramida, faceted, atau
kalsifikasi cuboidal yang terletak di kuadran kanan atas (kuadran
kanan atas). Kalsifikasi mungkin terjadi di pusat, homogen, atau
rimlike. Ketika beberapa kolelithiasis terlihat, biasanya batu-batu
berkerumun dan membentuk segi. Udara dapat terlihat pada celah
pusat, menciptakan lucency stellata yang disebut tanda Mercedes
Benz. Pada film tegak, batu mungkin terlihat berlapis pada kantong
empedu.
F. Penatalaksanaan
1. Terapi Operatif
Kolesistektomi merupakan satu-satunya terapi definitive untuk
penderita batu simtomatik, yaitu dengan mengangkat batu dan kandung
empedu, dapat mencegah berulangnya penyakit. Terdapat dua jenis
kolesistektomi yaitu:
a. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopi, disebut juga bedah minimally
invasive, atau keyhole surgery merupakan teknik bedah modern
dimana operasi abdomen melalui irisan kecil (biasanya 0,5-1 cm)
dibandingkan dengan prosedur bedah tradisional yang memerlukan
irisan yang lebih besar, dimana tangan ahli bedah masuk ke badan
pasien. Laparoskopi mencakup operasi dalam abdomen dan pelvis
menggunakan lensa teleskop untuk mendapatkan gambaran yang jelas
pada layar monitor. Operator dalam melaksanakan operasi
menggunakan hand instrument. Lapangan operasi pada abdomen
diperluas dengan dimasukkannya gas karbondioksida. Kolesistektomi
laparoskopi sekarang menjadi standar untuk pengelolaan pasien
kolelitiasis . Teknik ini memberikan banyak keuntungan yaitu
meningkatkan pemulihan pasien dengan mengurangi nyeri, waktu
tinggal di rumah sakit lebih pendek, dan lebih cepat kembali ke
aktivitas harian yang normal. Kolesistektomi laparoskopi berhubungan
dengan insisi kulit yang kecil sehingga membuat kondisi setelah
operasi lebih menyenangkan bagi pasien. Pendekatan ini juga lebih
hemat bagi penyelenggara kesehatan (Macfadyen, 2004).
b. Kolesistektomi terbuka
Kolesistektomi terbuka merupakan tindakan pembedahan
abdomen yang besar, dimana ahli bedah mengambil kandung empedu
melalui irisan panjang 10-18 cm. Kolesistektomi terencana pertama
dilakukan oleh Karl Lungenbach dari Jerman pada tahun 1882. Lebih
dari satu abad, kolesistektomi terbuka menjadi standar pengelolaan
kolelitiasis simtomatis. Kolesistektomi terbuka dilakukan ketika
kantong empedu yang sangat meradang, terinfeksi, atau bekas luka
lainnya dari operasi. Dalam kebanyakan kasus, kolesistektomi terbuka
direncanakan dari permulaan. Namun, ahli bedah mungkin melakukan
kolesistektomi terbuka saat masalah terjadi selama laparoskopi sebuah
kolesistektomi.
2. Terapi Non Operatif
Terapi non operatif hanya digunakan dalam situasi khusus, seperti
ketika seseorang dengan batu kolesterol memiliki kondisi medis yang
serius yang mencegah operasi. Kolelithiasis sering kambuh dalam waktu 5
tahun setelah pengobatan.Terdapat dua jenis terapi non-operatif yang dapat
digunakan untuk melarutkan kolelithiasis kolesterol yaitu:
a. Terapi disolusi oral
Ursodiol (Actigall) dan chenodiol (Chenix) adalah obat yang
mengandung asam empedu yang dapat melarutkan kolelithiasis.
Ursodiol adalah obat yang paling efektif dalam melarutkan batu
kolesterol kecil. Pengobatan mungkin diperlukan selama bertahun-
tahun untuk melarutkan semua batu.
b. Shock wave lithotripsy
Prosedur shock wave lithotripsy dilakukan dengan menggunakan
sebuah mesin yang disebut lithotripter untuk menghancurkan
kolelithiasis. Lithotripter menghasilkan gelombang kejut yang
melewati tubuh seseorang untuk memecahkan kolelithiasis menjadi
potongan kecil. Prosedur ini jarang digunakan dan dapat digunakan
bersama dengan ursodiol.

G. Prognosis
Angka mortalitas pada pasien kolelithiasis yang menjalani operasi
kolesistektomi elektif adalah 0.5%, sedangkan pada operasi kolesistektomi
emergensi berkisar 3-5%. Kolelithiasis dapat muncul kembali setelah operasi
kolesistektomi
H. Komplikasi
Komplikasi yang biasa timbul pada kejadian Kolelithiasia adalah
kolesistitis dan obstruksi duktus sistikus atau duktus koledokus. Kurang lebih
15% pasien dengan kolelithiasis mengalami kolesistitis akut. Gejalanya
meliputi nyeri perut kanan atas dengan kombinasi mual, muntah dan panas.
Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermiten, atau permanen. Patogenesis
kolesistitis akut aibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu yang terjepit.
Kemudian, terjadi hidrops dari kandung empedu. Penambahan volume
kandung empedu dan edema kandung empedu menyebabkan iskemi dari
dinding empedu yang dapat berkembang ke proses nekrosis dan perforasi.
Kejadian ini dapat menyebabkan peradangan hebat, dan menyebabkan
terjadinya peritonitis (radang selaput abdomen) atau bisa juga terjadi ruptur
dinding kandung empedu (Price, 2006).
I. KESIMPULAN

1. Kolelithiasis merupakan batu yang ditemukan di dalam kandung empedu dan


dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu.
2. Komposisi terbanyak kolelithiasis adalah batu pigmen dan kolesterol.
3. Pembentukan kolelithiasis secara umum meliputi tiga tahapan.
4. Diagnosis kolelithiasis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang tepat.
5. Tatalaksana kolelithiasis meliputi terapi operatif dan non operatif.
6. Komplikasi tersering pada kolelithiasis adalah kolesistitis.
DAFTAR PUSTAKA

Avunduk, C. 2008. Manual of Gastroenterology: Diagnosis and Theraphy 4th


Edition. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
Beckingham, I. J. 2001. ABC of diseases of liver, pancreas and biliary system:
Gallstrone disease. 9: 56-9.
Debas, H. T. 2004. Biliary tract in: Pathophysiology and Management. Springger-
Verlaag. Chapter 7:198-224.
Doherty, G. M. 2010. Biliary Tract. In: Current Diagnosis & Treatment Surgery
13th edition. US: McGraw-Hill Companies. p544-55.
Friedman, L. S. 2005. Lover, biliary tracy and pancreas. Dalam: Current Medical
Diagnosis ad Treatment. 629-78.
Hunter, J. G. 2007. Gallstones Diseases. In: Schwarts Principles of Surgery 8th
edition. US: McGraw-Hill Companies.
Johns Hopkins University. 2012. Gallstones. Dapat diakses pada:
http://www.hopkinsmedicine.org/
gastroenterology_hepatology/_pdfs/pancreas_biliary_tract/gallstone_disease
.pdf. Diakses 20 september 2016.
MacFadyen, V. 2004. Laparoscopic Surgery of the Abdomen, Bruce, 71:115.
Price, S.A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6.
Jakart: EGC
Schwartz, dkk., 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit buku
Kedokteran EGC.
Toouli, J., Bhandari M. 2006. Anatomy and Phsiology of the Biliary tree and
Gallblader and Bile Duct, in, Diagnosis and Treatment Blackwell
Publishing, second Edition. Chapter I: 3-20.
Vogt, D. P. 2002. Gallbladder disease: an update on diagnosis and treatment.
Cleveland Clinic Journal of Medicine. 69:977-84.
Wang HH, Liu M, Clegg DJ, Portincasa P, Wang DQ. New insights into the
molecular mechanisms underlying effects of estrogen on cholesterol
gallstone formation. Biochim Biophys Acta. 2009 Nov. 1791(11):1037-47.
Welling T. H., Simeone D. M. 2008. Gallbladder and Biliary Tract: Anatomy and
Structural Anomalies, in Textbook of Gastroenterology (ed T. Yamada). UK:
Blackwell Publishing Ltd., Oxford.

Anda mungkin juga menyukai