Jawaban!
Sumber : de Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC : Jakarta
2. Rehabilitasi medik bisa disebut dengan Physical Medicine & Rehabilitation (PMR).
PMR bertujuan untuk meningkatkan kemampuan fungsional seseorang sesuai dengan
potensi yang dimiliki untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas hidup
dengan cara mencegah atau mengurangi disabilitas dan kecacatan seoptimal mungkin.
Komponen yang dikenakan intervensi untuk memperbaiki fungsi tubuh terdiri dari
diri orang tersebut, tugas yang diberikan kepada orang tersebut, beserta lingkungan
tempat dia tinggal. Beberapa kondisi pada muskuloskeletal yang dapat diperbaiki
dengan adanya rehabilitasi medik yaitu: pasca amputasi; tendon yang robek; trauma,
seperti terpelintir, dislokasi sendi, dan fraktur; sakit punggung; osteoporosis; artritis;
tumor tulang; dan stres yang berulang pada muskuloskeletal.
Tujuan dari rehabilitasi medik pada cedera muskuloskeletal yaitu: mengatasi
nyeri, memperbaiki deformitas, melindungi jaringan yang cedera, mencegah
komplikasi, mengembalikan ROM (Range of Movement), dan memperbaiki kekuatan.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi
semua (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah
tulang (imobilisasi).
Tipe dan waktu untuk melakukan latihan berjalan pada proses rehabilitasi medik
dapat dibedakan berdasarkan kestabilan fraktur. Jika fraktur yang terjadi stabil, maka
dapat latihan berjalan weight-bearing pada minggu keempat hingga minggu keenam.
Untuk fraktur yang tidak stabil, namun tidak terjadi displacement maka perlu
imobilisasi non-weight bearing mulai dari minggu keempat hingga minggu keenam.
Apabila penyembuhan terjadi dengan baik, maka pasien dapat diberikan latihan
berjalan pada dua minggu berikutnya. Apabila pasien tidak dilakukan operasi,
pemeriksaan lanjutan dengan radiografi perlu untuk dilakukan setiap minggunya
selama dua hingga tiga minggu setelah terjadinya luka untuk
mengetahui displacement pada fraktur. Latihan penguatan dan ruang gerak sendi
dapat mulai dilakukan ketika penyembuhan fraktur sudah selesai. Pasien dengan
fraktur pergelangan kaki akan biasanya memerlukan imobilisasi dannon-weight
bearing mulai dari minggu keempat hingga minggu kedepalapan setelah operasi. Pada
trauma yang terjadi di os.femur bagian distal, maka sebelum dan setelah pelaksanaan
terapi latihan, pasien harus berada dalam posisi mengelevasikan tungkai atas yang
sakit dengan diganjal bantal pada tungkai bawah yang sakit, sehingga membentuk
sudut 30.
Pelaksanaan terapi latihan terdiri dari beberapa cara :
a. Kontraksi Statis (Static Contraction)
Latihan ini dilakukan segera setelah pasien menjalani operasi. Terapi ini
dilakukan saat posisi pasien berbaring terlentang dan ditujukan untuk otot
quadriceps femoris. Tangan terapi berada di bawah fossa poplitea sisi yang
sakit, kemudian pasien diminta menekan tangan terapis selama enam kali
hitungan. Latihan ini dilakukan sehari sekali dengan pengulangan 10 12
kali dan dilakukan setiap hari. Latihan ini diharapkan dapat mengurangi
edema dan nyeri.
b. Pergerakan pasif (Passive Movement)
Relaxed Passive Movement
Pasien dalam posisi berbaring terlentang, kemudian terapis berada di
sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial
pasien. Terapis menggerakkan tungkai ke arah fleksi lutut secara
perlahan sampai batas timbul rasa nyeri, kemudian dikembalikan lagi ke
arah ekstensi lutut. Gerakan-gerakan lain yang dapat dilakukan yaitu
abduksi-adduksi ekstremitas bawah, dorsal-plantar fleksi, dan inversi-
eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan ini dilakukan sehari sekali
dengan pengulangan 10 12 kali dan dilakukan setiap hari.
d. Hold Relax
Pasien berada pada posisi berbaring terlentang, kemudian pasien diminta
untuk menggerakkan ke arah fleksi lutut sampai batas timbul rasa nyeri, lalu
terapis memberikan penahanan ke arah ekstensi lutut. Pasien diminta untuk
mempertahankan agar tidak terjadi gerakan pada sendi. Setelah itu pasien
diperintahkan untuk rileks dan terapis menggerakkan ke arah fleksi lutut
untuk penguluran otot-otot ekstensor.
e. Latihan Berjalan
Latihan berjalan bisa dilakukan pada hari kedua pasca operasi, namun tetap
harus melihat kondisi pasien. Sebelum dilakukan latihan berjalan, pasien
diperintahkan untuk duduk dengan membebaskan kaki di tepi tempat tidur.
Tungkai yang sehat diturunkan dari tempat tidur terlebih dahulu, tungkai
yang sakit diturunkan dengan bantuan dari terapis. Terapis menyangga
dengan cara meletakkan satu tangan di bawah bagian distal tungkai atas dan
yang lainnya di distal tungkai bawah. Setelah itu pasien diberdirikan dengan
menggunakan dua kruk axilla, kemudian latihan berjalan di mulai non-weight
bearing dengan metode three point gait dan swing to.
Pernafasan (Breathing )
Trauma pada torak yang menimbulkan, hemotorak, pneumotorak, flail chest atau
fraktur tulang iga ( fraktur kosta ) akan mengakibatkan penurunan ventilasi.
Gangguan difusi oksigen di paru-paru karena berkurangnya fungsi paru-paru atau
menurunkan frekuensi respirasi karena ada rasa nyeri. Oleh karena itu yang perlu
Anda pikirkan adalah melakukan evakuasi pneumotorak dengan memasang WSD (
water seal drainage ), menutup luka pada flail chest dan stabilisasi floating
segmenfdinding torak tersebut.
Sirkulasi (Circulation)
Berkurangnya jumlah oksigen di perifer akibat gangguan distribusi / sirkulasi akan
mengakibatkan syok. Pulsasi penderita akan melemah, kecil sampai tidak teraba,
palltor, kulit terasa dingin, dan berkeringat. Permulaan penderita gelisah sampai tidak
sadar. Perlu Anda ketahui bahwa adanya takhikardi seperti denyut nadi lebih dan 120
permenit pada penderita dewasa, anak-anak dua kali lipat dan orang dewasa
merupakan tanda awal akan terjadinya syok. Penyebab syok pada trauma umumnya
akibat perdarahan. Perdarahan ekstemal Anda harus menghentikan perdarahan
tersebut dengan bebat menekan pada survei awal ( primary survey ). Jangan
melakukan pengikatan atau alat
hemostat untuk hal tersebut. Bila tidak ada perdarahan ekstemal maka Anda
memikirkan perdarahan internal yang biasanya perdarahan di rongga pelvis, abdomen
atau rongga torak. Tapi pada fraktur tertutup seperti fraktur femur atau fraktur terbuka
dapat menimbulkan syok. Tidak semua sok disebabkan oleh perdarahan, tapi dapat
juga akibat dan jantung itu sendiri tidak mampu mendistribusikan darah ke perifer
sehingga disebut syok kardiogenik seperti cardiac tamponade atau trauma tulang
belakang yang menyebabkan hilangnya tonus vasomotor sehingga terjadi vasodilatasi
perifer dan disebut syok neurogenik. Perbedaan antara syok hemorrhagic dengan syok
kardiogenik dan syok neurogenik yartu adanya hipotensi tanpa takhikardi. Mengatasi
keadaan ini. Anda harus melakukan pemberian cairan kristaloid atau darah dan dalam
keadaan terpaksa dapat menggunakan darah O dengan Rh negatif. Pemberian
vasopressor agent akan membantu, kecuali bila akibat perdarahan.
Resusitasi
Ketiga tindakan diatas, jalan napas, pernafasan dan sirkulasi disebut resusitasi yang
dikerjakan pada survei awal sehingga objektifnya adalah mempertahan dan menjamin
akan kebutuhan oksigen penderita. Setelah jalan napas terjamin dan ventilasi 100%
telah dimulai maka dilakukan resusitasi cairan dengan memasang infus jarum nomer
16 atau lebih besar lagi secara intravenous. Bila terjadi kesukaran pada anak-anak
dapat menggunakan kanalis medularis tibia atau femur. Penderita hipotensi dan
takhikardi diberikan cairan laktat 2 liter ( 20 ml/kg berat badan untuk anak-anak )
secepat mungkin. Bila vital sign terkoreksi baik maka cairan perinfus dipertahankan,
tapi bila tidak terkoreksi maka ditambah lagi 2 liter dan tranfusi darah harus segera
dipikirkan.
Sumber : Armis. 2010. Buku Ajar Trauma Muskuloskeletal. Sub Bagian Bedah
Orthopedi. FK UGM : Jogjakarta
Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada
penanganan agar komplikasi terhindar dari kematian atau kecacatan. Penatalaksanaan
fraktur terbuka derajat III meliputi tindakan life saving dan life limb dengan resusitasi
sesuai dengan indikasi, pembersihan luka dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan
debridement, pemberian antibiotik (sebelum, selama, dan sesudah operasi), pemberian
anti tetanus, penutupan luka, stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan definitif
dihindari pada hari ketiga atau keempat karena jaringan masih inflamasi/ infeksi dan
sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca
trauma.
Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai
berikut :
a. Pertolongan pertama
Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan mencegah
gerakan-gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi
fraktur bisa menggunakan splint atau bandage yang mudah dikerjakan dan efektif.
Luka ditutup dengan material yang bersih dan steril.
b. Resusitasi
Penatalaksanaan sesuai dengan ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan
memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula
dikerjakan penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Kehilangn
banyak darah pada frkatur terbuka derajat III dapat mengakibatkan syok
hipovolemik dan dapat diperberat oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok
neurogenik. Tindakan resusitasi dilakukan dilakukan bila ditemukan tanda syok
hipovolemik, gangguan nafas atau denyut jantung karena fraktur
terbukaseringkali bersamaan dengan cedera organ lain. Penderita diberikan
resusitasi cairan Ringer Laktat atau transfusi darah dan pemberian analgetik
selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis dilakukan setelah pasien
stabil.
c. Penilaian awal
Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan
penanganan awal yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam
dengan baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan komplikasi akibat
fraktur itu sendiri.
d. Terapi antibiotik dan Anti Tetanus Serum (ATS)
Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya
trauma. Antibiotik adalah yang berspektrum luas, yaitu sefalosporin generasi I
(cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2
mg/kgBB tiap 8 jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap
hari dengan memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan
dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru. Bila dalamperawatan ditemukan
gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas
ulang untuk penyesuaian ualng pemberian antibiotik yang digunakan. Pemberian
anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan
dengan kondisi luka yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan
kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita
yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat diberikan
gemaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas
usia 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak
dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus dari binatang dengan
dosis 1500 unit dengan tes subkutan0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat
imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara
intramuskular.
e. Debridement
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan mati,
memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam anestesi
umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi pada
tungkai yang mengalami cedera dan menahannya agar tetap ditempat. Pembalut
yang sebelumnya digunakan pada luka diganti dengan bantalan yang steril dan
kulit di sekelilingnya dibersihkan dan dicukur. Kemudian bantalan tersebut
diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar garam fisiologis.
Irigasi akhir dapat disertai obat antibiotika, misalnya basitrasin. Turniket tidak
digunakan karena akan lebih jauh membahayakan sirkulasi dan menyulitkan
pengenalan struktur yang mati.
f. Penanganan jaringan lunak
Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue
tranplantation atau falap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang hilang
dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.
g. Penutupan Luka
Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan
debridement dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa
tegangan. Pada luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya
dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap
hari. Setelah 5 7 hari dan luka bebas dan infeksi dapat dilakukan penutupan
kulit secara sekunder atau melalui tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari
perawatan terbuka untuk menghindari terjadi khondrolisis yaitu kerusakan
epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan tulang pada anak relatif lebih
cepat, maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya untuk mencegahnya
deformitas.
h. Stabilitas fraktur
Dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaangips sebagai temporary
splinting dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian
bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam
dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices sebagai
terapi stabilisasi definitif. Pemasangan fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka
jaringan luka baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar
(external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah salah satu
pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk
mempermudah perawatan luka harian.
6. Pembagian fraktur :
a. Ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2
antara lain:
Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu :
Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement
c. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
7. Klasifikasi syok :
a. Syok hipovolemik kehilangan cairan/plasma (karena luka bakar, gagal ginjal,
diare, muntah), kehilangan darah (sebelum atau sesudah operasi).
b. Syok kardiogenik syok yang disebabkan kegagalan jantung, metabolisme
miokard. Apabila lebih dari 40% miokard ventrikel mengalami gangguan, maka
akan tampak gangguan fungsi vital dan kolaps kardiovaskular.
c. Syok distributif terjadinya gangguan distribusi aliran darah (pada seseorang
yang sehat mendadak timbul demam tinggi dan keadaan umum memburuk setelah
dilakukan tindakan instrumentasi atau prosedur invasif).
d. Syok obstruktif terjadinya gangguan anatomis dari aliran darah berupa
hambatan aliran darah.
e. Syok lainnya syok yang terjadi karena faktor lainnya, seperti : Reaksi
anafilaksis, hipoglikemia, kelebihan dosis obat, emboli paru, tamponade jantung,
dll.
Manajemen syok :
Pada dasarnya penanganan syok ditujukan untuk hal-hal di bawah ini antara
lain sebagai berikut :
++ 0 +-
+- ++ +
+- +- +-
+- +- ++
+- +- ++
Keterangan :
+ + : Utama
+ : Umumnya diperlukan
* Pastikan bahwa jalan nafas terbuka, kalau masih ada hambatan jalan nafas,
pasang intubasi atau beri nafas buatan dengan respirator
b. Pemberian cairan
* Bila keadaan membaik (TD me, Nadi me, Denyut nadi menguat, Perfusi
perifer membaik, Urine me) bila Hb > 8 gr% observasi vital sign
* Pada syok jenis lain (bila kita ragu volume cairan intravaskuler) pasang CVP
dan dilakukan Fluid Challenge Test.
* Bila dengan semua yang disebutkan diatas, kegagalan perfusi tetap tidak
membaik berikan obat-obatan vasoaktif (inotropik dan vasodilator).
c. Pemberian obat golongan vasoaktif
- Antibiotika ini diberikan terutama pada syok yang disebabkan karena invasi
bakteri (pada syok septik).
e. Pemberian Steroid
f. Tindakan operatif
g. Nutrisi parenteral
- Diberikan sejumlah kalori yang cukup biasanya > 50 kcal/kg BB per 24 jam
untuk mencegah katabolisme yang akan memperjelek keadaan penderita
Sumber : Diktat Kuliah Ilmu Pengantar Anestesiologi. 2010. Edisi IV. Sie Bursa
Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya : Surabaya
Multiple trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem
organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara lebih khusus,
multiple traumaadalah suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat keparahan
yang cukup tinggi (ISS >16) yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang
kemudian akan menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang
letaknya jauh dan sistem organ yang vital yang tidak mengalami cederaakibat trauma
secara langsung.
Tujuan utama dari penanganan awal pasien multiple traumaadalah untuk
membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah resusitasiuntuk memastikan
perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. Hal tersebut dapat dicapai
dengan cara konservatif seperti intubasi, ventilasi, dan volume replacementsesuai
dengan protokol Advanced Trauma and Life Support / ATLS. Bila dengan cara
konservatif tidak bisa memberikan respon yang positif maka dapat dilakukan
immediate life-saving surgery
Untuk penanganan awal digunakan konsep damage control, yaitu kontrol
terhadap perdarahan dan kontaminasi, irigasi, packing, serta penutupan luka atau
rongga abdomen. Selanjutnya dilakukan stabilisasi fungsi fisiologis pasien di ICU,
yang kemudian diikuti dengan pembedahan definitif bila kondisi pasien
memungkinkan.
Sumber : de Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC : Jakarta
9. Penanganan untuk cidera medulla spinalis :
Evaluasi Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer
terdiri atas:
A : Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulationdengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas(status neurologis)
E: Exposure/environmental control
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma
dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik
dilakukan secara cepat dengan meminta pasien meng-genggam tangan pemeriksaan
dan melakukan dorsofl eksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya
retensi urin, priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfi ngter ani. Temperatur kulit
yang hangat dan adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di
bawah level trauma.
Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan
oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses lain
yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema, perdarahan, degenerasi akson,
demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik seluler.Pada tingkat seluler, terjadi
peningkatan kadar asam amino eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas, opioid
endogen serta habisnya cadangan ATP yang pada akhirnya menyebabkan kematian
sel.Bertambahnya pemahaman fisiologi trauma medula spinalis akan menambah
pilihan terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino
steroid, antagonis reseptor opioid, gangliosida, thyrotropin-releasing hormone (TRH),
antioksidan, kalsium, termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya
memberikan hasil baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis
bermakna.
Bedah
Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan
pemasangan fiksasi interna. Ini dilakukan misalnya, pada fraktur femur, tibia,
humerus, lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam
sumsum tulang panjang, bisa juga berupa plat dengan sekrup di permukaan
tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah bisa dicapai reposisi
sempurna dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak
perlu lagi dipasang gips dan segera bisa dilakukan mobilisasi. Kerugiannya
adalah reposisi secara operatif ini mengundang risiko infeksi tulang.
Eksisi fragmen patahan tulang dan menggantinya dengan prostesis, yang
dilakukan pada fraktur kolum femur. Kaput femur dibuang secara operatif dan
diganti dengan prostesis. Ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada
kolum femur tidak dapat menyambung kembali.
Sumber : de Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC : Jakarta
Sumber :
Rasjad, C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Yarsip Watampone : Jakarta