Anda di halaman 1dari 4

Menelaah Plato dalam Apologia Sokratus, Atau Pembelaan Diri Socrates

DIMUAT OLEH: PECINTA ILMU PADA TANGGAL 10/21/2014 12:57:00 PM , BELUM ADA KOMENTAR

Ketika semua orang di sekitar kita mencuri, apakah kita akan ikut mencuri? Beranikah kita
berkata tidak di dalam keadaan seperti itu? Atau, kita takut pada tekanan kelompok; takut
dikucilkan? Ketika semua orang berkata ya, beranikah kita berkata tidak, jika itu adalah
kata nurani kita?

Banyak orang takut pada tekanan kelompok. Mereka lalu menjadi konformis, yakni mengikut
tekanan kelompok secara buta, tanpa pertimbangan lebih jauh.

Dampaknya beragam, mulai dari korupsi berjamaah di berbagai instansi pemerintah di


Indonesia, sampai dengan kerusuhan massal setelah menontong sepak bola. Apa yang harus
kita lakukan, ketika kelompok atau masyarakat menekan kita untuk melakukan hal-hal yang
tidak sesuai dengan nurani kita?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu belajar dari Plato dan Sokrates. Plato menjabarkan
soal semacam ini di dalam bukunya Apologia Sokratus. Para ahli masih berdebat, apakah isi
buku itu merupakan pendapat Plato, atau Sokrates. Namun, saya rasa, yang penting bukanlah
siapa yang menulis, tetapi apa isi tulisannya.

Sebagai seorang filsuf, Sokrates (470 sampai 399 sebelum Masehi) tidak pernah menulis buku.
Pengetahuan kita tentang Sokrates datang dari Plato (427 sampai 347 sebelum Masehi),
muridnya. Menurut Plato, Sokrates berfilsafat tidak melalui tulisan yang sistematik, melainkan
dengan dialog yang dinamis dengan lawan bicaranya. Artinya, ia mengembangkan ide tidak
dengan pikirannya sendiri, melainkan dalam dialog dengan pikiran orang lain yang berkembang
melalui pertanyaan-pertanyaan kritis.

Sokrates adalah tokoh yang banyak muncul di dalam dialog-dialog yang ditulis oleh Plato.
Bahkan dapat dikatakan, bahwa figur Sokrates adalah tokoh utama sekaligus teladan di
dalam tulisan-tulisan Plato. Hal yang sama juga terjadi di dalam buku Plato yang berjudul
Apologia Sokratus. Buku ini kerap juga disebut sebagai argumen pembelaan dari Sokrates
(Verteidigungsrede des Sokrates).

Buku Apologia merupakan salah satu tulisan awal dari Plato. Ia terdiri dari 25 halaman dan
memiliki gaya bahasa sastrawi. Dewasa ini, banyak orang meragukan keaslian dari teks
tersebut, yakni apakah Plato sungguh menulis teks tersebut, atau orang lain. Beberapa ahli
filsafat kuno seperti dikutip oleh Knig, menyebut masalah ini sebagai mitos Sokrates (Sokrates-
Mythos).
Lepas dari masalah ini, teks Apologia Sokratus terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi
pembelaan Sokrates atas tuduhan yang dijatuhkan kepadanya oleh masyarakat Athena, bahwa
ia telah meracuni pikiran anak muda Athena. Bagian kedua berisi diskusi mengenai bentuk
hukuman yang selayaknya diberikan, setelah orang diputuskan bersalah. Bagian ketiga berisi
diskusi tentang hukuman mati.

Sokrates sendiri tidak memberikan pembelaan nyata di hadapan pengadilan Athena atas
tuduhan yang diberikan padanya. Bahkan ada kesan, bahwa ia justru memprovokasi
pengadilan Athena untuk memberikan hukuman padanya. Hal ini terlihat amat nyata di bagian
kedua buku Apologia, dimana Sokrates bahkan menyarankan beberapa bentuk hukuman yang
layak diberikan kepadanya. Ia bahkan menyatakan, bahwa ia tidak melihat hukum yang
diberikan sebagai hukuman, melainkan sebagai hadiah atas apa yang telah ia lakukan.

Ia juga menyatakan, bahwa ia tidak takut pada hukuman mati. Ada juga kesan, bahwa dialog
Apologia ini bukanlah sebuah buku sejarah yang menceritakan kejadian di masa lalu secara
tepat, melainkan sebagai cara dari Plato untuk menggambarkan pribadi Sokrates yang amat
unik sebagai seorang filsuf. Pada beberapa bagian, Plato bahkan menceritakan, bagaimana
Sokrates mengajukan pendapatnya soal kehidupan setelah mati, sesuatu yang tidak mungkin
terjadi di dalam pengadilan nyata.

Pada bagian pertama, Sokrates memulai argumennya. Ia mengajukan pendapat, bahwa Orakel
di Delphi, yang terkenal sebagai orang bijaksana yang mengetahui segalanya, bukanlah orang
paling bijak di dunia. Bagi Sokrates sendiri, orang yang paling bijaksana di dunia adalah orang
yang merasa, bahwa dirinya tidak tahu banyak, sehingga terdorong untuk terus belajar, tanpa
henti. Pendapat ini menjadi semacam gambaran ideal (Vorbild) dari sosok filsuf, sampai
sekarang ini.

Kebenaran hanya dapat diperoleh melalui proses bertanya terus-menerus dalam diskusi dengan
orang lain. Inilah dasar dari proses berpikir dan berfilsafat, menurut Sokrates. Ini hanya
mungkin, jika orang tidak terjebak di dalam pikiran, bahwa dirinya telah mendapatkan
kebenaran mutlak. Tentu saja, di dalam proses diskusi ini, Sokrates banyak membuat orang
marah dan benci padanya, karena pertanyaan-pertanyaan Sokrates begitu mendasar dan tajam,
sehingga membuat orang yang paling cerdas di masyarakat pun tidak mampu menjawabnya.

Pada bagian berikutnya di dalam Apologia, Sokrates menyatakan, bahwa ia tidak takut pada
kematian, ataupun hukuman mati dari pengadilan Athena. Ia menyatakan, bahwa ia telah
bertindak berdasarkan nuraninya (Gewissen), sehingga ia tidak perlu takut pada apapun yang
akan terjadi padanya. Ia juga sama sekali tidak takut dengan hukuman mati, walaupun ia tak
tahu pasti, apa yang akan terjadi padanya setelah kematian nanti. Sokrates bisa saja meminta
hukuman yang lebih ringan, misalnya denda uang, tetapi ia memilih untuk tidak
melakukannya.

Di dalam buku Apologia ini, Plato melihat Sokrates sebagai figur teladan para filsuf. Ia
menunjukkan cara mencapai kebijaksanaan dan kebenaran, serta batas-batas dari pengetahuan
manusia. Sokrates juga menunjukkan, bagaimana orang harus belajar untuk berpikir sendiri,
dan setia pada nuraninya, walaupun keadaan di sekitar mengancamnya. Tubuh manusia bisa
dibunuh dan dihancurkan. Namun, jiwa dan pikirannya tidak akan pernah bisa ditaklukkan.

Plato mengajarkan kita untuk setia pada nurani kita, apapun yang terjadi. Setiap manusia
diberikan nurani di dalam hatinya untuk mempertimbangkan berbagai keputusan dalam
hidupnya. Seringkali, nurani itu dibungkam dengan berbagai alasan, seperti sifat rakus dan
rasa takut. Hidup yang mengkhianati nurani hanya akan berbuah pada kekecewaan.
Pengingkaran pada nurani adalah pembunuhan atas jiwa manusia.

Plato juga mengajak kita untuk hidup dengan keberanian. Jika kita sudah mengikuti hati
nurani kita, maka kita tidak perlu takut pada hukuman atau tuntutan masyarakat. Kita juga
perlu untuk berani mempertanyakan pandangan-pandangan lama yang sudah tidak lagi cocok
untuk masa sekarang, walaupun itu membuat banyak orang marah, dan kemudian mengancam
kita. Keberanian dan hati nurani adalah satu-satunya jalan untuk sampai pada kebijaksanaan,
menurut Plato.

Kematian, menurut Plato, juga bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Ketika kita hidup dengan
hati nurani kita, maka kematian justru haruslah dilihat sebagai hadiah atas keberanian kita.
Badan bisa dikuasai dan dihancurkan. Tetapi, jiwa dan hati nurani kita bisa tetap bebas untuk
mencari kebenaran, selama kita hidup dengan keberanian.

Salah satu bentuk keberanian yang amat penting untuk dimiliki adalah keberanian untuk
berpikir sendiri, berpikir mandiri. Berpikir mandiri berarti berani mempertanyakan anggapan-
anggapan umum dan tradisi yang sudah ada, lalu mencari apa yang lebih cocok untuk keadaan
tertentu. Berpikir mandiri berarti berani mengambil jarak dari masyarakat, dan menengok ke
dalam diri sendiri. Ini tentu bisa membuat banyak orang marah, dan itulah yang dialami
Sokrates, karena ia mengajak orang untuk berpikir mandiri, berjarak dari tradisi yang sudah
ada.

Untuk bisa berpikir mandiri, orang pertama-tama mesti sadar, bahwa ia tidak tahu segalanya.
Bahkan, ia tidak bisa mengetahui apapun secara pasti. Maka, ia harus bertanya dan berdiskusi
dengan orang lain, supaya bisa semakin mendekati kebenaran. Plato, melalui mulut Sokrates,
menegaskan, bahwa orang yang paling bijaksana di dunia adalah orang yang merasa tidak tahu
apa-apa.

Walaupun kita mengetahui suatu hal, kita juga tetap harus sadar, bahwa pengetahuan kita itu
tidak mutlak. Keberanian untuk mengikuti hati nurani, berpikir mandiri dan sikap rendah
hati di dalam pengetahuan adalah pola berpikir filosofis yang diajarkan oleh Plato dan
Sokrates. Di jaman sekarang, dimana setiap orang, terutama para ahli, merasa mengetahui
kebenaran mutlak, dimana orang jujur dan berani semakin sulit ditemukan, ajaran Plato dan
Sokrates justru semakin penting. Mereka mendirikan dasar yang kokoh bagi perkembangan
filsafat selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai