Anda di halaman 1dari 31

DIABETES MELLITUS

1. Metabolisme Karbohidrat Insulin


Pada metabolisme karbohidrat insulin berperan merangsang glukosa transporter untuk
membawa glukosa darah ke seluruh sel didalam tubuh, jika insulin berkurang maka glukosa
dalam darah akan meninggi sehingga mengalami penyakit DM. Polisakarida dirubah oleh
enzim -glukosidase menjadi monosakarida selanjutnya diabsorbsi dalam usus halus menjadi
glukosa dalam darah dan selanjutnya dengan adanya rangsangan insulin glukosa transporter
dibangkitkan membawa glukosa ke dalam sel, selanjutnya digunakan sebagai energi,
glikogen dan adiposa (Guyton, and Hall, 2007).
Pada pasien yang menderita penyakit DM, insulin tidak mencukupi untuk merangsang
glukosa transporter, sehingga untuk mencegah supaya glukosa di dalam darah tidak
menumpuk perlu hambatan terhadap enzim -glukosidase. Pengendalian hiperglikemia pada
penderita DM antara lain pendekatan terapi berupa penghambatan enzim penghidrolisis
karbohidrat seperti amilase dan -glukosidase untuk memperlambat absorbsi glukosa
sehingga kadar gula darah tetap normal. Penghambatan -glukosidase pada usus mamalia
mampu menurunkan kadar glukosa darah dari hasil metabolisme polisakarida dan
oligosakarida. Perlambatan penyerapan glukosa darah menyebabkan pengurangan
hiperglikemia postprandial untuk mencegah komplikasi kronis dari Diabetes Melitus seperti
retinopati dan neuropati. (Ngadiwiyana et al, 2011).
2. Absorbsi Glukosa Dalam Tubuh
Telah diketahui terdapat 5 tranporter glukosa yang berbeda-beda yaitu GLUT 1,
GLUT 2, GLUT 3, GLUT 4, dan GLUT 5. Molekul- molekul ini mengandung 492-524 asam
amino dan afinitasnya terhadap glukosa bervariasi, dan masing-masing transporter di jaringan
mempunyai tugas khusus. GLUT 4 adalah transporter di jaringan otot dan adipose yang
dirangsang oleh insulin.
Dalam sitoplasma sel-sel peka insulin terdapat cadangan molekul GLUT 4, dan bila
sel-sel ini terpapar insulin maka glukosa transporter tersebut bergerak cepat ke membran sel.
Dan bila rangsangan insulin terhenti maka glukosa transporter tersebut kembali ke sitoplasma
(Guyton and Hall, 2007). Ilustrasi dari masuknya glukosa dalam darah dapat di lihat pada
gambar :

1
Pengaturan Kadar Glukosa Darah
Pada orang normal, pengaturan besarnya konsentrasi glukosa darah pada saat puasa
yang pengukurannya dilakukan sebelum sarapan pagi adalah 80 dan 90mg/100ml darah.
Konsentrasi ini meningkat menjadi 120 sampai 140 satu jam setelah makan, namun
konsentrasi gula darah akan kembali normal setelah 2 jam makan. Pada saat kelaparan fungsi
glukoneogenesis dari hati menyediakan glukosa yang dibutuhkan untuk mempertahankan
kadar glukosa darah puasa.
Pengaturan kadar glukosa darah dapat dilihat sebagai berikut:
(1) Hati berfungsi sebagai suatu sistim penyangga glukosa darah yang sangat penting.
Pada saat sesudah makan glukosa darah meningkat, sekresi insulin juga meningkat.
Sebanyak 2/3 dari seluruh glukosa yang diabsorbsi dari usus dalam waktu singkat
akan disimpan di dalam hati sebagai glikogen, beberapa jam kemudian bila
konsentrasi glukosa darah dan kecepatan sekresi insulin berkurang, hati akan
melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Dengan cara ini, hati mengurangi
fluktuasi konsentrasi glukosa darah sampai kira-kira 1/3 dari fluktuasi yang dapat
terjadi.
(2) Fungsi hormon insulin dan glukagon sama pentingnya dengan sistim pengatur umpan
balik untuk mempertahankan konsentrasi glukosa normal. Bila konsentrasi glukosa
darah meningkat, sekresi insulin akan terjadi, insulin akan merangsang glukosa

2
transporter untuk mentransfer glukosa darah ke sel-sel sehingga kadar glukosa di
dalam darah menjadi normal kembali. Sebaliknya pada saat glukosa darah menurun
sekresi glukagon akan meningkat, selanjutnya glukagon akan berfungsi merangsang
meningkatnya kadar glukosa darah sehingga kembali normal. Hormon insulin dan
glukagon berfungsi berlawanan, namun kerjanya berfungsi menormalkan kadar
glukosa di dalam darah.
(3) Pada keadaan hipoglikemia, timbul suatu efek langsung akibat kadar glukosa darah
yang rendah terhadap hipotalamus, yang akan merangsang sistem saraf simpatis.
Selanjutnya hormon epinefrin yang disekresikan oleh kelenjar adrenal menyebabkan
pelepasan glukosa lebih lanjut dari hati. Jadi epinefrin jugamembantu melindungi agar
tidak timbul hipoglikemia yang berat.
(4) Pada saat keadaan diet karbohidrat setelah beberapa hari, sebagai respons terhadap
hipoglikemia yang lama, akan timbul sekresi hormon kortisol dan pertumbuhan,
kedua hormon ini mengurangi kecepatan pemakaian glukosa oleh sebagian besar sel
tubuh, dan sebaliknya akan menambah jumlah pemakaian lemak sehingga akan
mengembalikan kadar glukosa dalam darah kembali normal (Guyton, and Hall, 2007).
Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
1. Metode Oksidasi-Reduksi
Ion kupri dapat mereduksi glukosa dalam larutan alkali panas dan terbentuk ion kupro.
Bila kondisi reaksi dijaga, maka ion kupro yang terbentuk sebanding dengan glukosa
yang bereaksi dengan iodium dalam suasana asam dan kelebihan iodium di dalam
blangko dan sampel dititrasi dengan tisosulfat. Selisihnya dengan glukosa yang ada
dalam sampel (Aryska, 2008).
2. Metode Kondensasi
Glukosa (dan aldosa lain) dapat berkondensasi dengan macam-macam senyawa
aromatik dalam suasana asam panas membentuk produk-produk yang berwarna.
Hidroksimetilpurpural terbentuk dari glukosa dalam larutan asam kuat panas. Gugus
aldehid dari produk ini berkondensasi dengan suatu fenol untuk menghasilkan senyawa
hijau yang dapat diukur secara fotometrik (Aryska, 2008).
3. Metode Enzimatik
Kadar glukosa darah diukur dengan metode enzimatik (glukosa oksidase)
menggunakan alat glukometer. Prinsip kerja penggunaan alat ini yaitu : oksigen
dengan bantuan enzim glukosa oksidase mengkatalis proses oksidasi glukosa menjadi
asam glukonat dan hydrogen peroksida. Dalam reaksi yang kedua, enzim peroksidase

3
mengkatalisis reaksi oksidasi kromogen (akseptor oksigen yang tidak berwarna),
kemudian oleh hydrogen peroksidase membentuk suatu produk kromogen teroksidasi
berwarna biru yang diukur dengan glukometer. Tes strip pada glukometer mengandung
bahan kimia glukosa oksidase 0,8 IU; garam naftalen asam sulfat 42 g; dan 3-metil-
2-benzothiazolin hidrazon.
Glukosa + O2 + H2O <=======> Asam Glukonat + H2O2 (Aryska, 2008).

3. Pentingnya Pengaturan Kadar Glukosa Dalam Darah


Meski selain glukosa, lemak dan protein dapat juga digunakan sebagai sumber energi,
namun keberadaan glukosa sangatlah penting karena secara normal glukosa merupakan satu-
satunya bahan makanan yang dapat digunakan oleh otak, retina, epitel germinal gonad dalam
jumlah yang cukup untuk menyuplai jaringan tersebut secara optimal sesuai dengan energi
yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, konsentrasi glukosa darah harus dipertahankan untuk
mencukupi nutrisi yang dibutuhkan.
Perlunya konsentrasi glukosa harus dijaga karena:
1) glukosa dapat menimbulkan sejumlah besar tekanan osmotik dalam cairan
ekstrasel, dan bila konsentrasi glukosa meningkat sangat berlebihan, akan dapat
mengakibatkan timbulnya dehidrasi sel.
2) Tingginya konsentrasi glukosa dalam darah menyebabkan keluarnya glukosa dalam
air seni.
3) Hilangnya glukosa melaluiurin juga menimbulkan diuresis osmotik oleh ginjal,
yang
dapat mengurangi jumlah cairan tubuh dan elektrolit.
4) Peningkatan jangka panjang glukosa darah dapat menyebabkan kerusakan pada
banyak jaringan, terutama pembuluh darah.
Kerusakan vaskular akibat diabetes melitus yang tidak terkontrol, akan berakibat pada
peningkatan resiko terkena serangan jantung, stroke, penyakit ginjal, dan kebutaan (Guyton,
and Hall, 2007).
Tingkat gula darah diatur melalui umpan balik negatif untuk mempertahankan
keseimbangan di dalam tubuh. Level glukosa di dalam darah dimonitor oleh pankreas. Bila
konsentrasi glukosa menurun, karena dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh,
pankreas melepaskan glukagon, hormon yang menargetkan sel-sel di lever (hati). Kemudian
sel-sel ini mengubah glikogen menjadi glukosa (proses ini disebut glikogenolisis). Glukosa
dilepaskan ke dalam aliran darah, hingga meningkatkan level gula darah.

4
Apabila level gula darah meningkat, entah karena perubahan glikogen, atau karena
pencernaan makanan, hormon yang lain dilepaskan dari butir-butir sel yang terdapat di dalam
pankreas. Hormon ini, yang disebut insulin, menyebabkan hati mengubah lebih banyak
glukosa menjadi glikogen. Proses ini disebut glikogenosis), yang mengurangi level gula
darah.
Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan oleh tidak cukup atau tidak dihasilkannya insulin,
sementara tipe 2 disebabkan oleh respon yang tidak memadai terhadap insulin yang
dilepaskan ("resistensi insulin"). Kedua jenis diabetes ini mengakibatkan terlalu banyaknya
glukosa yang terdapat di dalam darah.
Pengaturan kadar glukosa dalam darah dipengaruhi oleh organ-organ tertentu dan dua
diantaranya penting adalah pankreas dan hati.

1. Pankreas

Pankreas adalah suatu organ yang terdiri dari jaringan eksokrin dan endokrin. Sel
endokrin mensekresikan berbagai jenis hormon. Jenis sel endokrin yang paling banyak
dijumpai adalah sel (mensekresi hormon insulin), sel (mensekresi hormon glukagon), sel
D (memproduksi somatostatin), dan yang paling jarang dijumpai adalah sel PP
(mengeluarkan polipeptida pankreas).

Hormon yang mempunyai peranan penting dalam pengaturan glukosa dalam darah
adalah glukagon dan insulin (Sheerwood, 1996). Fungsi utama insulin adalah merendahkan
kadar glukosa dalam darah dan mengubah glukosa menjadi glikogen, sedangkan glukagon
bekerja meningkatkan glukosa darah dengan cara mengubah glikogen menjadi glukosa
(Faigin, 2001).

2. Hati

Hati berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah normal (Glukostat),


menyimpan glikogen jika terjadi kelebihan glukosa, membebaskan glukosa kedalam darah
jika diperlukan dan merupakan tempat utama interkonversi metabolisme misalnya
glukoneogenesis.

Pada keadaan setelah makan, sebanyak dua pertiga glukosa yang diabsorpsi dari usus
segera disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Jika glukosa tidak memasuki tubuh selama
beberapa jam, glikogen hati diuraikan atas perintah glukagon (yang mengaktifkan enzim
pengurai glikogen, phosphorila.se). Degradasi glikogen menghasilkan glukosa, yang
kemudian dilepaskan kedalam aliran darah sehingga konsentrasi glukosa dalam darah
meningkat. Sebagai reaksi dari kegiatan glukagon yang menaikkan glukosa darah, insulin
diproduksi untuk membawa glukosa yang baru saja dilepaskan kedalam aliran darah menuju
sel-sel tubuh. Hal ini mempercepat turunnya glukosa darah, sebagai akibatnya glukagon
diproduksi untuk mempertinggi glukosa darah, sebagai akibatnya dilepaskan insulin,
demikian seterusnya. Jika masukan karbohidrat ditiadakan, aksi hormon-hormon ini secara
perlahan menghilang karena glikogen hati habis(Farigin, 2001). Pada keadaan terjadi diabetes

5
melitus semua proses tersebut terganggu. glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga
energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Handoko dan Suharto, 1995).

4. Mekanisme Terjadinya Diabetes Melitus

Diabetes melitus secara umum terjadi karena adanya proses patogenesis. Ini

bersamaan dengan rusaknya autoimun pada sel beta di pankreas yang menyebabkan

berkurangnya produksi insulin hingga menjadi abnormal yang menghasilkan resistensi

terhadap kerja insulin. Dasar dari ketidaknormalan metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein pada penderita diabetes merupakan akibat dari berkurangnya kerja insulin pada

jaringan. Berkurangnya hasil kerja insulin adalah dari tidak cukupnya sekresi insulin dan /

atau kurangnya respon jaringan terhadap insulin dalam jalur kompleks kerja hormon.

Penurunan sekresi insulin dan resistensi kerja insulin sering terjadi pada pasien yang sama,

dan itu menjadi tidak jelas apa kelainannya, jika hanya salah satu saja, penybabnya adalah

hiperglikemia.

Gejala hiperglikemia meliputi poluiria, polidipsia, penurunan berat badan, kadang

dengan polipagia, dan penglihatan kabur. Melambatnya pertumbuhan dan kerentanan

6
terhadap infeksi tertentu juga dapat menyertai penderita hiperglikemia kronik. Bahayanya,

ancaman hidup dari akibat diabetes adalah hiperglikemia dengan ketoasidosis atau sindrom

hiperosmolar nonketotik.

Komplikasi jangka panjang dari diabetes meliputi retinopati dengan potensi hilangnya

penglihatan; nefropati yang menyebabkan gagal ginjal; neuropati perifer dengan risiko ulkus

kaki, amputasi, dan sendi Charcot, dan neuropati otonom yang menyebabkan gejala

gastrointestinal, Genitourinari, kardiovaskuler dan disfungsi seksual. Glikasi protein jaringan

dan makromolekul lainnya serta kelebihan produksi senyawa poliol dari glukosa adalah salah

satu mekanisme berpikir untuk menghasilkan kerusakan jaringan dari hiperglikemia kronis.

Pasien dengan diabetes memiliki peningkatan komplikasi atherosklerosis, pembuluh darah

perifer, dan penyakit serebrovaskular. Hipertensi, kelainan metabolisme lipoprotein, dan

penyakit periodontal sering ditemukan pada penderita diabetes. Dampak emosional dan sosial

diabetes dan tuntutan terapi dapat menyebabkan disfungsi psikososial yang signifikan pada

pasien dan keluarganya

7
Gambar Mekanisme glukosa darah

8
5. Diabetes Melitus (DM)

Diabetes Melitus (DM) adalah kondisi dimana konsentrasi glukosa dalam darah
secara kronis lebih tinggi daripada nilai normal (hiperglikemia) yang disebabkan kekurangan
insulin atau fungsi insulin tidak efektif (Guyton, and Hall, 2007).

Diabetes Mellitus disebabkan karena kekurangan hormon insulin yang berfungsi


memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi dan mensintesa lemak (Ditjen Bina Farmasi
dan Alkes, 2005; Syamsudin, et al., 2010). Akibatnya glukosa bertumpuk di dalam darah
(hiperglikemia) dan akhirnya dieksresikan lewat kemih (glikosuria) tanpa digunakan. Karena
itu, produksi kemih sangat meningkat dan mengakibatkan penderita sering mengeluarkan air
seni, merasa amat haus, berat badan menurun dan berasa lelah (Tjay dan Rahardja, 2007).
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah
utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association
(ADA) 2010, DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
(Perkeni, 2011).

Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan terjadinya


penyakit lain) yang paling banyak. Hal ini berkai-tan dengan kadar gula darah yang tinggi
terus menerus sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal
lainnya. Pende-rita diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi jangka panjang jika
diabetesnya tidak dikelola dengan baik (Misnadiarly, 2006).

9
Diabetes Melitus biasa disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit yang
akan ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit
ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-paru,
gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Tidak jarang, penderita DM yang sudah
parah menjalani amputasi anggota tubuh karena terjadi pembusukan (Depkes,2005).

Diabetes Melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan


insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:

a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)


b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer (Hakim, 2010).

6. Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut Francis, and Baxter, 2000, terdapat dua tipe utama Diabetes Melitus yaitu
sebagai berikut:

a) Diabetes Melitus Tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)

Diabetes Tipe I diyakini terjadi akibat infeksi atau gangguan toksik dari lingkungan
yang merusak sel-sel B pankreas pada individu yang memiliki predisposisi genetik di mana
sistem kekebalan tubuh yang agresif akan menghancurkan sel-sel B pankreas saat mengatasi
agen invasif. Pada Diabetes Melitus tergantung insulin, terjadi gangguan katabolik dimana
tidak ada insulin dalam sirkulasi, glukosa plasma meningkat, dan sel-sel B pankreas gagal
berespons terhadap rangsang insulinogenik. Tanpa adanya insulin, ketiga jaringan sasaran
insulin (hati, otot dan lemak) tidak hanya gagal mengambil zat-zat gizi yang telah diabsorbsi
sebagai mana mestinya, bahkan juga terus melanjutkan mengeluarkan glukosa, asam amino,
dan asam lemak ke dalam alirandarah dari depot cadangannya masing-masing. Lebih jauh,
perubahan dalam metabolisme lemak mengarah pada pembentukan dan akumulasi benda-
benda keton.

b) Diabetes Melitus Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus)

Diabetes Mellitus Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel


terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikitmenurun atau berada dalam rentang normal.

10
Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka Diabetes Melitus Tipe II
dianggap sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (Wild, et all., 200).
Diabetes Mellitus Tipe II adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan
fungsi insulin (resistensi insulin) (Depkes, 2005).

Diabetes Tipe II merupakan penyakit multifaktorial dengan komponen genetik dan


linkungan yang sama kuat dalam proses timbulnya penyakit tersebut.Pengaruh faktor genetik
terhadap penyakit ini dapat terlihat jelas dengan tingginya penderita diabetes yang berasal
dari orang tua yang memiliki riwayat diabetes melitus sebelumnya. Diabetes Melitus Tipe II
sering juga di sebut diabetes life style karena penyebabnya selain faktor keturunan, faktor
lingkungan meliputi usia, obesitas, resistensi insulin, makanan, aktifitas fisik, dan gaya hidup
penderita yang tidak sehat juga bereperan dalam terjadinya diabetes ini (Betteng, 2014).

Kejadian Diabetes Tipe II pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita lebih
berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks
masa tubuh yang lebih besar (Fatimah, 2015).

Diabetes Melitus tipe II merupakan sindroma resistensi insulin. Faktor-faktor yang


mengurangi respons terhadap insulin adalah
(1) Penghambat prareseptor yaitu antibodi insulin.
(2) Penghambat reseptor yaitu Autoantibodi reseptor insulin dan Down-regulation
reseptor akibat hiperinsulinemia.
(3) Penghambat post-reseptor yaitu Respons yang buruk dari organ-organ sasaran
utama yaitu obesitas, penyakit hati, inaktivitas otot dan kelebihan hormonal yaitu
glukokortikoid, hormon pertumbuhan, agen-agen kontrasepsi oral, progesterone,
somatomamotropin korion manusia, katekolamin, dan tiroksin.
Tipe diabetes melitus digambar seperti gambar berikut:

11
Gambar
Ilustrasi Tipe Diabetes Melitus (Despopoulos, dan Silbernagl, 1998)

12
7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Diabetes
Secara umum, diabetes melitus dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
Genetika
Seseorang yang memiliki penyakit diabetes miletus dapat menurunkan penyakit
tersebut kepada anak-anaknya. Anak penderita diabetes tipe 2 memiliki peluang menderita
DM 2 sebanyak 15%-30% risiko ketidakmampuan metabolisme karbohidrat secara normal.
Obesitas
(berat badan 20% dari berat ideal) Obesitas yang terjadi pada seseorang dapat
mengakibatkan berkurangnya jumlah sisi reseptor insulin yang dapat bekerja dalam sel pada
otot skeletal dan jaringan lemak. Dengan terjadinya obesitas maka akan merusak sel beta
dalam memproduksi dan melepaskan insulin, sehingga terjadi penumpukan gula darah.
Usia
Semakin bertambah umur seseorang maka prevalensi DM semakin meninggi. Biasanya
DM dialami oleh orang-orang yang telah berusia 30 tahun, yang mana telah mengalami
perubahan fisiologis, anatomi, dan biokimia. Salah satu yang mengalami perubahan adalah
sel beta penghasil insulin pada pankreas.
Hipertensi
Ada hubungan yang bermakna antara tekanan darah dengan diabetes melitus. Hasil
penelitian menunjukan bahwa orang yang terkena hipertensi berisiko lebih besar untuk
menderita diabetes dibanding orang yang tidak hipertensi. Penelitian menurut Sunjaya (2009)
menemukan bahwa individu yang mengalami hipertensi mempunyai risiko 1,5 kali lebih
besar untuk mengalami diabetes dibanding individu yang tidak hipertensi.

8. Etiologi Diabetes Melitus


1. Etiologi Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes Melitus Tipe I disebabkan oleh terutama terjadinya kekurangan hormon insulin
pada proses penyerapan makanan. Insufisiensi insulin yang pada Diabetes Melitus Tipe 1
dikaitkan dengan genetik yang pada akhirnya menuju proses perusakan imunologik sel-sel
yang memproduksi insulin.
Diabetes Melitus Tipe I dikarakteristikan oleh kerusakan sel beta pankreas yang
mengarah kepada defisiensi insulin. Diabetes Mellitus Tipe 1 adalah salah satu penyakit yang
paling umum terjadi pada anak-anak, tiga sampai empat kali lebih umum dibandingkan

13
dengan penyakit anak-anak lainnya seperti sistik fibrosis, artritis rheumatoid anak-anak, dan
leukemia (Black, 2009).
Diabetes Mellitus Tipe 1 diwariskan dalam bentuk alel heterozigot. Kembar identik
memiliki risiko 25%-50% mewariskan penyakit ini, sedangkan saudara kandung berisiko 6%
dan keturunan berisiko 5%.
2. Etiologi Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes Melitus Tipe II disebabkan kegagalan relatif sel dan resistensi insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak
mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif
insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan
glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekrasi insulin lain.
Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glikosa.

9. Patofisiologi Diabetes Melitus


1. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1

Pada Diabetes Tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena


sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi
akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal
dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan

14
menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam
darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring
keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih
(poliuria)dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan
(polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan
kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan
glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-
asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan
terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu
akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang
merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang
diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual,
muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan
elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan
mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar
gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.

15
2. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II

Pada Diabetes Melitus Tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat
dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulin pada Diabetes Melitus Tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan
demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi
glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar
glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi Diabetes Melitus Tipe II. Meskipun terjadi
gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM Tipe II, namun masih terdapat insulin
dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton
yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada Diabetes Melitus Tipe
II. Meskipun demikian, Diabetes Melitus Tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan
16
masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik
(HHNK).
Diabetes M elitus Tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia
lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama
bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi.
Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup
kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi
vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya sangat tinggi).

Patofisiologi diabetes melitus tipe 2 terdiri atas tiga mekanisme, yaitu:

1. Resistensi terhadap insulin


Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan hormon
insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer (terutama pada otot
dan hati), ini sangat menyolok pada Diabetes Melitus Tipe II. Resistensi terhadap insulin ini
merupakan hal yang relatif. Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan
kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan Diabetes Melitus Tipe II, terjadi
penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah 30 - 60 % daripada orang
normal. Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan
insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif dan meningkatkan pengeluaran glukosa hati.
Kedua efek ini memberikan kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan
pengeluaran glukosa hati digambarkan dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma Glukose)
atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot terjadi gangguan pada penggunaan glukosa secara
non oksidatif(pembentukan glikogen) daripada metabolisme glukosa secara oksidatif melalui
glikolisis. Penggunaan glukosa pada jaringan yang independen terhadap insulin tidak
menurun pada Diabetes Melitus Tipe II.
Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui. Level kadar
reseptor insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot menurun, hal ini merupakan
defek sekunder pada hiperinsulinemia bukan defek primer. Oleh karena itu, defek pada post
reseptor diduga mempunyai peranan yang dominan terhadap terjadinya resistensi insulin.
Polimorfik dari IRS-1 (Insulin Receptor Substrat) mungkin berhubungan dengan intoleransi
glukosa. Polimorfik dari bermacam-macam molekul post reseptor diduga berkombinasi
dalam menyebabkan keadaan resistensi insulin.
Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada defek PI-3 kinase
(Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya reduktasi translokasi dari GLUT-4

17
(Glukose Transporter) ke membran plasma untuk mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan
insulin tidak dapat diangkut masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk
metabolisme sel, sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat dan akhirnya
menyebabkan terjadinya hiperglikemi.

2. Defek sekresi insulin


Defek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya Diabetes Melitus Tipe II. Pada
hewan percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal, resistensi insulin tidak akan
menimbulkan hiperglikemik karena sel ini mempunyai kemampuan meningkatkan sekresi
insulin sampai 10 kali lipat. Hiperglikemi akan terjadi sesuai dengan derajat kerusakan sel
beta yang menyebabkan turunnya sekresi insulin. Pelepasan insulin dari sel beta pankreas
sangat tergantung pada transpor glukosa melewati membran sel dan interaksinya dengan
sensor glukosa yang akan menghambat peningkatan glukokinase. Induksi glukokinase akan
menjadi langkah pertama serangkaian proses metabolik untuk melepaskan granul-granul
berisi insulin. Kemampuan transpor glukosa pada Diabetes Melitus Tipe II sangat menurun,
sehingga kontrol sekresi insulin bergeser dari glukokinase ke sistem transpor glukosa. Defek
ini dapat diperbaiki oleh sulfonilurea.

Kelainan yang khas pada Diabetes Melitus Tipe II adalah ketidakmampuan sel beta
meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa oral dan
lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase lambat, dimana
sekresi insulin pada Diabetes Melitus Tipe II terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan orang
normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi
hiperglikemi yang ada atau terjadi defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi
sepanjang hari. Hilangnya fase akut juga berimplikasi pada terganggunya supresi glukosa
endogen setelah makan dan meningkatnya glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon.
Selain itu, defek yang juga terjadi pada Diabetes Melitus Tipe II adalah gangguan sekresi
insulin basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara kontinyu dengan
kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15 menit (pulsasi) dan 120 menit
(osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk meregulasi kadar glukosa darah puasa dan
menekan produksi hati. Puncak-puncak sekresi yang berpola ini tidak ditemukan pada
penderita DM Tipe II yang menunjukan hilangnya sifat sekresi insulin yang berdenyut.

18
3. Produksi glukosa hati
Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada keadaan
normal, insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan glikogen dan menurunkan glukosa
produk hati. Pada penderita Diabetes Melitus Tipe II terjadi peningkatan glukosa produk hati
yang tampak pada tingginya kadar glukosa darah puasa (BSN). Mekanisme gangguan
produksi glukosa hati belum sepenuhnya jelas.
Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan kadar insulin
portal sebesar 5 U/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan lebih dari 50% penekanan
produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil yang demikian, penderita Diabetes Melitus Tipe
II ini membutuhkan kadar insulin portal yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan
terjadinya resistensi insulin pada hati. Peningkatan produksi glukosa hati juga berkaitan
dengan meningkatnya glukoneogenesis (lihat gambar) akibat peningkatan asam lemak bebas
dan hormon anti insulin seperti glukagon.

10. Gejala Klinis


Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik.
Gejala akut diabetes melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan), Polidipsia (banyak
minum), Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan
mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada
pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam
kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg (Fatimah, 2015).

11. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima sesuai dengan Konsensus
Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
DM.
Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :
Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati.

19
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat
badan dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan perilaku (Hakim, 2010).

12. Pengendalian Diabetes Melitus


1. Diet

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%,
lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan BMI
(Body Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupupakan
alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Untuk mengetahui nilai IMT ini,
dapat dihitung dengan rumus berikut:

()
=
() ()

2. Exercise (latihan fisik/olahraga)


Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit,
yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance
(CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan
jalan kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.
3. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan kesehatan
pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat resiko tinggi. Pendidikan
kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan
untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit
menahun.

20
4. Obat
Oral hipoglikemik, insulin Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan
fisik tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian
obat hipoglikemik (Fatimah, 2015).

13. Pengobatan Diabetes Melitus


Secara teoritis, pengobatan Diabetes Melitus tipe I adalah dengan memberikan insulin
secukupnya sehingga metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada pasien dapat
senormal mungkin. Insulin tersedia dalam berbagai bentuk. Insulin regular mempunyai
durasi kerja yang lamanya 3 sampai 8 jam, sedangkan insulin dalam bentuk lainnya (yang
dipresipitasikan dengan seng atau dengan berbagai derivat protein) diabsorbsi secara lambat
dari tempat penyuntikannya dan oleh karena itu mempunyai efek yang lamanya 10 sampai 48
jam. Biasanya, pasien diabetes tipe I yang berat setiap harinya diberi dosis tunggal insulin
yang mempunyai daya kerja lama untuk meningkatkan seluruh metabolisme karbohidrat
sepanjang hari. Lalu bila kadar glukosa darah naik terlalu tinggi, misalnya pada waktu
makan, dapat diberikan tambahan insulin regular di hari tersebut. Jadi, pola pengobatan
pasien disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu.
Pada orang dengan Diabetes Melitus tipe II, diet dan olah raga biasanya
direkomendasikan untuk menurunkan berat badan dan mengurangi resistensi insulin. Jika
upaya tersebut tidak berhasil, obat-obatan dapat diberikan untuk meningkatkan sensivitas
insulin atau untuk merangsang produksi insulin pankreas. Akan tetapi, pada beberapa orang,
insulin dari luar harus digunakan untuk mengatur kadar gula darah.(Gayton and Hall, 2007).

(1). Insulin
Insulin dihasilkan oleh sel pada pulau langerhans pankreas dan disekresikan ke dalam darah
sebagai reaksi langsung terhadap keadaan hiperglikemia. Pemberian insulin dilakukan apabila
pankreas dari pasien tidak dapat bekerja memproduksi insulin secara maksimal. Insulin tidak
dapat digunakan secara oral karena terurai oleh enzim-enzim protease di lambung, maka
selalu diberikan sebagai injeksi. Dalam hati dirombak dengan cepat, plasma t nya hanya 5-
10 menit, maka kerjanya hanya pendek, lebih kurang 40 menit.
Efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel, insulin
mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat
dan lipid, maupun metabolisme protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan lipogenesis,
menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga
mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya,
gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negative dan komplikasi yang sangat
luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh (Guyton and Hall,2007).

Ini dapat menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi dengan cara merangsang
keluarnya insulin dari sel pankreas. Obat-obat golongan ini hanya efektif pada pasien
diabetes mellitus tipe II yang pankreasnya masih aktif. Obat-obat yang termasuk ke dalam
golongan ini adalah: glibenklamida, glipizida, glikazida, glimepirida, glikuidon.

21
(2) Golongan Biguanida. Golongan ini bekerja menghambat glukoneogenesis dan
meningkatkan penggunaan glukosa jaringan. Berbeda dengan sulfonylurea, biguanida tidak
menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan kadar gula darah pada orang sehat. Zat
ini juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, maka layak diberikan
pada penderita yang kegemukan.

(3) Meglitinida. Meglitinida kerjanya merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas. Obat-
obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat hypoglikemik generasi baru
yang kerjanya mirip sulfonylurea. Pada umumnya dipakai dalam bentuk kombinasi dengan
obat-obatan anti diabetik oral lain.

(4) Glukosidase inhibitor. Enzim menghambat kerja enzim-enzim yang mencerna


karbohidrat, sehingga tidak semua karbohidrat dicerna menjadi glukosa dalam darah, obat
golongan ini yaitu Acarbose, Miglitol.

(5) Thiazolidinedion. Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin berikatan dengan


PPARG (Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma) di otot, jaringan lemak, dan
hati untuk menurunkan resistensi insulin.

1. Obat Antidiabetes Oral

Obat Oral untuk antidiabet tediri dari 5 golongan (Francis, and Baxter, 2000), dan
memiliki cara kerja yang berbeda. Golongan-golongan tersebut adalah :

1. Golongan Sulfonylurea. Golongan ini bekerja dengan menstimulir sel-sel secara


langsung untuk mempertinggi sekresi insulinnya. Secara garis besar obat ini dapat
menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi dengan cara merangsang keluarnya
insulin dari sel pankreas. Obat-obat golongan ini hanya efektif pada pasien diabetes
mellitus tipe II yang pankreasnya masih aktif. Obat-obat yang termasuk ke dalam
golongan ini adalah: glibenklamida, glipizida, glikazida, glimepirida, glikuidon.

2. Golongan Biguanida. Golongan ini bekerja menghambat glukoneogenesis dan


meningkatkan penggunaan glukosa jaringan. Berbeda dengan sulfonylurea, biguanida
tidak menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan kadar gula darah pada
orang sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat,
maka layak diberikan pada penderita yang kegemukan.

3. Meglitinida. Meglitinida kerjanya merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas.


Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat hypoglikemik

22
generasi baru yang kerjanya mirip sulfonylurea. Pada umumnya dipakai dalam bentuk
kombinasi dengan obat-obatan anti diabetik oral lain.

4. Glukosidase inhibitor. Enzim menghambat kerja enzim-enzim yang mencerna


karbohidrat, sehingga tidak semua karbohidrat dicerna menjadi glukosa dalam darah,
obat golongan ini yaitu Acarbose, Miglitol.

5. Thiazolidinedion. Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin berikatan dengan


PPARG (Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma) di otot, jaringan
lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin.
14. Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan
kronis. Menurut Perkeni komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut

1. Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawahnilai normal (< 50


mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat
dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-
sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat
mengalami kerusakan.
2. Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-
tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain
ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto
asidosis.

b. Komplikasi Kronis

1. Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yangumum berkembang pada


penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak),
mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
2. Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita
DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi
(Hastuti,2008).

23
Berikut ini adalah beberapa macam bahaya Diabetes Melitus dari berbagai penyakit
komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita diabetes :

1. Penyakit Jantung
Jika kadar gula dalam darah tidak terkontrol dengan baik maka ancaman penyakit
jantung akan selalu mengincar penderita diabetes. Penyakit ini akan menjadi penyebab dada
sakit yang biasanya memang dirasakan oleh penderita diabetes. Beberapa jenis penyakit
jantung yang sering terjadi adalah penyempitan pembuluh darah, stroke, serangan jantung,
penyakit arteri dan kondisi lain. Stroke dan serangan jantung menjadi kasus yang paling
sering terjadi.

2. Kerusakan Sistem Syaraf


Akibat tingginya kadar gula dalam darah maka dapat menyebabkan kerusakan pada
dinding pembuluh darah yang berfungsi untuk menyehatkan saraf tubuh terutama untuk
bagian kaki. Jika kondisi kerusakan sudah terjadi maka biasanya penderita akan sering
merasa kesemutan, mati rasa, rasa terbakar, dan sakit pada bagian ujung jari kaki. Gangguan
kerusakan saraf akan ditandai dengan diare, muntah, mual, sembelit dan gangguan disfungsi
ereksi pada pria.

3. Kerusakan Mata
Kebutaan menjadi salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita
diabetes. Hal ini disebabkan kadar gula darah yang terlalu tinggi telah mengganggu sistem
saraf pusat. Bahkan kadar gula darah yang tinggi juga bisa menyebabkan kerusakan pada
kornea dan lensa mata. Penyakit yang paling sering terjadi adalah glaukoma dan katarak.

4. Kerusakan Ginjal
Ginjal dalam manusia memiliki fungsi yang sangat penting. Ginjal mengandung
jutaan pembuluh darah yang akan menyaring darah dalam tubuh manusia. Ketika kadar gula
dalam darah terlalu tinggi maka bisa menyebabkan kerusakan jaringan yang berfungsi
sebagai saringan kecil. Jika kondisi diabetes sudah parah maka bisa menjadi penyebab gagal
ginjal yang membutuhkan transplantasi atau cuci darah secara berkala.

5. Cacat Kaki
Kerusakan saraf akibat diabetes yang terjadi pada kaki akan menyebabkan komplikasi
kerusakan pada bagian kaki. Bahkan pada kondisi tertentu banyak penderita diabetes yang
harus melakukan amputasi untuk menyematkan jaringan lainnya. Jadi kerusakan kaki
menjadi akibat yang sangat umum dari bahaya diabetes.

6. Infeksi Kulit
Infeksi kulit menjadi kasus yang paling sering terjadi pada penderita diabetes. Infeksi
ini disebabkan oleh jamur, parasit atau virus yang hidup pada luka di kaki. Penderita diabetes
akan mudah terkena luka dan luka tersebut sulit untuk disembuhkan dengan cepat, sehingga
terkadang infeksi menjadi ancaman yang sangat serius.

7. Gangguan Pendengaran
Penderita diabetes memang sering mengalami gangguan pendengaran. Tingkat kadar
gula dalam darah yang terlalu tinggi telah menyebabkan kerusakan sistem pendengaran. Hal
ini membuktikan bahwa bahaya diabetes memang sangat mempengaruhi sistem kerja anggota
tubuh terutama indra penting untuk tubuh.

24
8. Pikun
Penyebab diabetes terutama diabetes tipe II juga memiliki ancaman serius terkena
penyakit yang menganggu sistem memori. Hingga saat ini hubungan antara kadar gula dalam
darah dan sistem memori masih dikembangkan.

15. Pencegahan Diabetes Melitus


Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu:
1. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat
yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan
faktor risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan dengan multimitra. Pencegahan
premodial pada penyakit DM misalnya adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat
merasa bahwa konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik,
pola hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk
menderita DM diantaranya :
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kglm2))
c. Tekanan darah tinggi (>140i90mmHg)
d. Riwayat keiuarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disiipidemia (HvL<35mg/dl dan atau Trigliserida>250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Oleh karena sangat
penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang
pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga badan agar
tidak terlalu gemuk:, dan risiko merokok bagi kesehatan.
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Dalam
pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah
kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi:

25
a. Penyuluhan
b. Perencanaan makanan
c. Latihan jasmani
d. Obat berkhasiat hipoglikemik.
4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatanlebihlanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Pelayanan
kesehatan yang holistic dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama
dirumah sakit rujukan ,misalnya para ahli sesame disiplin ilmu seperti ahli penyakit
jantung,mata,r ehabilitas imedis, gizi dan lain-lain (Slamet,2008).

16. Manifestasi Diabetes Melitus Di Rongga Mulut

Penyakit DM dapat menimbulkan beberapa manifestasi didalam rongga mulut


diantaranya adalah terjadinya gingivitis dan periodontitis, kehilangan perlekatan gingiva,
peningkatan derajat kegoyangan gigi, xerostomia, burning tongue, sakit saat perkusi, resorpsi
tulang alveolar dan tanggalnya gigi (Boel, 2003). Pada penderita DM tidak terkontrol kadar
glukosa didalam cairan krevikular gingiva (GCF) lebih tinggi dibanding pada DM yang
terkontrol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aren dkk menunjukkan bahwa selain
GCF, kadar glukosa juga lebih tinggi kandungannya didalam saliva. Peningkatan glukosa ini
juga berakibat pada kandungan pada lapisan biofilm dan plak pada permukaan gigi yang
berfungsi sebagai tempat perlekatan bakteri. Berbagai macam bakteri akan lebih banyak
berkembangbiak dengan baik karena asupan makanan yang cukup sehingga menyebabkan
terjadinya karies dan perkembangan penyakit periodontal (Aren, 2003).

Diabetes melitus menyebabkan suatu kondisi disfungsi sekresi kelenjar saliva yang
disebut xerostomia, dimana kualitas dan kuantitas produksi saliva dirongga mulut menurun.
Xerostomia yang terjadi pada penderita DM menyebabkan mikroorganisme opotunistik
seperti Candida albican lebih banyak tumbuh yang berakibat terjadinya candidiasis. Oleh
karena itu penderita cenderung memiliki oral hygiene yang buruk apabila tidak dilakukan
pembersihan gigi secara adekuat (Southerland, 2005). Pemeriksaan secara radiografis juga
memperlihatkan adanya resorpsi tulang alveolar yang cukup besar pada penderita DM
dibanding pada penderita non DM. Pada penderita DM terjadi perubahan vaskularisasi
sehingga lebih mudah terjadi periodontitis yang selanjutnya merupakan faktor etiologi

26
resorpsi tulang alveolar secara patologis. Resorpsi tulang secara fisiologis dapat terjadi pada
individu sehat, namun resorpsi yang terjadi pada DM disebabkan karena adanya gangguan
vaskularisasi jaringan periodontal serta gangguan metabolisme mineral (Boel, 2003).

17. Radikal Bebas dan Sistem PertahananTubuh


Radikal bebas adalah sebuah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya (Clarkson dan Thompson, 2000). Radikal
bebas bersifat tidak stabil dan mempunyai reaktivitas yang tinggi, sehingga dapat merebut
elektron dari molekul lain dalam upaya mendapatkan pasangan elektronnya. Molekul yang
kehilangan elektron ini dapat bersifat reaktif, terutama asam lemak tidak jenuh yang
kemudian ditransformasikan menjadi radikal bebas yang sangat reaktif (Nabet,1996).

Jika radikal bebas tidak diinaktivasi, reaktivitas radikal bebas ini dapat menimbulkan
perubahan kimiawi dan merusak seluruh tipe makromolekul seluler seperti karbohidrat,
protein, lipid, dan asam nukleat (Langseth, 2000).

Di samping radikal bebas (free radical), dikenal juga istilah reactive oxygen species
(ROS), yaitu molekul yang bukan hanya merupakan radikal oksigen, tetapi juga beberapa
turunan oksigen yang non radikal (Halliwell dan Gutteridge, 1999).

Radikal bebas (free radical) atau sering juga disebut senyawa oksigen reaktif (reactive
oxygen species/ROS) adalah sebuah molekul atau atom yang mempunyai satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Radikal bebas bersifat tidak stabil, sangat
reaktif dan dapat merebut elektron dari molekul lain dalam upaya mendapatkan pasangan
elektronnya. Molekul yang kehilangan elektron ini dapat bersifat reaktif, terutama asam
lemak tidak jenuh yang kemudian ditransformasikan menjadi radikal bebas yang sangat
reaktif (Nabet, 1996).

Dalam upaya memenuhi keganjilan elektronnya, radikal bebas yang elektronnya tidak
berpasangan secara cepat akan menarik elektron makromolekul biologis yang berada di
sekitarnya sperti protein, asam nukleat, dan asam deoksiribonukleat (DNA). Jika
makromolekul yang teroksidasi dan terdegradasi tersebut merupakan bagian dari sel atau
organel, maka dapat mengakibatkan kerusakan pada sel tersebut (Halliwell dan Gutteridge,
1990).

27
Pada keadaan normal, secara fisiologis sel memproduksi radikal bebas sebagai
konsekuensi logis pada reaksi biokimia dalam kehidupan aerobik. Organisme aerobik
memerlukan oksigen untuk menghasilkan ATP, yaitu suatu senyawa yang merupakan sumber
energi bagi makhluk hidup melalui fosforilasi oksidatif yang terjadi dalam mitokondria. Pada
proses tersebut terjadi reduksi O2 menjadi H2O yang memerlukan pengalihan 4 elektron.
Namun, dalam keadaan tertentu, pengalihan elektron tersebut berjalan kurang sempurna
sehingga dapat terbentuk radikal bebas yang dapat merusak sel jika tidak diredam
(Suryohudoyo, 2007).

Pembentukan radikal bebas akan dinetralisir oleh antioksidan yang diproduksi oleh
tubuh dalam jumlah yang berimbang. Pengaruh negatif radikal bebas terjadi jika jumlahnya
melebihi kemampuan detoksifikasi oleh sistem pertahanan antioksidan tubuh sehingga
menimbulkan kondisi stres oksidatif. Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu :
(1) secara endogen, sebagai respon normal dari rantai peristiwa biokimia dalam tubuh, dalam
sel (intrasel) maupun ekstrasel, dan (2) secara eksogen, radikal bebas didapat dari polutan
lingkungan, asap rokok, obat-obatan, dan radiasi ionisasi atau sinar ultra violet (Supari, 1996;
Langseth, 2000).

28
DAFTAR PUSTAKA

Aryska A. P. S. 2008. Uji Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Ekstrak Etanol 70% Buah
Jambu Biji (Psidium guajava L) Pada Kelinci Jantan Lokal.Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiah Surakarta.
Aren, G., Sepet, E., Ozdemir, D., Dinccag, N., Guvener, B., Firatli, E., Periodontal health,
Saliva Status, and Metabolic Control in Children with Type 1 Diabetes mellitus, J.
Periodontol, 2003;, 74 (12):1789-1795.
Betteng, R., Pangemanan, D., Mayulu, N. 2014. Analisis Faktor Resiko Penyebab Terjadinya
Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif Dipuskesmas Wawonasa, Jurnal
e-Biomedik (eBM), 2 (2) : 404-412.
Black, Joyce M. & Hawks, Jane Hokanson. (2009). Medical-Surgical Nursing: Clinical
Management for Positive Outcomes. 8th ed. St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier.

Boel, T., Manifestasi Rontgenografi Diabetes Mellitus di Rongga Mulut, JKGUI 10 2003;
Edisi Khusus:12-15.
Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Tanrutedong,
Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah Nasional;2010 [cited 2010 feb 17]. Available from
:http://lib.atmajaya.ac.id/default.a spx?tabID=61&src=a&id=186192.
Clarkson, P.M, and H.S. Thompson. 2000. Antioxidants: what role do they play
in physical activity and health Am. J. Clin. Nutr. 72 (Suppl): 637S-646S.
Despopoulos A., dan Silbernagl S. 1998. Atlas Berwarna & Teks Fisiologi. Edisi 4 rev.
Jakarta: Hipocrates.
Departemen Kesehatan. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus.
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 7.
Fatimah, R. N.,2015.Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority. 4(5) : 86-95.

Faigin, R. (2001). Meningkatkan Hormon Secara Alami. Natural Ilormon Enhancement.


Penerjemah. Sugeng hariyanto. Edisi I. Cetakan I. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Halaman. 89-91.

Francis S., Greenspan., John D. B. 2000.Endokrinologi Dasar & Klinik. Edisi IV. Alih
bahasa dr Caroline Wijaya et al. Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Guyton A. C., and Hall J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku
Kedokteran ECG. Jakarta.

29
Hastuti, Rini Tri. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes Melitus
Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta [dissertation]. Universitas Diponegoro
(Semarang). 2008.
Halliwell, B. And J.M.C. Gutteridge. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine. 3th Ed.
Oxford University Press, Inc., New York.

Handoko, T. dan Suharto. B. (1995). Insulin, Glukagon dan Antidiabetik Oral. Dalam Editor.
Ganiswarna. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman. 473-474.
Langseth, L. 2000. Antioxidants and Their Effect on Health. Di dalam: Schmidl
M.K. and T.P. Labuza (Eds.). Essentials of Functional Foods. Aspen Publishers, Inc.
Gaithersburg, Maryland.
Misnadiarly. 2006. Ulcer Gangren Infeksi Diabetes Melli-tus Mengenali Gejala
Menanggulangi Mencegah Komplikasi. Jakarta: Pustaka Populer.
Nabet, F.B. 1996. Zat gizi antioksidan penangkal senyawa radikal pangan dalam
Sistem biologis. Di dalam Zakaria, F.R., R. Dewanti, dan S. Yasni (Ed..) : Prosiding
Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak
terhadap Kesehatan dan Panangkalan. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB
dengan Kedutaan Perancis, Jakarta.
Ngadiwiyana., Ismiyarto., Basid N., Purbowatiningrum R. S. 2001. Potensi Sinamaldehid
Hsil Isolasi Minyak Kayu Manis Sebagai Senyawa Antidiabetes. Majalah Farmasi
Indonesia; 22(1):9-14.
Perkeni.2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia.http://www.perkeni.org/download/Konsensus%20DM%202011.zip.
Slamet S. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
III.Jakarta: Balai Penerbit FK-ill;2008.
Suyono S, Patofisiologi Diabetes Melitus Terkini dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2005: 7-15.
Sunjaya, I Nyoman. 2009. Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali sebagai Faktor Risiko
Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan. Jurnal Skala Husada. 6(1) : 75-81 .

Supari, F. 1996. Radikal Bebas dan Patofisiologi Beberapa Penyakit. Didalam Zakaria F.R.,
R. Dewanti, dan S. Yasni (Edt.). Di dalam : Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan
Sistem Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalan.
Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dengan Kedutaan Perancis. Jakarta.
Suryohudoyo, P. 2007. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. CV Sagung Seto, Jakarta.

Sheerwood, L. (1996). Fisiologi Manusia. Edisi Kedua. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Halaman. 665, 670-671.

30
Southerland, J.H., Taylor, G.W., dan Offenbacher, S., Diabetes and Periodontal Infection:
Making the Connection, Clinical Diabetes, 2005; 23:171-178.
Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaaan dan Efek-
efek Samping. Edisi VI. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal. 48-49.
Wild S , Roglic G, GreenA, Sicree R, king H.Global prevalence of diabetes: estimates for the
year 2000 and projections for 2030. Diabetic care. 2004;27(3);1047-53.

31

Anda mungkin juga menyukai