1
Pengaturan Kadar Glukosa Darah
Pada orang normal, pengaturan besarnya konsentrasi glukosa darah pada saat puasa
yang pengukurannya dilakukan sebelum sarapan pagi adalah 80 dan 90mg/100ml darah.
Konsentrasi ini meningkat menjadi 120 sampai 140 satu jam setelah makan, namun
konsentrasi gula darah akan kembali normal setelah 2 jam makan. Pada saat kelaparan fungsi
glukoneogenesis dari hati menyediakan glukosa yang dibutuhkan untuk mempertahankan
kadar glukosa darah puasa.
Pengaturan kadar glukosa darah dapat dilihat sebagai berikut:
(1) Hati berfungsi sebagai suatu sistim penyangga glukosa darah yang sangat penting.
Pada saat sesudah makan glukosa darah meningkat, sekresi insulin juga meningkat.
Sebanyak 2/3 dari seluruh glukosa yang diabsorbsi dari usus dalam waktu singkat
akan disimpan di dalam hati sebagai glikogen, beberapa jam kemudian bila
konsentrasi glukosa darah dan kecepatan sekresi insulin berkurang, hati akan
melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Dengan cara ini, hati mengurangi
fluktuasi konsentrasi glukosa darah sampai kira-kira 1/3 dari fluktuasi yang dapat
terjadi.
(2) Fungsi hormon insulin dan glukagon sama pentingnya dengan sistim pengatur umpan
balik untuk mempertahankan konsentrasi glukosa normal. Bila konsentrasi glukosa
darah meningkat, sekresi insulin akan terjadi, insulin akan merangsang glukosa
2
transporter untuk mentransfer glukosa darah ke sel-sel sehingga kadar glukosa di
dalam darah menjadi normal kembali. Sebaliknya pada saat glukosa darah menurun
sekresi glukagon akan meningkat, selanjutnya glukagon akan berfungsi merangsang
meningkatnya kadar glukosa darah sehingga kembali normal. Hormon insulin dan
glukagon berfungsi berlawanan, namun kerjanya berfungsi menormalkan kadar
glukosa di dalam darah.
(3) Pada keadaan hipoglikemia, timbul suatu efek langsung akibat kadar glukosa darah
yang rendah terhadap hipotalamus, yang akan merangsang sistem saraf simpatis.
Selanjutnya hormon epinefrin yang disekresikan oleh kelenjar adrenal menyebabkan
pelepasan glukosa lebih lanjut dari hati. Jadi epinefrin jugamembantu melindungi agar
tidak timbul hipoglikemia yang berat.
(4) Pada saat keadaan diet karbohidrat setelah beberapa hari, sebagai respons terhadap
hipoglikemia yang lama, akan timbul sekresi hormon kortisol dan pertumbuhan,
kedua hormon ini mengurangi kecepatan pemakaian glukosa oleh sebagian besar sel
tubuh, dan sebaliknya akan menambah jumlah pemakaian lemak sehingga akan
mengembalikan kadar glukosa dalam darah kembali normal (Guyton, and Hall, 2007).
Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
1. Metode Oksidasi-Reduksi
Ion kupri dapat mereduksi glukosa dalam larutan alkali panas dan terbentuk ion kupro.
Bila kondisi reaksi dijaga, maka ion kupro yang terbentuk sebanding dengan glukosa
yang bereaksi dengan iodium dalam suasana asam dan kelebihan iodium di dalam
blangko dan sampel dititrasi dengan tisosulfat. Selisihnya dengan glukosa yang ada
dalam sampel (Aryska, 2008).
2. Metode Kondensasi
Glukosa (dan aldosa lain) dapat berkondensasi dengan macam-macam senyawa
aromatik dalam suasana asam panas membentuk produk-produk yang berwarna.
Hidroksimetilpurpural terbentuk dari glukosa dalam larutan asam kuat panas. Gugus
aldehid dari produk ini berkondensasi dengan suatu fenol untuk menghasilkan senyawa
hijau yang dapat diukur secara fotometrik (Aryska, 2008).
3. Metode Enzimatik
Kadar glukosa darah diukur dengan metode enzimatik (glukosa oksidase)
menggunakan alat glukometer. Prinsip kerja penggunaan alat ini yaitu : oksigen
dengan bantuan enzim glukosa oksidase mengkatalis proses oksidasi glukosa menjadi
asam glukonat dan hydrogen peroksida. Dalam reaksi yang kedua, enzim peroksidase
3
mengkatalisis reaksi oksidasi kromogen (akseptor oksigen yang tidak berwarna),
kemudian oleh hydrogen peroksidase membentuk suatu produk kromogen teroksidasi
berwarna biru yang diukur dengan glukometer. Tes strip pada glukometer mengandung
bahan kimia glukosa oksidase 0,8 IU; garam naftalen asam sulfat 42 g; dan 3-metil-
2-benzothiazolin hidrazon.
Glukosa + O2 + H2O <=======> Asam Glukonat + H2O2 (Aryska, 2008).
4
Apabila level gula darah meningkat, entah karena perubahan glikogen, atau karena
pencernaan makanan, hormon yang lain dilepaskan dari butir-butir sel yang terdapat di dalam
pankreas. Hormon ini, yang disebut insulin, menyebabkan hati mengubah lebih banyak
glukosa menjadi glikogen. Proses ini disebut glikogenosis), yang mengurangi level gula
darah.
Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan oleh tidak cukup atau tidak dihasilkannya insulin,
sementara tipe 2 disebabkan oleh respon yang tidak memadai terhadap insulin yang
dilepaskan ("resistensi insulin"). Kedua jenis diabetes ini mengakibatkan terlalu banyaknya
glukosa yang terdapat di dalam darah.
Pengaturan kadar glukosa dalam darah dipengaruhi oleh organ-organ tertentu dan dua
diantaranya penting adalah pankreas dan hati.
1. Pankreas
Pankreas adalah suatu organ yang terdiri dari jaringan eksokrin dan endokrin. Sel
endokrin mensekresikan berbagai jenis hormon. Jenis sel endokrin yang paling banyak
dijumpai adalah sel (mensekresi hormon insulin), sel (mensekresi hormon glukagon), sel
D (memproduksi somatostatin), dan yang paling jarang dijumpai adalah sel PP
(mengeluarkan polipeptida pankreas).
Hormon yang mempunyai peranan penting dalam pengaturan glukosa dalam darah
adalah glukagon dan insulin (Sheerwood, 1996). Fungsi utama insulin adalah merendahkan
kadar glukosa dalam darah dan mengubah glukosa menjadi glikogen, sedangkan glukagon
bekerja meningkatkan glukosa darah dengan cara mengubah glikogen menjadi glukosa
(Faigin, 2001).
2. Hati
Pada keadaan setelah makan, sebanyak dua pertiga glukosa yang diabsorpsi dari usus
segera disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Jika glukosa tidak memasuki tubuh selama
beberapa jam, glikogen hati diuraikan atas perintah glukagon (yang mengaktifkan enzim
pengurai glikogen, phosphorila.se). Degradasi glikogen menghasilkan glukosa, yang
kemudian dilepaskan kedalam aliran darah sehingga konsentrasi glukosa dalam darah
meningkat. Sebagai reaksi dari kegiatan glukagon yang menaikkan glukosa darah, insulin
diproduksi untuk membawa glukosa yang baru saja dilepaskan kedalam aliran darah menuju
sel-sel tubuh. Hal ini mempercepat turunnya glukosa darah, sebagai akibatnya glukagon
diproduksi untuk mempertinggi glukosa darah, sebagai akibatnya dilepaskan insulin,
demikian seterusnya. Jika masukan karbohidrat ditiadakan, aksi hormon-hormon ini secara
perlahan menghilang karena glikogen hati habis(Farigin, 2001). Pada keadaan terjadi diabetes
5
melitus semua proses tersebut terganggu. glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga
energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Handoko dan Suharto, 1995).
Diabetes melitus secara umum terjadi karena adanya proses patogenesis. Ini
bersamaan dengan rusaknya autoimun pada sel beta di pankreas yang menyebabkan
terhadap kerja insulin. Dasar dari ketidaknormalan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein pada penderita diabetes merupakan akibat dari berkurangnya kerja insulin pada
jaringan. Berkurangnya hasil kerja insulin adalah dari tidak cukupnya sekresi insulin dan /
atau kurangnya respon jaringan terhadap insulin dalam jalur kompleks kerja hormon.
Penurunan sekresi insulin dan resistensi kerja insulin sering terjadi pada pasien yang sama,
dan itu menjadi tidak jelas apa kelainannya, jika hanya salah satu saja, penybabnya adalah
hiperglikemia.
6
terhadap infeksi tertentu juga dapat menyertai penderita hiperglikemia kronik. Bahayanya,
ancaman hidup dari akibat diabetes adalah hiperglikemia dengan ketoasidosis atau sindrom
hiperosmolar nonketotik.
Komplikasi jangka panjang dari diabetes meliputi retinopati dengan potensi hilangnya
penglihatan; nefropati yang menyebabkan gagal ginjal; neuropati perifer dengan risiko ulkus
kaki, amputasi, dan sendi Charcot, dan neuropati otonom yang menyebabkan gejala
dan makromolekul lainnya serta kelebihan produksi senyawa poliol dari glukosa adalah salah
satu mekanisme berpikir untuk menghasilkan kerusakan jaringan dari hiperglikemia kronis.
penyakit periodontal sering ditemukan pada penderita diabetes. Dampak emosional dan sosial
diabetes dan tuntutan terapi dapat menyebabkan disfungsi psikososial yang signifikan pada
7
Gambar Mekanisme glukosa darah
8
5. Diabetes Melitus (DM)
Diabetes Melitus (DM) adalah kondisi dimana konsentrasi glukosa dalam darah
secara kronis lebih tinggi daripada nilai normal (hiperglikemia) yang disebabkan kekurangan
insulin atau fungsi insulin tidak efektif (Guyton, and Hall, 2007).
9
Diabetes Melitus biasa disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit yang
akan ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit
ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-paru,
gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Tidak jarang, penderita DM yang sudah
parah menjalani amputasi anggota tubuh karena terjadi pembusukan (Depkes,2005).
Menurut Francis, and Baxter, 2000, terdapat dua tipe utama Diabetes Melitus yaitu
sebagai berikut:
Diabetes Tipe I diyakini terjadi akibat infeksi atau gangguan toksik dari lingkungan
yang merusak sel-sel B pankreas pada individu yang memiliki predisposisi genetik di mana
sistem kekebalan tubuh yang agresif akan menghancurkan sel-sel B pankreas saat mengatasi
agen invasif. Pada Diabetes Melitus tergantung insulin, terjadi gangguan katabolik dimana
tidak ada insulin dalam sirkulasi, glukosa plasma meningkat, dan sel-sel B pankreas gagal
berespons terhadap rangsang insulinogenik. Tanpa adanya insulin, ketiga jaringan sasaran
insulin (hati, otot dan lemak) tidak hanya gagal mengambil zat-zat gizi yang telah diabsorbsi
sebagai mana mestinya, bahkan juga terus melanjutkan mengeluarkan glukosa, asam amino,
dan asam lemak ke dalam alirandarah dari depot cadangannya masing-masing. Lebih jauh,
perubahan dalam metabolisme lemak mengarah pada pembentukan dan akumulasi benda-
benda keton.
10
Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka Diabetes Melitus Tipe II
dianggap sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (Wild, et all., 200).
Diabetes Mellitus Tipe II adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan
fungsi insulin (resistensi insulin) (Depkes, 2005).
Kejadian Diabetes Tipe II pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita lebih
berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks
masa tubuh yang lebih besar (Fatimah, 2015).
11
Gambar
Ilustrasi Tipe Diabetes Melitus (Despopoulos, dan Silbernagl, 1998)
12
7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Diabetes
Secara umum, diabetes melitus dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
Genetika
Seseorang yang memiliki penyakit diabetes miletus dapat menurunkan penyakit
tersebut kepada anak-anaknya. Anak penderita diabetes tipe 2 memiliki peluang menderita
DM 2 sebanyak 15%-30% risiko ketidakmampuan metabolisme karbohidrat secara normal.
Obesitas
(berat badan 20% dari berat ideal) Obesitas yang terjadi pada seseorang dapat
mengakibatkan berkurangnya jumlah sisi reseptor insulin yang dapat bekerja dalam sel pada
otot skeletal dan jaringan lemak. Dengan terjadinya obesitas maka akan merusak sel beta
dalam memproduksi dan melepaskan insulin, sehingga terjadi penumpukan gula darah.
Usia
Semakin bertambah umur seseorang maka prevalensi DM semakin meninggi. Biasanya
DM dialami oleh orang-orang yang telah berusia 30 tahun, yang mana telah mengalami
perubahan fisiologis, anatomi, dan biokimia. Salah satu yang mengalami perubahan adalah
sel beta penghasil insulin pada pankreas.
Hipertensi
Ada hubungan yang bermakna antara tekanan darah dengan diabetes melitus. Hasil
penelitian menunjukan bahwa orang yang terkena hipertensi berisiko lebih besar untuk
menderita diabetes dibanding orang yang tidak hipertensi. Penelitian menurut Sunjaya (2009)
menemukan bahwa individu yang mengalami hipertensi mempunyai risiko 1,5 kali lebih
besar untuk mengalami diabetes dibanding individu yang tidak hipertensi.
13
dengan penyakit anak-anak lainnya seperti sistik fibrosis, artritis rheumatoid anak-anak, dan
leukemia (Black, 2009).
Diabetes Mellitus Tipe 1 diwariskan dalam bentuk alel heterozigot. Kembar identik
memiliki risiko 25%-50% mewariskan penyakit ini, sedangkan saudara kandung berisiko 6%
dan keturunan berisiko 5%.
2. Etiologi Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes Melitus Tipe II disebabkan kegagalan relatif sel dan resistensi insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak
mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif
insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan
glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekrasi insulin lain.
Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glikosa.
14
menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam
darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring
keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih
(poliuria)dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan
(polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan
kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan
glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-
asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan
terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu
akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang
merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang
diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual,
muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan
elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan
mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar
gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.
15
2. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II
Pada Diabetes Melitus Tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat
dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulin pada Diabetes Melitus Tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan
demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi
glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar
glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi Diabetes Melitus Tipe II. Meskipun terjadi
gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM Tipe II, namun masih terdapat insulin
dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton
yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada Diabetes Melitus Tipe
II. Meskipun demikian, Diabetes Melitus Tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan
16
masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik
(HHNK).
Diabetes M elitus Tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia
lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama
bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi.
Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup
kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi
vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya sangat tinggi).
17
(Glukose Transporter) ke membran plasma untuk mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan
insulin tidak dapat diangkut masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk
metabolisme sel, sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat dan akhirnya
menyebabkan terjadinya hiperglikemi.
Kelainan yang khas pada Diabetes Melitus Tipe II adalah ketidakmampuan sel beta
meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa oral dan
lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase lambat, dimana
sekresi insulin pada Diabetes Melitus Tipe II terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan orang
normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi
hiperglikemi yang ada atau terjadi defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi
sepanjang hari. Hilangnya fase akut juga berimplikasi pada terganggunya supresi glukosa
endogen setelah makan dan meningkatnya glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon.
Selain itu, defek yang juga terjadi pada Diabetes Melitus Tipe II adalah gangguan sekresi
insulin basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara kontinyu dengan
kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15 menit (pulsasi) dan 120 menit
(osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk meregulasi kadar glukosa darah puasa dan
menekan produksi hati. Puncak-puncak sekresi yang berpola ini tidak ditemukan pada
penderita DM Tipe II yang menunjukan hilangnya sifat sekresi insulin yang berdenyut.
18
3. Produksi glukosa hati
Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada keadaan
normal, insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan glikogen dan menurunkan glukosa
produk hati. Pada penderita Diabetes Melitus Tipe II terjadi peningkatan glukosa produk hati
yang tampak pada tingginya kadar glukosa darah puasa (BSN). Mekanisme gangguan
produksi glukosa hati belum sepenuhnya jelas.
Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan kadar insulin
portal sebesar 5 U/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan lebih dari 50% penekanan
produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil yang demikian, penderita Diabetes Melitus Tipe
II ini membutuhkan kadar insulin portal yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan
terjadinya resistensi insulin pada hati. Peningkatan produksi glukosa hati juga berkaitan
dengan meningkatnya glukoneogenesis (lihat gambar) akibat peningkatan asam lemak bebas
dan hormon anti insulin seperti glukagon.
19
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat
badan dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan perilaku (Hakim, 2010).
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%,
lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan BMI
(Body Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupupakan
alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Untuk mengetahui nilai IMT ini,
dapat dihitung dengan rumus berikut:
()
=
() ()
20
4. Obat
Oral hipoglikemik, insulin Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan
fisik tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian
obat hipoglikemik (Fatimah, 2015).
(1). Insulin
Insulin dihasilkan oleh sel pada pulau langerhans pankreas dan disekresikan ke dalam darah
sebagai reaksi langsung terhadap keadaan hiperglikemia. Pemberian insulin dilakukan apabila
pankreas dari pasien tidak dapat bekerja memproduksi insulin secara maksimal. Insulin tidak
dapat digunakan secara oral karena terurai oleh enzim-enzim protease di lambung, maka
selalu diberikan sebagai injeksi. Dalam hati dirombak dengan cepat, plasma t nya hanya 5-
10 menit, maka kerjanya hanya pendek, lebih kurang 40 menit.
Efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel, insulin
mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat
dan lipid, maupun metabolisme protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan lipogenesis,
menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga
mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya,
gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negative dan komplikasi yang sangat
luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh (Guyton and Hall,2007).
Ini dapat menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi dengan cara merangsang
keluarnya insulin dari sel pankreas. Obat-obat golongan ini hanya efektif pada pasien
diabetes mellitus tipe II yang pankreasnya masih aktif. Obat-obat yang termasuk ke dalam
golongan ini adalah: glibenklamida, glipizida, glikazida, glimepirida, glikuidon.
21
(2) Golongan Biguanida. Golongan ini bekerja menghambat glukoneogenesis dan
meningkatkan penggunaan glukosa jaringan. Berbeda dengan sulfonylurea, biguanida tidak
menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan kadar gula darah pada orang sehat. Zat
ini juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, maka layak diberikan
pada penderita yang kegemukan.
(3) Meglitinida. Meglitinida kerjanya merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas. Obat-
obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat hypoglikemik generasi baru
yang kerjanya mirip sulfonylurea. Pada umumnya dipakai dalam bentuk kombinasi dengan
obat-obatan anti diabetik oral lain.
Obat Oral untuk antidiabet tediri dari 5 golongan (Francis, and Baxter, 2000), dan
memiliki cara kerja yang berbeda. Golongan-golongan tersebut adalah :
22
generasi baru yang kerjanya mirip sulfonylurea. Pada umumnya dipakai dalam bentuk
kombinasi dengan obat-obatan anti diabetik oral lain.
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan
kronis. Menurut Perkeni komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
a. Komplikasi akut
b. Komplikasi Kronis
23
Berikut ini adalah beberapa macam bahaya Diabetes Melitus dari berbagai penyakit
komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita diabetes :
1. Penyakit Jantung
Jika kadar gula dalam darah tidak terkontrol dengan baik maka ancaman penyakit
jantung akan selalu mengincar penderita diabetes. Penyakit ini akan menjadi penyebab dada
sakit yang biasanya memang dirasakan oleh penderita diabetes. Beberapa jenis penyakit
jantung yang sering terjadi adalah penyempitan pembuluh darah, stroke, serangan jantung,
penyakit arteri dan kondisi lain. Stroke dan serangan jantung menjadi kasus yang paling
sering terjadi.
3. Kerusakan Mata
Kebutaan menjadi salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita
diabetes. Hal ini disebabkan kadar gula darah yang terlalu tinggi telah mengganggu sistem
saraf pusat. Bahkan kadar gula darah yang tinggi juga bisa menyebabkan kerusakan pada
kornea dan lensa mata. Penyakit yang paling sering terjadi adalah glaukoma dan katarak.
4. Kerusakan Ginjal
Ginjal dalam manusia memiliki fungsi yang sangat penting. Ginjal mengandung
jutaan pembuluh darah yang akan menyaring darah dalam tubuh manusia. Ketika kadar gula
dalam darah terlalu tinggi maka bisa menyebabkan kerusakan jaringan yang berfungsi
sebagai saringan kecil. Jika kondisi diabetes sudah parah maka bisa menjadi penyebab gagal
ginjal yang membutuhkan transplantasi atau cuci darah secara berkala.
5. Cacat Kaki
Kerusakan saraf akibat diabetes yang terjadi pada kaki akan menyebabkan komplikasi
kerusakan pada bagian kaki. Bahkan pada kondisi tertentu banyak penderita diabetes yang
harus melakukan amputasi untuk menyematkan jaringan lainnya. Jadi kerusakan kaki
menjadi akibat yang sangat umum dari bahaya diabetes.
6. Infeksi Kulit
Infeksi kulit menjadi kasus yang paling sering terjadi pada penderita diabetes. Infeksi
ini disebabkan oleh jamur, parasit atau virus yang hidup pada luka di kaki. Penderita diabetes
akan mudah terkena luka dan luka tersebut sulit untuk disembuhkan dengan cepat, sehingga
terkadang infeksi menjadi ancaman yang sangat serius.
7. Gangguan Pendengaran
Penderita diabetes memang sering mengalami gangguan pendengaran. Tingkat kadar
gula dalam darah yang terlalu tinggi telah menyebabkan kerusakan sistem pendengaran. Hal
ini membuktikan bahwa bahaya diabetes memang sangat mempengaruhi sistem kerja anggota
tubuh terutama indra penting untuk tubuh.
24
8. Pikun
Penyebab diabetes terutama diabetes tipe II juga memiliki ancaman serius terkena
penyakit yang menganggu sistem memori. Hingga saat ini hubungan antara kadar gula dalam
darah dan sistem memori masih dikembangkan.
25
a. Penyuluhan
b. Perencanaan makanan
c. Latihan jasmani
d. Obat berkhasiat hipoglikemik.
4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatanlebihlanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Pelayanan
kesehatan yang holistic dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama
dirumah sakit rujukan ,misalnya para ahli sesame disiplin ilmu seperti ahli penyakit
jantung,mata,r ehabilitas imedis, gizi dan lain-lain (Slamet,2008).
Diabetes melitus menyebabkan suatu kondisi disfungsi sekresi kelenjar saliva yang
disebut xerostomia, dimana kualitas dan kuantitas produksi saliva dirongga mulut menurun.
Xerostomia yang terjadi pada penderita DM menyebabkan mikroorganisme opotunistik
seperti Candida albican lebih banyak tumbuh yang berakibat terjadinya candidiasis. Oleh
karena itu penderita cenderung memiliki oral hygiene yang buruk apabila tidak dilakukan
pembersihan gigi secara adekuat (Southerland, 2005). Pemeriksaan secara radiografis juga
memperlihatkan adanya resorpsi tulang alveolar yang cukup besar pada penderita DM
dibanding pada penderita non DM. Pada penderita DM terjadi perubahan vaskularisasi
sehingga lebih mudah terjadi periodontitis yang selanjutnya merupakan faktor etiologi
26
resorpsi tulang alveolar secara patologis. Resorpsi tulang secara fisiologis dapat terjadi pada
individu sehat, namun resorpsi yang terjadi pada DM disebabkan karena adanya gangguan
vaskularisasi jaringan periodontal serta gangguan metabolisme mineral (Boel, 2003).
Jika radikal bebas tidak diinaktivasi, reaktivitas radikal bebas ini dapat menimbulkan
perubahan kimiawi dan merusak seluruh tipe makromolekul seluler seperti karbohidrat,
protein, lipid, dan asam nukleat (Langseth, 2000).
Di samping radikal bebas (free radical), dikenal juga istilah reactive oxygen species
(ROS), yaitu molekul yang bukan hanya merupakan radikal oksigen, tetapi juga beberapa
turunan oksigen yang non radikal (Halliwell dan Gutteridge, 1999).
Radikal bebas (free radical) atau sering juga disebut senyawa oksigen reaktif (reactive
oxygen species/ROS) adalah sebuah molekul atau atom yang mempunyai satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Radikal bebas bersifat tidak stabil, sangat
reaktif dan dapat merebut elektron dari molekul lain dalam upaya mendapatkan pasangan
elektronnya. Molekul yang kehilangan elektron ini dapat bersifat reaktif, terutama asam
lemak tidak jenuh yang kemudian ditransformasikan menjadi radikal bebas yang sangat
reaktif (Nabet, 1996).
Dalam upaya memenuhi keganjilan elektronnya, radikal bebas yang elektronnya tidak
berpasangan secara cepat akan menarik elektron makromolekul biologis yang berada di
sekitarnya sperti protein, asam nukleat, dan asam deoksiribonukleat (DNA). Jika
makromolekul yang teroksidasi dan terdegradasi tersebut merupakan bagian dari sel atau
organel, maka dapat mengakibatkan kerusakan pada sel tersebut (Halliwell dan Gutteridge,
1990).
27
Pada keadaan normal, secara fisiologis sel memproduksi radikal bebas sebagai
konsekuensi logis pada reaksi biokimia dalam kehidupan aerobik. Organisme aerobik
memerlukan oksigen untuk menghasilkan ATP, yaitu suatu senyawa yang merupakan sumber
energi bagi makhluk hidup melalui fosforilasi oksidatif yang terjadi dalam mitokondria. Pada
proses tersebut terjadi reduksi O2 menjadi H2O yang memerlukan pengalihan 4 elektron.
Namun, dalam keadaan tertentu, pengalihan elektron tersebut berjalan kurang sempurna
sehingga dapat terbentuk radikal bebas yang dapat merusak sel jika tidak diredam
(Suryohudoyo, 2007).
Pembentukan radikal bebas akan dinetralisir oleh antioksidan yang diproduksi oleh
tubuh dalam jumlah yang berimbang. Pengaruh negatif radikal bebas terjadi jika jumlahnya
melebihi kemampuan detoksifikasi oleh sistem pertahanan antioksidan tubuh sehingga
menimbulkan kondisi stres oksidatif. Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu :
(1) secara endogen, sebagai respon normal dari rantai peristiwa biokimia dalam tubuh, dalam
sel (intrasel) maupun ekstrasel, dan (2) secara eksogen, radikal bebas didapat dari polutan
lingkungan, asap rokok, obat-obatan, dan radiasi ionisasi atau sinar ultra violet (Supari, 1996;
Langseth, 2000).
28
DAFTAR PUSTAKA
Aryska A. P. S. 2008. Uji Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Ekstrak Etanol 70% Buah
Jambu Biji (Psidium guajava L) Pada Kelinci Jantan Lokal.Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiah Surakarta.
Aren, G., Sepet, E., Ozdemir, D., Dinccag, N., Guvener, B., Firatli, E., Periodontal health,
Saliva Status, and Metabolic Control in Children with Type 1 Diabetes mellitus, J.
Periodontol, 2003;, 74 (12):1789-1795.
Betteng, R., Pangemanan, D., Mayulu, N. 2014. Analisis Faktor Resiko Penyebab Terjadinya
Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif Dipuskesmas Wawonasa, Jurnal
e-Biomedik (eBM), 2 (2) : 404-412.
Black, Joyce M. & Hawks, Jane Hokanson. (2009). Medical-Surgical Nursing: Clinical
Management for Positive Outcomes. 8th ed. St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier.
Boel, T., Manifestasi Rontgenografi Diabetes Mellitus di Rongga Mulut, JKGUI 10 2003;
Edisi Khusus:12-15.
Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Tanrutedong,
Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah Nasional;2010 [cited 2010 feb 17]. Available from
:http://lib.atmajaya.ac.id/default.a spx?tabID=61&src=a&id=186192.
Clarkson, P.M, and H.S. Thompson. 2000. Antioxidants: what role do they play
in physical activity and health Am. J. Clin. Nutr. 72 (Suppl): 637S-646S.
Despopoulos A., dan Silbernagl S. 1998. Atlas Berwarna & Teks Fisiologi. Edisi 4 rev.
Jakarta: Hipocrates.
Departemen Kesehatan. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus.
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 7.
Fatimah, R. N.,2015.Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority. 4(5) : 86-95.
Francis S., Greenspan., John D. B. 2000.Endokrinologi Dasar & Klinik. Edisi IV. Alih
bahasa dr Caroline Wijaya et al. Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Guyton A. C., and Hall J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku
Kedokteran ECG. Jakarta.
29
Hastuti, Rini Tri. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes Melitus
Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta [dissertation]. Universitas Diponegoro
(Semarang). 2008.
Halliwell, B. And J.M.C. Gutteridge. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine. 3th Ed.
Oxford University Press, Inc., New York.
Handoko, T. dan Suharto. B. (1995). Insulin, Glukagon dan Antidiabetik Oral. Dalam Editor.
Ganiswarna. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman. 473-474.
Langseth, L. 2000. Antioxidants and Their Effect on Health. Di dalam: Schmidl
M.K. and T.P. Labuza (Eds.). Essentials of Functional Foods. Aspen Publishers, Inc.
Gaithersburg, Maryland.
Misnadiarly. 2006. Ulcer Gangren Infeksi Diabetes Melli-tus Mengenali Gejala
Menanggulangi Mencegah Komplikasi. Jakarta: Pustaka Populer.
Nabet, F.B. 1996. Zat gizi antioksidan penangkal senyawa radikal pangan dalam
Sistem biologis. Di dalam Zakaria, F.R., R. Dewanti, dan S. Yasni (Ed..) : Prosiding
Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak
terhadap Kesehatan dan Panangkalan. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB
dengan Kedutaan Perancis, Jakarta.
Ngadiwiyana., Ismiyarto., Basid N., Purbowatiningrum R. S. 2001. Potensi Sinamaldehid
Hsil Isolasi Minyak Kayu Manis Sebagai Senyawa Antidiabetes. Majalah Farmasi
Indonesia; 22(1):9-14.
Perkeni.2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia.http://www.perkeni.org/download/Konsensus%20DM%202011.zip.
Slamet S. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
III.Jakarta: Balai Penerbit FK-ill;2008.
Suyono S, Patofisiologi Diabetes Melitus Terkini dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2005: 7-15.
Sunjaya, I Nyoman. 2009. Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali sebagai Faktor Risiko
Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan. Jurnal Skala Husada. 6(1) : 75-81 .
Supari, F. 1996. Radikal Bebas dan Patofisiologi Beberapa Penyakit. Didalam Zakaria F.R.,
R. Dewanti, dan S. Yasni (Edt.). Di dalam : Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan
Sistem Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalan.
Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dengan Kedutaan Perancis. Jakarta.
Suryohudoyo, P. 2007. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. CV Sagung Seto, Jakarta.
Sheerwood, L. (1996). Fisiologi Manusia. Edisi Kedua. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Halaman. 665, 670-671.
30
Southerland, J.H., Taylor, G.W., dan Offenbacher, S., Diabetes and Periodontal Infection:
Making the Connection, Clinical Diabetes, 2005; 23:171-178.
Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaaan dan Efek-
efek Samping. Edisi VI. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal. 48-49.
Wild S , Roglic G, GreenA, Sicree R, king H.Global prevalence of diabetes: estimates for the
year 2000 and projections for 2030. Diabetic care. 2004;27(3);1047-53.
31