I. PENDAHULUAN
Istilah pitirasis rosea pertama kali dideskripsikan oleh Robert Willan pada tahun
1798 dengan nama Roseola Annulata, kemudian pada tahun 1860, Gilbert memberi
nama pityriasis rosea yang berarti skuama berwarna merah muda (rosea). Pityriasis
rosea umumnya didahului dengan gejala prodromal (lemas, mual, tidak nafsu makan,
demam, nyeri sendi, pembesaran kelenjar limfe). Seteleah itu muncul gatal dan lesi di
kulit, Banyak penyakit yang memberikan gambaran seperti pityriasis rosea seperti
diantaranya dermatitis numularis dan sifilis sekunder. Insiden tertinggi pada usia
antara 15-40 tahun. Wanita lebih sering terkena dibandingkan dengan pria dengan
perbandingannya 1,5:1.Diagnosis pityriasis rosea dapat ditegakkan dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan
penunjang untuk memastikan diagnosis apabila sulit menegakkan diagnosis pityriasis
rosea. Pitiriasis rosea merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, oleh karena
itu, pengobatan yang diberikan adalah pengobatan suportif.2-6
II. EPIDEMIOLOGI
Pitiriasis rosea terjadi pada seluruh ras yang ada di dunia. Prevalensi yang
dilaporkan dari pusat dermatologi adalah 0,3-3%. Prevalensi pityriasis rosea pada laki-
laki 0,13% dan pada wanita 0,14% per total penduduk dunia. Penyakit ini lebih banyak
terjadi pada anak-anak dan usia dewasa muda dengan rentang usia antara 15-40
tahun. Jarang terjadi pada bayi dan orang lanjut usia. Pengaruh iklim memegang
peranan pada penyakit ini, terbanyak pada musim gugur dan musim semi, tetapi di
daerah Australia, India, dan Malaysia sering terjadi pada musim panas.6-9
1
III. ETIOPATOFISIOLOGI
Watanabe dkk telah membuktikan kepercayaan yang sudah lama ada bahwa
pitiriasis rosea merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh virus. Mereka
mendemonstrasikan replikasi aktif dari HHV-6 dan HHV-7 dalam sel mononuklear
pada lesi kulit, hal ini sama dengan mengidentifikasi virus-virus pada sampel serum
pasien.3 Dimana virus-virus ini hampir kebanyakan didapatkan pada masa kanak-
kanak awal dan tetap ada pada fase laten dalam sel mononuklear darah perifer,
terutama CD-4 dan sel T, dan pada air liur. Erupsi kulit yang timbul dianggap sebagai
reaksi sekunder akibat reaktivasi virus yang mengarah pada terjadinya viremia. 3,5,10
Sumber lain mengatakan beberapa penulis menduga herpes simpleks virus 10 yang
menjadi penyebabnya.8
Penelitian baru-baru ini menemukan bukti dari infeksi sistemik aktif HHV-6 dan
HHV-7 pada kulit yang kelainan, kulit yang sehat, air liur, sel mononuklear darah
perifer, dan serum dari pasien penderita pitiriasis rosea. Terdapat hipotesis bahwa
reaktivasi HHV-7 memicu terjadinya reaktivasi HHV-6. Namun apa yang menjadi
pemicu utama reaktivasi HHV-7 masih belum jelas. Pitiriasis rosea tidak disebabkan
langsung oleh infeksi virus herpes melalui kulit, tapi kemungkinan disebabkan karena
infiltrasi kutaneus dari infeksi limfosit yang tersembunyi pada waktu replikasi virus
sistemik. Bukti lain mengesankan reaktivasi virus mencakup kejadian timbulnya
2
kembali penyakit dan timbulnya pitiriasis rosea pada saat status imunitas seseorang
mengalami perubahan. Didapatkan sedikit peningkatan insidens pitiriasis rosea pada
pasien yang sedang menurun imunitasnya, seperti ibu hamil, dan penerima
transplantasi sumsum tulang.4
Gatal biasanya tidak ada atau ringan tetapi mungkin lebih parah pada sebagian
kecil pasien. PAR bersifat swasirna dan jinak; penyakit ini berlangsung selama 6
sampai 8 minggu. Setelah sembuh, dapat terjadi hiperpigmentasi pasca inflamasi,
terutama pada orang berkulit gelap.
PR dapat memiliki gambaran klinis yang kurang khas misalnya dengan varian
herald patch yang tidak diketahui oleh dokter atau pasien. Selain itu, pada orang
berkulit gelap lesi mungkin vesicular dan gatal. Distribusi erupsi mungkin terbatas,
atau mungkin muncul dalam distribusi yang berlawanan, mengenai lipat paha, ketiak,
atau ekstremitas distal. Perjalanan khas PR sering diawali oleh munculnya herald
patch yang lebih besar yaitu lesi berskuama berukuran 2 sampai 5 cm yang mungkin
memperlihatkan kesembuhan di bagian tengah dan karenanya mirip, dan sering
dibingungkan dengan tinea korporis Lesi primer dapat berupa papuloskuamosa, oval
eritematous, Lesi sekunder dapat berupa eksoriasi namun jarang. Kurang lebih pada
20-50% kasus, bercak merah pada pitiriasis rosea didahului dengan munculnya gejala
mirip infeksi virus seperti gangguan traktus respiratorius bagian atas atau gangguan
gastrointestinal. Sumber lain menyebutkan kira-kira 5% dari kasus pitiriasis rosea
3
didahului dengan gejala prodormal berupa sakit kepala, rasa tidak nyaman di
saluran pencernaan, demam, malaise, dan artralgia. Lesi utama yang paling umum
ialah munculnya lesi soliter berupa makula eritem atau papul eritem pada batang
tubuh atau leher, yang secara bertahap akan membesar dalam beberapa hari dengan
diameter 2-10 cm, berwarna pink salmon, berbentuk oval dengan skuama tipis.
Herald patch diikuti dalam beberapa hari sampai 2 minggu oleh bercak-bercak
eritematosa oval atau elips dengan skuama halus tipis di permukaannya Masing-
masing lesi sering membentuk skuama tipis melingkar. Lesi pada orang berkulit gelap
mungkin tidak memperlihatkan warna merah muda khas pityriasis rosea tetapi tampak
lebih gelap daripada kulit sekitar Lesi awal, herald patch, paling sering terlihat di
badam. Leher atau ekstremitas. Tidak adanya herald patch tidak menyingkirkan
kemungkinan diagnosis ini; lesi ini mungkin tidak ada atau tersembunyi di lokasi yang
tertutup misalnya kulit kepala atau lipat paha Lesi-lesi berikutnya muncul di
badan,leher, lengan dan tungkai dalam distribusi baju renang kuno. Sumbu panjang
lesi sejajar dengan garis tengahan kulit. Hal ini menghasilkan apa yang disebut
sebagai pola pohon natal di badan.10 Lesi yang pertama muncul ini disebut dengan
Herald patch/Mother plaque/Medalion. Insidens munculnya herald patch dilaporkan
sebanyak 12-94%, dan pada banyak penelitian kira-kira 80% kasus pitiriasis rosea
ditemukan adanya herald patch. Jika lesi ini digores pada sumbu panjangnya, maka
skuama cenderung untuk melipat sesuai dengan goresan yang dibuat, hal ini disebut
dengan Hanging curtain sign. Herald patch ini akan bertahan selama satu minggu
atau lebih, dan saat lesi ini akan mulai hilang, efloresensi lain baru akan bermunculuan
dan menyebar dengan cepat. Namun kemunculan dan penyebaran efloresensi lain
dapat bervariasi dari hanya dalam beberapa jam hingga sampai 3 bulan. Bentuknya
bervariasi dari makula berbentuk oval hingga plak berukuran 0,5-2 cm dengan tepi
yang sedikit meninggi. Berwarna pink salmon (atau berupa hiperpigmentasi pada
orang-orang yang berkulit gelap) dan khasnya terdapat koleret dari skuama di bagian
tepinya. Umumnya ditemukan beberapa lesi berbentuk anular dengan bagian
tengahnya yang tampak lebih tenang.10,11
4
Gambar 1. Herald Patch
(http://www.everydayhealth.com/skin-and-beauty-pictures/skin-condition-pityriasis-
rosea.aspx)
5
Lokasinya juga sering ditemukan di lengan atas dan paha atas. Lesi-lesi yang
muncul berikutnyajarang berikutnya jarang menyebar ke lengan bawah, tungkai
bawah, dan wajah. Namun sesekali bisa didapatkan pada daerah tertentu seperti
leher, pangkal paha, atau aksila. Pada daerah ini lesi berupa bercak dengan bentuk
sirsinata yang bergabung, dengan tepi yang tidak rata sehingga sangat mirip dengan
tinea korporis. Gatal ringan sampai sedang terjadi pada 75% penderita dan gatal berat
pada 25% penderita. Gatal akan lebih terasa saat kulit dalam keadaan
basah, berkeringat, atau akibat dari pakaian yang ketat.
Terkadang pitiriasis rosea bisa muncul dalam bentuk distribusi yang tidak khas,
dan penegakan diagnosanya tergantung dari manifestasi klinis yang ada dan lesi
utama berupa herald patch. Predileksi tempat yang atipikal mencakup telapak kaki,
wajah dan genitalia. Sebagai tambahan, multiple herald patch ditemukan pada 5,5%
kasus.11
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
6
Gambar 3. Gambaran Histopatologis Pitiriasis Rosea
(http://emedicine.medscape.com/article/1107532-workup#a0723)
Herald patch memiliki tampilan yang sama, namun memiliki infiltrat yang
lebih dalam dan akantosis lebih karena kronisitasnya. Variasi sel diskeratorik
di epidermis dengan gambaran eosinofil homogen, multinuclear giant cell, dan
disfungsi fokal akantolitik telah diamati.penampakan ini mungkin mirip
penampakan anular sentrifugum, psoriasis gutata, eritema superfisial dan
small plaque parapsoriasis. Dapat pula ditemukan oedema daripada dermis
dan proses homogenisasi dari kolagen. 12
Karena lesi pada ptiriasis rosea sangat mirip dengan ruam sifilis
sekunder, tes VDRL sering diperlukan. Tes Rapid Plasma Reagen (RPR) atau
tes VDRL (Veneral Disease of Research Laboratorium) harus dilakukan pada
individu yang sesuai. Harus disadari adanya fenomena prozone yang terlihat
pada sifilis sekunder dan perlunya titrasi tes RPR. Selain itu juga diperlukan
tes untuk mengetahui adanya HIV pada pasien tersebut. Tes laboratorium
lainnya biasanya menunjukan hasil yang normal sehingga hasilnya tidak begitu
membantu. Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk mengidentifikasi adanya
sifilis.
7
VI. DIAGNOSIS
1. Sifilis stadium II
Sifilis stadium II dapat menyerupai pitiriasis rosea, yaitu Bercak eritematosa
dengan skuama halus, bentuk lonjong, lentikuler, tersusun sejajar dengan
lipatan kulit namun biasanya pada sifilis sekunder lesi juga terdapat di
telapak tangan, telapak kaki, membran mukosa, mulut, serta adanya
kondiloma lata atau alopesia. Tidak ada keluhan gatal (99%). Ada riwayat
8
lesi pada alat genital. Tes serologis terhadap sifilis perlu dilakukan terutama
jika gambarannya tidak khas dan tidak ditemukan Herald patch.4,6,8,10
2. Psoriasis gutata
Lesi kulitnya mempunyai persamaan dengan pityriasis rosea hanya saja
tempat predileksinya berbeda. Psoriasis gutata biasanya terdapat di
kulitkepala, perbatasan wajah dam kulit, ekstremitas bagian ekstensor, siku,
lutut, lumbosacral. Kelainan kulit yang terdiri atas bercak-bercak eritem
yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritem sirkumskrip dan
merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering eritem yang di tengah
menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar
dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar kelainan
bervariasi, jika seluruhnya atau sebagian besar lentikuler disebut sebagai
psoriasis gutata. Umumnya setelah infeksi Streptococcus di saluran napas
9
bagian atas sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa
muda.11
VIII. PENATALAKSANAAN
Pitiriasis rosea merupakan penyakit self limiting disease yakni akan sembuh
dengan sendirinya. Tetapi pengobatan perlu jika dirasakan gejala sudah mengganggu
produktivitas sehari-hari. Dapat diberikan obat sistemik dan topikal
a.Terapi sistemik
1.Antihistamin
2.Antiviral
Antiviral mempunyai efek yang cukup signifikan bila diberikan pada awal
minggu pertama setelah lesi primer muncul. Lesi primer yang muncul akan
hilang lebih cepat.Asiklovir dengan dosis 1g yang dikonsumsi 5 kali sehari
selama seminggu.13
10
b.Terapi topical
1.Keringat, air, dan sabun dapat mengiritasi lesi yang ada. Oleh karena itu
dapat diberikan bedak asam salisilat 2% ditambah dengan menthol untuk
mengurangi rasa gatal3
c.Fototerapi UVB
d.Edukasi
Pasien diberitahu bahwa pitiriasis adalah penyakit yang disebabkan virus dan
tidak menular. Pitiriasis rosea adalah penyakit self limiting disease yaitu penyakit
yang akan sembuh dengan sendirinya. Meskipun begitu tetap diberikan terapi untuk
menangani gejala yang menanggu
IX. PROGNOSIS
Pitiriasis rosea merupakan penyakit akut yang bersifat self limiting illness yang akan
menghilang dalam waktu kurang lebih 3 bulan tergantung pada usia dan imun pasien.
Namun pada beberapa kasus dapat juga bertahan hingga 3-5 bulan. Dapat sembuh
tanpa meninggalkan bekas. Relaps dan rekuren jarang ditemukan.11
X. KESIMPULAN
Pitiriasis rosea adalah kelainan kulit yang termasuk dalam golongan dermatosis
papuloeritroskuamosa, sifatnya akut, self limiting disease, tidak menular. Etiologinya
masih belum diketahui, namun partikel HHV telah terdeteksi pada 70% pasien
penderita pitiriasis rosea. Lesi primernya berupa soliter makula eritem atau papul
eritem. Lesi primer ini disebut sebagai herald patch / mother plaque / medallion.
Predileksi tempat yang paling banyak ditemukan yaitu pada batang tubuh, lengan atas
11
dan paha atas. Pitiriasis rosea memiliki berbagai macam varian, dapat dibedakan
berdasarkan predileksi tempatnya serta efloresensi yang dominan, contohnya
pitiriasis rosea inversa,giganta, irritate, vesicular, papular dan lain sebagainya. Tidak
ada tes laboratorium yang menunjang diagnosa pitiriasis rosea. Pemeriksaan
laboratorium yang biasa dilakukan bertujuan untuk menyingkirkan diagnosa banding
sifilis sekunder karena keduanya cukup sulit untuk dibedakan terutama pada tipe
pitiriasis rosea yang atipikal (tidak khas). Beberapa penyakit yang menyerupai
gambaran klinis pitiriasis rosea selain sifilis sekunder diantaranya pitiriasis versikolor,
tinea korporis, psoriasis, dermatitis seboroik,erupsi obat, lichen planus, dan lain
sebagainya. Diagnosa pitiriasis rosea dapat ditegakkan melalui anamnesa dan
pemeriksaan klinis.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., editor.Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ket iga. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2012: 180-81
2. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi
II.ECG.Jakarta.20 10.p.100-03
3. Rassner, steinert. Buku Ajar dan Atlas Dermatologi. Edisi
keempat. Jakarta : EGC,1995:153 -4
4. W olff K., johnson R.A. pityriasis Rosea in fitzpatricks Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology.sixth edition.New York : Mc
Graw Hill, 2009 : 118 -9
5. Mansjoer A., Suprohaita, W ardhani W .I.,Setiowulan W ., editor.
Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga jil id 2. Jakarta : Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
:120-1.
6. Lazarus G.S., Goldsmith L.A.Diagnosis of Skin Disease.
Philadelphia : F.A.Davis Company, 1981 :204.
7. Goodheart H. Diagnosis Fotografik & Penatalaksanaan Penyakit
Kulit. Edisi ketiga. Jakarta; 2009; 115 -118
8. Stulberg L.D, W olfey J. Pityriasis Rosea. Available at
http://aafp.org/afp2004/0101/p87.html . Diakses tanggal 10 Oktober
2017
9. Monteayor D. Luffy M. Dante O. M.M.Pityriasis
Rosea.URL:http://www.doctorsofusc.com/condition/document/96735.
Diakses tanggal 10 Oktober 2017
10. Sawer G. Manual of Skin Diseases. Lippincott Company.Philadelphia. 1991:
139.
11.Vorvick L.,Zieve D. Pityriasis Rosea. URL:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/ . Diakses tanggal 10
Oktober 2017
12.Brown R.G.,Burns T. Lecture Notes on Dermatology. Edisi kedelapan. Jakarta
: Erlangga,2005 :158-9
13
13. Francesco D. Use of high-dose acyclovir in pityriasis rosea. URL:
https://www.karger.com/Article/Abstract/245991 Diakses tanggal 10 Oktober
2017
14