Anda di halaman 1dari 12

SARI PUSTAKA

HIPERTENSI URGENSI
Disusun oleh :

Elizabeth syailendra susanti

1261050203
Nadya Fachfudyana

1261050163

SARI PUSTAKA DIBUAT DALAM RANGKA

MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

PERIODE 08 Mei 2017- 22 juli 2017

JAKARTA

1
Hipertensi Urgensi
Disusun oleh :

Elizabeth syailendra susanti

1261050203
Nadya Fachfudyana

1261050163

Telah disetujui oleh Pembimbing

dr. Frits R.W. Suling, Sp.JP(K), FIHA

2
ABSTRAK

Hipertensi urgensi merupakan salah satu kegawatan dibidang kardiovaskular yang sering
dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi urgensi (mendesak) yaitu peningkatan
tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak tanpa
disertai kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan
dalam 24 jam dengan memberikan obat obatan anti hipertensi oral. Sedangkan
hipertensi emergensi (darurat) yaitu peningkatan tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau
diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target.

Kata Kunci : Hipertensi, Krisis Hipertensi, Hipertensi Urgensi

ABSTRACT

Hypertensive urgency is one of the emergencies in Cardiovascular which is seen often in


the Emergency Room. Hypertensive urgency means systolic blood pressure is > 180
mmHg or diastolic blood pressure is > 120 mmHg in all of a sudden without any target
organ damage. In this situation, blood pressure must immediately controlled by giving
oral medications in less than 24 hours. Hypertensive crisis means systolic blood pressure
is > 180 mmHg or diastolic blood pressure is > 120 mmHg in all of a sudden with organ
damage.

Keywords : Hypertension, Hypertensive Crisis, Hypertensive Urgency

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Hipertensi atau tekanan darah tinggi termasuk penyakit dengan prevalensi


terbesar di seluruh dunia. Kondisi ini menjadi tantangan dalam kesehatan masyarakat,
karena tingginya morbiditas dan mortalitas, serta biaya yang harus dikeluarkan pasien.
Selama beberapa dekade, walaupun telah dilakukan berbagai penelitian, pelatihan serta
edukasi pada masyarakat dan dokter, prevalensi penyakit ini tetap meningkat. Hal ini
dikarenakan belum ada perubahan yang berarti dari gaya hidup di masyarakat saat ini.1

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi hipertensi di


Indonesia mencapai 31,7% dari populasi pada usia 18 tahun ke atas. Dari jumlah itu, 60%
penderita hipertensi berakhir pada stroke. Sedangkan sisanya pada jantung, gagal ginjal,
dan kebutaan. Pada orang dewasa, peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg
menyebabkan peningkatan 60% risiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler.2

Hipertensi urgensi merupakan salah satu kegawatan dibidang kardiovaskular yang


sering dijumpai di instalasi gawat darurat.3 Hipertensi yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah secara akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang
merupakan konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang
sering dari penderita dengan hipertensi dan menyebabkan penanganan segera untuk
mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.4
Sebanyak 20% pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi krisis
(urgensi atau emergensi). Dari 60 juta penduduk Amerika Serikat 30% diantaranya
menderita hipertensi dan hampir 1 2% akan berlanjut menjadi hipertensi urgensi dan
kemudian emergensi yang disertai kerusakan organ target. Data mengenai hipertensi
krisis di Indonesia masih belum banyak diteliti, namun studi Multinational Monitoring of
Trends and Determinants in Cardiovacular Disease (Monica) yang dilakukan di Jakarta
pada tahun 1988 menempatkan hipertensi sebagai faktor risiko utama kejadian
kardiovaskular.4,5

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Hipertensi urgensi (mendesak) yaitu peningkatan tekanan darah secara mendadak tanpa
disertai kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan
dalam 24 jam dengan memberikan obat obatan anti hipertensi oral. Sedangkan
hipertensi emergensi (darurat) yaitu peningkatan tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau
diastolik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ terget. Hipertensi
emergensi ini harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan
obat obatan anti hipertensi intravena.3,5,6
1. Hipertensi refrakter: respons pengobatan tidak memuaskan dan Tekanan darah >
200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada
penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi : Tekanan darah meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai
dengan kelainan fundudkopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase
maligna.
3. Hipertensi maligna: penderita hipertensi akselerasi dengan Tekanan darahdiastolik >
120-130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peninggian
tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun
kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya
pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial atupun sekunder dan jarang terjadi
pada penderita yang sebelumnya mempunyai Tekanan darah normal.
4. Hipertensi enselofati: kenaikan Tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan
keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi
teversible bila Tekanan darah diturunkan.

KLASIFIKASI.5

a. Hipertensi urgensi
b. Hipertensi emergensi

Pada tahun 2003, JNC -VII membuat pembagian hipertensi berikut anjuran frekuensi
pemeriksaan tekanan darah sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Klasifikasi hipertensi menurut JNC-VII

Kategori Sistolik Diastolik


(mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-90

Hipertensi derajat 1 140-150 90-99

Hipertensi derajat 2 160 100

5
FAKTOR PREDISPOSISI

Krisis hipertensi dapat terjadi peda hipertensi primer atau hipertensi sekunder. Faktor
predisposisi tejadinya krisis hipertensi oleh karena :

1. Hipertensi yang tidak terkontrol


2. Hipertensi yang tidak terobati. Penderita hipertensi yang minum obat: MAO
inhibitor, dekongestan, kokain.
3. Kenaikan Tekanan darah tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis
essensial(tersering)
4. Hipertensi renovaskular
5. Glomeluronefritis akut

PATOGENESIS

Tekanan darah terutama dikontrol oleh sistem saraf simpatik (kontrol jangka pendek) dan
ginjal (kontrol jangka panjang). Mekanisme yang berhubungan dengan penyebab
hipertensi melibatkan perubahan perubahan pada curah jantung dan resistensi vaskular
perifer. Pada tahap awal hipertensi primer curah jantung meninggi sedangkan tahanan
perifer normal. Keadaan ini disebabkan peningkatan aktivitas simpatik. Saraf simpatik
mengeluarkan norepinefrin, sebuah vasokonstriktor yang mempengaruhi pembuluh arteri
dan arteriol sehingga resistensi perifer meningkat. Pada tahap selanjutnya curah jantung
kembali ke normal sedangkan tahanan perifer meningkat yang disebabkan oleh refleks
autoregulasi. Yang dimaksud dengan refleks autoregulasi adalah mekanisme tubuh untuk
mempertahankan keadaan hemodinamik yang normal. Oleh karena curah jantung yang
meningkat terjadi konstriksi sfingter pre-kapiler yang mengakibatkan penurunan curah
jantung dan peninggian tahanan perifer. Pada stadium awal sebagian besar pasien
hipertensi menunjukkan curah jantung yang meningkat dan kemudian diikuti dengan
kenaikan tahanan perifer yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah yang menetap.5

MEKANISME AUTOREGULASI

Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan


pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah
dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan
darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi
vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah orak masih tetap pada fluktuasi
Mean Atrial Pressure (MAP) 60 70 mmHg.6 Bila MAP turun di bawah batas
autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk
kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi
iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop.5

Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua, batas ambang
autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan
aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih inggi (lihat gambar 2).5

Straagaard pada penelitiaanya mendapatkan MAP rata-rata 113 mmHg pada 13


penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan 73 mmHg pada orang normotensi.
Penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara group normotensi dan
hipetensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol cenderung menggeser
autoregulasi ke arah normal.5
6
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira kira 25% di bawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP
sebanyak 20 25% dalam beberapa menit atau jam, tergantung dari apakah emergensi
atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun oedema
paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15 30 menit dan bisa lebih cepat
lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati,
penurunan tekanan darah 25% dalam 2 3 jam. Untuk pasien dengan infak serebri akut
ataupun perdarahn intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6 12
jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170 180/100 mmHg.
Tekanan darah yang sangat tinggi, terutama yang meningkat dalam waktu singkat,
menyebabkan gangguan atau kerusakan pada organ target.
1. Jantung
Kenaikan tekanan darah menyebabkan peningkatan preload pada ventrikel kiri,
sehingga terjadi payah jantung sering dalam bentuk edema paru.
Pada penderita yang sebelumnya sudah mempunyai gangguan sirkulasi koroner,
maka peningkatan tekanan darah dapat menyebakan insufisiensi koroner akut.
Hal ini disebabkan karena meningkatnya preload menyebabkan kebutuhan
oksigen oleh miokard meningkat, sehingga terjadi iskemia miokard akut.
2. Pembuluh darah
Pada arteri kecil dan arteriol terjadi nekrosis fibrinoid, yang berperan penting
dalam timbulnya kerusakan target organ.
Penyulit berbahaya yang terjadi pada aorta adalah diseksi aorta. Di sini terjadi
robekan pada intima aorta yang disertai masuknya darah ke dalam dinding
aorta sehingga intima terlepas dari dindingnya.
3. Retina
Kelainan retina merupakan penyulit penting pada krisis hipertensi. Pada
umumnya terjadi eksudat, perdarahan, dan papil bentung yang bisa menyebabkan
kebutaan.
4. Ginjal
Pada ginjal bisa terjadi kerusakan progresif karena atrofi iskemik daeri
nefron. Hal ini disebabkan karena nekrosis fibrinoid arteriol dan proliferasi sel-
sel intima pada arteri interlobular. Akibatnya ialah menurunnya GFR dan aliran
darah ginjal.
5. Otak
Ensefalopati hipertensi
Biasanya ensefalopati hipertensi disertai kelainan retina yang berat.
Gejala-gejala ensefalopati seperti nyeri kepala hebat, muntah, konvulsi,
stupor, dan koma disebabkan karena spasme pembuluh darah otak dan edema
otak. Terdapat pula dilatasi arteri-arteri otak dan nekrosis fibrinoid dari
arteriol yang luas. Dilatasi arteri ini disebabkan gagalnya sistem autoregulasi
sirkulasi otak, sehingga aliran darah otak meningkat dan menyebabkan edema
otak.

7
Gambar 2. Kurva autoregulasi pada tekanan darah

MANIFESTASI KLINIS.7

Tekanan darah tinggi Urgensi Emergensi


Tekanan darah >180/120 >180/210 >220/140
Gejala Sakit kepala, Sakit kepala berat, Sesak nafas, nyeri
kecemasan, sering sesak nafas dada, nokturia,
asimptomatik disartria, kelemahan
umum sampai
dengan penurunan
kesadaran,
Pemeriksaan Tidak dijumpai Tidak ada kerusakan Encefalopati, edema
kerusakan organ organ target, pulmonum,
target, tidak ada penyakit insufisiensi ginjal,
penyakit kardio kardiovaskular yang cerebrovascular
vaskular secara klinis stabil accident, iskemik
kardiak

Terapi Observasi 1-3 jam, Observasi 3-6 jam, Pemeriksaan lab


tentukan pengobatan turunkan tekanan dasar, infus,
awal, tingkatkan dosis darah dengan obat pengawasan tekanan
yang sesuai oral, berikan terapi darah, mulai
penyesuaian pengobatan awal di
ruang emergensi

Perencanaan Rencanakan Rencanakan Segera rawat di


pengawasan < 72 jam, pengawasan < 24 ICU, obati
jika tidak ada indikasi jam mencapai target
dapat rawat jalan tekanan darah,
investigasi penyakit

8
DIAGNOSIS

Prinsip-prinsip penegakan diagnosis Hipertensi emergency dan Hipertensi Urgency tidak


berbeda dengan penyakit lainnya :3,7,8
1. Anamnesis : Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat, tekanan
darah rata-rata, riwayat pemakaian obat-obat
2. simpatomimetik dan steroid, kelainan hormonal, riwayat penyakit kronik lain,
gejala-gejala serebral, jantung dan gangguan penglihatan.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tekanan darah pada kedua lengan, perabaan denyut nadi perifer
(raba nadi radialis kedua lengan dan kemungkinan adanya selisih dengan nadi
femoral, radial-femoral pulse leg ),
b. Mata : Lihat adanya papil edema, pendarahan dan eksudat, penyempitan yang
hebat arteriol.
c. Jantung : Palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya bunyi jantung
S3 dan S4 serta adanya murmur.
d. Paru ; perhatikan adanya ronki basal yang mengindikasikan CHF.
e. Status neurologik : pendekatan pada status mental dan perhatikan adanya
defisit neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan refleks fisiologis
dan patologis.
4. Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit dasarnya,
penyakit penyerta, dan kerusakan target organ. Yang sering dilakukan antara lain
: pemeriksaan elektrolit, BUN, glukosa darah, kreatinin, urinalisis., hitung jenis
komponen darah dan SADT. Pemeriksaan lainnya antara lain foto rontgen toraks,
EKG dan CT Scan.

PENATALAKSANAAN

Hipertensi Urgensi
a. Penatalaksanaan Umum6,8,9
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi
urgensi tidak membutukan obat-obatan parenteral. Pemberan obat-obatan oral
aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam
awal (Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%).
Pada fase awal goal standar penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai
160/110 mmHg.3,6,11
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral mau oral bukan tanpa
resiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti
hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami
hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral
merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.3,6
b. Obat obatan spesifik untuk hipertensi urgensi.6
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor
dengan onset mulai 15 30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai
dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50 100 mg setelah 90 120 menit
kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia,
angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri
renal bilateral).
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan
pada pasien dengan hipertensi urgensi. Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg

9
dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan.
Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit
kepala.
Labetolol adalah gabungan antara 1 dan -adrenergic blocking dan memiliki
waktu kerja mulai antara 1 2 jam. Dalam penelitian labetolol memiliki dose
range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis.
Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap group ada yang diberikan
dosis 100, 200 dan 300 mg secara oral dan menghasilkan penurunan tekan
darah sistolik dan diastolik secara signifikan. Secara umum labetolol dapat
diberikan mulai dari dosi 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3 4
jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit
kepala.
Clonidin adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (2-adrenergic
receptor agonist) yang memiliki onset kerja antara 15 30 menit dan
puncaknya antara 2 4 jam. Doasi awal bisa diberikan 0,1 0,2 mg kemudian
berikan 0,05 0,1 setiap jam sampai tercapainya tekanan darah yang
diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. efek samping yang sering terjadi
adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak
kerja antara 10 20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA
untuk terapi hipertensi urgensi kerana dapat menurunkan tekanan darah yang
mendadak dan tidak dapat diperidisikan sehingga berhungan dengan kejadian
strok. Pada tahun 1995 National Heart, Lung, and Blood Institute meninjau
kembali bukti keamanan tentang penggunaan obat golongan Ca channel
blocker terutama nifedipine kerja cepat harus digunakan secara hati-hati
terutama pada penggunaan dosis besar untuk terapi hipertensi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan yang segera seperti :


Darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD.
Urine : Urinelisa dan kultur urine.
EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
Foto dada : apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah pengobatan
terlaksana).

2. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang
pertama) :
Sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus tertentu ), biopsI
renald ( kasus tertentu ).
Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan.
Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine,
metamefrin, venumandelic Acid.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Riaz K. Hypertension. Emedicine 2012. Diunduh pada 29 Januari 2014.


2. Departemen kesehatan RI. Riskesdas 2007. Jakarta: Departemen kesehatan RI; 2008
3. Rampengan SH. Krisis Hipertensi : Hipertensi Emergensi dan Hipertensi Urgensi.
BIK Biomed. 2007. Vol.3, No.4 :163-8.
4. Saguner AM, Dr S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors Promoting
Hypertensive Crises: Evidence From a Longitudinal Study. Am J Hipertensi 2010.
23:775-780
5. Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU Digital Library 2004.
6. Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive Urgency and Emergency. Hospital Physician
Article. 2007.
7. Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management of Hypertensive crises. Critical
Care Journals. 2003.
8. Al Bannay, Rashed, Michael Bhm, and Aysha Husain. "Heart rate differentiates
urgency and emergency in hypertensive crisis." Clinical Research in Cardiology 102.8
(2013): 593-598.
9. Polly, Derek M., Christopher A. Paciullo, and Chad J. Hatfield. "Management of
hypertensive emergency and urgency." Advanced emergency journal 33.2 (2011):
127-136.
10. Marik, Paul E., and Racquel Rivera. "Hypertensive emergencies: an update."Current
opinion in critical care 17.6 (2011): 569-580.
11. Rodriguez, Maria Alexandra, Siva K. Kumar, and Matthew De Caro. "Hypertensive
crisis." Cardiology in review 18.2 (2010): 102-107.

11
12

Anda mungkin juga menyukai