Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

ADIKSI DAN DEPRESI

Penyusun :

Dea Citra Alamanda

1665050081

Pembimbing :

dr. Herny Taruli Tambunan, M. Ked(KJ), Sp. KJ


dr. Imelda Wijaya, Sp. KJ
dr. Gerald Mario Semen, Sp. KJ, S.H.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 05 NOVEMBER – 08 DESEMBER 2018
RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT CIBUBUR
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Segala ucapan syukur kepada Allah SWT, karena atas segala limpahan

kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “ADIKSI DAN

DEPRESI” ini merupakan salah satu syarat untuk pemenuhan tugas nilai akhir di Kepaniteraan

Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran UKI di RSKO Cibubur, Jakarta.

Penyusunan referat berupa studi observasional ini tidak semata-mata hasil kerja penulis

sendiri, melainkan juga berkat bimbingan dan dorongan dari pihak-pihak yang telah membantu,

baik secara materi maupun secara non materi, dan secara langsung maupun tidak langsung.

Maka dari itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga serta

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat dr. Herny Taruli Tambunan,

M.Ked (KJ), Sp. KJ, dr. Gerald Mario Semen, Sp. KJ, S.H, dan dr. Imelda Wijaya, Sp. KJ

selaku dosen pembimbing referat atas kesediaan waktu, berbagi pikir, memberi arahan dan

pandangan dalam sudut tinjau ilmiah demi terselesaikannya referat ini.

Dengan terselesaikannya referat ini semoga sebagian amanat yang dipercayakan

kepada penulis dapat terlaksanakan. Terimakasih.

Jakarta, November 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 2

A. Definisi Adiksi .................................................................................................... 2

1. Adanya Proses Toleransi ............................................................................... 2

2. Adanya Gejala Putus Zat (Withdrawal Syndrome) ...................................... 3

3. Adanya Rasa Penyesalan .............................................................................. 3

4. Adanya Relaps .............................................................................................. 3

B. Epedemiologi Adiksi .......................................................................................... 3

C. Depresi dan Adiksi .............................................................................................. 4

D. Depresi Akibat Alkohol ...................................................................................... 5

E. Penatalaksanaan Adiksi Akibat Alkohol ............................................................ 5

1. Farmakoterapi dalam Pengobatan Adiksi Alkohol dan Depresi .................... 6

2. Farmakoterapi Adiksi Alkohol dalam Pengobatan Adiksi Alkohol dan

Depresi yang Terjadi Bersamaan .................................................................. 7

3. Terapi psikososial ......................................................................................... 8

BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 14

A. Kesimpulan ....................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adiksi adalah suatu gangguan yang bersifat kronis dan kumat-kumatan, ditandai

dengan perbuatan kompulsif yang diulang-ulang oleh seseorang untuk memuaskan diri

pada aktivitas tertentu. Istilah adiksi sering digunakan untuk menyebut ketergantungan

terhadap NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya), tetapi

akhir-akhir ini digunakan untuk menyebut masalah ketergantungan terhadap yang lain,

termasuk judi, makan, pekerjaan, Internet, pornografi, seks, komputer, videogame, dan

berbelanja. Faktor penyebab dan pencetusnya bisa genetik, biologik/farmakologik dan

sosial.

Gejala klinis adiksi meliputi adanya ketergantungan fisik dan ketergantungan

psikologik. Adiksi NAPZA atau hal lainnya bisa juga menimbulkan gejala depresi.

Depresi yang di timbulkan bisa sampai menyebabkan seseorang mengakhiri hidupnya

atau bunuh diri. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

laboratorium, sedang penatalaksanaannya harus holistik, meliputi farmakoterapi,

psikoterapi dan manipulasi lingkungan. Prognosis pasien adiksi tergantung pada

berbagai faktor yang mencetuskan, apakah karena genetik, psikologik atau akibat

pengaruh lingkungan sosial.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Adiksi

Adiksi berasal dari bahasa inggris addiction yang berarti ketagihan atau kecanduan.

Istilah adiksi banyak dicantumkan literature kedokteran, namun tidak dicantumkan sebagai

salah satu diagnosis. Adiksi membuat seseorang, baik secara fisik maupun psikologis

mengurangi kapasitasnya sebagai manusia untuk berfungsi sebagaimana mestinya,

sehingga membuatnya mengalami perubahan perilaku, menjadi obsesif kompulsif (dalam

menggunakan zat), sehingga menggangu hubungannya dengan orang lain. Salah satu

cabang ilmu psikiatri yang memfokuskan studi dalam bidang adiksi disebut Psikiatri

Adiksi.

Dalam bidang psikiatri, istilah adiksi sering digunakan. Sehubungan dengan

beragamnya golongan NAPZA, maka sesuai dengan sebutannya dikenal: adiksi tembakau,

adiksi ganja, adiksi alkohol. Adiksi kokain, dan lain-lainnya. Sebetulnya perilaku adiksi

tidak hanya berkait dengan penggunaan NAPZA, namun dikenal pula beberapa bentuk

adiksi lain seperti: adiksi seksual, adiksi judi, adiksi internet, adiksi makanan, adiksi

belanja, adiksi internet, adiksi telepon seluler, dan lain-lainnya.

Adiksi atau ketergantungan terhadap narkoba merupakan suatu kondisi dimana

seseorang mengalami ketergantungan secara fisik dan psikologis terhadap suatu zat adiktif

dan menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut.

1. Adanya Proses Toleransi

Tubuh Anda menjadi terbiasa dengan efek obat dan membutuhkan jumlah yang

lebih besar untuk mencapai efek yang sama.

5
2. Adanya Gejala Putus Zat (Withdrawal Syndrome)

Jika pasien tidak mengkonsumsi atau mengurangi asupan obat, pasien akan

mengalami gejala fisik seperti gugup, mual, tremor, keringat dingin atau agitasi.

3. Adanya Rasa Penyesalan

Pasien merasa bersalah atau sedih setelah menggunakan obat itu, meskipun pasien

meminum obat untuk merasa lebih baik

4. Adanya Relaps

Kapan pun pasien mencoba berhenti menggunakan obat, gejala craving

mendorong pasien kembali ke kebiasaan merusak pasien.

B. Epidemiologi Adiksi

Menurut Recovery Research Institute tingkat prevalensi gangguan penggunaan zat

dan gangguan terkait pada tahun 2015 di seluruh populasi total Amerika Serikat dan

segmen demografi populasi yang berbeda. Tingkat prevalensi gangguan penggunaan

alkohol dan narkoba dapat bervariasi tergantung pada karakteristik seperti jenis kelamin,

usia, ras/etnis, dan sosial-ekonomi. Diperkirakan selama masa hidup mereka, orang dewasa

Amerika Serikat (29,1%) telah memenuhi kriteria untuk gangguan penggunaan alkohol,

dan memenuhi kriteria untuk gangguan penggunaan narkoba lain (9,9%) misalnya, opioid,

kokain, atau gangguan penggunaan marijuana.

Perbedaan dalam prevalensi terjadi karena berbagai alasan, termasuk variasi budaya

dan sub-budaya dan sebagai akibat dari perbedaan biologis, psikologis, dan sosial. Untuk

jenis kelamin pria dua kali lebih banyak dibandingkan dengan wanita. Dengan jumlah

presentasi untuk pengguna alkohol pada laki-laki (36%) dan wanita (22,7%) sedangkan

untuk pengguna narkoba pada laki-laki (12,3%) dan wanita (7,7%). Lalu untuk pengguna

alkohol tinggi pada usia 18-29 tahun (37%) dan untuk pengguna narkoba tinggi pada usia

6
18-29 tahun (14,2%). Ras /etnik untuk pengguna alkohol didapatkan prevalensi tinggi pada

Native Amerika (43%) dan pengguna narkoba tinggi pada Native Amerika (17,2%). Untuk

sosial-ekonomi pada pengguna alkohol lebih tinggi pada penduduk dengan sosial-ekonomi

tinggi (30%) dan pengguna narkoba justru tinggi pada sosial-ekonomi rendah (13,5%).

C. Depresi dan Adiksi

Depresi sering kali merupakan pintu gerbang ke penggunaan NAPZA. Sangat

mudah untuk melihat alasannya. Pasien yang mengalami perasaan depresi mencoba

mengkonsumsi NAPZA untuk menghindari emosi negatif mereka. Tetapi mereka yang

depresi secara klinis akan tetap depresi jika mereka tidak mencari pengobatan yang tepat.

Dan jika pasien ini menggunakan NAPZA secara teratur, kemungkinan penggunaannya

akan segera berubah menjadi kecanduan penuh karena pasien terus berusaha untuk

mengobati dirinya sendiri namun sia-sia.

Bagi beberapa pasien yang mengalami depresi dan gangguan penggunaan zat,

berhenti mengkonsumsi NAPZA justru dapat memperburuk depresi. Jika pasien telah

menggunakan alkohol selama bertahun-tahun untuk mengubur gejala depresi,

kemungkinan pasien menemukan bahwa gejala depresi akan timbul pada saat pasien tidak

mengkonsumi alkohol atau dalam keadaan tenang. Itulah mengapa sangat penting untuk

melakukam perawatan terpadu untuk depresi dan penyalahgunaan zat pada saat yang

bersamaan. Tanpa mengobati depresi yang membuat kecanduan pada pasien atau

sebaliknya, akan membuat pasien cenderung kembali ke perilaku adiktif atau mengalami

kembalinya gejala depresi segera setelah pasien menyelesaikan rehabilitasi.

7
D. Depresi Akibat Alkohol

Penggunaan alkohol adalah depresan sistem saraf pusat yang mungkin awalnya

berfungsi sebagai stimulan, tetapi dengan cepat dapat meningkatkan perasaan lesu,

mengantuk, dan depresi. Penggunaan alkohol dapat menurunkan inhibisi, merusak

penilaian dan juga meningkatkan risiko seseorang yang depresi untuk mencoba bunuh diri.

Menurut American Association of Suicidology, setidaknya setengah dari individu yang

mencoba bunuh diri memiliki beberapa bentuk depresi, dan orang-orang dengan depresi

25% lebih mungkin daripada individu yang tidak depresi untuk menunjukkan perilaku

bunuh diri. Penyalahgunaan alkohol dan narkoba dapat memperparah jalannya gangguan

depresi dengan memperparah gejala depresi, meningkatkan kemungkinan rawat inap dan

mengganggu jalannya pengobatan. Individu yang sedang dirawat karena depresi saat

menggunakan obat-obatan atau alkohol tidak mungkin untuk melihat hasil positif dari

terapi. Penyalahgunaan zat menyulitkan motivasi dan menurunkan efektivitas intervensi

terapeutik. Selain itu, alkohol atau obat-obatan dapat memiliki interaksi berbahaya dengan

obat yang digunakan untuk mengobati depresi.

E. Penatalaksanaan Depresi Akibat Adiksi Alkohol

Farmakoterapi yang disetujui oleh Food and Drugs Administration (FDA) untuk

pengobatan kecanduan pada alkohol adalah disulfiram, naltrexone (oral atau intarvena),

dan acamprosate. Obat antidepresan yang disetujui FDA tersedia untuk membantu

mengobati penyakit depresi, dengan inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) yang

dianggap sebagai pengobatan farmakologis lini pertama.

8
1. Farmakoterapi dalam Pengobatan Adiksi Alkohol dan Depresi

Literatur menurut Lovieno et al., baru-baru ini mengungkapkan antidepresan

Nefazodone, Desipramine, dan Imipramine ditemukan memiliki efek paling kuat pada

penurunan gejala depresi. Sementara meta-analisis ini menyarankan bahwa

antidepresan dapat dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk mengobati depresi

pada pasien dengan adiksi alkohol yang terjadi bersamaan, data tidak menunjukkan

bahwa antidepresan memiliki dampak yang signifikan pada pola penggunaan alkohol

pada pasien ini. Penelitian lain, telah menemukan dampak positif pada pola pemberian

antidepresan pada pasien yang telah diberi SSRI dalam dosis lebih tinggi daripada yang

diresepkan untuk penyakit depresi. Selain itu, subtipe tertentu dari pasien alkoholik

tampaknya memberikan respons yang berbeda terhadap SSRI, yang mungkin sangat

efektif pada apa yang disebut pecandu alkohol Tipe A, yang memiliki depresi yang

kurang berat dan ketergantungan alkohol ringan.

Dalam studi naturalistik yang mendukung pentingnya mempertimbangkan obat

antidepresan pada pasien dengan depresi dan adiksi alkohol, Greenfield et al.,

menunjukkan bahwa di antara pasien dengan depresi yang tidak diberi resep untuk obat

antidepresan pada saat keluar dari pengobatan rawat inap, 100% kembali menggunakan

alkohol dalam empat bulan berikutnya. Studi ini memberi kelegaan pada kemungkinan

bahwa ketika tidak diobati dengan obat, pasien dengan adiksi alkohol dan depresi yang

terjadi bersamaan berisiko tinggi untuk kambuh. Ini juga menyoroti utilitas potensial

menggunakan obat antidepresan pada awal pengobatan pada populasi yang didiagnosis

secara normal ini.

Secara keseluruhan, bagaimanapun, ada sedikit dampak dalam penggunaan

antidepresan pada pasien depresi dan adiksi alkohol. Hanya ada sedikit bukti mengenai

efikasi diferensial untuk memandu seorang dokter dalam memilih antidepresan khusus

9
untuk populasi ini berdasarkan pasien yang mengalami adiksi alkohol yang terjadi

bersamaan. Yang mengatakan, obat antidepresan tertentu dan kombinasi alkohol dapat

meningkatkan risiko untuk efek samping. Misalnya, bupropion dapat menurunkan

ambang kejang seseorang; ketika dikombinasikan dalam individu dengan predisposisi

untuk memiliki kejang ketika menarik diri dari alkohol, ini dapat menimbulkan risiko

yang tidak dapat diterima. Demikian pula, duloxetine antidepresan telah terbukti

memiliki toksisitas hati pada mereka dengan disfungsi hati pra-morbid, termasuk

mereka dengan disfungsi hati karena penggunaan alkohol kronis.

2. Farmakoterapi Adiksi Alkohol dalam Pengobatan Adiksi Alkohol dan Depresi

yang Terjadi Bersamaan

Dalam semangat pengobatan terintegrasi, penelitian terbaru telah berusaha

untuk menyelidiki kemanjuran bersama dari pengobatan farmakologis yang ditetapkan

untuk adiksi alkohol dengan obat antidepresan. Sebagai contoh, beberapa penelitian

telah meneliti dampak dari obat antagonis opioid naltrexone dan obat SSRI, sertraline.

Studi-studi ini menunjukkan bahwa pengobatan kombinasi dapat menyebabkan tingkat

pantangan yang lebih tinggi dari alkohol, waktu yang lebih lama untuk kambuh, dan

peningkatan mood relatif terhadap mereka yang menerima intervensi plasebo atau

antidepresan atau farmakologis adiksi alkohol saja. Data yang berkaitan dengan

kombinasi antidepresan dan disulfiram atau acamprosate dengan maksud khusus untuk

mengobati terjadinya adiksi alkohol dan gejala depresi bahkan lebih terbatas.

Dokter harus memperhatikan beberapa masalah utama saat meresepkan obat

untuk adiksi alkohol. Pertama, pasien alkoholik memperhatikan interaksi obat-obat-

misalnya, mereka mungkin memerlukan dosis obat antidepresan trisiklik yang lebih

tinggi dari biasanya untuk mencapai tingkat terapeutik. Efek samping, kepatuhan,

riwayat percobaan pengobatan, kehadiran bunuh diri, dan tingkat organisasi (misalnya,

10
kapasitas untuk mengikuti aturan diet yang terkait dengan disulfiram) semua harus

dipertimbangkan ketika memilih obat.

Ketika mempertimbangkan farmakoterapi, pertama-tama harus menentukan

apakah rawat inap untuk detoksifikasi atau ketidakstabilan psikiatrik (misalnya, bunuh

diri) dapat dijamin. Setelah ini, untuk klarifikasi diagnosis, idealnya dapat membantu

untuk mengamati pasien setidaknya dua minggu periode pantang dari alkohol, setelah

itu evaluasi komprehensif untuk gangguan depresi mungkin lebih akurat. Namun,

seperti diuraikan sebelumnya, itu mungkin tidak selalu bijaksana untuk menunda

intervensi psikofarmakologis. Oleh karena itu, dalam banyak kasus, dokter dapat

mempertimbangkan dari awal antidepresan dan intervensi psikofarmakologis adiksi

alkohol bersama dengan intervensi psikososial.

Singkatnya, obat-obatan membantu dalam pengobatan pasien dengan adiksi

alkohol dan gangguan depresi yang terjadi bersamaan. Penelitian lebih lanjut

diperlukan untuk memeriksa keamanan dan kemanjuran pemberian bersama obat

antidepresan dengan obat yang disetujui.

3. Terapi Psikososial

Sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Daley et al., hubungan antara gangguan

mood dan penggunaan zat pada pasien dengan adiksi alkohol adalah kompleks dan

dinamis. Ada fase berbeda dari setiap perawatan pasien, dengan dokter dan pasien yang

bekerja sama untuk mengidentifikasi masalah dan menyusun strategi tentang cara untuk

mengelola ini secara efektif. Pemulihan dari adiksi NAPZA dan gangguan mood dilihat

sebagai proses aktif yang bertujuan untuk membantu mendidik pasien tentang penyakit

mereka dan dampaknya pada mereka dan orang-orang di sekitarnya, menstabilkan

mereka dari efek akut gangguan dan memupuk pengembangan keterampilan dan

strategi untuk mengelola gejala dari adiksi NAPZA dan gangguan mood dengan lebih

11
baik. Melibatkan pasien dengan kerangka kerja yang dinamis ini memungkinkan dokter

untuk secara fleksibel memenuhi tantangan pasien yang sedang berkembang untuk

pemulihan.

Beberapa terapi psikososial telah digunakan dalam pengobatan adiksi alkohol,

yang terkemuka di antaranya adalah Motivational Enhancement Therapy (MET),

Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Relapse Prevention Therapy (RPT), Contingency

Management (CM), Twelve-Step Groups (TSG) dan Twelve-Step Facilitation (TSF).

a) Motivational Enhancement Therapy (MET)

Pada awal pengobatan, pasien mungkin memiliki tingkat motivasi yang

berbeda untuk mengatasi adiksi alkohol dan depresi yang terjadi bersamaan. MET

adalah metode berbasis-bukti yang melibatkan pasien untuk membantu

membangkitkan motivasi mereka sendiri untuk menyelesaikan ambivalensi ini

demi akhirnya mengubah perilaku bermasalah. Ini bisa singkat, dan didasarkan

pada gagasan bahwa tingkat motivasi seseorang untuk berubah tinggi. MET

menganjurkan cara kolaboratif non-koersif untuk melibatkan pasien.

Kemanjuran MET sebagai intervensi singkat untuk meningkatkan motivasi

untuk berubah telah dipelajari dengan baik di kedua adiksi NAPZA dan gangguan

mood. Selain itu, literatur terbaru telah mendukung penggunaannya dalam

populasi yang didiagnosis secara normal. Secara khusus, MET telah terbukti

mengurangi jumlah rawat inap, mengurangi penggunaan zat, dan meningkatkan

kemungkinan melakukan transisi ke pengobatan rawat jalan di beberapa penelitian

pasien yang didiagnosis secara heterogen, serta secara khusus pada orang-orang

dengan gangguan depresi dan adiksi alkohol, (terutama bila dikombinasikan

dengan intervensi psikososial berbasis kognitif).

12
b) Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Setelah seorang pasien terlibat dalam pengobatan melalui peningkatan

motivasi, atau bahkan bersamaan dengan itu, eksplorasi pikiran, keyakinan, dan

asumsi disfungsional tentang diri sendiri, masa depan, dan dunia (bersama-sama

disebut sebagai skema) yang mengarah ke dan mengabadikan depresi penggunaan

suasana hati dan / atau zat dapat terjadi. Salah satu tujuan CBT dalam adiksi

NAPZA adalah untuk mengidentifikasi dampak khusus yang diberikan oleh zat

dan menawarkan pilihan alternatif yang lebih sehat untuk mencapai reward ini.

Basis bukti kuat ada untuk penggunaan CBT dalam pengobatan populasi

yang didiagnosis secara normal dengan adiksi alkohol dan depresi. Secara khusus,

CBT dapat meningkatkan persentase hari abstinent dan mengurangi jumlah

minuman per hari minum sementara juga mengurangi keparahan gejala depresi.

c) Relapse Prevention Therapy (RPT)

Seperti namanya, Relapse Prevention Therapy (RPT) bertujuan untuk

memahami sifat kekambuhan substansi dan membantu menetapkan strategi untuk

mengelola situasi yang berpotensi kambuh. Pada intinya, RPT mengeksplorasi dan

mengatalogkan pemicu risiko tinggi individu tertentu untuk kambuh dan kemudian

menerapkan pendekatan kognitif-perilaku untuk membantu individu menghindari

pemicu tersebut dan mengelolanya secara lebih efektif melalui peningkatan self-

efficacy.

Data mengenai keefektifan RPT dalam memperlakukan adiksi alkohol

adalah tinggi. Namun, penelitian RPT dalam pengobatan pasien dengan adiksi

aklkohol dan depresi yang terjadi masih kurang. Meskipun demikian, penelitian

tentang RPT pada populasi yang didiagnosis secara heterogen lainnya cukup

menggembirakan. Sebagai contoh, prinsip RPT telah berhasil diterapkan pada

13
pendekatan pengobatan kelompok terpadu untuk pasien dengan gangguan bipolar

dan SUD yang terjadi bersamaan.

d) Contingency Management (CM)

CM didasarkan pada prinsip umum bahwa penggunaan zat dikaitkan

dengan imbalan tertentu, dan bahwa imbalan alternatif dicari untuk menggantikan

imbalan yang berasal dari penggunaan zat. Sebagai contoh, dalam satu versi, terapi

penguatan berbasis voucher, perorangan menerima voucher untuk

mempromosikan barang atau layanan yang mempromosikannya dengan imbalan

negative drug screens. Sementara meta-analisis 2006 dari kemanjuran pendekatan

ini pada individu dengan SUD menunjukkan efek positif secara keseluruhan dalam

hal penggunaan zat, hanya sedikit data yang ada mengenai kegunaan CM pada

AUD / depresi yang didiagnosis secara normal. Mirip dengan terapi psikososial di

atas, meskipun, basis bukti yang berkembang berbicara positif untuk penerapan

dan kemanjuran CM dalam populasi dual-diagnosis yang lebih heterogen,

termasuk yang menderita sakit mental parah.

e) Twelve-Step Groups (TSG)

Kelompok pendukung dua belas langkah seperti Alcoholics Anonymous

(AA) telah menjadi andalan pengobatan adiksi NAPZA sejak kelahiran mereka

pada 1930-an. Random, terkontrol, data studi tentang AA, sedikit dan tidak

mungkin dikumpulkan karena sifat AA, tetapi menyarankan efek positif pada pola

peminum. Studi naturalistik telah menunjukkan data yang sama menguntungkan

pada pola minum dan ukuran kesejahteraan psikologis. Sebuah literatur kecil yang

menunjukkan bahwa keterlibatan dalam AA mungkin memiliki efek suasana hati

yang menguntungkan bagi anggota yang depresi; Namun, tidak jelas apakah efek

ini disebabkan oleh pengurangan penggunaan alkohol. Selain itu, dalam populasi

14
yang didiagnosis secara heterogen, data menunjukkan korelasi positif antara

partisipasi dua belas langkah kelompok dan tingkat tidak berpantang, dan tingkat

kesulitan umum.

Melibatkan pasien dalam program bantuan mandiri dapat menciptakan

tantangan tak terduga bagi pasien alkoholik dengan penyakit psikiatris yang terjadi

bersamaan. Sebagai contoh, meskipun literatur resmi AA berbicara sebaliknya,

dalam beberapa kelompok mungkin masih ada bias terhadap penggunaan obat-

obatan. Dokter harus menyadari komplikasi potensial dari keterlibatan dalam

kelompok-kelompok mandiri dan mendiskusikan hal ini dengan pasien mereka.

Selain itu, dokter dapat membantu memandu pasien ke kelompok swadaya yang

paling sesuai dengan profil demografi khusus mereka (remaja, wanita, SMART,

gay / lesbian / transgender), yang juga dapat meningkatkan keterlibatan mereka

dalam kelompok-kelompok ini.

f) Twelve-Step Facilitation (TSF)

Mengakui efek positif dari keterlibatan dalam kelompok swadaya, TSF

bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan dalam kelompok-kelompok mandiri.

Tidak seperti AA, yang merupakan kelompok saling membantu, TSF adalah

pengobatan yang dipimpin secara profesional yang dirancang untuk mendorong

keterlibatan dalam AA dan kelompok dua belas langkah lainnya. Di TSF, dokter

bekerja dengan pasien untuk menilai penggunaan narkoba, mendidik pasien

tentang prinsip-prinsip mandiri dalam menerima kebutuhan untuk berpantang dan

mendorong partisipasi aktif dalam kegiatan kelompok diri. Studi telah

memvalidasi kemanjuran TSF dalam melibatkan pasien dalam kelompok self-help

dan meningkatkan persentase hari abstinent dari alkohol relatif terhadap pasien

yang menerima MET atau CBT. Selain itu, penelitian lain telah memeriksa dan

15
memvalidasi kemanjuran TSF pada pasien dengan gangguan pecandu NAPZA

dan depresi yang terjadi bersamaan.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adiksi alkohol dan penyakit depresi sangat umum, sering terjadi bersamaan, dan

berhubungan dengan hasil yang buruk saat dipasangkan. Penilaian adiksi alkohol dan gejala

depresi dapat menjadi tantangan ketika mereka terjadi bersamaan, dan kesan klinis dapat

bergeser seiring dengan semakin banyak informasi yang muncul. Ketika datang untuk

menganjurkan pengobatan untuk populasi yang didiagnosis secara normal ini, datanya

terbatas. Meskipun demikian, risiko non-perawatan atau watch-and-wait beresiko tinggi.

Data menunjukkan bahwa pendekatan terpadu untuk pasien dengan gejala adiksi alkohol

dan depresi yang terjadi bersamaan adalah berhasil.

Dalam pendekatan ini, evaluasi dan perawatan berkelanjutan diberikan di bawah satu

atap sesuai dengan kebutuhan yang berkembang dari setiap pasien. Memanfaatkan obat

antidepresan dalam hubungannya dengan terapi psikososial dapat menambah efektivitas

pengobatan secara keseluruhan. Data juga menunjukkan bahwa menggabungkan dan

menyesuaikan terapi psikososial seperti terapi peningkatan motivasi untuk membangun

hubungan dan membangun motivasi untuk tetap dalam pengobatan, terapi kognitif untuk

mengatasi pola berpikir maladaptif dan berperilaku, bersama dengan intervensi pengaktifan

perilaku lainnya seperti fasilitasi dua belas langkah mungkin lebih meningkatkan hasil

pengobatan untuk pasien dengan gangguan penggunaan depresi dan penggunaan bersama.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Husin AB, Siste K. 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit

FKUI.

2. Devido JJ, MTS, Weiss RD. 2012. Treatment of the Depressed Alcohol Patient. United

State: National Center of Biotechnology Information.

3. Nunes EV, Levin FR. 2009. Treatment Co-occuring Depression and Substance

Dependence. United State: National Center of Biotechnology Information.

4. Maslim R. 2013. PPDGJ - III dan DSM - 5. Jakarta: PT Nuh Jaya.

5. Grant BF, Goldstein RB, Saha TD, Chou SP, Jung J, Zhang H, Hasin DS. 2018.

Addiction 101. Boston: Recovery Research Institute.

https://www.recoveryanswers.org/addiction-101/epidemiology/

6. Prasetyo S, Utami DS. 2014. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta:

Bakti Husada.

7. Lai G, Asmin F, Birgin R. 2013. Kebijakan Narkotika Indonesia. Jakarta: International

Drug Policy Consortium.

8. Fitri. 2018. Tahapan Rehabilitas: Asesmen Awal dan Diagnosis. Jakarta: Badan

Narkotika Nasional Kabupaten Cianjur.

9. Hastungkara AA, Iswardani T, Wisnuwardhani D. 2013. Pengaruh Kepribadian dan

Motivasi dalam Bermain Game Online terhadap adiksi Game Online MMORPG.

Jakarta: Fakultas Psikologis Universitas Indonesia.

18

Anda mungkin juga menyukai