1 DEFINISI
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah gangguan sistem imun dari sistem
saraf perifer bersifat akut. Istilah GBS sering dianggap identik dengan akut
polyradiculoneuropathy demielinasi inflamasi (AIDP)
2 . EPIDEMIOLOGI
3 . ETIOLOGI
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara
lain :
1. Infeksi
Infeksi bakteri yang paling sering mencetuskan GuillainBarr Syndrome
adalah infeksi Campylobacterjejuni. Bakteri dari genus Campylobacter
diidentifikasi sebagai yang paling umum menjadi sumber gastroenteritis
bakteri di Amerika Serikat melebihi Salmonella dan Shigella. Pada
penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, kultur dan
serum menunjukkan bukti adanya infeksi pendahulu Campylobacter jejuni
pada 26-45% pasien GuillainBarr Syndrome
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Kehamilan atau dalam masa nifas
5. Penyakit sistemik
a. Keganasan
b. Systemic Lupus Erithematous
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison
4 .KLASIFIKASI
5 PATOFISIOLOGI
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan
memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu
limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi
interlekuin (IL2), gamma interferon serta TNF .
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf.
Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang
ditransmisikan .
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya,yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat .
Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur
secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi
sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita.
Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari,termasuk berjalan .
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi
sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah otak, untuk
mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag. Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein mielin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen .
Disfungsi sensoris dan otomatik terlihat pada 2/3 dari kasus, tapi tidak selalu
hadir pada semua kasus. Gangguan otonom dapat bermanifestasi pada banyak
variasi seperti hipertensi/hipotensi, aritmia jantung, dan berbagai gejala lainnya .
a. Kelemahan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada
sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Anggota tubuh bagian bawah
biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal mungkin
terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan
dapat juga terpengaruh. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin
ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama beberapa hari sampai
minggu. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau
arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari
bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari
bagian proksimal. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai
tetraplegia dengan kegagalan ventilasi .
c. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan
sensori cenderung minimal dan variabel.Kebanyakan pasien mengeluh parestesia,
mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses
menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau
pergelangan kaki. Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas,
muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif
biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung
tangan. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat
hadir.Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas
proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas
fisik .
d. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan GuillainBarr
Syndrome, 89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan GuillainBarr
Syndrome pada beberapa waktu selama perjalanannya.Nyeri paling parah dapat
dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan
dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut .
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama
perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa
terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas
bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu
pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien
dengan GuillainBarr Syndrome adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral,
dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf,
ulkus dekubitus) .
e. Perubahan otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GuillainBarr
Syndrome. Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem
simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan GuillainBarr
Syndrome. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia,
bradikardia, facial flushing, hipertensi paroksimal, hipotensi ortostatik, anhidrosis
dan /atau diaphoresis (.
Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan
dismotilitas usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan
kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah. Gangguan otonom ini jarang
yang menetap lebih dari satu atau dua minggu .
f. Pernapasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat
fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh
paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-
33 persen penderita .
g. Papil Edema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .
Manifestasi klinik yang paling sering terjadiadalah kelemahan dan nyeri pada
anggota tubuh. Nyeri dialami oleh hampir 90% pasien. Nyeri digambarkan seperti
kuda charlie yaitu nyeri yang timbul hanya dengan perubahan kecil yang
seharusnya tidak menyebabkan nyeri, biasanya disebut juga dengan hipersensitif
atau hiperalgesia .
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi
tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GuillainBarr
Syndrome yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan
GuillainBarr Syndrome yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat
transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang
permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala .
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati
baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih
ada. Perludilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi;namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan .
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi
.
7 .DIAGNOSIS
a. Disfungsi paru berat dengan kelemahan tungkai yang terbatas pada awal
penyakit
b. Tanda sensoris yang berat dengan kelemahan pada awal penyakit
c. Disfungsi kandung kemih atau disfungsi usus
d. Demam
e. Progresi lambat dengan kelemahan terbatas tanpa keterlibatan sistem respirasi
f. Kelemahan asimetri yang menetap
g. Disfungsi kandung kemih dan usus yang menetap
h. Peningkatan jumlah sel mononuklear dalam CSF (> 50 x 106/L)
i. Adanya sel polimorfonuklear di CSF.
A. Pemeriksaan neurologis
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat
difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk
yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot
intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk
mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan .
B. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein
dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam
cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam
cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun
demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia
pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Guillane Barre Syndrome merupakan suatu kelainan pada konduksi pada saraf
dan EMG dapat menjadi suatu penilaian yang baik untuk mengkonfirmasi
diagnosis, identifikasi dari segmen saraf yang rusak dan memperkirakan prognosis.
Ada sejumlah laporan temuan elektrodiagnostik dalam kasus ini beberapa
menunjukkan sedikit perubahan pada konduksi saraf dengan adanya kelemahan
yang parah, mengarah ke kesimpulan oleh beberapa bahwa tidak ada korelasi antara
gejala klinis dan studi konduksi saraf.
4. Test hipersensitivitas
Dapat dijumpai hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgM, dan IgA, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan
adanya hepatitis virus yang akut atau sedang berlangsung; umumya jarang karena
virus hepatitis itu sendiri, namun aibat infeksi CMV ataupun EBV .
5. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardi.
Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase
QRS kadang dijumpai, namun tidak sering .
6. Tes fungsi respirasi
Dikenal juga dengan pengukuran kapasitas vital paru ini, akan menunjukkan
adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending) .
7. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ke tiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam,
sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur .
8 DIAGNOSIS BANDING
1. Gangguan elektrolit
o hypophosphatemia
o hyperkalemia
2. Porphyria,
3. Polymyositis atau necrotising myopathies,
4. Myasthenia gravis,
5. Poliomyelitis dan
6. Lyme borreoliosis.
7. Mielitis akuta
8. Poliomyelitis anterior akuta
9. Porphyria intermitten akuta
10. Polineuropati post difteri
10 PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan
terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi
gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki
prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera
di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan
fisioterapi.
b. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai, maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan
meningkatkan kekuatan otot.
c. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling
efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.
Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-
10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
d. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi
tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian
menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak
terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul
dengan dosis 0,4g/kgBB/hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan
IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.
11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi.3Pada negara-negara maju, 5% dari pasien dengan sindrom
Guillain-Barre meninggal akibat komplikasi medis seperti sepsis, emboli paru, atau
henti jantung yang tidak dapat dijelaskan, mungkin terkait dengan dysautonomia/
disfungsi otonom. Disfungsi otonom adalah komplikasi umum pada dua pertiga
pasien SGB. Distribusi saraf otonom yang luas mungkin menyebabkan berbagai
tanda dan gejala akibat kegagalan atau overaktivitas simpatis dan parasimpatis.
Gejalanya termasuk aritmia jantung, fluktuasi tekanan darah, respon tidak normal
hemodinamik terhadap obat, kelainan keringat, kelainan pupil, dan disfungsi
kandung kemih dan defekasi. Meskipun disfungsi otonom biasanya tidak
membahayakan, namun, komplikasi kardiovaskuler dapat terjadi mengancam jiwa.
3-10% dari pasien SGB dapat meninggal, dan beberapa pasien ini penyebabnya
kemungkinan mati mendadak. Oleh karena itu, pengenalan disfungsi otonom
penting untuk memprediksi pasien akan mengalami gagal otonom yang serius, oleh
karena itu perlu pemantauan terus menerus. Bradiaritmia berpotensi serius, mulai
dari bradikardia menyebabkan kecacatan. Seringnya disfungsi otonom terjadi
dengan SGB. Pada beberapa kasus, penerapan alat pacu jantung transkutan atau
atropin harus diberikan. Secara umum, terapi vasoaktif dan morfin sebaiknya
digunakan dengan hati-hati. Saraf otonom dapat dipelajari dari biopsi kulit, dan
kurang berkorelasi pada saraf intraepidermal dengan menilai densitas saraf pada
biopsi kulit pasien dengan SGB.
12. PROGNOSIS
Prognosis dari GuillainBarr Syndrome sendiri sulit untuk diprediksi pada
pasien individual karena variasi subsantasial dari gejala sisanya. Usia tua, sering
dilaporkan dengan prognosis yang buruk. Keparahan GuillainBarr Syndrome
ditentukan pada fase awal penyakit.
Menurut pembelajaran RCT, telah diinvestigasi bahwa efek IVI atau PE pada
pasien yang tidak dapat berjalan dapat disimpulkan bahwa 20% pasien tetap tidak
dapat berjalan tanpa bantuan setelah 6 bulan. Pemeriksaan neurofisiologis
dilaporkan membantu dalam menilai resiko gagal nafas, yang mana paling tinggi
pada pasien dengan pengurangan kapasitas vital pada lebih dari 20% dan tanda-
tanda dimielinasi sebagai pertanda oleh pengurangan aksi potensial gabungan saraf
peroneal proksimal atau distal.
DAFTAR PUSTAKA
REFERAT
Dibuat Dalam Rangka Tugas Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter
OLEH :
Andi Rizki Sundusiasih A
111 2015 2225
PEMBIMBING :
dr. Hasmawaty Basir, Sp. S (K)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus yang berjudul Gullain Barre Syndrome yang dipersiapkan dan
disusun oleh :
Telah diperiksa dan dianggap telah memenuhi syarat Tugas Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Profesi Dokter,
Menyetujui,
Pembimbing Penyusun