Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum tentu harus


memiliki hukum nasional sendiri, dimaksudkan sebagai pedoman untuk
melaksanakan roda pemerintahan. Dalam membentuk hukum nasional bangsa
Indonesia mengambil dari tiga sistem hukum. Tiga sistem hukum dimaksud
adalah hukum adat, hukum Islam dan hukum eks-Barat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling
mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia
bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul
dalam satu batas teritorial kenegaraan. Masyarakat Indonesia yang mayoritas
menganut ajaran agama Islam, tentu harus senantiasa melaksanakan ajaran-
ajaran itu. Namun sebagai bangsa yang berpalsafahkan Pancasila juga harus
dapat mengkoomodir seluruh kepentingan komponen bangsa.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami hukum islam dalam
tata hukum dan pembinaan hukum nasional di tengah-tengah komunitas Islam
terbesar di dunia ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana kedudukan
hukum islam dalam pembinaan hukum nasional-misalnya, dapat dijawab
dengan pemaparan-pemaparan yang akan disampaikan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengukuhan keberadaan sistem hukum islam di Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional?
3. Apakah dampak pengakuan terhadap sistem hukum islam sebagai bagian
takterpisahkan dari sistem hukum nasional dalam upaya pembinaan hukum
nasional?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui keberadaan sistem hhukum islam di Indonesia dalam hal
pengukuhannya.
2. Untuk mengetahui kedudukan hukum islam dalam pembinaan hukum
nasional.
3. Untuk mengetahui dampak pengakuan terhadap sistem hukum islam
sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem hukum nasional dalam upaya
pembinaan hukum nasional.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia

Sebelum uraian ini dilanjutkan ada beberapa kata yang perlu dijelaskan
lebih dahulu,yaitu kedudukan dan tata hukum.Yang dimaksud dengan
kedudukan adalah tempat dan keadaan,tata hukum adalh susunan atau sistem
hukum yang berlaku disuatu daerah atau negara tertentu.Dengan demikian
yang akan dilukiskan dalam bagian ini adalah tempat dan keadaan hukum
islam dalam susunan atau sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Membicarakan kedudukan hukum islam dalam tata hukum di Indonesia,tidak


ada salahnya membicarakan lebih dahulu umat islam.Umat islam
dimaksud,merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendapat
legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di Indonesia.Oleh karena
itu,umat islam tidak dapat diceraipisahkan dengan hukum islam yang sesuai
keyakinannya.Mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam.Keadaan itu
mendorong kepada cita-cita pembentukan hukum nasional yang sesuai dengan
cita-cita moral yang terbentuk oleh cita-cita batin dan kesadaran hukum rakyat
Indonesia.Islam banyak mempengaruhi pemikiran dan semangat kemerdekaan
bangsa Indonesia dan terbentuknya negara republik Indonesia.

Sistem hukum Indonesia,sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya


bersifat majemuk.Disebut demikian karena sampai sekarang di dalam Negara
Republik Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang mempunyai corak
dan susunan sendiri.Yang dimaksud adalah sistem hukum adat,sistem hukum
islam dan sistem hukum barat.Ketiga sistem hukum itu berlaku di Indonesia
pada waktu yang berlainan.Hukum adat telah lama ada dan berlaku di
Indonesia,walaupun sebagai suatu sistem hukum baru dikenal pada permulaan
abad ke-20.Hukum islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang islam
datang dan bermukim di Nusantara ini.

3
Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia,hukum islam
sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan
berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami
kepulauan Nusantara ini.Menurut Soebardi,terdapat bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan
Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normative dalam
kebudayaan Indonesia(S.Soebardi,1978:66).Pengaruh itu merupakan
penetration pasifique, tolerante et constructive (penetrasi secara damai, toleran
dan membangun).

Hukum islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi(ditaati)oleh mayoritas


penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam
masyarakat,merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada
dalam kehidupan hukum nasional serta merupakan bahan dalam pembinaan
dan pengembangannya.Namun demikian hukum islam di Indonesia bisa dilihat
dari aspek perumusan dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI(Badan
Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia),yaitu para pemimpin
islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum islam dalam negara
Indonesia merdeka itu.Dalam tahap awal,usaha para pemimpin dimaksud tidak
sia-sia,yaitu lahirnya piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah
disepakati oleh para pendiri negara bahwa negara berdasar kepada Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya.Namun,adanya
desakan dari kalangan pihak Kristen,tujuh kata tersebut dikeluarkan dari
pembukaan UUD 1945,kemudian diganti dengan kata Yang Maha
Esa.Kemudian dijabarkan dalam pasal 29 batang tubuh UUD 1945,yang
berbunyi:
o Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
o Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu

4
Penggantian kata dimaksud,menurut Hazairin seperti yang dikutip oleh
muridnya(H.Mohammad Daud Ali) mengandung norma dan garis hukum yang
diatur dalam pasal 29 ayat(1) UUD 1945 bahwa negara Republik Indonesia
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.Hal itu hanya dapat ditafsirkan
antara lain sebagai berikut:

1. Kaidah hukum islam bagi umat Islam,kaidah agama Nasrani,atau


agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali,atau yang
bertentangan dengan kesusilaan agama Buddha bagi orang
Buddha.Hal ini berarti di dalam wilayah negara Republik Indonesia
ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan
dengan norma-norma(hukum)agama dan kesusilaan bangsa
Indonesia.
2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat islam bagi
orang islam,syariat Nasrani bagi orang Nasrani,dan syariat Hindu-
Bali bagi orang Hindu-Bali.Sekadar menjalankan syariat tersebut
memerlukan perantaraan kekuasaan negara.Makna dari penafsiran
kedua adalah Negara Republik Indonesia wajib menjalankan dalam
pengertian menyediakan fasilitas agar hukum yang bersal dari
agama yang dianut oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana
sepanjang palaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat
kekuasaan atau penyelenggara negara.Artinya penyelenggara
negara berkewajiban menjalankan syariat yang dipeluk oleh bangsa
Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama bersangkutan. Syariat
yang berasal dari agama islam misalnya,yang disebut syariat
islam,tidak hanya memuat hukum salat,zakat,puasa dan
haji,melainkan juga mengandung hukum dunia baik keperdataan
maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan negara untuk
menjalankannya secara sempurna.Misalnya hukum harta
kekayaan,hukum wakaf,penyelenggaraan ibadah
haji,penyelenggaraan hukum perkawinan dan
kewarisan,penyelenggaraan hukum pidana(islam)seperti
zina,pencurian,dan pembunuhan.Hali ini memerlukan kekuasaan
kehakiman atau peradilan khusus (peradilan agama) untuk

5
menjalankannya,yang hanya dapat diadakan oleh negara dalam
pelaksanaan kewajibannya menjalankan syariat yang berasal dari
agama Islam untuk kepentingan umat Islam yang menjadi warga
negara Republik Indonesia.
3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk
menjalankannya.Oleh Karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap
pemeluk agama yang bersangkutan,menjadi kewajiban pribadi
terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut
agamanya masing-masing.Ini berarti hukum yang berasal dari suatu
agama yang diakui di negara Republik Indoneia yang dapat
dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk agama
bersangkutan (misalnya hukum yang berkenaan dengan
ibadah,yaitu hukum yang pada umumnya mengatur hubungan
manusia,dengan Tuhan) biarkan pemeluk agama itu sendiri
melaksanakannya menurut kepercayaan agamanya masing-
masing(H.Mohammad Daud Ali,1991:8)

Mengenai perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang


tercantum dalam pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam bab agama itu perlu
dikemukakan hal-hal berikut ini: (a)Dr.Muhammad Hatta (almarhum) ketika
menjelaskan arti kata Kepercayaanyang termuat dalam ayat (2) pasal 29
UUD1945,menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti peekataan kepercayaan
dalam pasal tersebut adalah kepercayaan agama.Kuncinya adalah perkataan
itu yang terdapat diujung ayat (2) pasal 29 dimaksud. Kata itu menunjuk pada
kata agama yang terletak didepan kata kepercayaan tersebut.Penjelasan ini
sangat logis karena kata agama-agama dan kepercayaan ini digandengkan
dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah bab agama (H.Mohammad Daud
Ali,1991:9)

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat diasumsikan bahwa hukum


islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara Republik
Indonesia adalah pancasila dan UUD 1945,yang kemudian dijabarkan melalui
unsang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,undang-undang
nomor 7 tahun 1989 tentang perdilan agama,undang-undang republik

6
Indonesia nomor 38 tahun 19999 tentang pengelolaan zakat dan beberapa
instruksi pemerintah yang berkaitan dengan hukum islam .Demikian juga
munculnya kompilasi hukum islam yang menjadi pedoman bagi para hakim di
peradilan khusus (Peradilan agama) di Indonesia.Hal dimaksud merupakan
pancaran dari norma hukum yang tertuang dalam pasal 29 UUD 1945.Oleh
karena itu,keberlakuan dan kekuatan hukum islam secara ketatanegaraan di
negara republik Indonesia adalah pancasila dan pasal 29 UUD 1945.

Hukum Islam (fiqih) sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku di
Indonesia telah mendapatkan tempatnya dengan jelas ketika mantan Menteri
Kehakiman Ali Said berpidato di depan simposium pembaharuan hukum
perdata nasional yang diadakan pads tanggal 21 Desember 1981 di
Yogyakarta.
Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan
dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan
nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan
Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh.
Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR
tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan
sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah
Mahkamah Agung, timbul keragu-raguan di beberapa kalangan mengenai
eksistensi pengadilan agama itu, terutama dari kalangan pejabat di lingkungan
Departemen Agama yang menghawatirkan kehilangan kendali administratif
atas lembaga pengadilan agama. Pembinaan kemandirian lembaga peradilan
ke bawah Mahkamah Agung itu memang dilakukan bertahap, yaitu dengan
jadwal waktu lima tahun. Tetapi, dalam masa lima tahun itu, berbagai
kemungkinan mengenai keberadaan pengadilan agama masih mungkin terjadi,
dan karena itu penelitian mengenai baik buruknya pembinaan administratif
pengadilan agama di bawah Departemen Agama atau di bawah Mahkamah
Agung perlu mendapat perhatian yang seksama.

7
Secara instrumental. banyak ketentuan perundang-undangan Indonesia
yang telah mengadopsi berbagai materi Hukum Islam ke dalam pengertian
Hukum Nasional. Secara institusional. eksistensi Pengadilan Agama sebagai
warisan penerapan sistem Hukum Islam sejak zaman pra penjajahan Belanda
juga terus dimantapkan keberadaannya. Dan secara sosiologis-empirik
praktek- praktek penerapan Hukum Islam itu di tengah-tengah masyarakat juga
terus berkembang dan bahkan makin lama makin meningkat dan meluas ke
sektor-sektor kehidupan hukum yang sebelumnya belum diterapkan menurut
ketentuan Hukum Islam. Perkembangan ini, bahkan berpengaruh pula
terhadap kegiatan pendidikan hukum di tanah air, sehingga kepakaran dan
penyebaran kesadaran mengenai eksistensi Hukum Islam itu di Indonesia
makin meningkat pula dari waktu kewaktu.

Pengakuan terhadap sistem Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan


dari sistem hukum nasional, akan berdampak sangat positif terhadap upaya
pembinaan hukum nasional. Setidak-tidaknya, kita dapat memastikan bahwa di
kalangan sebagian terbesar masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai -
nilai Islam, kesadaran kognitif dan pola perilaku mereka dapat dengan
memberikan dukungan terhadap norma-norma yang sesuai kesadaran dalam
menjalankan syari'at agama. Dengan demikian. pembinaan kesadaran hukum
masyarakat dapat lebih mudah dilakukan dalam upaya membangun sistem
supremasi hukum di masa yang akan datang. Hal itu akan sangat berbeda jika
norma-norma hukum yang diberlakukan justru bersumber dan berasal dari luar
kesadaran hukum masyarakat.

Dari uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan,bahwa kini,di Indonesia


(1) Hukum islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melaui huku adapt,
(2) Republik Indonesia dapat mengatur sesuatu masalah sesuai dengan
hukum islam,sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk
agama islam,
(3) Kedudukan hukum islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan
sederajat dengan hukum adapt dan hukum barat,karena itu

8
(4) Hukum islam juga menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang
akan datang Di samping hukum adapt,hukum barat dan hukum lainnya
dan tumbuh dan berkembang dalam Negara Republik Indonesia

B. Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional di Indonesia


Hukum islam adalah hukum yang bersifat universal,karena ia merupakan
bagian dari agama islam yang universal sifatnya.Sebagaimana halnya dengan
agama islam yang universal sifatnya itu,hukum islam berlaku bagi orang islam
simanapun ia berada,apa pun nasionalitasnya.Hukum nasional adalah hukum
yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara nasional tertentu.Dalam
kasus Indonesia,hukum nasional juga berarti hukum yang dibangun oleh
bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk
Indonesia,terutama warga Negara Republik Indonesia,sebagai pengganti
hukum colonial dahulu.

Untuk membangun dan membina hukum nasional diperlukan politik hukum


tertentu.Politik hukum nasional Indonesia pokok-pokoknya ditetapkan dalam
Garis-Garis besar Haluan Negara,dirinci lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman
Republik Indonesia.Untuk melaksanakannya,telah didirikan satu lembaga yang
(kini)bernama Badan Pembinaan Hukum Nasional,disingkat BPHN atau
Babinkumnas.Melalui koordinasi yang dilakukan oleh badan ini diharapkan,di
masa yang akan datang,akan terwujud satu hukum nasional di tanah air kita.

Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku bangsa dengan kebudayaan dan agama yang berbeda
ditambah lagi dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh
penguasa colonial dahulu,bukanlah pekerjaan yang mudah.Pembangunan
hukum nasional yang akan berlaku bagi semua warga negara tanpa
memandang agama yang dipeluknya,haruslah dilakukan dengan hati-
hati,karena diantara agama yang dipeluk oleh warga negara Republik
Indonesia ada agama yang tidak dapat dicerai pisahkan dari hukum.Agama
islam,misalnya,adalah agama yang mengandung hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.Oleh
karena eratnya hubungan antara agama (dalam arti sempit) dengan hukum

9
dalam islam,ada sarjana yang mengatakan,seperti telah disebut di
muka,bahwa Islam adalah agama hukum dalam arti kata yang
sesungguhnya.Oleh karena itui,dalam pembangunan hukum nasional di negara
yang mayoritas penduduknya beragama islam,unsur hukum agama harus
benar-benar diperhatikan.Untuk itu perlu wawasan dan kebijaksanaan yang
jelas.

Peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional. Diketahui bahwa


untuk membina hukum nasional diperlukan politik hukum tertentu. Politik
hukum Indonesia telah ditetapkan dalam UUD 1945, pokoknya dirumuskan
dalam GBHN yang kemudian dirinci oleh : Menteri Kehakinan dan
dilaksanakan oleh Departemen terkait dengan koordinasi dengan Badan
Pembinsan Hukum Nasional (BPHN).

Mengenai kedudukan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional,


bahwa hukum Islam yang merupakan salah satu komponen tata hukum
Indonesia menjadi salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan hukum
nasional. Dengan demikian jelas hukum Islam tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia. Oleh karenanya untuk menunjang
hal tersehut, birokrasi sebagai pemegang political will harus senantiasa dapat
memperjuangkan akan peranan hukum Islam dalam pembinaan hokum
nasional. Sehingga dengan demikian hukum Islam dapat mewarnai sekaligus
menjiwai setiap perundang-undangan nasional Indonesia.

Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan


dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan
nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan
Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh.
Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR
tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan
sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah
Mahkamah Agung, timbul keragu-raguan di beberapa kalangan mengenai
eksistensi pengadilan agama itu, terutama dari kalangan pejabat di lingkungan
Departemen Agama yang menghawatirkan kehilangan kendali administratif

10
atas lembaga pengadilan agama. Pembinaan kemandirian lembaga peradilan
ke bawah Mahkamah Agung itu memang dilakukan bertahap, yaitu dengan
jadwal waktu lima tahun. Tetapi, dalam masa lima tahun itu, berbagai
kemungkinan mengenai keberadaan pengadilan agama masih mungkin terjadi,
dan karena itu penelitian mengenai baik buruknya pembinaan administratif
pengadilan agama di bawah Departemen Agama atau di bawah Mahkamah
Agung perlu mendapat perhatian yang seksama.

Berdasarkan ciri-ciri khas hukum islam dalam kesejarahannya,Pembinaan


hukum islam di Indonesia harus diarahkan kepada hal-hal berikut:Pertama,para
jurist Muslim harus bersedia membatasi lingkup daerah kehidupan yang
dijangkau oleh hukum Islam yang diikuti oleh perumusan prinsip-prinsip
pengambilan keputusan hukum agama yang lebih mencerminkan kebutuhan
masa.Untuk merealisasikan hal itu diperlukan fungsionalisasi efektif lembaga-
lembaga yang ada serta upaya penyusunan metodologi hukum yangs esuai
dengan perkembangan hukum islam di Indonesia dalam rangka pembentukan
dan unifikasi hukum islam ala Indonesia.Dalam rangka pelaksanaan syariat
islam salam arti al-quran dan sunnah tidaklah perlu diperintahkan secara formal
oleh undang-undang karena bagi setiap orang yang telah berikarar sebagai
seorang muslim maka berlakulah kewajiban mwnjalankan syariat yang
diyakininya itu.Memang dalam bagian-bagian tertentu seperti ibadah murni hal
itu benar.Namun,dalam bidang-bidang kehidupan muamalah diperlukan
pranata yang dapat memelihara ketertiban dan ketenteraman serta kepastian
hukum.Di sinilah letak peran penting lembaga-lembaga hukum islam,baik yang
telah diakui sebagai pranata hukum menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku maupun yang diakui berdasarkan adapt dan etika masyarakat
muslim.
Pengembangan lembaga-lembaga yang dapat berfungsi sebagaimana
diharapkan di atas mempunyai landasan pemikiran politik hukum yang
kuat,terutama lembaga peradilan agama dan yang berkaitan dengannya.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai salah-satu sumber bahan baku dalam
pembentukan hukum nasional,hukum islam sesuai dengan kemauan dan
kemampuan yang ada padanya,dapat berperan aktif dalam proses pembinaan
hukum nasional.Kemauan dan kemampuan hukum islam itu harus ditunjukkan

11
oleh setiap orang islam,baik pribadi maupun kelompok,yang mempunyai
komitmen terhadap islam dan ingin hukum islam berlaku bagi umat islam dalam
negara Republik Indonesia ini.Dalam tahap perkembangan pembinaan hukum
nasional sekarang (tahun sembilan puluhan), yang diperlukan oleh Badan
Pembinaan hukum Nasional yakni badan yang berwenang merancang dan
menyusun hukum nasional yang akan datang adalah asa-asas dan kaidah-
kaidah hukum islam dalam segala bidang, baik yang bersifat umum maupun
yang bersifat khusus.Yang bersifat umum adalah misalnya ketentuan-
ketentuan umum mengenai peraturan perundang-undangan yang akan berlaku
di tanah air kita ,sedang yang bersifat khusus,misalnya untuk menyebut
sekedar contoh ,adalah asas-asas hukum perdata islam terutama mengenai
hukum kewarisan,asas-asa hukum ekonomi terutama mengenai hak
milik,perjanjian dan utang-piutang,asas-asas hukum pidana islam,asas-asas
hukum tata negara dan administrasi pemerintahan,asas-asas hukum acara
dalam islam,asas-asas hukum internasional dan hubungan antar bangsa dalam
islam.Yang dimaksud dengan asas dalam pembicaraan ini adalah kebenaran
yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir.

Kita yakin bahwa asas yang diperlukan itu ada dalam hukum syariat dan fiqih
islam.Namun yang menjadi masalah utama adalah merumuskan asas-asas
tersebut dalam kata-kata yang jelas yang dapat diterima,baik oleh golongan
yang bukan islam maupun oleh golongan yang beragama islam
sendiri.Merumuskan asas-asas tersebut kedalam bahasa atau kata-kata yang
dapat dipahami,memang merupakan suatu masalah.

Tim Pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional


Babinkumnas atau BPHN telah berusaha menemukan asas-asas dimaksud
dan merumuskannya kedalam kaidah-kaidah untuk dijadikan bahan pembinaan
hukum nasional.Caranya adalah dengan mengundang tokoh-tokoh yang ahli
dalam hukum islam semua aliran,baik dari kalangan ulama maupun dari
kalangan sarjana untuk mengemukakan pendapatnya mengenai suatu
masalah tertentu dalam suatu forum ilmiah yang sengaja diadakan untuk itu.Di
samping pertemuan-pertemuan ilmiah ini,diadakan juga penelitian serta
penulisan makalah yang dilakukan oleh sarjana atau ulama yang dianggap

12
dapat menyumbangkan sesuatu mengenai hukum islam yang menjadi bidang
keahliannya.Berbagai asas dan kaidah humum islam dapat juga dikembangkan
melalui jurisprudensi peradilan agama.Asas-asas dan kaidah hukum islam
yang dikembangkan melalui jurisprudensi ini lebih mudah diterima,karena ia
dirumuskan dari keadaan konkret di tanah air kita.

Perkembangan hukum islam di negara-negara islam dan negara-negara


yang penduduknya mayoritas beragama islam di masa yang akan
datang,menunjukkan keanekaragaman dan kesatuan. Jika dilihat dari segi
hukum islam sendiri, keanekaragaman itu akan terlihat pada bidang-bidang
hukum ekonomi,perdagangan internasional, asuransi, perhubungan
(laut,darat,dan udara), perburuhan, acara, susunan dan kekuasaan
peradilan,administrasi dan lain-lain bidang hukum yang bersifat netral.Namun
mengenai hukum keluarga yakni hukum perkawinan dan hukum
kewarisan,kendatipun di sana sini akan terdapat atau kelihatan nuansa-
nuansa,secara keseluruhan akan menunjukkan ciri-ciri kesatuan.Di bidang
hukum ini bagaimanapun besarnya pengaruh sekularisasi akibat penetrasi
hukum Barat selama berabad-abad di negara-negara yang penduduknya
beragama islam,hukum islam mengenai keluarga akan tetap kelihatan in toto
(dalam keseluruhan).

Jika kalimat-kaliamat di atas diterapkan ke dalam konteks hukum nasional


Indonesia,keanekaragaman hukum (fiqih) islam untuk negara-negara islam
dan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam akan
menjadi satu dan merupakan kesatuan hukum nasional yang dituangkan dalam
kodifikasi-unifikasi yang berlaku bagi semua warga negara dan
penduduk(Indonesia),sedang yang merupakan kesatuan bagi umat islam di
mana pun mereka berada,jika diterapkan kedalam situasi dan kondisi
Indonesia,akan merupakan keanekaragaman, karena keanekaragaman hukum
agama yang dipeluk oleh umat beragama dalam Negara Republik
Indonesia.Hukum keluarga,yang terdiri dari hukum perkawinan dan hukum
kewarisan,menurut almarhum Profesor supomo, karena berhubungan erat
dengan agama, harus berbeda, sesuai dengan perbedaan agama yang dipeluk
oleh bangsa Indonesia.Perkawinan adalah sah, sebagai contoh, apabila

13
dilakukan menurut hukum masing-masing agama yang dianut oleh bangsa
Indonesia,demikian bunyi pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945,menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.

Apabila membicarakan hukum islam dalam pembinaan hukum nasional,perlu


diungkapkan produk pemikiran hukum islam dalam sejarah perilaku umat Islam
dalam melaksanakan hukum islam di Indonesia,seiring pertumbuhan dan
perkemangannya yaitu :
Syariah
Fikih
Fatwa ulama/hakim

Hukum islam yang berbentuk fatwa adalah hukum islam yang dijadikan
jawaban oleh seseorang dan/atau lembaga atas adanya pertanyaan yang
diajukan kepadanya.Sebagai contoh Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai
larangan Natal bersama antara orang Kristen dengan orang Islam.Fatwa
dimaksud, bersifat kasuistis dan tidak mempunyai daya ikat secara yuridis
formal terhadap peminta fatwa.Namun, fatwa mengenai larangan Natal
bersama dimaksud secar yuridis empiris pada umumnya dipatuhi oleh umat
islam di Indonesia.Oleh karena itu, fatwa pada umunya cenderung bersifat
dinamis terhadap perkembangan baru yang dihadapi oleh umat islam.
Keputusan Pengadilan Agama : Hukum Islam yang berbentuk Keputusan
Pengadilan Agama adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama atas adanya permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan oleh
seseorang atau lebih dan/atau lembaga kepadanya.Keputusan dimaksud,
bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang beperkara.Selain itu, keputusan
pengadilan agama dapat bernilai sebagai yurisprudensi (jurisprudence), yang
dalam kasus tertentu dapat dijadikan oleh hakim sebagai referensi hukum.
Perundang-undangan Indonesia : Hukum Islam dalam bentuk perundang-
undangan di Indonesia adalah yang bersifat mengikat secara hukum
ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya lebih luas.Oleh karena itu, sebagai
peraturan organic, terkadang tidak elastis mengantisipasi tuntutan zaman dan

14
perubahan.Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.Undang-undang itu memuat hukum Islam dan mengikat kepada
setiap warga negara Republik Indonesia.
Dari uraian di atas dengan beberapa masalah yang dapat dipecahkan, jelas
prospek hukum islam dalam pembinaan hukum nasional.Dan karena ia telah
diterima sebagai salah satu sumber bahan baku dalam pembangunan hukum
nasional, maka jelas pula kedudukan dan peranannya dalam proses
pembangunan hukum nasional tersebut.

C. Kedudukan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional

Kedudukan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional, adalah bahwa


hukum Islam yang merupakan salah satu komponen tata hukum Indonesia
menjadi salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan hukum nasional.
Dengan demikian jelas hukum Islam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
mayoritas masyarakat Indonesia. Oleh karenanya untuk menunjang hal
tersebut, birokrasi sebagai pemegang political will harus senantiasa dapat
memperjuangkan akan peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum
nasional. Sehingga dengan demikian hukum Islam dapat mewarnai sekaligus
menjiwai setiap perundang-undangan nasional Indonesia.
Untuk membangun dan membina hukum nasional diperlukan politik hukum
tertentu.Politik hukum nasional Indonesia pokok-pokoknya ditetapkan dalam
Garis-Garis besar Haluan Negara,dirinci lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman
Republik Indonesia.Untuk melaksanakannya,telah didirikan satu lembaga yang
(kini)bernama Badan Pembinaan Hukum Nasional,disingkat BPHN atau
Babinkumnas.Melalui koordinasi yang dilakukan oleh badan ini diharapkan,di
masa yang akan datang,akan terwujud satu hukum nasional di tanah air kita.

Dalam Sistem hukum nasional kita yang menjadi acuan pembinaan hukum
nasional adalah Pancasila dan UUD 1945. Pancasila menjadi jantung utama
dalam sistem hukum nasional karena merupakan filosofi negara. Berdasarkan
pandangan Arif Sidharta bahwa pandangan hidup Bangsa Indonesia ialah
berawal dari ketuhanan yang maha esa karena kita diciptakan oleh Tuhan
Yang maha esa dan sudah sewajarnya sebagai manusia harus tunduk dan

15
menjalani perintah Tuhan yang maha esa. Karena menjalankan syariat Islam
merupakan perintah maka berdasarkan sila kesatu Pancasila tersebut sudah
semestinya umat Islam menjalankan syariat Islamnya secara penuh. Namun
dalam menjalankan syariat Islam tersebut harus tetap dalam kerangka
semangat kerukunan, kepatutan, dan keselarasan sehingga tetap berada
dalam kerangka sistem hukum nasional. Ketuhanan yang maha esa ini secara
konstitusi juga telah dijamin pada pasal 29 ayat (1) yang menyatakan bahwa
negara republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan yang maha esa hal ini
juga menjamin sebagai negara yang berdasarkan ketuhanan yang maha esa
maka ada kewajiban negara untuk menjalankan perintah Tuhan yang maha
esa yang salah satunya adalah syariat Islam.

Pembinaan Hukum Nasional dilakukan untuk mencapai satu tujuan hukum


nasional yang akan berlaku bagi seluruh warga Indonesia tanpa harus
memandang agama yang dipeluknya. Namun upaya ini bukanlah pekerjaan
yang mudah, mengingat dalam wilayah Indonesia ini terdapat masyarakat yang
beragama Islam dimana ajarannya mengandung hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Oleh
karena eratnya hubungan antara agama dengan hukum dalam Islam, ada
sarjana yang mengatakan bahwa Islam adalah agama hukum dalam arti kata
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dalam pembinaan hukum nasional di
negara yang bermayoritas penduduk beragama Islam, unsur hukum agama
harus benar-benar diperhatikan. Dalam rangka memperhatikan kepentingan
umat Islam yang harus menjalankan syariat Islam yang telah dilakukan
pemerintah adalah dengan membentuk suatu kompilasi hukum Islam yang
sudah dianggap sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia. Selanjutnya
pemerintah Indonesia juga telah membentuk Pengadilan agama berdasarkan
kepada Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.
Bahkan terdapat norma-norma dalam hukum Islam yang dapat dijadikan
patokan membentuk suatu hukum nasional sepanjang ia sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945

16
D. Sistem Hukum Nasional

Pertama-tama Untuk memahami makna sistem Mahadi mengatakan sistem


adalah suatu totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen-komponen yang
saling berhubungan, dan sama-sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai
tujuan tertentu, diantara komponen itu ada yang mempunyai fungsi terhadap yang
lain. Selanjutnya Sudikno mertokusumo mengatakan hukum bukanlah sekedar
kumpulan atau penjumlahan peraturan yang masing-masing berdiri sendiri. Arti
penting suatu peraturan hukum karena hubungannya yang sistematis dengan
peraturan hukum lain.

Jadi hukum merupakan suatu sistem yang berarti hukum merupakan tatanan,
merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-
unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya, dengan kata lain sistem itu
merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi
satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan. Kesatuan itu
diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas
hukum, dan pengertian hukum. selain itu menurut Sunaryati Hartono sistem adalah
sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh
mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas, selanjutnya
untuk memelihara keutuhan sistem diperlukan organisasi atau salah satu asas yang
mengkaitkan unsur-unsur itu diubah, serentak akan dialami perubahan dalam sistem
tersebut sehingga sistem itu bukan lagi sistem semula.

Dari pendapat-pendapat di atas Djuhaendah Hasan menyimpulkan sistem


hukum adalah suatu totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen yang saling
berhubungan dan sama-sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai tujuan
hukum. sehingga dalam pembangunan hukum perlu keutuhan sistem hukum yang
bukan hanya berintikan materi hukum saja, namun juga seluruh komponen hukum
(materi hukum,budaya hukum, lembaga dan aparatur hukum, sarana dan prasarana
hukum). Hal ini serupa dengan pandangan Lawrence M. Friedman yang membagi
sistem hukum kedalam tida komponen yaitu struktur, substansi dan kultur.
menurutnya struktur adalah salah satu dasar dan elemen nyata dari sistem hukum.
struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya, ia adalah bentuk permanennya,
ubuh institusional dari sistem tersebut, tulang-tulang keras yang kaku yang menjaga

17
agar proses mengalir dalam batas-batasnya. Sementara substansi tersusun
tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi-
institusi itu harus berperilaku. Struktur dan substansi ini adalah komponen-
komponen riil dari sebuah sistem hukum, tetapi semua itu paling jauh hanya
merupakan cetak biru atau rancangan, bukan sebuah mesin yang tengah bekerja.
Selanjutnya yang member nyawa dan realitas pada sistem hukum adalah dunia
sosial eksternal yang selanjutnya dapat disebut sebagai kultur hukum. kultur hukum
ini adalah elemen sikap dan nilai sosial yang menjadi kekuatan-kekuatan sosial
yang menggerakan sistem hukum.

Sistem hukum bukanlah sesuatu yang bersifat tetap/stagnan, tetapi sistem


hukum juga dapat mengalami perubahan seiring dengan berkembangnya
masyarakat. Di Indonesia sistem hukum yang berlaku sejak zaman dahulu telah
mengalami beberapa perubahan. Pada masa kerajaan pada umumnya sistem
hukum yang berlaku adalah berdasarkan adat-adat pada masyarakat tersebut,
kebiasaan-kebiasaan adat ini juga sangat dipengaruhi oleh agama yang dianut
masyarakat tersebut pada kala itu, semenjak datangnya bangsa barat ke Indonesia,
hukum-hukum barat mulai diberlakukan namun tidak serta-merta menghapuskan
hukum-hukum yang telah lama mengakar di masyarakat, para penjajah demi
kepentingan kolonialisasinya mengakali sistem hukum yang berbeda ini dengan
dilakukannya penggolongan hukum, oleh karena itu muncul hukum yang berlaku
bagi golongan pribumi, hukum yang berlaku bagi golongan eropa dan timur jauh,
dan lain sebagainya. Setelah kemerdekaan Indonesia belum mempunyai suatu
kesatuan hukum sehingga pada saat itu penggolongan hukum masih terjadi, namun
upaya untuk membentuk suatu sistem hukum yang sat uterus dilakukan hingga
lahirlah suatu sistem hukum nasional.

Menurut Sunaryati Hartono Sistem Hukum Nasional kita berdasarkan kepada


Pancasila dan UUD 1945. Setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari
sistem hukum nasional itu wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Lalu ia
mengatakan urutan hukum nasional itu bersumber dari Pancasila berlandaskan UUD
1945 dan terdiri dari Peraturan-peraturan perundang-undangan, lalu Yurisprudensi,
dan yang terakhir Hukum kebiasaan.

18
Menelisik kepada dasar dari sistem hukum nasional kita yaitu Pancasila,
Menurut Arif Sidharta pandangan hidup Pancasila berpangkal kepada keyakinan
bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai seuatu
keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
(YME), juga manusia diciptakan oleh Tuhan YME, Manusia berasal dari tuhan dan
tujuan akhir dari kehidupan adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena
itu bertakwa dan mengabdi kepada tuhan menjadi kewajiban manusia yang wajar
yang sudah dengan sendirinya harus begitu. Dengan demikian eksistensi hidup
manusia merupakan kodrat yang diberikan tuhan yang selanjutnya manusia harus
hidup bermasyarakat, Dalam hidup bermasyarakat itu manusia mempunyai sifat
kekeluargaan. Arif Sidharta menarik kesimpulan asas dalam hukum Pancasila yaitu :

1. Asas semangat kerukunan, yaitu ketertiban,keteraturan yang bersuasana


ketenteraman batin,kesenangan bergaul diantara bersamanya, keramahan dan
kesejahteraan (baik materil maupun spiritual);

2. Asas Kepatutan, Yaitu tentang tata cara menyelenggarakan hubungan antar


warga masyarakat yang didalamnya para warga masyarakat diharuskan untuk
berperilaku dalam kepatutan yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan sosial;

3. Asas Keselarasan, Yaitu terselenggaranya harmoni dalam kehidupan


bermasyarakat.

E. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional

Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang


selama 350 tahun menjajah Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh
pada sistem hukum nasional kita. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas
dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem
hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam
masyarakat Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem
hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi
Muhammad dengan hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid
dengan ijtihadnya. Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu

19
sebagai perbenturan antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum
kolonial Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi,1[1][48] seperti
terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.

Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum
Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan
hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan
adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum
barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia,
sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi
pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan
hukum nasional adalah sumbangsih hukurn Islam.

Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan
hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:

a. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU
Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat dan UU
Otonomi Khusus nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang
lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank
Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
b. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam
akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi
kepentingannya.
c. Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas
keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran
mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.

20
d. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat
menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi
Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum
nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam
hukum nasional Indonesia. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya.

Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia


nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat
dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh
Hukum Islam:

a. Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan
di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun '1974 No.
Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).

b. Undang-Undang Peradilan Agama


Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3
tahun 2006. tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan
Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang
ekonomi syari'ah. Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan
Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan
ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa
tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi tersebut.
Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada pengadilan
agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah,
sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-
kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10
September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman dan

21
pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi
disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1)
Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.

c. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji


Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan
dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69
pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasarn
dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga
dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
[BPIH]. Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji
lebih tertib dan lebih baik.
d. Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3885).

e. Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.


Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Daerah Istimewa Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4
Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 No.172,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3893).

f. Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh


Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001. (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No. 4134).

22
g. Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan
pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi
perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman
pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya
memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu
pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini
Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan
sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden
menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk
memasyarakatkan KHI.
h. Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459).
Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah
Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan
PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah dipahami
masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang
mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai
kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
i. Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin
menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud
dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah
(pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan
Mahkamah Syar'iyah yang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin
memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan
pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah
ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang
meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum

23
perdata) tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at
Islam.

j. Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10
November 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai
memberlakukan sistem ganda duel sistem banking di Indonesia, yaitu sistem
perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan
peranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sejarah perbankan
secara faktual telah mencatat bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1992 hingga
Mei 2004 telah berkembang pesat perbankan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU No. 21 Tahun 2008) tentang
Perbankan Syariah menyebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Akad-akad dimaksud antara lain adalah : wadi'ah, mudharabah,
musyarakah, ijarah, ijarah muntahiya bit-tamlik, murabahah, salam, istishna'I, qardh,
wakalah, atau akad lain yang sesuai dengan prinsip syariah.

24
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan

1. Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan


dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan
nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU No.7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu semakin
kokoh.
2. kedudukan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional, adalah
bahwa hukum Islam yang merupakan salah satu komponen tata hukum
Indonesia menjadi salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan hukum
nasional. Dengan demikian jelas hukum Islam tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia. Oleh karenanya untuk menunjang
hal tersebut, birokrasi sebagai pemegang political will harus senantiasa dapat
memperjuangkan akan peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum
nasional. Sehingga dengan demikian hukum Islam dapat mewarnai sekaligus
menjiwai setiap perundang-undangan nasional Indonesia.
3. Pengakuan terhadap sistem Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan
dari sistem hukum nasional, akan berdampak sangat positif terhadap upaya
pembinaan hukum nasional. Setidak-tidaknya, kita dapat memastikan bahwa di
kalangan sebagian terbesar masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai -
nilai Islam, kesadaran kognitif dan pola perilaku mereka dapat dengan
memberikan dukungan terhadap norma-norma yang sesuai kesadaran dalam
menjalankan syari'at agama.

B. Saran
Agar makalah ini menjadi lebih baik di masa yang akan datang,kami
mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan
kita terutama dalam bidang hukum pada umumnya,dan menambah
pengetahuan di bidang hukum islam pada khususnya.

25

Anda mungkin juga menyukai