Anda di halaman 1dari 40

UNIVERSITAS INDONESIA

FARMAKOLOGI MOLEKULER: ANTIVIRUS

Makalah ini disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakologi Molekuler

Dosen Pengampu: Dr. Anton Bahtiar, M.Biomed., Apt.

Disusun Oleh :

Lulung Lanova Hersipa (1606965700)

PROGRAM FARMASI HERBAL


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2017
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


BAB II. ISI DAN PEMBAHASAN........................................................................ 2
2.1. VIRUS........................................................................................................ 2
2.2. MEKANISME PERTAHANAN TUBUH ................................................ 3
2.3. HIV/AIDS .................................................................................................. 7
a. Epidemiologi HIV/AIDS ..................................................................... 7
b. Etiologi dan patogenesis ...................................................................... 8
c. Diagnosis penyakit HIV ....................................................................... 20
d. Clinical stage of AIDS ......................................................................... 24
e. Manajemen terapi pasien HIV/AIDS dengan anti retrovirus (ARV) ... 30
f. Tanaman yang memiliki aktvitas sebagai antivirus HIV ..................... 36
BAB III. KESIMPULAN........................................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 38
BAB I
PENDAHULUAN

Virus adalah organisme yang tumbuh dan berkembang sejak 4 juta tahun yang lalu.
Virus berukuran mikroskopik dan hanya bisa bereplikasi dengan menginvasi dan
memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan seluler untuk
bereproduksi sendiri. Virus pada umumnya mengandung sejumlah kecil asam nukleat (DNA
atau RNA) yang dilindungi lapisan yang tersusun atas protein, lipid, dan glikoprotein
(Acheson, 2011).
Beberapa virus mengganggu proses normal sel tubuh dan menyebabkan penyakit.
Beberapa penyakit yang ditakutkan, tersebar luas, dan menyebabkan kematian di manusia
yang disebabkan oleh virus diantaranya adalah sebagai berikut: Acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS), Kanker serviks, cacar air, influenza, hepatitis, Severe acute respiratory
syndrome (SARS) (Acheson, 2011). Makalah ini hanya akan membahas tentang HIV/AIDS
dan cacar air.
Human immunodeficiency virus (HIV) dan AIDS merupakan penyakit yang dapat
ditularkan melalui hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik yang terinfeksi. Pada
akhir tahun 2015, World Health Organization (WHO) mencatat terdapat 36,7 juta orang di
dunia mengidap virus HIV (WHO, 2017). Di Indonesia, dari 2005 hingga Maret 2016 tercatat
sebanyak 198,219 orang menderita HIV sedangkan penderita AIDS dari tahun 1987-2016
berjumlah 78,292 orang, namun dari 2013 mengalami penurunan begitu juga dengan angka
kematian karena AIDS yang dari tahun 2012 mengalami penurunan hingga tahun 2016.
Berdasarkan jenis kelamin, penderita HIV/AIDS lebih banyak diderita oleh laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Berdasarkan ekerjaan, ibu rumah tangga menempati posisi
kedua tertinggi. Bedasarkan usia, penderita HIV/AIDS didominasi oleh kelompok usia 20-29
tahun (Kemenkes, 2016).
Pemahaman infeksi virus terutama disini infeksi HIV secara farmakologi molekular,
akan memudahkan dalam memahami pengobatan yang tepat untuk menghambat, menekan
pertumbuhan virus ataupun pencegahannya. Pemahaman yang baik akan mempermudah
mahasiswa dalam melakukan pendekatan untuk menemukan obat anti-HIV dengan
mekanisme yang berbeda dengan yang ada saat ini serta dapat mencari terapi herbal yang
dapat digunakan sebagai alternatif antivirus dengan efek samping yang lebih sedikit.

1
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

2.1.VIRUS
a. Definisi
Virus mengandung asam nukleotida yang terbungkus dalam lapisan
protein yang disebut dengan kapsid, yang mana dibeberapa kasus juga di
kelilingi oleh atau membran lipid yang disebut envelope. Genom virus mengkode
protein yang ini berfungsi untuk replikasi dan yang dipindahkan dari sel yang satu
ke sel yang lainnya. Partikel infeksius virus disebut dengan virion. Virus
tergantung pada sel hidup untuk proses replikasinya atau disebut juga dengan
obligatory intracellular parasites (Acheson, 2011).
Replikasi virus diawali dengan disintegrasi sebagian dari partikel virus,
dan melepaskan (uncoating) genomnya ke dalam sel inang. Saat uncoating,
genom virus akan digunakan sebagai cetakan untuk mensintesis messenger RNA,
yang mana dalam proses sintesis protein virus menggunakan sistem enzim,
energi, ribosom, dan molecular building blocks yang terdapat di sel inang.
Kemudian protein virus secara langsung mereplikasi genom virus yang nantinya
akan digunakan untuk menghasilkan virus yang baru (Acheson, 2011).
Virus memiliki variasi yang sangat jelas terkait dengan morfologi, genom,
dan ukuran partikel, dan juga mekanisme replikasinya. Berdasarkan genomnya,
virus dapat dibedakan menjadi virus DNA dan RNA, dan ini dapat berupa untai
tunggal maupun untai ganda. Beberapa genom virus berupa sirkular atau linear.
Semua organisme seluler menyimpan informasi yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup, untuk tumbuh, dan untuk reproduksi dalam molekul DNA,
dan molekul RNA dalam organisme tersebut. Virus yang mengandung RNA
terbilang unik, dan mereka menghadapi 2 masalah terkait hal tersebut, yaitu:
mereka harus mensintesis mRNA dari RNA cetakan, dan mereka harus
mereplikasi genom RNAnya. Kebanyakan virus RNA mengkode RNA
polimerase sendiri untuk melakukan kedua fungsi tersebut (Acheson, 2011).

2
b. Klasifikasi
Virus dikategorikan dalam banyak klasifikasi, yaitu:

a) Mofrologi virion termasuk ukuran, bentuk, tipe, kesimetrisannya, ada


tidaknya peplomer, dan ada atau tidak adanya membrane.
b) Property genom virus, termasuk tipe asam nukleat (DNA dan RNA),
ukuran genom dalam kilobase atau pasangan kilobasa, single atau double
stranded, linear atau sirkuler, segment (jumlah, ukuran), dsb.
c) Organisasi genom dan replikasi termasuk gen, jumlah dan posisi dari
reading frame, strategi replikasi, dan bagian seller.
d) Bagian protein virus termasuk ukuran, jumlah dan aktivitas struktur
fungsional dan protein non structural.
e) Properti antigen
f) Property fisikokimia dari virion, termasuk massa molekuler, densitas,
stabilitas pH, stabilitas suhu dan kesesuaian terhdap agen kimia dan fisik.
Terdapat 7 sistem klasifikasi dalam Baltimore, yaitu sebagai berikut:
a) Virus dengan genom positive-strand RNA
b) Virus dengan genom negative-strand RNA
c) Virus dengan genom double-stranded RNA
d) Virus dengan genom double-stranded DNA
e) Virus dengan genom single-stranded RNA
f) Retroviruses have a single-stranded, positive-sense RNA genome
g) Untuk klasifikasi yang terakhir, digambarkan dengan jelas di
hepadnavirus.

2.2.MEKANISME PERTAHANAN TUBUH TERHADAP VIRUS


Sistem kekebalan tubuh memiliki kemampuan untuk melindungi tubuh
dengan melawan atau menghilangkan antigen (bakteri atau virus) ataupun sel yang
abnormal (seperti sel kanker). Lini pertama pertahan tubuh terhadap antigen adalah
dengan epithelial barrier yang melingkupi permukaan luar tubuh (kulit) dan rongga
tubuh (seperti saluran pencernaan, dan pernapasan) yang berinterkasi langsung dengan
lingkungan luar. Namun yang akan dibahas dalam mekanisme pertahan tubuh di sini
lebih terkait sistem internal pertahanan tubuh yang merupakan kunci dalam mengenali

3
dan membinasahkan ataupun menetralkan sesuatu yang dianggap abnormal di dalam
tubuh (Sherwood, 2013):
a) Pertahanan untuk melawan serangan patogen (mikroorganisme penyebab
penyakit)
b) Menghilangkan worn-out cells dan kerusakan jaringan karena trauma atau
penyakit, membuka jalan untuk penyembuhan luka dan perbaikan
jaringan.
c) Mengidentifikasi dan menghancurkan sel yang abnormal di dalam tubuh.
Fungsi ini disebut dengan immune surveillance, yang merupakan
mekanisme dasar pertahanan internal melawan kanker.
Leukosit merupakan sel efektor dari sistem imun. Leukosit atau sel darah putih
dan turunannya bersama dengan berbagai plasma protein, bertanggung jawab terhadap
pertahanan sistem imun.

Gambar 1. Tipe leukosit berdasarkan ada tidaknya granula di sitoplasma

Berdasarkan ada atau tidaknya granula di dalam sitoplasma sel, leukosit


dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu granulosit (polimorfonuklear) dan agranulosit
(mononuklear) (Sherwood, 2013). Granulosit merupakan leukosit yang bergranula
dan berperan dalam membunuh kuman penyakit dan sel asing (termasuk sel kanker),
serta memakan sel mati. Berdasarkan jenis granula serta sifat asam dan basa
sitoplasmanya, granulosit dibedakan menjadi 3 macam sel, yaitu (Sherwood, 2013).:
a) Neutrofil, merupakan fagosit yang bergerak dengan spesialisasi menelan
dan menghancurkan materi yang tidak diinginkan.

4
b) Eosinofil, mensekresikan zat kimia untuk menghancurkan cacing parasit
dan terlibat dalam reaksi alergi.
c) Basofil, melepaskan histamin dan heparin dan juga terlibat dalam reaksi
alergi.
Agranulosit merupakan leukosit yang tidak bergranula. Agranulosit terdiri atas
limfosit dan monosit sebagai berikut(Sherwood, 2013):
a) Monosit, dalam bentuk makrofag, yang berukuran besar, dengan
spesialisasi memfagosit jaringan ikat.
b) Limfosit, yang dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Limfosit B (Sel B), memproduksi antibodi yang secara tidak langsung
akan berkembang di penghancuran dari material asing (sistem imun
yang dimediasi antibodi).
2) Limfosit T (Sel T), langsung menghancurkan virus yang menyerang
dan juga sel mutan dengan melepaskan senyawa kimia. Sel T terdiri
dari: sel sitotoksik (CD8+), sel natural killer, sel helper T (CD4+).
Jaringan Limfoid, merupakan jaringan yang memproduksi, menyimpan dan
memproses limfosit. Jaringan limfoid termasuk bone marrow, nodus limfa, limfa,
timus, tonsil, adenoid, appendix, dan agregat dari jaringan limfoid dalam saluran
pencernaan. Jaringan limfoid akan melokalisasi untuk mencegah penyebaran
mikroorganisme ke tempat yang lebih jauh.
Respon imun dapat berupa innate dan nonspesifik atau adaptive dan
spesifik. Innate immune system memiliki respon yang tidak spesifik, responnya segera
(saat paparan-12 jam), tidak menghasilkan sel memory, mekanisme pertahanan
dengan munculnya inflamasi, mengeluarkan senyawa kimia (seperti interferon, sel
natural killer) sedangkan adaptive immune system memiliki respon yang spesifik
terhadap antigen, responnya lambat (dalam hitungan hari), menghasilkan sel memory.
Namun, keduanya bekerja beriringan untuk mengeliminasi agen yang berbahaya
(Sherwood,2013).

5
Gambar 2. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap serangan patogen
Berikut sel imun yang teraktifkan saat tubuh dserangan virus
(Sherwood,2013):
Makrofag Menghancurkan virus dengan fagositosis
Menyiapkan dan membawakan antigen virus ke sel T helper
Mensekresi IL-1, yang mana mengaktivasi clones sel B dan T spesifik
untuk antigen virus.
Plasma Cells Menetralkan virus untuk mencegah virus masuk ke dalam sel inang.
Derived from B Berperan sebagai opsonin untuk meningkatkan fagositosis virus.
Cells Specific to Mengaktivasi lethal complement cascade sebagai bagian dari adaptive
the Viral Antigen immunity
Secrete
Antibodies That
Sistem Secara langsung menghancurkan virus yang bebas dengan membentuk
komplemen hole-punching membrane attack complex.
Berperan sebagai opsonin untuk meningkatkan fagositosis dari virus
Interferon Disekresi oleh sel yang terinfeksi
Berikatan dengan dan mencegah replikasi virus di sel inang
Meningkatkan kekuatan membunuh dari makrofag, sel natural killer
(NK), dan sel T sitotoksik
Sel NK Melisiskan sel inang yang terinfeksi secara tidak spesifik
Set T sitotoksik Secara spesifik diaktivasi oleh antigen virus dan melisiskan sel inang
atau disebut juga yang terinfeksi sebelum virus bereplikasi.
dengan sel CD8+
Sel helper T atau Mensekresi sitokin, yang mana meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik
disebut juga dan produksi antibodi oleh sel B.
dengan sel CD4+

6
2.3.HIV/AIDS
Penyakit Human immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan penyakit retroviral yang disebabkan
oleh Human immunodeficiency virus. Kriteria dari infeksi ini adalah adanya
penurunan limfosit T CD4+ dalam jumlah yang banyak dan juga ditemukan kondisi
imunosupresi yang mengarah ke opportunistic infections, secondary neoplasms, dan
neurologic manifestation (Kumar dkk., 2013).
a. Epidemiologi HIV/AIDS
World Health Organization (WHO) mencatat hingga akhir tahun 2015,
terdapat 36,7 juta orang di dunia mengidap virus HIV, 18,2 juta orang
menggunakan terapi anti virus (WHO, 2017). Di Indonesia, dari 2005 hingga
Maret 2016 tercatat sebanyak 198,219 orang menderita HIV sedangkan penderita
AIDS dari tahun 1987-2016 berjumlah 78,292 orang, namun dari 2013
mengalami penurunan begitu juga dengan angka kematian yang disebabkan oleh
AIDS yang dari tahun 2012 mengalami penurunan hingga tahun 2016.
Berdasarkan jenis kelamin, penderita HIV/AIDS lebih banyak diderita oleh laki-
laki dibandingkan dengan perempuan. Berdasarkan pekerjaan, ibu rumah tangga
menempati posisi kedua tertinggi. Bedasarkan usia, penderita HIV/AIDS
didominasi oleh kelompok usia 20-29 tahun (Kemenkes, 2016).
Penularan HIV terjadi ketika adanya pertukaran darah atau cairan tubuh
yang mengandung virus atau sel yang terinfeksi virus. Jalur utama infeksi HIV
adalah melalui hubungan seks, melalui suntikan parenteral, melalui ibu ke bayi.
Jalur hubungan seksual, hal ini dikarenakan virus terdapat di semen dan juga di
dalam vagina juga di sel serviks. Jalur penularan HIV melalui suntikan
parenteral terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: penyalahgunaan obat (narkoba)
secara intravena, hemophiliacs penerima konsentrat faktor VIII dan IX, dan
penerima transfusi darah. Diantara penyalahgunaan obat (narkoba), penyebaran
HIV melalui berbagi jarum, syringes, atau paraphernalia yang terkontamisasi
darah yang mengandung HIV. Jalur penularan dari ibu ke bayi terdiri dari 3 jalur,
yaitu: di dalam kandungan yang ditularkan melalui plasenta, intrapartum: selama
kelahiran (melalui vagina), dan ketika menyusui (air susu terkontaminasi HIV)
(Kumar dkk., 2013).

7
b. Etiologi dan patogenesis
Terdapat dua jenis HIV yang secara genetik berbeda tetapi secara antigen
berhubungan. Kedua jenis virus tersebut adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1
merupakan tipe yang paling sering berhubungan dengan AIDS di United States,
Eropa, dan Afrika Tengah, sedangkan HIV-2 menyebabkan penyakit serupa di
Afrika Barat. Diskusi yang dibahas disini berhubungan dengan HIV-1 dan
penyakit yang disebabkan oleh tipe ini, namun secara umum ini juga dapat
digunakan untuk HIV-2 (Kumar dkk., 2013).
a) Struktur HIV

Gambar 3. Struktur Human immunodeficiency virus


Genom:
o Berupa single stranded RNA,
o Molekul tRNAlys3 seluler terbungkus dalam virions digunakan
sebagai primer untuk transkripsi balik.
Gen dan protein:
o Empat protein kapsid: matriks, kapsid, nukleokapsid, p6
o Tiga enzim: protease, reverse transkriptase, integrase
o Dua protein pembungkus: permukaan dan transmembran
o Enam protein regulator: Viral infectivity factor (Vif), Viralprotein
unique to HIV-1(Vpu), Virion protein R (Vpr), transactivator of
transcription (Tat), regulator of expression of viron proteins (Rev),
Negative effector (Nef)

8
Berikut peran dari protein-protein regulator:
Nama Gen Tempat Fungsi
Tat (trans- Penting untuk replikasi; Trans-aktivasi
nukleus, nukleolus,
aktivator ekspresi mRNA virus, mengatur ekspresi
protein awal
transkripsi) p14 sitokin dan reseptor.
Rev (regulator Penting untuk replikasi; mengatur
nukleus, di antara
ekspresi protein transkripsi dan ekspresi protein Gag, Pol,
sitoplasma dan nukleolus
virus) p19 Env, Vif, Vpu, dan Vpr.
sitoplasma,
Vif (faktor Penting untuk infektivitas dan
beberapa molekul yang
infektivitas replikasi pada sel primer; berperan dalam
terbungkus dalam virion
virus) p23 tahap awal replikasi HIV
dewasa
Vpr (Protein R komponen dari inti virus Mediasi replikasi di sel yang tidak
virus) p15 dan kompleks membran membelah
Vpx (Protein X
komponen virion Berfungsi seperti Vpr
virus)
Degradasi CD4; meningkatkan pelepasan
Vpu (Protein U retikulum endoplasma, HIV; pembentukan membran protein
virus) protein transmembran integral; regulasi ekpresi permukaan sel
terhadap MHC I
Meningkatkan produksi HIV di tahap
Nef (Faktor virion, sitoplasma, akhir; mengatur ekspresi MHC I dan
Negatif) p24 nukleus CD4; mencegah apoptosis; meningkatkan
inectivity dari virus;

b) Siklus hidup HIV


Dua target utama infeksi HIV adalah sistem imun dan sistem syaraf
pusat. Siklus hidup HIV lebih mudah dipahami diinteraksinya dengan sistem
imun. Galur HIV dapat diklasifikasikan berdasarkan kemampuan relatif dalam
menginfeksi makrofag atau sel T CD4+. Galur Macrophage-tropic (R5)
menginfeksi monosit/makrofag, dengan menggunakan CCR5 sebagai
koreseptor. Sedangkan Galur T cell-tropic (X4) hanya menyerang sel T line
yang aktif, dan menggunakan CXCR4 (hanya diekspresikan di sel T line)
sebagai koreseptor. Secara umum virus R5 muncul di awal infeksi dan
bertanggung jawab terhadap penularan, sedangkan virus X4 secara bertahap
terakumulasi, virus ini virulen dan bertanggung jawab terhadap deplesi sel T di
tahap akhir, fase cepat dari perkembangan penyakit (Kumar dkk., 2013).
Secara umum galur X4 utamanya muncul lebih tergantung pada jumlah
CD4 dibanding adaptasi galur. Proporsi koreseptor CXCR4 lebih tinggi

9
dibandingkan dengan CCR5 di subsets limfosit T dan monosit. Hanya
sebagian kecil dari monosit yang mengekspresikan kedua reseptor tersebut
(2,85%), tetapi banyak dari sel limfosit T mengekspresikan kedua reseptor
tersebut (CCR5 dan CXCR4). Ekspresi CXCR4 di sel T regulatory adalah
paling rendah (18,18%) dibandingkan sel yang lain, tetapi intensitas
fluorosence dari kedua koreseptor sangat tinggi (CCR5 53,53danCXCR4
49,33). Peerbedaan distribusi dari koreseptor CCR5 dan CXCR4 diantara
subset sel limfosit T dan monosit akan berpengaruh pada kemudahan untuk
terserang dan patogenesis dari infeksi HIV (Indrati dkk., 2012).

Gambar 4. Siklus hidup HIV


Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 8 tahap. Berikut penjelasan
dari masing-masing tahapannya (Mohammed dkk, 2005):
Tahap 1: Pengikatan virus dengan sel inang.
Masuknya HIV ke dalam sel melalui molekul CD4, yang mana
berperan sebagai reseptor yang memiliki afinitas yang kuat dengan virus. Hal

10
ini menerangkan pergerakan dan pertumbuhan dari virus di sel T CD4+ dan
kemampuan menginfeksi sel selain CD4+, terutama makrofag dan sel
dendritik. Namun, pengikatan di CD4 tidaklah cukup untuk menginfeksi,
envelope gp120 HIV harus berikatan juga dengan permukaan molekul sel
(koreseptor). Reseptor chemokine yang dimaksud di permukaan sel ini adalah
CCR5 dan CXCR4. Berikut gambar dari mekanisme berikatannya HIV dengan
molekul CD4 yang akan menyebabkan perubahan konformasi dan gp120 akan
berikatan dengan koreseptor CCR5. Kemudian, terikatnya gp120 dengan
CCR5 ini akan menyebabkan gp41 terpenetrasi di permukaan sel dan
terjadinya fusi membran. Virion HIV juga dapat masuk ke dalam sel melalui
proses endositosis (Kumar dkk., 2013).

Gambar 5. Mekanisme masuknya HIV ke sel inang


Tahap 2: Entry and uncoating
Virus yang sudah berfusi ke sel inang, akan melepaskan bagian intinya
ke dalam sel. Bagian ini mengandung materi genetik yang digunakan untuk
reproduksi virus, lapisan (nukleokapsid) yang mengelilingi RNA harus
dileburkan. Setelah sebagian nukleokapsid lisis, menyebabkan RNA virus
masuk ke dalam sitoplasma di sel inang (Mohammed dkk, 2005).
Tahap 3: Transkripsi balik.
RNA HIV harus dikonversi menjadi DNA sebelum virus dapat
bergabung ke dalam DNA sel inang, Konversi materi genetik virus dari RNA
mejadi DNA terjadi melalui aksi enzim reverse transcriptase yang diproduksi
HIV. Reverse transcriptase membaca untaian RNA virus yang masuk ke
dalam sel inang dan transcribes untaian ke dalam untaian DNA, yang mana
kemudian dapat digunakan untuk membuat protein virus dan salinan dari RNA

11
virus. Hasilnya adalah sebuah DNA untai tunggal dari RNA virus. Untaian
tunggal dari DNA ini kemudian mengalami replikasi menjadi HIV DNA untai
ganda (Mohammed dkk, 2005).
Tahap 4: Integrasi ke dalam kromosom DNA inang.
DNA virus secara acak menyisip ke dalam DNA sel inang melalui
enzim integrase. Proses ini dikenal dengan sebutan integrasi. Kemudian CD4+
ini berubah menjadi pabrik dari virus untuk menghasilkan lebih banyak lagi
HIV. Ketika DNA virus menyatu dengan materi genetik sel inang, kondisi ini
akan bertahan di fase latent untuk beberapa tahun. Kemampuan HIV untuk
bertahan di fase latent merupakan penghalang utama dalam pengobatan atau
penyembuhan infeksi HIV(Mohammed dkk, 2005).
Tahap 5: Sintesis DNA virus.
RNA polimerase menghasilkan mRNA dari DNA sel inang yang
terinfeksi. mRNA digunakan untuk memproduksi dari protein dan enzim virus.
RNA virus yang baru juga digunakan sebagai materi genetik untuk generasi
lanjut dari virus. mRNA virus yang dihasilkan dibawa keluar nukleus dan
masuk ke dalam sitoplasma sel inang (Mohammed dkk, 2005).
Tahap 6: Translasi dan produksi dari protein virus.

Gambar 6. Proses replikasi

12
Translasi mRNA virus hasil produksi dari untaian polipeptida terjadi di
ribosom. Tiap bagian dari mRNA berhubungan dengan protein atau enzim
yang akan digunakan sebagai building block yang digunakan untuk menyusun
partikel HIV yang baru. Protein regulator yang berperan disini adalah Tat,
Rev, dan Nef. Tat dan Rev bekerja langsungpada struktur RNA sedangkan Nef
memodifikasi lingkungan sel inang agar sesuai untuk proses replikasi virus.
Virulensi disebabkan karena Nef memiliki kemampuan untuk jalur signaling,
termasuk di dalamnya aktivasi dari resptor antigen sel T, dan untuk
menurunkan ekspresi dari CD4 pada sel permukaan. Nef juga mempromosikan
produksi dan pelepasa virion menjadi lebih infeksius. Efek dari Nef pada jalur
signaling PI3-K yang mana mengandung nukleotida guanine sebagai factor
Vav, GTPase dc42 kecil dan Rac1 dan p21 kinase teraktivasi PAK
menyebabkan perubahan tanda pada jaringan aktin intrasel, mempromosikan
pergerakan lemak, dan formasi dari strukur lemak yang lebih besar yang
mengganggu signaling dari sel T. Sehingga menyebabkan Naf dan protein
virus structural lainnya menjadi terlokalisir pada lipid. Dua protein HIV
mengatur Nef untuk mengurangi ekspresi CD4. Protein envelope dari gp120
mengikat CD4 pada retikulum endoplasma dan menurunkan ekspornya ke
membran plasma dan Vpu mengikat sitoplasma CD4 mempromosikan
rekrutmet dari TrCP dan Skp1p. Kejadian ini merupakan target CD4 untuk
ubiquitinasi dan degradasi proteasome sebelum mencapai permukaan sel.
Nef bekerja dengan beberapa mekanisme untuk mempengaruhi respon
imunologis terhadap HIV. Pada sel T, Nef mengaktifkan ekspresi dari FasL,
yang menginduksi apoptosis pada sel bystander yang mengekspresikan Fas
yang kemudian dihancurkan oleh sel T sitotoksik. Kemudian inilah yang
mungkin mengeliminasi sel yang terinfeksi HIV-1. Nef juga mengurangi
ekspresi dari MHC I yang mendereminasi permukaan sel yang mengalami
infeksi dan juga menurunkan pengenalan dan pembunuhan sel terinfeksi oleh
sel T sitotoksik CD8. Nef tidak menyebabkan penurunan ekspresi dari HLA-
C, yang mencegah pengenalan dan pembunuhan sel terinfeksi ini oleh sel
natural killer.
Nef juga menginhibisi apoptosis. Ini berikatan dan menginhibisi sinyal
apoptosis itermedia yang meregulasi kinase 1 (ASK-1) yang berfungsi pada
Fas dan jalur sinyal kematian TNFR yang juga menstimulasi fosforilasi ke

13
arah perburukan terjadinya sekuestrasi oleh 14-3-3 proteins.Nef juga berikatan
dengan protein supresor tumor p53, yang mengihibisi inisiasi potensial dari
apoptosis. Melalui mekanisme yang berbeda ini, Nef memperpanjang hidup
sel yang mengalami infeksi sehingga mengoptimalkan infeksi virus.
Protein virus yang lain juga berpartisipasi pada modifikasi lingkungan
pada sel terinfeksi. Ekspresi Rev-dependent Vpr menginduksi penghambatan
sel infeksi dari proliferasi pada fase G2/M pada siklus sel sejak virus LTR ini
lebih aktif selama G2, dengan adanya penghambatan ini, seolah-olah
membiarkan gen virus terekspresi. Siklus sel ini juga termasuk di dalamnya
terdapat defek local pada struktur dari lamina nuclear yang mengarah kepada
heriasi DNA yang dinamis yang merupakan proyek dari amplop nuclear
masuk ke dalam sitoplasma. Secara intermiten, herniasi ini dapat mengalami
rupture dan menyebabkan pencampuran dari nuclear larut dan protein
sitoplasma. Penggantian pada struktur lamina atau pencampuran yang tidak
seharusnya dari regulasi siklus sel ini dapat menjelaskan terjadinya G2 yang
mengalami penghambatan oleh Vpr.
Partikel virus baru kemudian dibentuk pada membran plasma. Setiap
virion terdiri dari setidaknya 1500 molekul Gag dan 100 Gag Pol poliprotein,
dua kopi dari genom RNA virus, dan Vpr. Beberapa protein berpartisipasi
pada proses pembentukan ini termasuk Gag polyprotein dan Gag-Pol, sebaik
Nef dan Env. Sebuah protein manusia berfungsi sebagai pengikat ATP, HP68
(sebelumnya dikenal sebagai RNase L inhibitor), bekerja mirip dengan
molekul chaperone, yang memfasilitasi perubahan konformasi dari Gag yang
dibutuhkan untuk pembentukan kapsid virus. Pada limfosit T CD4 primer, Vif
berperan sebagai kunci tapi mekanismenya belum diketahui jelas. Dengan
tidak adanya Vif, level normal dari virus diproduksi tapi virion ini tidak
infeksius, menunjukkan penahanan tingkan transkripsi terbalik (reverse
transcriptation) pada target sel yang sesuai. Analisis heterokarion dari sel
dibentuk oleh adanya fusi dari non permisif (membutuhkan Vif untuk
pertumbuhan virus) dan permisif (mendukung pertumbuhan virus defisien Vif)
sel telah diketahui bahwa Vif dapat sebagai efek dari inhibitor natural dari
replikasi HIV. Sehingga, awal terbentuknya CEM15/APOBEC3G,
diidentifikasikan dan ditunjukan homolog dengan APOBEC1, yaitu suatu
enzim an enzyme yang termasuk pada editing RNA. Meski aktiviral intrinsic

14
antivirus dari CEM15. CEM15 diekspresikan dalam tipe non permisif, tapi
tidak pada sel permisif (Mohammed dkk, 2005).
Tahap 7: Assembly of virus and budding from the host cell.

Gambar 7. Mekanisme Assembly


Tahap ini adalah pembetukan partikel virus yang baru atau virion.
Diawali dengan berkumpulnya protein fungsional virus seperti envelope dan
protein inti (gp120, gp40, dan Gag) dan enzim yang diperlukan virus (reverse
transverase, protease, dan integrase). Polipeptida virus harus dipotong
menjadi bagian yang kecil oleh enzim protease untuk menjadi enzim atau
protein yang fungsional. Poliprotein Gag merupakan subjek untuk miristilasi
dan berasosiasi dengan kolesterol dan membrane mikrodomain kaya
glikolipid. Virion mengalami budding muncul melalui region yang
terspesialisasi pada 2 lapis lidip, memenuhi virion dengan membrane kaya
kolesterol. Komposisi lipid ini seperti pelepasan, stabilitas dan fusi dari virion
dengan sel target (Mohammed dkk, 2005).
Reaksi budding termasuk di dalamnya aksi dari beberapa protein
termasuk di dalamnya sekuens late domain (PTAP) muncul pada porsi p6
Gag. Protein p6 muncul untuk dimodifikasi oleh ubikuitinasi. Produk dari gen
penekan tumor 101 (TSG101) mengikat motif PTAP dari p6 Gag dan juga
mengenali ubikuitin melalui enzim ubikuitin 2 (UEV). Protein TSG101
normalnya berhubungan dengan protein sel pada protein vakuola,
mengarahkan jalan untuk membentuk kompleks ESCRT-1 yang memilih
kargo untuk inkorporasi menjadi mltivesicular body (MVB). Pada kasus HIV,
TSG101 dibajak untuk ikut berpartisipasi pada budding dari virion. Ketika

15
RNA virus dan proteinnya bergabung dan lepas dari permukaan sel sebagai
patikel virus, mereka mengambil sebagian kecil membran sel yang juga
mengandung protein permukaan virus. Protein virus ini kemudian akan
menjadi envelope dari partikel virus yang baru (Mohammed dkk, 2005).
Tahap 8: Maturasi.
Maturasi diperlukan virus agar bisa menjadi infeksius. Setelah
direplikasi di sel inang, enzim protease di virus yang baru menjadi aktif dan
memotong polipeptidanya ke dalam subunit fungsional yang tepat, atau protein
dan enzim. Hasil dari tahap ini adalah virus yang matang dan infeksius
(Mohammed dkk, 2005)
c) Progresifitas penyakit HIV

Gambar 8. Patogenesis infeksi HIV


Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut, yang mana hanya sebagian
dikontrol oleh respon imun inang, dan berkembang menjadi infeksi kronis dari

16
jaringan limfoid perifer. Tipe sel yang pertama diinfeksi adalah sel T CD4+
memori (dengan koreseptor CCR5) jaringan mukosa limfoid. Hal ini
dikarenakan jaringan mukosa merupakan tempat penyimpanan terbesar dari sel
T dan tempat utama dari sel T memori (Kumar dkk., 2013).
Perubahan dari fase akut ke fase kronik dikarakteristikkan dengan
penyebarluasan virus, viremia, dan perkembangan dari respon imun. Sel
dendritik di epitel tempat masuknya virus, menangkap virus dan membawanya
ke nodus limfa. Saat di jaringan limfoid, sel dendritik akan mengeluarkan HIV
ke dalam sel T CD4+ melalui kontak antar sel. Dalam beberapa hari setelah
paparan pertama HIV, virus bereplikasi dan dapat dideteksi di nodus limfa.
Replikasi ini berkembang menjadi viremia dengan tingginya partikel HIV, dan
terjadi sindrom HIV akut. Virus menyebar ke seluruh tubuh dengan
menginfeksi sel helper T, makrofag dan sel dendritik di jaringan limfoid
perifer. Respon sistem imun secara parsial mengontrol infeksi dan produksi
virus, dan pengontrolan ini digambarkan dengan penurunan viremia tetapi
dapat terdeteksi di minggu ke 12 setelah paparan awal (Kumar dkk., 2013).
Masuk ke fase kronik dari infeksi HIV, nodus limfa dan limfa
merupakan tempat lanjutan HIV bereplikasi dan merusak sel. Pada periode ini,
sistem imun masih sanggup menangani infeksi dengan opportunistic microbes,
dan sedikit atau tidak ada manifestasi dari infeksi HIV yang muncul. Pada fase
ini disebut dengan clinical latency period. Selama periode ini, penghancuran
CD4+ terus berlangsung, dan jumlah CD4+ dalam darah juga berangsur turun.
Tubuh sebenarnya masih memproduksi CD4+, tetapi jumlah yang dihancurkan
lebih banyak dibandingkan yang diproduksi (Kumar dkk., 2013).

Gambar 9. Respon klinis dan imun terhadap infeksi HIV

17
Tiga fase yang menggambarkan dinamika virus berinteraksi dengan sel
inang dapat diketahui: fase akut, fase kronik dan fase krisis. Fase akut
dikarakteristikan dengan gejala yang tidak spesifik seperti suara serak, mialgia,
demam, kemerahan, dan kadang aseptic meningitis. Pada fase ini juga
dikarakteristikkan dengan tingginya prosukdi virus dan viremia dan
penyebaran ke jaringan limfoid periferal, ditandai dengan terjadi penurunan
CD4+. Kemudian, terjadi perkembangan respon imun (biasanya dalam 3-17
minggu setelah paparan) dan dengan perkembangan dari CTLs CD8+ spesifik
virus. Berkurangnya intensitas viremia, menyebabkan CD4+ kembali
mendekati jumlah normal (Kumar dkk., 2013).
Fase kronis, ditahap ini pasien tidak mengalami gejala dan mengalami
limfadenopati yang berkelanjutan dan muncul infeksi minor seperti candida
atau herpes zoster. Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi
lain, dan respons imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi
HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan
oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin
(misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons
terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi,
pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula
kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV. Penyakit HIV berjalan terus ke fase
akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh jaringan
limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan
viremia HIV meningkat drastis (Kumar dkk., 2013).
Limfadenopati yang berkelanjutan dengan gejala dasar yang siginifikan
(demam, kemerahan, kelelahan) yang menggambarkan onset dari
dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan onset dari fase
krisis. Fase akhir atau fase krisis, dikarakteristikkan dengan hancurnya
pertahanan inang. Biasanya pasien menderita demam dengan durasi lebih dari
1 bulan, megalami kelelahan, kehilangan berat badan, dan diare kronis, jumlah
CD4+ dibawah 500 sel/L. Kemudian munculnya infeksi opportunistic,
neoplasma menengah, dan atau manifestasi neurologis (ini disebut dengan
AIDS). Center for Disease Control and Prevention (CDC) mengatakan bahwa
orang yang terinfeksi HIV dengan jumlah CD4+ 200 sel/L dikatakan
menderita AIDS (Kumar dkk., 2013).

18
Patogenesis di sistem syaraf pusat. Virus biasanya di bawa ke otak oleh
monosit yang terinfeksi. Banyak ahli berpendapat bahwa penurunan jumlah
syaraf disebabkan secara tidak langsung oleh produk virus dan faktor terlarut
(contoh sitokin, seperti TNF) yang diproduksi oleh makrofag dan sel
mikroglial (Kumar dkk., 2013).
d) Mekanisme penurunan jumlah sel T CD4+
Mekanisme utama hilangnya sel T CD4+ adalah sel lisis karena infeksi
HIV dan sel mati selama proses replikasi dan produksi dari virion. HIV
merupakan virus sitopatik yang mengganggu fungsi seluler yang cukup untuk
menyebabkan kematian sel. Berikut merupakan mekanisme lain yang
menyebabkan hilangnya sel T (Kumar dkk., 2013):

Gambar 10. Mekanisme hilangnya sel T CD4+ di manusia yang terinfeksi


HIV
Hilangnya sel CD4+ yang belum matang, baik ini yang disebabkan infeksi
langsung di sel thymic progenitor ataupun dengan infeksi dari sel yang
mensekresi sitokin esensial untuk pematang sel CD4+. Hasilnya
menyebabkan berkurangnya sel T CD4+ yang matang.
Aktivasi kronik dari sel yang tidak terinfeksi oleh antigen HIV atau dari
infeksi mikroba yang bersamaan dapat berkembang ke apoptosis sel T.

19
Namun, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kematian sel yang terjadi di
sel yang terinfeksi.
Infeksi di berbagai sel dalam jaringan linfoid dapat mengganggu struktur
normal sel, dan ini akan menyebabkan gangguan respon imun.
Fusi dari sel yang terinfeksi dan tidak terinfeksi menyebabkan perubahan
formasi dari syncytia (giant cell). Di kultur jaringan, gp120 menunjukkan
secara produktif menginfeksi sel dengan mengikat molekul CD4 di sel yang
tidak terinfeksi, diikuti dengan fusi sel, ballooning, dan mati dalam
beberapa jam.
Sel T CD4+ yang tidak terinfeksi dapat mengikat gp120 ke molekul CD4,
yang akan memberikan signal abnormal dan terjadi apoptosis.
Sel T CD4+ yang terinfeksi dapat dibunuh oleh HIV spesifik CD8+
cytotoxic T lymphocytes (CTLs).

c. Diagnosis penyakit HIV


Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), terdapat
3 tipe uji diagnosis, yaitu:
a) Uji Antibodi untuk mendekteksi adanya antibodi, protein yang
dibuat oleh manusia untuk melawan HIV. Diperlukan 3 sampai 12
minggu untuk seseorang menghasilkan cukup antibodi untuk uji
deteksi infeksi HIV. Secara umum, uji antibodi menggunakan darah
dapat mendeteksi HIV sedikit lebih cepat setelah infeksi
deibandingkan dengan uji yang menggunakan cairan di mulut.
Uji antibodi terdiri dari screening tests: rapid test atau ELISA
dan confirmatory tests: western blot dan indirect immunofluorescent
assay. uji antiodi yang rutin dilakukan biasanya menggunakan
algoritma serial atau paralel menggunakan Rapid atau ELISA test
kits. Terdapat 2 algoritma tes dengan rapid test kits, yaitu serial
testing dan paralel testing (Federal ministry of health, 2010).
1). Serial testing
Tes ini mengacu pada penggunaan 2x uji screening untuk
uji antibodi HIV. Jika screening awal negatif, tidak perlu
dilakukan uji lanjutan. Jika uji awal positif, maka diperlukan uji

20
lanjutan lagi. Uji yang pertama harus merupakan uji yang paling
sensitif dan uji yang kedua harus spesifik, dan didasarkan pada
sumber antigen yang berbeda dari uji yang pertama. Jika sampel
tersebut menghasilkan hasil yang berbeda dalam 2 uji diarahkan
untuk uji selanjutnya (Federal ministry of health, 2010).

Sampel darah

Tes 1 Tes 2

Keduanya Keduanya Hasil


positif negatif bertentangan

Hasil Hasil Uji ulang setelah


diserahkan diserahkan 6 minggu

Gambar 11. algoritma serial testing

2). Paralel testing


Uji ini melibatkan 2 uji screening yang dilakukan
bersamaan. Sampel reaktif di kedua uji dianggap sebagai hasil
yang positif. Bagaimanapun, uji dengan hasil yang berbeda
memerlukan uji lanjutan. Uji paralel dilakukan untuk
meminimalisir terjadinya hasil negatif palsu dan untuk
menghindarkan dari technical errors. Uji ini sering digunakan
ketika uji yang sangat sensitif tidak tersedia untuk screening awal
dan ketika hasil 2 uji yang seragam dievaluasi (Federal ministry
of health, 2010).

21
Sampel darah

Tes 1

Negatif
Hasil positif

Hasil
diserahkan Tes 2

Positif
Hasil negatif

Hasil
diserahkan Tes 3

Positif Negatif
Hasil diserahkan hasil diberikan dan
ke lab yang dilakukan tes ulang
direkomendasikan setelah 3 bulan

Gambar 12. algoritma parallel testing


b) Uji kombinasi (antigen dan antibodi). Tujuannya untuk melihat
antibodi dan antigen dari HIV. Antigen merupakan bagian dari virus
itu sendiri dan muncul selama infeksi akut HIV. Diperlukan 2 sampai
6 minggu untuk seseorang menghasilkan antigen dan antibodi untuk
uji kombinasi untuk mendeteksi HIV. Antigen yang dideteksi adalah
p24. Jumlah antigen p24 dan jumlah dari virus akan meningkat
secara signifikan segera setelah infeksi awal. Uji antigen dilakukan
diawal dari infeksi, sebelum antibodi terbentuk. Setelah beberapa
minggu paparan, antibodi untuk HIV terbentuk untuk merespon
infeksi dan akan terdeteksi di dalam darah, yang membuat uji
antibodi berguna untuk mendeteksi infeksi (CDC, 2017).
c) Uji asam nukleat. Uji ini mendeteksi HIV dengan cepat dengan
melihat HIV dalam darah. Diperlukan 7 sampai 28 hari untuk uji ini
untuk mendeteksi HIV. Uji ini sangat mahal dan tidak rutin

22
digunakan untuk HIV screening kecuali pada orang dengan risiko
tinggi terpapar atau kemungkinan terpapar dengan gejala awal dari
infeksi HIV (CDC, 2017).
Hilangnya sel T CD4+ akan berdampak ke perubahan perbandingan
CD4+/CD8+. Rasio pada orang normal adalah 1-2, namun pada kondisi orang
dengan AIDS memiliki ratio 0,5 atau kurang (Kumar dkk., 2013). Imunoglobulin
E (IgE) umumnya akan meningkat di pasien yang terinfeksi HIV. IgE ini satu-
satunya antibodi yang tidak dapat melewati plasenta, oleh karenanya IgE dapat
potensial untuk deteksi virus di anak-anak ataupun dewasa (Fletcher dkk., 2000).
Berikut virological dan serological markers setelah infeksi HIV-1 (Butto dkk.,
2010).

Gambar 13. Perubahan virologi dan serologi setelah infeksi HIV-1

23
Abnormalitas utama fungsi imun di pasien AIDS (Kumar dkk., 2013):

Gambar 14. Abnormalitas fungsi imun di AIDS

d. Clinical stage of AIDS WHO


Clinical staging of HIV/AIDS untuk dewasa dan remaja
Clinical event Presumptive diagnosis Definitive diagnosis
Infeksi awal HIV
Asymptomatic Terdeteksinya antigen core
P24 dan tingginya RNA HIV
Sindrom retroviral akut Acute febrile illness 24 dalam darah, ditemukannya
weeks post-exposure, often limfopenia sementara dan
with lymphadenopathy, dapat terjadi
pharyngitis and skin ketidaknormalan
manifestations.
Clinical stage 1
Asymptomatic Tidak ada gejala dan tidak Tidak diperlukan
ada gejala di ujikan
Persistent generalized Membengkak atau Tidak diperlukan tetapi dapat
lymphadenopathy (PGL) membesarnya nodul limfa > dikonfirmasi dengan
1 cm, di 2 atau lebih non- histologi (germinal centre

24
contiguous, keculai nodus hyperplasia,
inguinal lymph node structure
preserved).
Clinical stage 2
Penurunan berat badan Laporan kehilangan berat Dikonfirmasi dengan
sedang tanpa penyebab yang badan tetapi tidak terlihat dokumentasi berkurangnya
jelas (< 10% dari BB awal) wajah atau badan yang kurus berat badan
Kekambuhan infeksi saluran Gejalanya kompleks, seperti: Tidak diperlukan
pernapasan sinusitis, bronkitis, otitis
media, faringitis
Herpes zoster Painful rash of small Tidak diperlukan
fluidfilled
blisters in distribution
of a nerve supply, can be
haemorrhagic on
erythematous
background, and does not
cross midline. Current or in
the last two years. Severe or
frequently recurrent herpes
zoster is usually associated
with more advanced HIV
disease.
Angular cheilitis Splits or cracks on lips at Tidak diperlukan
the angle of the mouth with
depigmentation, usually
responds to antifungal
treatment but may recur.
Also common in nutritional
deficiency, e.g. of B vitamins.
Kekambuhan borok di mulut Tidak diperlukan
Papular pruritic eruptions Papular pruritic vesicular Tidak diperlukan
lesions. Also common in
uninfected adults.
Note: scabies and obvious
insect bites should be
excluded.
Seborrhoeic dermatitis Itchy scaly skin condition, Tidak diperlukan
particularly affecting scalp,
face, upper trunk and
perineum. Also common in
uninfected adults.
Infeksi jamur kuku di jari Fungal paronychia (painful Tidak diperlukan tetapi
red and swollen nail bed) or dikonfirmasi dengan kultur
onycholysis (separation of dari bagian kuku
the
nail from the nail bed) of the
fingernails. Also common in
uninfected adults. Proximal
white subungual

25
onchomycosis
is uncommon without
immunodeficiency.
Clinical stage 3
Kondisi dimana diagnosa
dugaan dapat dibuat
berdasarkan tanda klinis
atau investigasi sederhana
Penurunan berat badan
yang berat (>10% dari
BB awal) Adanya laporan kehilangan Adanya kehilangan berat
berat badan tanpa diet, dan badan >10% BB awal
terlihat kurus dibagian wajah,
pinggul, kaki dan tangan
Diare kronis yang tidak Diare kronis (dengan Tidak diperlukan tetapi
diketahui penyebabnya frekuensi BAB 3kali atau dikonfirmasi jika 3 atau lebih
dengan durasi lebih lebih perhari), selama lebih BAB, dan 2 atau 3 tes dari
dari satu bulan dari 1 bulan feses tidak ditemukan
patogen di mikroskop
maupun kultur dan tidak ada
leukosit fecal
Demam terus menerus Adanya laporan demam atau Tidak diperlukan tetapi
tanpa diketahui keringat di malam hari lebih dikonfirmasi jika suhu
penyebabnya dari 1 bulan. intermittent atau 37,5C dengan hasil kultur
(intermittent atau konstan lebih dari satu bulan darah negatif noda Ziehl-
konstan lebih dari satu dengan laporan tidak Nielsen (ZN), negatif
bulan) merespon ketika diberi malaria, hasil x-ray dada yng
antibiotik atau antimalaria. normal dan tidak ada
perubahan.

Kandidiasis oral Adanya warna putih hingga Tidak diperlukan


kuning yang menetap dengan
ukuran plak yang kecil diatas
warna merah atau warna
normal mukosa yang mana
dapat muncul luka, atau plak
warna merah di lidah, di
langit-langit atau lapisan
mulut, biasanya nyeri atau
perih, dan tidak merespon
terapi antifungi lokal
Oral hairy leukoplakia Fine small linear patches on Tidak diperlukan
lateral borders of the tongue,
generally bilaterally, which
do not scrape off.
Didiagnosa Pulmonary Kronis (gejala muncul dalam Tidak diperlukan tetapi
tuberculosis (TB) 3minggu atau lebih), batuk dikonfirmasi dengan kultur
dalam 2 tahun terakhir produktif, hemoptisis, nafas sputum yang positif
pendek, penurunan BB,
demam, keringat di malam

26
hari, pusing, tidak ada
perbaikan gejala dengan
antibiotik spektrum luas,
positif noda ZN.
Merespon terapi standar
untuk TB dalam 1 bulan.
CD4 harus digunakan dimana
digunakan untuk pedoman
terapi, kadar sangat rendah
dari CD4 memungkinkan
untuk membutuhkan
antiretrovirus yang segera.
Dugaan keparahan Demam disertai tanda dan Tidak diperlukan tetapi
infeksi bakteri (seperti: gejala yang menunjukkan dikonfirmasi dengan
pneunomia, empyema, adanya infeksi lokal, dan mengisolasi bakteri dari
piomiositis, infeksi di merespon antibiotik spesimen klinis yang tepat.
tulang atau sendi,
meningitis, bakterimia)
Kodisi dimana uji diagnosa
untuk konfirmasi
dibutuhkan
Anaemia tanpa sebab yang Tidak ada Didiagnosa dari hasil uji
jelas (< 8 g/dl), dan atau laboratorium dan tidak
neutropenia (<500/mm3) dan dijelaskan
atau trombositopenia (<50
000/ mm3) untuk lebih dari
satu bulan

Clinical stage 4 (lebih lengkap dapat dilihat di WHO)


Kondisi dimana diagnosa
dugaan dapat dibuat
berdasarkan tanda klinis
atau investigasi sederhana
HIV wasting syndrome
Pneumocystis pneumonia
Recurrent severe or
radiological bacterial
pneumonia
Chronic herpes simplex
infection (orolabial, genital
or anorectal of more than
one months
duration)
Oesophageal candidiasis
Extrapulmonary TB
Kaposis sarcoma
Central nervous system
(CNS) toxoplasmosis
HIV encephalopathy
Kodisi dimana uji diagnosa

27
untuk konfirmasi
dibutuhkan
Extrapulmonary
cryptococcosis including
meningitis
Disseminated non-
tuberculous mycobacteria
infection
Progressive multifocal
leukoencephalopathy (PML)
Candida of trachea, bronchi
or lungs
Cryptosporidiosis
Isosporiasis
Visceral herpes simplex
infection
Cytomegalovirus (CMV)
infection (retinitis or of an
organ other than liver, spleen
or lymph nodes)
Any disseminated mycosis
(e.g. histoplasmosis,
coccidiomycosis,
penicilliosis)
Recurrent non-typhoidal
salmonella septicaemia
Lymphoma (cerebral or B
cell non-Hodgkin)
Invasive cervical carcinoma
Visceral leishmaniasis

Clinical staging of HIV/AIDS untuk bayi dan anak-anak


Clinical Stage 1
Tidak ada gejala
PGL

Clinical Stage 2
Hepatosplenomegaly
Papular pruritic eruptions
Seborrhoeic dermatitis
Extensive human papilloma virus infection
Extensive molluscum contagiosum
Fungal nail infections
Recurrent oral ulcerations
Lineal gingival erythema (LGE)
Angular cheilitis
Parotid enlargement
Herpes zoster
Recurrent or chronic RTIs (otitis media, otorrhoea, sinusitis)

28
Clinical Stage 3
Kondisi dimana diagnosa dugaan dapat dibuat berdasarkan tanda klinis atau
investigasi sederhana
Moderate unexplained malnutrition not adequately responding to standard therapy
Unexplained persistent diarrhoea (14 days or more )
Unexplained persistent fever (intermittent or constant, for longer than one month)
Oral candidiasis (outside neonatal period )
Oral hairy leukoplakia
Acute necrotizing ulcerative gingivitis/periodontitis
Pulmonary TB
Severe recurrent presumed bacterial pneumonia
Kodisi dimana uji diagnosa untuk konfirmasi dibutuhkan
Chronic HIV-associated lung disease including brochiectasis
Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)
Unexplained anaemia (<8g/dl), and or neutropenia (<1000/mm3) and or
thrombocytopenia (<50 000/ mm3) for more than one month

Clinical Stage 4
Kondisi dimana diagnosa dugaan dapat dibuat berdasarkan tanda klinis atau
investigasi sederhana
Unexplained severe wasting or severe malnutrition not adequately responding to standard
therapy
Pneumocystis pneumonia
Recurrent severe presumed bacterial infections (e.g. empyema, pyomyositis, bone or joint
infection, meningitis, but excluding pneumonia)
Chronic herpes simplex infection; (orolabial or cutaneous of more than one months duration)
Extrapulmonary TB
Kaposis sarcoma
Oesophageal candidiasis
CNS toxoplasmosis (outside the neonatal period)
HIV encephalopathy
Kodisi dimana uji diagnosa untuk konfirmasi dibutuhkan
CMV infection (CMV retinitis or infection of organs other than liver, spleen or lymph nodes;
onset at age one month or more)
Extrapulmonary cryptococcosis including meningitis
Any disseminated endemic mycosis (e.g. extrapulmonary histoplasmosis, coccidiomycosis,
penicilliosis)
Cryptosporidiosis
Isosporiasis
Disseminated non-tuberculous mycobacteria infection
Candida of trachea, bronchi or lungs
Visceral herpes simplex infection
Acquired HIV associated rectal fistula
Cerebral or B cell non-Hodgkin lymphoma
Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
HIV-associated cardiomyopathy or HIV-associated nephropathy

29
e. Manajemen terapi pasien HIV/AIDS dengan anti retrovirus

Gambar 15. Mekanisme kerja obat-obat anti HIV


Manajemen terapi pasien HIV/AIDS dengan anti retrovirus
a) Tujuan terapi antiretrovirus (ARV)
Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) merupakan gold
standard dalam manajemen HIV/AIDS dan semua orang yang memenuhi
syarat untuk ART harus memuai dengan HAART sesegera mungkin. Semua
orang yang memenuhi syarat mendapat ART harus mengikuti konseling
kepatuhan terapi HIV, mengikuti uji laboratorium di awal dan periodik secara
rutin, menejemen dari opportunistic infections (OI), monitoring rutin
pengobatan dan follow-up. Setelah ART diberikan, diharapkan ART dapat
mencapai tujuan dalam (Federal ministry of health, 2010):
Menurunkan morbiditas (termasuk morbiditas dari OI) dan
memperpanjang hidup dari penderita HIV
Meningkatkan kualitas hidup dari orang yang terinfeksi
Menekan secara cepat dan terus menerus dari viral load
Meningkatkan imunitas dengan meningkatkan jumlah sel CD4+
Menurunkan risiko penularan HIV ke bayi (penularan ibu ke anak) dan
pasangan seks.

30
b) Obat ARV
Terdapat 6 kelas ARV yang saat ini digunakan untuk terapi infeksi
HIV yang didasarkan dari tempat atau mekanisme aksi. Berikut ARV tersebut
(Federal ministry of health, 2010):
i. Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs) seperti
nevirapine, efavirenz, etravirine (baru) yang menghentikan produksi HIV
dengan berikatan langsung dengan enzim reverse transkriptase yang akan
mencegah transkripsi RNA virus menjadi DNA.
ii. Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors
(NRTIs/NtRTIs). Menggabungkan dirinya ke dalam DNA virus sehingga
akan menghambat proses building. Sehingga DNA yang terbentuk tidak
lengkap dan tidak dapat membentuk virus DNA yang baru.
iii. Protease Inhibitors (PIs) bekerja di luar siklus reproduksi virus. Obat ini
mencegah proses assembly dan pelepasan virion dari sel CD4+ yang
terinfeksi.
iv. The chemokine receptors antagonists, obat ini akan berikatan dengan
CCR5 or CXCR4 di permukaan sel T sehingga mencegah perlekatan virus
dengan koreseptor. Yang termasuk di kelas ini adalah Maraviroc.
v. Fusion inhibitors,yang akan berikatan dengan gp41 virus dan mencegah
penetrasi virus di membran sel T. Yang termasuk di kelasini adalah
enfuvirtide.
vi. Integrase Inhibitors, akan mencegah integrasi DNA virus untai ganda ke
dalam DNA sehingga proses traskripsi untuk pembentukan genom RNA
virus tidak bisa terjadi dengan menghambat kerja enzim integrase.
Integrase Inhibitors yang digunakan secara klinis adalah raltegravir.

Tabel. Kelas obat ARV


NRTIs NNRTIs Integrase Fusion CCR5 Protease Inhibitors
Inhibitors inhibitors inhibitor
Zidovudine (ZDV) Nevirapine Raltegravir Enfuvirtide Maraviroc Saquinavir (SQV)
Didanosine (ddI) (NVP (T-20) Ritonavir (RTV)
Stavudine (d4T) Efavirenz (EFV) pharmacoenhancer}
Lamivudine (3TC) Etravirine Indinavir (IDV)
Abacavir (ABC) Delavirdine Nelfinavir (NFV)

31
Emtricitabine Amprenavir (APV)
(FTC) Lopinavir-ritonavir
Tenofovir (TDF) (LPV/r)
Atazanavir (AZV)
Tipranavir
Fosamprenavir
(FPV)
Darunavir

c) Evaluasi pre Antiretroviral Therapy (ART)


Sebelum memulai ART, terdapat 2 tindakan yang harusdilakukan,
yaitu penilaian dasar pasien dan perhatian sebelum memulai ART. Perhatian
sebelum memulai ART termasuk konseling rutin secara periodik, edukasi
kesehatan, dan penilaian D4+ secara periodik. Sedangkan penilaian dasar
sebelum memulai ART harus menyertakan (Federal ministry of health, 2010):
Dokumen bukti hasil positif menderita HIV
Telah menyelesaikan pemeriksaan riwayat dan fisik lengkap (selalu
berfikir untuk penyakit ginjal, penyakit kardiovaskular, kehamilan,
anemia, Hepatitis B dan C, TB, STI, penggunaan ART sebelumnya
termasuk dosis tunggal Nevirapine (sd NVP), merokok, naroba dan
alkohol)
Status imunisasi
Pemeriksaan fisik harus termasuk pemeriksaan rektal dan vaginal (PAP
smear/ Visual Inspection with Acetic Acid (VIA))
Staging of disease with clinically and Immunological classification pasien
Hasil cek laboratorium
Evaluasi status nutrisi dan pskikososial
Penilaian kesiapan untuk memulai terapi
Perkembangan dari stratepi kepatuhan pasien
Penilaian berat badan
d) Kriteria untuk memulai ART (Federal ministry of health, 2010).
Mulai ART di pasien HIV yang memiliki jumlah sel CD4+ 350 sel/mm 3
termasuk wanita hamil walau tidak menunjukkan gejala klinis

32
Mulai ART di pasien yang menderita HIV di WHO clinical stage 3 dan 4
tanpa perlu melihat jumlah sel CD4+
Mulai ART sesegera mungkin di semua pasien HIV yang menderita
tuberkulosis aktif (TB) tanpa perlu melihat jumlah sel CD4+ atau WHO
clinical staging
Untuk semua wanita hamil dengan positif HIV dengan sel CD4+ > 350
sel/mm3, ARV prophylaxis harus diberikan untuk mencegah penularan
HIV dari ibu ke anak.
Pertimbangan ARTdi pasien dengan CD4+ >350 sel/mm3 dalam situasi
berikut:
Nefropati yang dihubungkan dengan HIV,karena hal ini dapat terjadi pada
jumlah CD4 yang tinggi dan terdapat keuntungan penggunaan HAART.
Perbedaan hubungan yang didasarkan pada bukti penurunan risiko
transmisi pada pasien dengan infeksi HIV yang diobati.
e) First line terapi ART (Federal ministry of health, 2010).
Direkomendasikan penggunaan kombinasi obat setidaknya 2 kelas
ARV yang berbeda digunakan sehingga obat tersebut akan bekerja di tempat
atau bekerja dengan mekanisme yang berbeda dalam siklus hidup HIV.
Dengan jumlah minimum 3 obat termasuk 1 NNRTI atau biasanya digunakan
sebuah protease inhibitor. Rekomendasi didasarkan pada ketersediaan,
aksesibilitas, efikasi, terjangkau, dan kemudahan pemberian.
Terapi tunggal atau terapi dengan dua macam obat tidak
direkomendasikan karena meningkatkan risiko perkembangan
resistensi
First line regimen untuk ART di orang dewasa
o AZT + 3TC + EFV
o AZT + 3TC + NVP
o TDF +3TC (or FTC) + EFV
o TDF +3TC (or FTC) + NVP
Perhatian:
o Semua wanita yang menerima regimen ART mengandung NVP
harus selalu dimonitoring untuk gejala dan tanda dari toksisitas
hepar seperti skin rash dan peningkatan transaminase serum.

33
o Wanita dengan tanda hipersensitif NVP harus diganti dengan
protease inhibitor yang poten.
o Efavirenz dapat menyebabkan abnormalitas konginetal pada janin
dan ini tdak direkomendasikan untuk wanita hamil (terutama di
trimester awal) atau wanita yang tidak rutin menggunakan
kontrasepsi.
f) Second line terapi ART (Federal ministry of health, 2010).
Boosted protease inhibitor (bPI) + 2 NRTI direkomendasikan untuk
second line terapi.
ATV/r dan LPV/r adalah bPI yang lebih disukai untuk second line
terapi.
Penyederhanaan dari pilihan kedua NRTI yang direkomendasikan:
o Jika d4T atau AZT telah digunakan diterapi pertama, gunakan TDF
+ (3TC atau FTC) sebagai NRTI yang kuat dalam terapi second line.
o Jika TDF telah digunakan diterapi pertama, gunakan AZT + 3TC
sebagai NRTI yang kuat dalam terapi second line.
Populasi target Pilihan terapi
Jika d4T atau AZT
Dewasa dan digunakan di terapi first TDF + 3TC or FTC + ATV/r or LPVr
remaja (termasuk line
wanita hamil) Jika TDF digunakan di
AZT + 3TC + ATV/r or LPVr
terapi first line
Regimennya sama dengan yang
Jika tersedia *rifabutin
direkomendasikan untuk remaja dan dewasa
NRTI yang direkomendasikan sama dengan
seperti ntuk remaja dan dewasadan remaja
TB/HIV
Jika tidak tersedia ditambah LPVr atau SQVr dengan dosis
coinfection
rifabutin superboostes dari RTV.
(LPV/r 400 mg/400 mg twice daily or
LPV/r 800 mg/200 mg twice daily or
SQV/r 400 mg/400 mg twice daily)
AZT + TDF + 3TC or FTC + ATV/r or
Hepatitis B coinfection
LPVr
* ketika menggunakan ATV/r atau LPVr, rifabutin harus dalam dosis 150 mg qod
atau 3x/minggu.

34
g) Salvage therapy (Federal ministry of health, 2010).
Terjadi ketika terjadi kegagalan terapi dari Second line terapi dan tidak
ada respon terhadap regimen yang ada. Rekomendasi salvage therapy:
DRV/r+RAL dengan dipertimbangkannya latarbelakang pengoptimalan NRTIs
yang mana harus memasukkan 3TC/FTC. Pada kasus pasien dengan kondisi
tidak tersedia Salvage therapy, maka pasien harus melanjutkan dengan
pengoptimalan regimen second line terapi.
h) Substitusi obat antiretroviral (Federal ministry of health, 2010).
Substitusi merupakan penggantian 1 atau 2 obat ARV dalam regimen
dengan obat lainnya dalam kelas yang sama, biasanya dikarenakan situasi
sebagai berikut:
Toksisitas obat atau timbulnya reaksi merugikan dari obat
Kehamilan, perhatian biasanya di trimester awal kehamilan dimana
substitusi dari efavirenz dengan Nevirapine dibutuhkan untuk menghindari
kejadian teratogenik.
Kegagalan terapi, diklasifikasikan menjadi sebagai: Virologic failure,
Immunologic failure, Clinical failure. Penyebab kegagalan terapi
diantaranya adalah sebagai berikut:
o Faktor virus. Mutasi yang menyebabkan resistensi obat
o Resistensi obat. Pasien yang tidak patuh dalam terapi antivirus dapat
mengalami resistensi obat yang disebabkan mutasi virus.
o Terjangkit virus resisten obat. Pasien dapat terinfeksi virus yang resisten
obat sejak awal paparan atau infeksi ulang virus.
o Faktor non virus. Kegagalan terapi mungkin karena:
Host factors: kepatuhan yang buruk, malnutrisi, malabsorpsi
Pemilihan regimen ART awal: kurang poten atau dosis yang tidak
tepat
Interaksi obat
Kegagalan sistem imun
i) Monitoring dan follow-up (Federal ministry of health, 2010).
Klinisi dan pasien harus setuju untuk menepati jadwal untuk
memonitoring perkembangan penyakit mulai dari memulai terapi dan selama
terapi dengan ART. Ketika terapi dimulai, penilaian mencakup: tanda dan

35
gejala yang berhubungan dengan kondisi HIV dan potensi toksisitas obat,
kepatuhan, respon terhadap terapi, berat badan, monitoring parameter
laboratorium (seperti: RNA HIV, CD4+, Hb/PCV, sel darah putih, platelet,
ALT, kreatinin, dll).

f. Tanaman yang memiliki aktvitas sebagai antivirus HIV (Kanta dkk., 2011)
No. Tanaman Senyawa berkhasiat Mekanisme aksi
1. Andrographis andrographolide Menghambat enzim protease dan
paniculata reverse transcriptase HIV.
Menghambat sel yang terinfeksi
dari fase G2 dimana replikasi virus
optimal.
2. Galanthus nivalis Aglutinin G.nivalis Inhibitor yang kuat untuk
menghambat penyebaran virus antar
Hippeastrum hybrids Aglutinin, dan monocot limfosit dengan targetnya adalah
mannose-binding lectins gp120 envelope plycoprotein.
(MBLs)
3. Rhus succedanea L. Biflavonoid, Inhibitor kuat untuk enzim
robustaflavon, dan polimerase dari HIV-1
hinokiflavon
4. Ancistrocladus Michellamines A dan B Menghambat reverse transcriptase
korupensis di tahap awa siklus hidup HIV dan
di tahap lanjut dengan menghambat
fusi sel dan tranformasi syncytium
5. Rauwolfia serpentina Papaverine Menghambat reverse transcriptase
dan pertumbuhan sel
6. Achyrocline 3,5-asam dikafeoilquinik Menghambat enzim integrase HIV-
satureioides 1 secara kuat dan irreversible
7. Arctium lappa Wedelolactone (turunan Menghambat replikasi HIV-1,
kumarin), orobol memblokade transmisi HIV antar
sel.
8. Arnebia euchroma Monosodium dan Menghambat aktivitas replikasi
(Royle) Jonst monopotasium salts dari HIV
isomer tetramer asam
kafeat
9. Terminalia arjuna Ekstrak kulit batang Menghambat enzim protease HIV
Humulus lupulus Santohumol Menghambat aktivitas HIV-1
dengan efek seperti menginduksi
cytopathic HIV-1, produksi antigen
p24 virus dan reverse transcriptase
dalam limfosit C8166
10. Callophyllum Cordatolide A dan B Menghambat aktivitas HIV-1
11. Cordatooblongum (+)-calanolide A Replikasi
12. Marila laxiflora Laxofloranone Menghambat efek cytophatic HIV-1
dalam sel line T, termasuk sel
CEM-SS dan sel MT-2

36
13. Symphoniag Guttiferone A Menghambat reverse transcriptase
globulifera dengan aktivitas yang kuat
menghambat aktivitas HIV-1
14. Hypericum Hypericin, 3-hydroxy Menghambat efek cytopathic HIV
perforatum L. lauric acid secara in vitro,menghambat
replikasi HIV, aktivitas anti-HIV
dengan sedikit atau tidak ada
aktivitas sitotoksik.
15. Monotes africanus Prenylated flavonoids, Memblok replikasi HIV-1 di tahap
Vatica astrotricha 6,8 masuknya virus.
diprenylaromadendrin
dan 6,8
diprenylkaempferol
Prostatrin, 12-
deoksiforbol
16. Peltophorum Gallotanin Menghambat aktivitas RNA-
africanum dependent-DNA polymerase dari
HIV-1 reverse transcriptase,
menghambat aktivitas ribonuklease
H dari reverse transcriptase
17. Hypericum Hiperisin dan Mengganggu berkumpulnya virion
perforatum pseudohiperisin dan penyebarannya, berinteraksi
dengan proviral DNA integration,
mencegah penyebaran virus dan
budding.
18. Mellisa officinalis Asam rosmarinat Menghambat virion HIV-
1membawa X4 dan R5 HIV-1 yang
berbeda. Menghambat fusi dari
partikel HIV-1dengan sel inang.
19. Eugenia Tanin eugenin, Menghambat fusi virus-sel, dan
caryophyllata T. kasuariktin, menghambat formasi syncytium.
telimagrandin, kromones
biflorin dan isobliforin
20. Areca catechu Prosianidin, arecatanin Menghambat enzim protease HIV
B1
21. Flammulina velutipes Velutin Menghambat reverse transcriptase
HIV-1
22. Cephaelisipecacuanha Psychotrine O- Menghambat reverse transcriptase
methylpsychotrine HIV-1
23. Crataegus pinatifida Uvaol dan ursolic acid Menghambat aktivitas protease
HIV-1

37
DAFTAR PUSTAKA

Acheson, N. H., Witt, K., Palumbo, M., Morris, L., & Soo, J. (2011).
FUNDAMENTALS OF MOLECULAR VIROLOGY.

Anonim. (2016). Final Laporan HIV AIDS TW 1 2016. Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia.

Butt, S., Suligoi, B., & Fanales-belasio, E. (2010). Laboratory diagnostics for HIV
infection. ANN IST SUPER SANIT, 46(1), 2433.

Centers for Disease Control and Prevention. HIV/AIDS (available


from:https://www.cdc.gov/hiv/testing/.2017. Diakses pada tanggal 16 Mei 2017.

Federal Ministry Of Health. (2010). NATIONAL GUIDELINES FOR HIV AND AIDS
TREATMENT AND CARE IN ADOLESCENTS AND ADULTS. Federal
Ministry of Health.

Fletcher, M., Miguez-burbano, M. J., Shor-posner, G., Lopez, V., Lai, H., & Baum, M.
K. (2000). Diagnosis of Human Immunodeficiency Virus Infection Using an
Immunoglobulin E-Based Assay. CLIN.DIAGN.LAB.IMMUNOL., 7(1), 5557.

Indrati, A.R., Meijerink, H., Garna, H., Alisjahbana, B., Parwati, I., (2012). Human
immunodeficiency virus coreceptor ccr5 and cxcr4 expression on lymphocyte t
subset and monocyte. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory. 18 (2). Abstract.

Kanta, V., Unnati, S., & Ritu, M. (2011). ISSN 2229-3566 Review Article A REVIEW
ON: AIDS AND HERBAL REMEDIES. IJRAP, 2(6), 17091713.

Kumar, V., Abbas, AK., Aster, JC., Robbins Basic Pathology, 9th edition.Canada:
Elsevier; 2013.

Maartens, G., Celum, C., Lewin, S. R., Town, C., & Africa, S. (2014). Seminar HIV
infection: epidemiology, pathogenesis, treatment, and prevention. The Lancet, (14),
114.

Mohammed, I., & Nasidi, A. (2005). THE PATHOPHYSIOLOGY AND CLINICAL


MANIFESTATIONS OF HIV/AIDS.

Sherwood, L. (2013). Human physiology from cells to systems, eight edition.

WHO. (2005). INTERIM WHO CLINICAL STAGING OF HIV/AIDS AND


HIV/AIDS CASE DEFINITIONS FOR SURVEILLANCE. World Health
Organization.

38

Anda mungkin juga menyukai