Pertanyaan:
Jawaban:
Obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah golongan diuretik tiazid (misalnya
bendroflumetiazid), betabloker, (misalnya propanolol, atenolol,) penghambat
angiotensin converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis angiotensin II
(misalnya candesartan, losartan), calcium channel blocker (misalnya amlodipin,
nifedipin) dan alpha blocker (misalnya doksasozin).
(mg/hari) pemberian
Bumetanide
Furosemide 0.5-4 2 Pemberian pagi dan sore untuk
Loop Torsemide 20-80 2 mencegah diuresis malam hari;
5 1 dosis lebih tinggi mungkin
a. Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretik dengan potensi menengah yang menurunkan
tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal
tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga
5
mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat
mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada
pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati.
Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 12 jam setelah pemberian dan
bertahan sampai 1224 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek
antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan
manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek
tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu
tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Peningkatan
eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia, hipo natriemi,
dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi
kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan
hiperurisemia, sehingga pewnggunaan tiazid pada pasien gout harus hatihati.
Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap insulin)
yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2..
b. Beta-blocker
Beta blocker memblok betaadrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan
menjadi reseptor beta1 dan beta2. Reseptor beta1 terutama terdapat pada jantung
sedangkan reseptor beta2 banyak ditemukan di paruparu, pembuluh darah perifer,
dan otot lurik. Reseptor beta2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan
reseptor beta1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat
ditemukan di otak.
Betablocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta
blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta1, tetapi tidak spesifik
untuk reseptor beta1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan
riwayat asma dan bronkhospasma harus hati hati. Betablocker yang nonselektif
(misalnya propanolol) memblok reseptor beta1 dan beta 2.
Betablocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai
aktivitas simpatomimetik intrinsik), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulan
beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan
memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat
6
berolah raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang
hari. Beberapa betablocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek
adrenoseptor alfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis
beta2 atau vasodilator.
Betablocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan
obat dalam air atau lipid. Obatobat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus
diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal
biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali
dalam sehari. Betablocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus
secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi
fenomena rebound.
Efek Samping Blokade reseptor beta2 pada bronkhi dapat mengakibatkan
bronkhospasme, bahkan jika digunakan betabloker kardioselektif. Efek samping
lain adalah bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tangakaki terasa dingin
karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta2 pada otot polos pembuluh
darah perifer.
c. ACE Inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif,
yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan
otak. Angitensin II merupakan vasokonstriktor kuat yang memacu penglepasan
aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan
angiotensin II ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensinrenin
aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi
diuretik) efek antihipertensi ACEI akan lebih besar.
ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin,
yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan
menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat.Beberapa perbedaan pada
parameter farmakokinetik obat ACEI. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai
durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang
pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEI harus
7
diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin
terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.
d. Antagonis Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai
respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan
aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor
AT2 masih belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin
I menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem
reninangitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan pemberianantagonis
reseptor angiotensin II mungkin bermanfaat.
Efek Samping ACEI dan AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia karena
menurunkan produksi aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan penggunaan
diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapi ACEI atau
AIIRA. Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang merupakan
efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi. AIIRA
tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegradasi bradikinin.
8
Efek Samping pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan
pergelangan kaki sering dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin.
Nyeri abdomendan mual juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh
oleh influks ion kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan
gastrointestinal, termasuk konstipasi.
f. Alpha-Blocker
Alphablocker (penghambat adrenoseptor alfa1) memblok adrenoseptor
alfa1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos
pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten. Efek samping
Alphablocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada
pemberian dosis pertama kali. Alphablocker bermanfaat untuk pasien lakilaki
lanjut usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.
Obat-obatan yang boleh diberikan pada Ibu hamil adalah obat-obatan yang
berkategori A atau B dan minimal kategori C. Dengan ketentuan sebagai berikut :
Kategori A: penelitian pada manusia di trimester 1 tidak menunjukan kelainan
terhadap janin (belum ada bukti pada trimester 2 dan 3). Kategori A = Aman
untuk janin.
Kategori B: penelitian pada hewan percobaan tidak menunjukan efek terhadap
janin dan penelitian pada manusia masih belum menunjukan bukti yang jelas.
Atau, pada hewan percobaan menunjukan kelainan janin, sedangkan pada
manusia tidak menunjukan kelainan janin sama sekali di semua trimester.
Kategori B = Cukup aman untuk janin.
Kategori C: penelitian pada hewan percobaan menunjukan kelainan janin, tetapi
pada manusia belum menunjukan bukti yang jelas. Tetapi manfaat obat lebih
tinggi dibandingkan potensial resiko yang terjadi. Kategori C = Digunakan jika
perlu, kemungkinan bisa ada efek samping pada janin.
Kategori D: penelitian pada manusia menunjukan bukti kelainan yang jelas pada
janin. Tetapi manfaat obat lebih tinggi dibandingkan potensi resiko yang terjadi.
Kategori D = Digunakan jika darurat, bisa terjadi efek samping pada janin.
9
Kategori X: penelitian pada manusia menunjukan kelainan pada janin. Dan
tingkat bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Kategori X = Tidak pernah
digunakan dan sangat berbahaya bagi janin.
Pilihan obat hipertensi yang dapat diberikan pada ibu hamil, yaitu:
a. Nifedipin
Berasal dari golongan Calsium Channel Blocker (CCB), merupakan obat
berkategori kemananan C. Nifedipin bekerja menghambat arus ion kalsium
melewati membrane sel pada pembuluh darah koroner dan sistemik otot halus dan
miokard yang akan meningkatkan CO (Cardiac Output), sehingga akan
menurunkan resistensi pembuluh darah perifer.
Dengan bioavailibitas = 50% dosis oral diserap dengan konsentrasi plasma
puncak dicapai dalam waktu 0,5-2 jam (waktu paruh sekitar 2 jam). Onset =
penurunan max TD pada 4-6 jam. Durasi = efek hipotensi bertahan 24-48 jam.
Dimetabolisme di hati oleh CYP isoenzim, termasuk CYP3A. Dieliminasi melalui
urin (60-80%) sisanya melalui feces. Dosis yang dapat diberikan 10-20 mg caps,
diulangi setelah 30 menit, max 120 mg dalam 24 jam. Terdapat efek samping yang
timbul, yaitu pusing, sakit kepala, muka merah, edema kaki, ruam kulit, mual,
sering urinasi. Kontraindikasi:hipersensitif thd nifedipin, syok kardiogenik,stenosis
aorta.
b. -Metildopa
Metildopa merupakan obat pilihan utama karena memiliki golongan
keamanan obat tingkat A. Metildopa berguna untuk hipertensi kronik pada
kehamilan (tekanan diastolik lebih dari 110 mmHg) yang dapat menstabilkan aliran
darah uteroplasenta dan hemodinamik janin. Obat ini termasuk golongan 2-agonis
sentral yang mempunyai mekanisme kerja dengan menstimulasi reseptor 2-
adrenergik di otak. Stimulasi ini akan mengurangi aliran simpatik dari pusat
vasomotor di otak. Pengurangan aktivitas simpatik dengan perubahan parasimpatik
akan menurunkan denyut jantung, cardiac output, resistensi perifer, aktivitas renin
plasma, dan refleks baroreseptor. Metildopa aman bagi ibu dan anak, dimana telah
digunakan dalam jangka waktu yang lama dan belum ada laporan efek samping
10
pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Metildopa memiliki faktor resiko B
pada kehamilan.
Nama Dagang : Dopamet (Alpharma) tablet salut selaput 250 mg, Medopa
(Armoxindo) tablet salut selaput 250 mg, Tensipas (Kalbe Farma) tablet salut
selaput 125 mg, 250 mg, Hyperpax (Soho) tablet salut selaput 100 mg. Indikasi :
Hipertensi, bersama dengan diuretika, krisis hipertensi jika tidak diperlukan efek
segera. Kontraindikasi : Depresi, penyakit hati aktif, feokromositoma, porfiria, dan
hipersensitifitas. Efek samping : mulut kering, sedasi, depresi, mengantuk, diare,
retensi cairan, kerusakan hati, anemia hemolitika, sindrom mirip lupus
eritematosus, parkinsonismus, ruam kulit, dan hidung tersumbat.
Peringatan : mempengaruhi hasil uji laboratorium, menurunkan dosis awal
pada gagal ginjal, disarankan untuk melaksanakan hitung darah dan uji fungsi hati,
riwayat depresi. Dosis dan aturan pakai : oral 250mg 2 kali sehari setelah makan,
dosis maksimal 4g/hari, infus intravena 250-500 mg diulangi setelah enam jam jika
diperlukan.
c. Labetalol
Labetalol merupakan antihipertensi berkategori keamanan C yang bekerja
non kardioselektif menghambat beta lebih dominan dibandingkan antagonis alfa.
Melalui penggunaan labetalol, tekanan darah dapat diturunkan dengan
pengurangan tahanan sistemik vaskular tanpa perubahan curah jantung maupun
frekuensi jantung yang nyata sehingga hipotensi yang terjadi kurang disertai efek
takikardia. Selain itu, labetalol juga dapat melakukan blokade terhadap efek
takikardia neonates yang disebabkan oleh terapi beta bloker pada ibu . Sehingga
labetalol dapat dikatakan sebagai obat alternative yang lebih aman dan efektif
diberikan pada kehamilan.
Pemberian labetalol dapat secara oral maupun injeksi bolus intravena. Dosis
oral harian labetalol berkisar dari 200-2400 mg/hari dengan dosis awal 2 x 100 mg.
Dosis pemeliharaan biasanya 2 x 200-400 mg/hari. Akan tetapi pada pasien dengan
hipertensi gawat, dosis dapat mencapai 1,2 hingga 2,4 gram/hari.
Labetalol sebagai suntikan bolus intravena secara berulang-ulang 20-80 mg
untuk mengobati hipertensi gawat. Mabie, dkk (1987) memberikan labetalol 10 mg
IV sebagai dosis awal. Apabila tekanan darah tidak berkurang dalam waktu 10
11
menit, pasien diberi 20 mg. Dalam 10 menit berikutnya adalah 40 mg yang diikuti
40 mg dan kemudian 80 mg apabila belum tercapai respon yang bermanfaat.
Sedangkan The Working Group (2000)merekomendasikan bolus 20 mg IV sebagai
dosis awal. Apabila tidak efektif dalam 10 menit, dosis dilanjutkan dengan 40 mg,
kemudian 80 mg setiap 10 menit, hingga dosis total sebanyak 220 mg.
Efek samping yang sering timbul adalah kelelahan, lemah, sakit kepala, diare,
edema, mata kering, gatal pada kulit kepala dan seluruh tubuh serta susah tidur.
Hipotensi postural juga dapat terjadi akan tetapi sangat jarang.
Atau dengan tidak adanya proteinuria, hipertensi onset baru dengan onset baru
dari salah satu dari berikut ini:
Trombositopenia
Jumlah trombosit kurang dari 100.000 / microliter.
12
Insufisiensi ginjal
Konsentrasi kreatinin serum lebih besar dari 1,1 mg / dL atau dua kali
lipat konsentrasi kreatinin serum jika tidak ada penyakit ginjal lainnya.
Gangguan fungsi hati
Peningkatan konsentrasi darah transaminase hati sampai dua kali
konsentrasi normal.
Edema paru
Gejala serebral atau visual
13
Daftar Pustaka
14