PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak beberapa waktu terakhir ini masyarakat semakin menyadari pentingnya
upaya mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup. Di antara masalah-masalah
lingkungan yang banyak mendapat perhatian publik adalah menipisnya sumber daya
alam dan tingginya pencemaran. Hal tersebut menyebabkan penurunan kualitas
lingkungan. Jika masalahmasalah tersebut tidak segera diatasi dapat mengancam
kelangsungan pembangunan nasional di bidang lingkungan hidup. Salah satu
penyebab terjadinya penurunan kualitas lingkungan adalah karena adanya limbah
yang ada disekitar kita.
Salah satu sumber limbah yang dapat ditemui yaitu limbah dari rumah sakit.
Kegiatan rumah sakit mempunyai potensi menghasilkan limbah yang dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup. Limbah rumah sakit dengan definisi
yang lebih luas dengan mengacu pada semua limbah yang dihasilkan oleh rumah
sakit, baik itu limbah yang menular dan yang tidak menular, limbah infeksius, limbah
kimia dan limbah yang tidak berbahaya
Oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan limbah secara ketat berdasarkan
jenis limbahnya, pengendalian terhadap pembuangan limbah dari rumah sakit yang
dibuang ke lingkungan. Sehingga sangat perlu mengurangi pencemaran tersebut
dengan pengelolaan limbah yang baik dan sesuai peraturan perundang-undangan agar
tidak menyebar ke lingkungan.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui konsep proses cradle to grave pada limbah rumah sakit
2. Mengetahui Sistem Pengolalaan dan Buangan Limbah B3 pada Rumah
Sakit
3. Me-review pelaksanaan peraturan tentang pengoperasian IPAL dan
Insinerator di Rumah Sakit berdasarkan jurnal nasional dan
internasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Mengingat dampak yang mungkin
timbul, maka diperlukan upaya pengelolaan yang baik meliputi alat dan sarana,
keuangan dan tatalaksana pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan
memperoleh kondisi rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan
lingkungan.
Limbah rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme
bergantung pada jenis runah sakit. Limbah cair rumah sakit dapat mengandung
bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dengan parameter BOD, COD,
TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah sakit terdiri atas sampah mudah
membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah-limbah tersebut
kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun
berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan
rumah sakit yang disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang kurang
memadai, kesalahan penanganan bahan-bahan terkontaminasi dan peralatan, serta
penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masib buruk.
Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika
dilakukan dengan memilah-milah limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk
masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda.
Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari
risiko kontaminsai dan trauma (injury)
2.3.1 Jenis jenis limbah rumah sakit
1. Limbah Klinik. Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin,
pembedahan dan di unit-unit risiko tinggi. Limbah ini berbahaya dan
mengakibatkan infeksi kuman. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas
sebagai risiko tinggi. Contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau
pembungkus yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-
jarum dan semprit bekas, kantung urin, dan produk darah.
2. Limbah Patologi. Limbah ini juga dianggap berisiko tinggi dan sebaiknya
diotoklave sebelum keluar dari unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label
biohazard.
3. Limbah bukan Klinik. Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau
kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak
menimbulkan risiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena
memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan membuangnya.
4. Limbah Dapur. Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor yang
bukan berasal dari tempat-tempat penghasil limbah infeksius.
5. Limbah Radioaktif. Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan
pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangannya secara aman perlu diatur
dengan baik.
2.3.2 Limbah
Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 9 tahun 1990 tentang
Pokok-pokok Kesehatan, setiap warga berhak memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk
menyelenggarakan kegiatan yang berupa pencegahan dan pemberantasan penyakit,
pencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan
pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
Upaya perbaikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai
macam cara, yaitu pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan
lingkungan, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan serta
pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, perlindungan terhadap bahaya
pencemaran lingkungan juga perlu diberi perhatian khusus.
Rumah sakit merupakan sarana upaya perbaikan kesehatan yang
melaksanakan pelayanan kesehatan dan dapat dimanfaatkan pula sebagai lembaga
pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Pelayanan kesehatan yang dilakukan
rumah sakit berupa kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan cacat
badan serta jiwa.
Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa
benda cair, padat dan gas. Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari
kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah
sakit. Unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah
sakit (termasuk pengelolaan limbahnya), yaitu: pemrakarsa atau penanggung jawab
rumah sakit, pengguna jasa pelayanan rumah sakit, para ahli, pakar dan lembaga
yang dapat memberikan saran-saran, serta para pengusaha dan swasta yang dapat
menyediakan sarana dan fasilitas yang diperlukan.
Upaya pengelolaan limbah rumah sakit telah dilaksanakan dengan
menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-
pedoman dan kebijakan-kebijakan yang mengatur pengelolaan dan peningkatan
kesehatan di lingkungan rumah sakit. Di samping itu secara bertahap dan
berkesinambungan Departemen Kesehatan mengupayakan instalasi pengelolaan
limbah rumah sakit. Sehingga sampai saat ini sebagian rumah sakit pemerintah telah
dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limbah, meskipun perlu untuk
disempurnakan. Namun harus disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih
perlu ditingkatkan lagi.
2.3.3 Upaya pengolahan limbah rumah sakit
Limbah cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakit umumnya banyak
mengandung bakteri, virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat
membahayakan bagi kesehatan masyarakat sekitar rumah sakit tersebut. Dari sekian
banyak sumber limbah di rumah sakit, limbah dari laboratorium paling perlu
diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses uji laboratorium tidak
bisa diurai hanya dengan aerasi atau activated sludge. Bahan-bahan itu mengandung
logam berat dan inveksikus, sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum
"dilempar" menjadi limbah tak berbahaya. Untuk foto rontgen misalnya, ada cairan
tertentu yang mengandung radioaktif yang cukup berbahaya. Setelah bahan ini
digunakan, limbahnya dibuang.
Proses ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu. Proses
ozonisasi atau proses dengan menggunakan ozon pertama kali diperkenalkan Nies
dari Prancis sebagai metode sterilisasi pada air minum pada tahun 1906. Penggunaan
proses ozonisasi kemudian berkembang sangat pesat. Dalam kurun waktu kurang
dari 20 tahun terdapat kurang lebih 300 lokasi pengolahan air minum menggunakan
ozonisasi untuk proses sterilisasinya di Amerika.
Dewasa ini, metoda ozonisasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi
bahan makanan, pencucian peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara pada
ruangan kerja di perkantoran. Luasnya penggunaan ozon ini tidak terlepas dari sifat
ozon yang dikenal memiliki sifat radikal (mudah bereaksi dengan senyawa
disekitarnya) serta memiliki oksidasi potential 2.07 V. Selain itu, ozon telah dapat
dengan mudah dibuat dengan menggunakan plasma seperti corona discharge.
Melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam
mikroorganisma seperti bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis, Hepatitis A
Virus serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya (Crites, 1998). Melalui proses
oksidasi langsung ozon akan merusak dinding bagian luar sel mikroorganisma (cell
lysis) sekaligus membunuhnya. Juga melalui proses oksidasi oleh radikal bebas
seperti hydrogen peroxy (HO2) dan hidroksil radikal/hydroxyl radical (-OH) yang
terbentuk ketika ozon terurai dalam air. Seiring dengan perkembangan teknologi,
dewasa ini ozon mulai banyak diaplikasikan dalam mengolah limbah cair domestik
dan industri.
Limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan laboratorium, dapur,
laundry, toilet, dan lain sebagainya dikumpulkan pada sebuah kolam equalisasi lalu
dipompakan ke tangki reaktor untuk dicampurkan dengan gas ozon. Gas ozon yang
masuk dalam tangki reaktor bereaksi mengoksidasi senyawa organik dan membunuh
bakteri patogen pada limbah cair.
Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tangki koagulasi
untuk dicampurkan koagulan. Lantas proses sedimentasi pada tangki berikutnya.
Pada proses ini, polutan mikro, logam berat dan lain-lain sisa hasil proses oksidasi
dalam tangki reaktor dapat diendapkan.
Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi. Pada tangki ini
terjadi proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat-zat pollutan yang terlewatkan
pada proses koagulasi. Zat-zat polutan akan dihilangkan permukaan karbon aktif.
Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, atau tidak mampu lagi
menyerap maka proses penyerapan akan berhenti, dan pada saat ini karbon aktif
harus diganti dengan karbon aktif baru atau didaur ulang dengan cara dicuci. Air
yang keluar dari filter karbon aktif untuk selanjutnya dapat dibuang dengan aman ke
sungai.Ozon akan larut dalam air untuk menghasilkan hydroxyl radical (-OH),
sebuah radikal bebas yang memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V),
jauh melebihi ozon (1.7 V), dan chlorine (1.36 V). Hidroksil radikal adalah bahan
oksidator yang dapat mengoksidasi berbagai senyawa organik (fenol, pestisida,
atrazine, TNT, dan sebagainya). Sebagai contoh, fenol yang teroksidasi oleh
hidroksil radikal akan berubah menjadi hydroquinone, resorcinol, cathecol untuk
kemudian teroksidasi kembali menjadi asam oxalic dan asam formic, senyawa
organik asam yang lebih kecil yang mudah teroksidasi dengan kandungan oksigen
yang di sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari proses oksidasi hanya akan didapatkan
karbon dioksida dan air.
Hidroksil radikal berkekuatan untuk mengoksidasi senyawa organik juga
dapat dipergunakan dalam proses sterilisasi berbagai jenis mikroorganisma,
menghilangkan bau, dan menghilangkan warna pada limbah cair. Dengan demikian
akan dapat mengoksidasi senyawa organik serta membunuh bakteri patogen, yang
banyak terkandung dalam limbah cair rumah sakit.
Pada saringan karbon aktif akan terjadi proses adsorpsi, yaitu proses
penyerapan zat-zat yang akan diserap oleh permukaan karbon aktif. Apabila seluruh
permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, proses penyerapan akan berhenti. Maka,
karbon aktif harus diganti baru atau didaur ulang dengan cara dicuci.
Dalam aplikasi sistem ozonisasi sering dikombinasikan dengan lampu
ultraviolet atau hidrogen peroksida. Dengan melakukan kombinasi ini akan
didapatkan dengan mudah hidroksil radikal dalam air yang sangat dibutuhkan dalam
proses oksidasi senyawa organik. Teknologi oksidasi ini tidak hanya dapat
menguraikan senyawa kimia beracun yang berada dalam air, tapi juga sekaligus
menghilangkannya sehingga limbah padat (sludge) dapat diminimalisasi hingga
mendekati 100%. Dengan pemanfaatan sistem ozonisasi ini dapat pihak rumah sakit
tidak hanya dapat mengolah limbahnya tapi juga akan dapat menggunakan kembali
air limbah yang telah terproses (daur ulang). Teknologi ini, selain efisiensi waktu
juga cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat instalasi yang luas.
Kebijakan Lingkungan dan SOP Rumah Sakit Pupuk Kaltim pada intinya
mengadopsi dari :Peraturan Mentri Kesehatan No. 986 .Tahun 1998, junto Keputusan
Mentri Kesehatan No.1204.Tahun 2004 tentang, Persyaratan Penyehatan Lingkungan
Rumah Sakit.
o Rumah Sakit Pupuk Kaltim bertekad memperkecil dampak negatif yang timbul
dari aktifitas pelayanan kesehatan dan ffasilitas pendukungnya serta
meningkatkan efisiansi melalui perbaikan yang berkelanjutan dengan
memperhatikan keterbatasan tehnologi,organisasi dan finansial.
o Rumah Sakit Pupuk Kaltim melaksanakan,menjaga dan memperbaiki sistem
pengelolaan lingkungan,memonitor,mendokumentasikan dan melaporkan kondisi
lingkungannya secara kesinambungan.
o Rumah Sakit Pupuk Kaltim bertekat mematuhi peraturan-peraturan lingkungan
yang berlaku,baik lokal maupun nasional dan berupaya memenuhi standar
lingkungan internasional.
o Rumah Sakit Pupuk Kaltim bersedia untuk bekerjasama dengan organisasi lain
seperti institusi pendidikan atau lembaga penelitian untuk melakukan upaya-
upaya melindungi lingkungan sekitar.
o Rumah Sakit Pupuk Kaltim berniat untuk meningkatkan kesadaran karyawan
terhadap kebijakan lingkungan,dampak lingkungan dari aktivitas kegiatan
masing-masing,dan masalah lingkungan pada umumnya.
o Rumah Sakit Pupuk Kaltim merealisasikan kebijakan lingkungan melalui sasaran
dan target yang dkaji ulang oleh manajemen secara berkala.
o Rumah Sakit Pupuk Kaltim memberlakukan kebijakan lingkungan perusahaan ini
secara terbuka.
No:Kep-03/BAPEDAL/09/1995
Pada dasarnya, keberadaan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) adalah
untuk mengolah air limbah sehingga memenuhi persyaratan baku mutu limbah. cair
Rumah Sakit Pupuk Kaltim.
Kondisi kualitas influen dan efluen limbah cair dari IPAL tersebut seharusnya
dipantau secara terus menerus dan didokumentasikan, karena pemantauan kualitas
influen dan efluen tersebut harus dilakukan oleh suatu badan yang independen dan
berwenang yang mahal biayanya, maka perlu dicarikan alternatif-alternatif
pemantauan secara terus menerus tetapi murah biayanya dan dapat dipercaya. Di
Provinsi Kalimantan Timur, baku mutu air limbah rumah sakit adalah seperti yang
tercantum pada Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 26 tahun 2002
(Lampiran I Nomor 27 tentang Baku Mutu Limbah Cair Rumah Sakit).
BAB III
METODE DAN TAHAPAN PENGELOLAAN
19
3. Unit unit penghasil limbah padat infeksius
Sumber limbah padat infeksius Rumah Sakit Pupuk Kaltim adalah Unit
Gawat Darurat,Unit Laboratorium,ICU, Unit Kamar Operasi ,Unit Kamar Bersalin .
Adapun jenis dan jumlahnya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Sumber Limbah Padat Infeksius di Rumah Sakit Pupuk Kaltim
Tabel 6 memperlihatkan bahwa total limbah padat harian rata-rata rumah sakit adalah
sebanyak 38,9 kg. Terbanyak adalah limbah yang dihasilkan unit perawatan
sebanyak 18,9 kg dan tersedikit di unit laboratorium sebanyak 2,5 kg. Dengan jenis
sampah terbanyak berupa limbah alat kesehatan disposible. Sementara itu unit kamar
bersalin dan kamar operasi membuang limbah padat berupa sisa darah, jaringan
tubuh manusia dan pembalut wanita.
20
penuh dikeluarkan dari ruangan oleh cleaner ruangan dan di masukan dalam bak
penampungan (drum warna kuning).
b. Penampungan
Limbah padat infeksius dari unit penghasil dikumpulkan di bak
penampungan di luar (drum warna kuning dan dilapisi kantung plastik besar) untuk
selanjutnya diambil oleh petugas sampah sesuai jadwal pengambilan.Waktu tinggal
limbah yang terlama pada penampungan limbah sementara sebelum dibakar di
incenerator kurang lebih 8-9 jam, menurut peraturan dari Departemen Kesehatan
penampungan sementara maksimal 24 jam. Jadi waktu tinggal di penampungan di
Rumah Sakit Pupuk Kaltim masih dalam batas kewajaran.
Pemisahan dan pengurangan limbah yang sejenis dan reduksi volume limbah
merupakan persyaratan keamanan yang penting bagi petugas pembuang sampah.
Sarana penampungan limbah infeksius harus memadai baik letak, maupun
hygienisnya.Untuk memudahkan dalam penanganan limbah dirumah sakit perlu
dibedakan dengan adanya standart secara nasional kode warna dan identifikasi
kantong dan kontainer limbah ;
Tabel : 9. Kategori limbah /sampah dan warna kantong untuk pemisahan
Limbah dari sumbernya.
c. Pengangkutan
21
Limbah padat infeksius dari tempat penampungan diangkut oleh petugas
pengangkut sampah dengan menggunakan kereta sampah dengan kapasitas 1 m3,
terbuat dari kayu yang dilapisi alumunium dengan tutup, melewati unit unit kerja
mulai dari apotik, poli rawat jalan, KIA, UGD, OK, ICU, Laboratorim, Perawatan,
dan penampungan sementara di dekat insinerator.
Dari hasil pengamatan didapat kuman yang patogen diudara yang terbanyak
di daerah UGD, Perawatan, dan KIA maka untuk mengurang infeksi lewat udara
oleh bakteri yang ada di limbah yang diangkut melalui daerahdaerah tersebut jalur
pengengkutan tidak bersama jalur pasien. Dari hasil pengamatan jenis kuman dan
koloni kuman tidak terjadi penyebaran kuman patogen ke daerah unit kerja lain oleh
karena jenis kuman berbeda pada unit unit kerja.
Adapun jadwal pengangkutan sampahnya dapat dilihat pada Tabel 10 sebagai
berikut:
Menimbang dan
Jam. 08.30 ditampung
22
Tabel : 11. Hasil Uji laboratorium pada insinerator Rumah Sakit Pupuk Kaltim
dibandingkan dengan Baku Mutu Emisi Udara Keputusan KABAPELDA
No:Kep-03/BAPEDAL/09/1995
Debu partikel di atas batas maksimum yang diperbolehkan hal ini mendapat
penjelasan dari penanggung jawab pengoperasian insinerator Rumah Sakit Pupuk
Kaltim adalah sebagai berikut : karena Scuber insinerator masih memakai sistem
manual dan hal tersebut dapat diminimalkan/dihilangkan dengan di tambahkan
pompa air untuk menaikan tekanan dan sruber dibuat pengkabutan (uap air) sehingga
partikel yang ukurannya lebih kecil bisa tertangkap dan tidak lolos ke udara.
23
sampai ke IPAL dan selanjutnya dibuang ke bandan air. Dengan demikian limbah
Rumah Sakit Pupuk Kaltim setelah melalui pengolahan menjadi aman untuk di
buang ke lingkungan.
Tabel 12. Tata Letak dan Alur Aliran Limbah Cair RS. Pupuk Kaltim
sampai ke Badan Air
Berdasarkan tata letak dan alur aliran limbah cair Rumah Sakit Pupuk Kaltim
penjelasanya adalah sebagai berikut:
1. Septic Tank 1 berisi limbah poliklinik, perawatan, kamar bedah, UGD, kamar bersalin,
penunjang, kemudian masuk IPAL. Setelah dari IPAL masuk kolam bioindikator
influen (N2). Setelah itu masuk ke badan air.
2. Septic Tank 2 berisi limbah dapur dan Septic Tank 3 berisi limbah dari laundry.
Kedua septic tank ini masuk kolam bioindikator influen (N1). Setelah diproses di
IPAL dimasukkan dalam kolam bioindikator influen (N2). Setelah itu masuk ke
badan air.
24
25
26
27
Penjelasan gambar IPAL Rumah Sakit Pupuk Kaltim adalah sebagai berikut ini:
Gambar 1 dan 2: Septic Tank unit 1 menampung air limbah yang dihasilkan oleh berbagai
unit pelayanan medis, unit perawatan 1, 2, dan 3 serta unit penunjang medis. Septic Tank
unit 2 menampung air limbah yang dihasilkan oleh dapur, dan Septic Tank unit 3
menampung air limbah yang dihasilkan oleh laundry; Gambar 3: Kolam influen. Pipa di
kiri efluen dari septic tank unit dan Pipa di kanan efluen dari septik tank unit 2 dan 3;
Gambar 4: Bak Influen dan Bioreaktor/Aerator; Gambar 5: Bioreaktor/Aerator/Trickling
Filter; Gambar 6: Bak Kontak Klorinasi; Gambar 7: Bak Filtrasi; Gambar 8: Bak
Efluen/Kolam Stabilisasi sebelum dibuang ke Badan
28
3.2 Jurnal Internasional
3.2.1 Hospital waste management in El-Beheira Governorate, Egypt
Terjemahan :
A. Gambaran Umum
Hasil survei melalui catatan Direktorat Urusan Kesehatan (2007) menunjukkan
bahwa perusahaan medis El-Beheira Governorate berada di bawah sektor publik dan
swasta. Semua instansi kesehatan sektor publik termasuk Kementerian Kesehatan.
Tabel 4 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah tempat tidur di rumah sakit umum
Gubernur El-Beheira adalah 4733. Jumlah tempat tidur tertinggi (1967) ditemukan di
rumah sakit pusat yang diikuti oleh rumah sakit khusus (955) sedangkan angka
terendah(51) berada di rumah sakit operasi satu hari. Di antara kota-kota El-Beheira,
Damanhour memiliki persentase tempat tidur tertinggi (27,6%). Meskipun Wadei El-
Natron memiliki persentase terendah (1,4%) tempat tidur, ia memiliki satu tempat
tidur per 486 orang yang mencerminkan kepadatan penduduknya yang rendah.
Dalam penelitian ini, diketahui bahwa residu makanan merupakan limbah utama yang
dihasilkan dengan rentang luas berkisar antara 0% sampai 50%. Ini mungkin karena
87,5% rumah sakit memiliki dapur sementara hanya memiliki satu rumah sakit dan
menambah limbah dari membeli makanan. Plastik merupakan 19% aliran limbah
29
rumah sakit. Persentase tinggi ini diharapkan karena penggunaan popok yang meluas
daripada penggunaan ulang untuk berbagai tujuan. Persentase plastik berbeda dengan
yang didapat oleh Abdulla dkk. (2008) dan Bdour dkk. (2007) di rumah sakit
Yordania dan Dehghani dkk. (2008) di rumah sakit Iran yang melaporkan bahwa
plastik masing-masing menyumbang 27%, 24%, dan 29%. Kaca, pada gilirannya,
berjumlah hingga 18,7% dari satu limbah rumah sakit karena banyaknya botol kosong
dan ampul yang dibuang. Sedangkan untuk karet, persentase tertinggi (2,5%)
ditentukan di rumah sakit yang memiliki unit dialisis ginjal dimana sebagian besar
mengandung filter, tabung dan sarung tangan yang semuanya terbuat dari karet.
30
limbah untuk mencegah kontaminasi penangan atau lingkungan (WHO, 2000). Hasil
penelitian ini berada dalam konsensus dengan penelitian lain di berbagai negara yang
mengungkapkan bahwa di AS, semua limbah biomedis dimasukkan ke dalam
kantong merah sementara di Kanada, koleksinya mungkin berwarna merah, oranye,
kuning, atau biru sesuai dengan klasifikasi kementerian limbah biomedis (Brunner
dan Brown, 1988). Di Istanbul, pengumpulan berbagai jenis limbah secara terpisah
dipraktekkan secara konsisten, namun 25% rumah sakit masih menggunakan wadah
yang tidak sesuai untuk pengumpulan limbah medis (Birpinar et al 2008).
Studi ini menunjukkan bahwa ketika limbah medis cair tidak ditangani dengan
tepat, pembuangan tersebut dapat menyebabkan kontaminasi terhadap persediaan air
minum dan / atau degradasi lingkungan. Sedangkan untuk membuang limbah cair di
sistem pembuangan limbah, ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh
Hussein (1997) yang melaporkan nasib yang sama untuk air limbah rumah sakit
Alexandria, Mesir.
Kemasan limbah rumah sakit yang tepat sebelum penghancuran atau
pembuangan akhir mereka adalah elemen terpenting dari setiap program pengelolaan
limbah untuk mencegah kontaminasi penangan atau lingkungan (WHO, 2000). Hasil
penelitian ini berada dalam konsensus dengan penelitian lain di berbagai negara yang
mengungkapkan bahwa di AS, semua limbah biomedis dimasukkan ke dalam
kantong merah sementara di Kanada, koleksinya mungkin berwarna merah, oranye,
kuning, atau biru sesuai dengan klasifikasi kementerian limbah biomedis (Brunner
dan Brown, 1988). Di Istanbul, pengumpulan berbagai jenis limbah secara terpisah
dipraktekkan secara konsisten, namun 25% rumah sakit masih menggunakan wadah
yang tidak sesuai untuk pengumpulan limbah medis (Birpinar et al 2008).
2. Penyimpanan Limbah
Ruang penyimpanan utama adalah lokasi di area khusus atau di halaman rumah
sakit dimana kontainer yang lebih besar, misalnya, tempat sampah beroda 1,1 m3
(eurobins) harus digunakan untuk menyimpan limbah sampai habis untuk
pembuangan akhir, baik di dalam maupun di luar rumah. situs (WHO, 2000). Pola
31
penyimpanan limbah dalam penelitian ini sebagian berbeda dari yang diterapkan di
rumah sakit Turki dimana dua kamar digunakan untuk penyimpanan limbah rumah
sakit: yang pertama ditujukan untuk limbah rumah tangga, dibersihkan dengan air
yang mengalir atau bertekanan dan saluran pembuangannya terhubung ke saluran
pembuangan kota. sistem. Yang kedua adalah untuk limbah klinis, dibersihkan
dengan kering dan memiliki sistem drainase yang terhubung ke tangki kedap air.
Limbah dapat disimpan selama 24 jam pada suhu 20 C atau 72 jam pada 7 C sampai
13 C (Kocasoy, 1995). Pembauran limbah infeksius dengan limbah umum di tempat
perawatan kesehatan merupakan ancaman bagi kesehatan lingkungan. Di beberapa
tempat perawatan kesehatan di Bangladesh, semua limbah infeksi ditemukan terpisah
dari aliran limbah non-infeksi di lokasi persemaian, namun selama pembuangan di
tempat sampah, limbah kemudian dicampur bersama (Hassan et al. , 2008). Temuan
ini mengukuhkan hasil penelitian di mana salah satu rumah sakit terpilih memiliki
ruang penyimpanan gabungan untuk limbah rumah tangga dan medis, meningkatkan
kemungkinan pencampuran limbah dan bagaimanapun transportasi yang kurang aman
dan pembuangan akhir yang tidak tepat.
3. Pengolahan Limbah
Pengolahan limbah medis ditemukan terjadi di semua rumah sakit terpilih.
Lebih dari setengah (7) dari mereka menggunakan insinerator. Hanya satu dari
mereka dilengkapi dengan insinerator dan spesifikasinya, insinerator ini berbentuk
batch dan tanpa sistem kontrol polusi udara. Frekuensi operasional insinerator ini
adalah 3 jam sehari dan kapasitas pengerjaannya adalah 120 kg / hari. Operasi
Loading dan de-ashing dilakukan secara manual. Abu disingkirkan melalui pintu
pembuangan dan dilepas dengan limbah non-klinis. Ditemukan bahwa rumah sakit
ini membakar semua limbah medis yang dihasilkannya. Tidak ada program
perawatan rutin untuk insinerator ini; perawatan hanya dilakukan sesuai dengan
penelitian ini yang menemukan bahwa praktik pengobatan yang paling sering
digunakan untuk limbah medis padat adalah insinerasi, Abdulla dkk. (2008)
32
mengungkapkan bahwa kebanyakan rumah sakit bergantung pada insinerasi untuk
menghilangkan limbahnya.
Insinerator berpotensi memancarkan berbagai polutan berbahaya jika tidak
dioperasikan dan diperbaiki dan jika peralatan pembersih gas tidak dipasang. Polutan
ini meliputi partikel ulat, gas asam, logam beracun, dan senyawa organik beracun dari
pembakaran yang tidak sempurna, misalnya dioksin, furan, dan lain-lain (WHO,
1999). Ini harus diharapkan dari satu-satunya rumah sakit yang memiliki insinerator
karena tidak dilengkapi perangkat semacam itu. Selain itu, insinerator ini beroperasi
di bawah suhu yang disarankan. Yang terakhir ini berarti, limbah tidak hancur total,
kemudian abu bergerak ke bagian pendingin yang lebih dingin yang mengeras
menjadi terak. Ini, pada gilirannya, bisa menyumbat bandara, mematikan burner,
merusak korosi, dan mengganggu aliran normal melalui tungku. Di ruang
pembakaran, pengeringan limbah harus dilakukan
Saat terjadi masalah operasional. Pemeliharaan dilakukan oleh sektor swasta.
Selain itu, suhu ruang pembakaran dari insinerator ini tidak sampai ke kisaran yang
tepat yang dibutuhkan untuk pembakaran sempurna. Lokasi insinerator ini tidak
sesuai, berada di dalam 8-400 m sayap rumah sakit yang berbeda. Meskipun desain,
perawatan dan operasi insinerator ini tidak sesuai dengan spesifikasi keselamatan,
salah satu rumah sakit terpilih mengandalkannya untuk mengobati limbah medisnya.
Namun, 5 rumah sakit lainnya memindahkan limbah medis mereka ke insinerator
kota dan swasta. Rumah sakit yang disurvei terakhir mengotok limbah medisnya di
tempat dan memasukkannya ke dalam kantong plastik putih lalu membuangnya
sebagai limbah rumah tangga.
33
memiliki fasilitas sendiri dan yang ketiga mengandalkan sebuah insinerator yang
dimiliki oleh salah satu dari mereka. Kendaraan rumah sakit digunakan untuk
mengangkut limbah medisnya ke dalam insinerator ini. Sisa satu rumah sakit
mentransport limbah medis mereka ke insinerator swasta dan dilakukan oleh
kontraktor swasta .
Mengenai frekuensi pengangkutan limbah off-site, tiga kali seminggu di 6 rumah
sakit (75%). Sehubungan dengan waktu trans-port, pagi hari di empat rumah sakit,
tengah hari hanya satu, dan pada siang hari di tempat lain. Namun, frekuensi
transportasi limbah rumah tangga sehari sekali di pagi hari di semua rumah sakit
Program pelatihan pengelolaan limbah medis untuk dokter, perawat, dan
teknisi terbatas; sekitar 37,5% rumah sakit tidak memberikan pelatihan kepada dokter
dan personil lainnya mengenai pengelolaan limbah medis dan potensi bahaya mereka.
Sekitar setengah dari rumah sakit menyediakan pelatihan terbatas untuk staf
pendukung, misalnya, pekerja kebersihan. Meskipun komite pengarah limbah medis
tersedia di 6 rumah sakit dan mereka merasa puas dengan tingkat kinerja karyawan
mereka dalam pengelolaan limbah medis mereka, program pelatihan untuk staf medis
(perawat dan dokter), penangan limbah, operator, dan insinyur pemeliharaan diminta
oleh 5 rumah sakit ini. Mayoritas rumah sakit (87,5%) lebih memilih menghadiri
pelatihan tahunan. Kurangnya keuangan Dukungan dan kesadaran pengelolaan
limbah medis diamati pada sekitar sepertiga rumah sakit (37,5%).
34
BAB IV
35
Hasil penelitian ini berada dalam konsensus dengan
penelitian lain di berbagai negara yang
mengungkapkan bahwa di AS, semua limbah biomedis
dimasukkan ke dalam kantong merah sementara di
Pembahasan:
Sebaiknya dalam pengelolaan limbah padat baik medis maupun non medis,
rumah sakit diwajibkan melakukan pemilahan limbah dan menyimpannya dalam
kantong plastik yang berbeda beda berdasarkan karakteristik limbahnya. Limbah
domestik di masukkan kedalam plastik berwarna hitam, limbah infeksius kedalam
kantong plastik berwarna kuning, limbah sitotoksic kedalam warna kuning, limbah
kimia/farmasi kedalam kantong plastik berwarna coklat dan limbah radio aktif
kedalam kantong warna merah serta diberi symbol dan pelabelan. Sedangkan untuk
limbah medis padat tajam pihak rumah sakit diharuskan mengunakan safety box atau
container sebagai tempat penyimpanan limbah. Pelabelan ini adalah untuk
memungkinkan manajer dan personil lainnya untuk melacak setiap kantong limbah ke
sumbernya jika ada masalah, misalnya, benda tajam yang digunakan yang terdapat
dalam kantong atau limbah umum dan berpotensi menular dicampur dalam kantong
yang salah. Hal ini juga memungkinkan manajer medis untuk mengumpulkan data
tentang jumlah limbah yang dihasilkan di setiap departemen medis dan dengan
36
demikian memastikan bahwa jumlah khas setiap jenis limbah tidak berubah secara
tiba-tiba.
37
rumah. Situs. Namum juga ditemukan dimana salah
satu rumah sakit terpilih memiliki ruang
penyimpanan gabungan untuk limbah rumah
tangga dan medis, meningkatkan kemungkinan
pencampuran limbah dan bagaimanapun
transportasi yang kurang aman dan pembuangan
akhir yang tidak tepat.
Pembahasan:
Untuk penyimpanan menurut peraturan dari Departemen Kesehatan
penampungan sementara maksimal 24 jam. Penyimpanan limbah B3 bertujuan untuk
menyimpan sementara suatu limbah B3 sampai dilakukan pengelolaan lebih lanjut
untuk mencegah terlepasnya limbah B3 tersebut ke lingkungan sehingga potensi
bahaya terhadap manusia dan lingkungan dapat terhindarkan. Seperti halnya pada
kemasan, fasilitas penyimpanan limbah B3 juga harus ditandai dengan simbol limbah
B3 sesuai dengan karakteristik limbah B3 yang disimpan di dalamnya.
Setiap kemasan limbah B3 yang disimpan harus dijaga agar selalu dalam
kondisi yang baik selama penyimpanan: tidak penyok dan berkarat, tidak bocor, serta
tidak menggembung. Jika salah satu kondisi tersebut terjadi pada kemasan, maka
harus dilakukan pengemasan ulang dengan cara memindahkan muatannya ke dalam
kemasan lain.
38
3. Pengangkutan
Limbah padat infeksius dari tempat
penampungan diangkut oleh petugas
pengangkut sampah sesaui dengan jadwalnya
39
Pembahasan:
Kantong limbah medis sebelum dimasukkan ke kendaraan pengangkut harus
diletakkan dalam kontainer yang kuat dan tertutup. Pengangkutan limbah keluar
rumah sakit menggunakan kenderaan khusus.
Kantong limbah medis harus aman dari jangkauan manusia maupun binatang.
Petugas yang menangani limbah, harus menggunakan alat pelindung diri yang terdiri:
Topi/helm, Masker, Pelindung mata, Pakaian panjang (coverall), Apron untuk
industri, Pelindung kaki/sepatu boot dan sarung tangan khusus (disposable gloves
atau heavy duty gloves).
4. Pengolahan Limbah
Limbah padat : Limbah dari unit penampungan
setelah diangkut ditimbang dan dibakar di
incinerator pada suhu 1000 0C, dilakukan setiap
Pengelolaan Limbah Di
hari. Abu dari hasil pembakaran tersebut
Rumah Sakit Pupuk
dibuang ke tanah kosong di sebelah belakang
Kaltim Bontang Untuk
lokasi incinerator.
Memenuhi Baku Mutu
Lingkungan Limbah cair : limbah poliklinik, perawatan,
kamar bedah, UGD, kamar bersalin, penunjang,
kemudian masuk IPAL. Setelah dari IPAL
masuk kolam bioindikator influen (N2). Setelah
40
itu masuk ke badan air; limbah dapur dan
limbah dari laundry masuk kolam bioindikator
influen (N1).
Pembahasan:
Beberapa rumah sakit ada yang mengolah langsung limbah B3nya , karena
memiliki incinerator sendiri. Insinerator berpotensi memancarkan berbagai polutan
berbahaya jika tidak dioperasikan dan diperbaiki dan jika peralatan pembersih gas
tidak dipasang. Polutan ini meliputi partikel ulat, gas asam, logam beracun, dan
senyawa organik beracun dari pembakaran yang tidak sempurna, misalnya dioksin,
furan, dan lain-lain. Oleh karena itu lebih baik bila menggunakan incinerator
yangtepat. Incinerator yang baik harus meliputi berbagai aspek, seperti aspek
lingkungan, aspek ekonomis, aspek sosial dan lain sebagainya. Incinerator yang baik
dituntut untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan berikut:
41
Emisi gas buang yang ramah lingkungan.
Perawatan yang teratur/periodik
Pelatihan Staf dan Manajemen
42
BAB IV
KESIMPULAN
5.1 Semua Limbah B3 dari Rumah sakit harus dikelola sesuai dengan
ketentuannya, dimulai dari pengumpulannya hingga pengolahan.
5.2 Beberapa Rumah Sakit di Indonesia telah memiliki Sistem Pengelolaan
Limbah B3 yang baik dan sesuai dengan prosedurnya, serta telah memiliki
IPAL ( instalasi pengolah air limbah ) dan insinerator yang efektif untuk
mengolah limbah cair dan limbah padat infeksius maupun limbah tidak
infeksius dari limbah yang dihasilkannya. Dan telah melakukan pengujian
limbah yang dihasilkan kepada pihak independen secara rutin dan terjadwal.
5.3 Proses cradle to grave dari limbah B3 Rumah Sakit meliputi pengumpulan,
pemilahan , penyimpanan, pengangkutan, serta pengolahan.
5.4 Incenerator Maxpell merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan agar
hasil pembakaran tidak berdampak lebih.
43
DAFTAR PUSTAKA
Abednego M., 1993. Pengelolaan Limbah Rumah Sakit. Makalah Seminar Limbah
Rumah Sakit.
Abd El-Salam, M. (2010). Science Direct: Hospital Waste Management in El-Beheira
Governate Egypt, 91(3), 618-629.
Https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2009.08.012 (26 Oktober 2017)
Alamsyah, B. 2007. Pengelolaan Limbah di Rumah Sakit Pupuk Kaltim Bontang Untuk
Memenuhi Baku Mutu Lingkungan. Universitas Diponegoro. Diambil dari :
eprints.undip.ac.id/15426/1/Bestari Alamsyah.pdf (26 Oktober 2017)
Arthono, Andri. 2000. Perencanaan Pengolahan Limbah Cair Untuk Rumah Sakit
Dengan Metode Lumpur Aktif. Media ISTA, 3 (2), 15-18
Hadi,Sudharto,P, 2003 , Bahan Mata Kuliah Metodologi Penelitian Lingkungan
Program Magister ilmu Lingkungan Undip,Semarang.
Hananto, Wigati Miko. 1999. Mikroorganisme Patogen Limbah Car Rumah
Sakit Dan Dampak Kesehatan Yang Ditimbulkannya. Buletin Keslingmas, 18 (70), 37-
44.
Hariadi Agustinus, 1996. Sistem Pengelolaan Limbah bahan Berbahaya dan
Beracun Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Pengelolaan Limbah B3 Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan, Jakarta.
Haryanto, 2001. Analisis Senyawa-Senyawa Kimia Limbah Cair Rumah Sakit
Kodya Jambi. Percikan, 31 Mei, 54-59.
Sugiharto, 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Universitas. Indonesia
Press, Jakarta.
Sutrisnowati, 2003.Evaluasi Pengelolaan Limbah Infeksius Rumah Sakit. Bontang,
Tesis, Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas
Diponegoro, Semarang
44