Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Pemerintah Indonesia dari tahun 1992 hingga kini belum mampu mewujudkan
tercapainya peserta program jaminan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia
(universal coverage) (Mukti & Moertjahjo, 2010). Hal ini berdasarkan data bahwa
sekitar 37% (87 juta) dari penduduk Indonesia belum memiliki atau tercover
asuransi/jaminan kesehatan. Falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke - 5
mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 1945
pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
UU 36 Tahun 2009 menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Sebaliknya setiap orang juga
mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan (Kemenkes RI,
2013).
Untuk mewujudkan komitmen konstitusi di atas, pemerintah bertanggung
jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) sejak 1 Januari 2014. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011, pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dikelola oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan, selanjutnya produk hukum
lain telah diterbitkan sebagai upaya menjawab kendala yang muncul dari para
penyelenggara dan pengguna layanan (UU No 24 Tahun 2011).
Pelayanan kesehatan di era JKN diharapkan menjadi terstruktur dan berjenjang,
peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh
pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Bila peserta
memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, harus dilakukan melalui rujukan
oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan
medis (Kemenkes RI, 2013).
Implementasi JKN pada pelayanan primer maupun lanjutan menganut prinsip
managed care. Untuk itu kinerja pelayanan kesehatan ini perlu terjaga mengingat
prinsip managed care yang bertumpu pada kendali biaya dan kendali mutu. Kinerja
pelayanan kesehatan dalam era JKN dapat dilihat berdasarkan Permenkes RI No 24
Tahun 2015 tentang Penilaian FKTP Berprestasi dan Peraturan Bersama Sekretaris
Jenderal Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial Kesehatan No HK.02.05/III/SK/089/2016 Nomor 3 Tahun 2016
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan
Komitmen Pelayanan Pada FKTP dengan berdasarkan pencapaian indikator yang
meliputi indikator Angka Kontak 150 per mil, Rasio Rujukan Rawat Jalan Non
Spesialistik < 5% dan Rasio Peserta Prolanis Rutin Berkunjung Ke FKTP 50 %.
Apabila FKTP dapat memenuhi indikator tersebut termasuk di dalam zona aman, dan
apabila melebihi dari target indikator tersebut termasuk di dalam zona prestasi (PEB
No 3/ 2016).
Di Kabupaten Garut, pelayanan primer khususnya Puskesmas dalam
pelaksanaan JKN masih belum optimal hal ini dapat dilihat dari capaian Kapitasi
Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan (KBKP) Puskesmas Kabupaten Garut.
Melihat hasil data pada bulan Januari sampai dengan Mei 2016 untuk data angka kontak
(AK), rasio rujukan rawat jalan non spesialistik (RRNS) dan rasio peserta Prolanis rutin
berkunjung ke FKTP (RPPB) sebagai berikut:

Dari hasil tersebut dapat terlihat AK dari 17 Puskesmas semua masuk dalam
zona tidak aman, untuk RRNS terdapat 1 puskesmas dalam zona tidak aman dan RPPB
terdapat 14 puskesmas di zona tidak aman, 2 puskesmas di zona aman dan 1 puskesmas
di zona prestasi.
Dengan perubahan Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 ke Permenkes Nomor 59
Tahun 2014 dan diperbarui dengan Permenkes Nomor 12 Tahun 2016 tentang Standar
Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
bahwa besaran tarif kapitasi berdasarkan seleksi dan kredensial yang dilakukan oleh
BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan atau Asosiasi Fasilitas
Kesehatan dengan mempertimbangkan kriteria sumber daya manusia, kelengkapan
sarana dan prasarana, lingkup pelayanan dan komitmen pelayanan (Permenkes 12
Tahun 2016). Untuk pelaksanaan awal disebut dengan norma kapitasi (pra) dan
selanjutnya menjadi kapitasi berbasis komitmen pelayanan (pasca).
Pelaksanaannya digambarkan sebagai berikut untuk evaluasi kapitasi awal
menggunakan besaran kapitasi sesuai norma kapitasi hasil
kredensialing/rekredensialing pada bulan pertama, selanjutnya menggunakan
evaluasi kinerja untuk bulan kedua dan ketiga. Pada bulan keempat dilakukan
evaluasi bulan ketiga dan dilakukan penyesuaian kapitasi berdasarkan komitmen
bulan ketiga, konsekuensi pengurangan pembayaran kapitasi dilaksanakan mulai
bulan keempat sejak FKTP menerapkan sistem kapitasi berbasis pemenuhan
komitmen pelayanan dan akan disesuaikan kembali setiap 3 (tiga) bulan (BPJSK
2016). Perlu dukungan dan komitmen yang tinggi dari seluruh FKTP untuk
menjadikan pelayanan primer berkualitas, sehingga menjadi fasilitas kesehatan
yang dipercaya dan memberikan pelayanan terbaik bagi peserta BPJS Kesehatan
(BPJSK 2016).
Konsep Primary Health Care (PHC) dalam penguatan fasilitas pelayanan
kesehatan primer dapat mendorong efisiensi dalam pelayanan kesehatan. Penguatan
peran petugas upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan di
layanan primer menjamin keberlangsungan program JKN.
Kendali mutu dan kendali biaya pelayanan primer untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau perlu ditunjang oleh sumber
daya kesehatan yang bekerja di pelayanan primer, kelengkapan sarana dan
prasarana, lingkup pelayanan dan komitmen pelayanan.
Berdasarkan pemikiran tersebut penelitian tentang Kajian Implementasi
Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan JKN di Kota Surakarta perlu dilakukan
3.2 Regulasi dan Implementasi Pelayanan Kesehatan Primer di era JKN
FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan primer bagi
masyarakat. Pelayanan kesehatan primer merupakan pelayanan kesehatan esensial
yang diselenggarakan berdasarkan tatacara dan teknologi praktis, sesuai dengan
kaedah ilmu pengetahuan serta diterima oleh masyarakat, dapat dicapai oleh
perorangan dan keluarga dalam masyarakat melalui peran aktif secara penuh
dengan biaya yang dapat dipikul oleh masyarakat dan negara untuk memelihara
setiap tahap perkembangan serta yang didukung oleh semangat kemandirian dan
menentukan diri sendiri (WHO, 1978).
Dalam Permenkes 59 Tahun 2014 dicantumkan bahwa yang dimaksud dengan FKTP
adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang
bersifat non-spesialistik untuk keperluan observasi, promotif, preventif, diagnosis,
perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya. FKTP terdiri dari
Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara, rumah sakit kelas D pratama, klinik
pratama, praktik dokter atau fasilitas kesehatan yang setara dan praktik dokter gigi
Dalam sistem rujukan berjenjang yang tercantum dalam Permenkes 28/2014,
FKTP harus dapat berfungsi sebagai gatekeeper, yakni mampu menjadi penapis
rujukan serta kendali mutu dan kendali biaya dalam pelaksanaan jaminan kesehatan.
FKTP berperan sebagai kontak pertama pada pelayanan kesehatan pada masyarakat,
sehingga FKTP idealnya mampu menjadi fasilitas yang dapat mengatasi
permasalahan-permasalahan kesehatan dasar secara paripurna serta memberikan
tatalaksana rujukan pada kasus-kasus yang memerlukan pelayanan lebih lanjut secara
tepat sesuai dengan standar pelayanan medik.

3.2.1 Peran Puskesmas sebagai penyedia pelayanan kesehatan primer di era JKN
Fungsi dan tugas Puskesmas telah diatur dalam Permenkes No 75 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya di wilayah kerjanya.
Dalam Permenkes 75 tahun 2014 pasal 4 dan 5 tercantum bahwa Puskesmas
mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan
pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya
kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Puskesmas
menyelenggarakan fungsi:
a. penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan
b. penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya
Puskesmas memiliki 2 fungsi yang berbeda:
1. Pertama, fungsi Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) yaitu Puskesmas sebagai unit
publik yang menjadi bagian dari regulator yang mengelola kesehatan kewilayahan,
dan menjadi ujung tombak sistem preventif dan promotif. Kegiatan ini banyak didanai
oleh anggaran dari Kementerian Kesehatan dan Pemerintah daerah.
2. Kedua, fungsi Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) yaitu Puskesmas sebagai
penyedia pelayanan kesehatan yang bermitra dengan BPJS untuk memberikan
pelayanan primer berupa kuratif, promotif, preventif dan rehabilitatif perorangan
dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Kegiatan ini khusus untuk peserta BPJS
didanai oleh dana kapitasi, non-kapitasi serta dana lain dari BPJS dan untuk bukan
peserta BPJS didanai oleh Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah.
Khususnya untuk program TB dan HIV/AIDS, baik peserta maupun bukan peserta BPJS
masih didanai oleh program vertikal Kementerian Kesehatan.
Dampak dari adanya 2 fungsi Puskesmas ini yaitu adanya berbagai sumber dana yang
berbeda untuk satu program yang sama, misalnya untuk program pengelolaan
penyakit tidak menular Puskesmas dapat memperoleh pendanaan dari BOK maupun
Prolanis. Namun di sisi lain, dapat terjadi kekurangan pendanaan pada beberapa
program yang tidak menjadi prioritas dari pemerintah pusat ataupun BPJS, misalnya
untuk pengelolaan penyakit kronis selain yang tercantum dalam Permenkes Nomor
19 Tahun 2014. Hal lain yang menjadi sorotan yaitu porsi biaya operasional dari dana
kapitasi yang masih bersisa tetapi tidak dapat digunakan untuk kegiatan promotif-
preventif ke masyarakat karena adanya perbedaan pemahaman mengenai peraturan
penggunaan dana di lapangan. Tidak optimalnya pemanfaatan dana ini mengesankan
dengan banyaknya dana yang dikucurkan, belum tampak ada peningkatan kinerja
pelayanan. Permenkes nomor 99 tahun 2015 yang diluncurkan Desember 2015 telah
menjawab adanya perbedaan pemahaman tersebut. Pemantauan terhadap
implementasi peraturan tersebut perlu dilakukan untuk memastikan tercapainya
kesamaan pemahaman antara pemerintah pusat dan daerah.
2.4 Indikator Kinerja (Performance) untuk Pelayanan Primer
Hal penting yang menjadi perhatian banyak pihak adalah besarnya dana yang
diterima fasilitas kesehatan tanpa diikuti oleh peningkatan kinerja dan kualitas
pelayanan kesehatan. Sistem mutu yang dikembangkan di Puskesmas selama ini
dirasakan kurang memecahkan masalah utama yang dihadapi. Disisi lain, masyarakat
saat ini kurang bisa menerima pelayanan yang seadanya dan tidak manjur, sehingga
dapat beresiko kesalahan klinik yang fatal (medical error dan kurang diperhatikannya
patient safety).
Untuk mengatasi hal ini, di tahun 2016 BPJS Kesehatan mulai menerapkan
Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan (KBK) untuk
Puskesmas yang berada di ibukota propinsi. Pada tahun 2017, mekanisme ini akan
diterapkan kepada seluruh FKTP, kecuali bagi FKTP yang berasa di kawasan terpencil
dan sangat terpencil.
Pemenuhan komitmen pelayanan dinilai berdasarkan pencapaian indikator dalam
komitmen pelayanan yang dilakukan FKTP yang meliputi:
1. Angka Kontak (AK);
2. Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus Non Spesialistik (RRNS); dan
3. Rasio Peserta Prolanis rutin berkunjung ke FKTP (RPPB).
Model pembayaran berbasis komitmen ini bertujuan untuk mengukur kualitas
layanan yang diberikan FKTP sesuai dengan indikator kinerja serta memotivasi FKTP
untuk selalu memberikan kinerja yang terbaik. Dengan demikian, kepuasan peserta
terhadap layanan FKTP juga akan meningkat, biaya pelayanan kesehatan rujukan
menjadi rasional dan meningkatkan kelayakan penilaian kinerja FKTP (fairness
appraisal). Hasil ujicoba sistem pay-for-performance di 4 provinsi menemukan
beberapa tantangan antara lain, belum siapnya sistem dan koordinasi pendataan
antara Dinas Kesehatan dan BPJS, kurang tepatnya indikator kinerja yang digunakan
di beberapa daerah, serta sistem penilaian kinerja yang belum mengakomodir
kebutuhan FKTP swasta.

Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan salah satu masalah


kesehatan yang menjadi perhatian nasional maupun global. Masalah PTM pada
akhirnya tidak hanya menjadi masalah kesehatan saja, namun bila tidak
dikendalikan secara tepat, benar dan kontinyu akan dapat mempengaruhi
ketahanan ekonomi nasional, karena sifatnya yang kronis dan umumnya
mengenai usia produktif.
Penyakit Tidak Menular (PTM) juga dikenal sebagai penyakit kronis
dan tidak ditularkan dari satu orang ke orang lainnya. Penyakit-penyakit ini
memiliki durasi panjang dan umumnya berkembang lambat. Laporan dari
WHO tahun 2014 menunjukkan bahwa PTM sejauh ini merupakan penyebab
kematian utama di dunia. Terdapat 38 juta kematian dari 56 juta angka
kematian dunia pada tahun 2012 disebabkan olhe PTM. Sebanyak tiga-
perempat dari kematian yang disebabkan PTM (28 juta) terjadi di negara
miskin dan negara berkembang.
Salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan di
Indonesia adalah hipertensi. Hipertensi didefinisikan sebagai kenaikan tekanan
darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg. Hipertensi
merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemukan dalam praktik
kedokteran primer. Menurut NHLBI (National Heart, Lung, and Blood
Institute) satu dari tiga pasien menderita hipertensi. Hipertensi juga merupakan
faktor risiko infark miokard, stroke, gagal ginjal akut, dan kematian.
Meningkatnya prevalensi penyakit kardiovaskuler setiap tahun menjadi
masalah utama di negara berkembang dan negara maju. Di Indonesia,
hipertensi cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data Riskesdas
(2007), prevalensi hipertensi pada usia dewasa sebesar 31,7%, dan data WHO
(World Health Organization) (2008), menyebutkan prevalensi hipertensi di
Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 41%. Proporsi penyebab kematian oleh
penyakit menular (PM) di Indonesia telah menurun sepertiganya dari 44%
menjadi 28%, sedangkan akibat penyakit tidak menular (PTM) mengalami
peningkatan yang cukup tinggi dari 42% menjadi 60% (Depkes, 2008).
Berdasarkan data PTM dalam Riskesdas (2013), meliputi: (1) asma; (2)
penyakit paru obstruksi kronis (PPOK); (3) kanker; (4) diabetes melitus; (5)
hipertiroid; (6) hipertensi; (7) jantung koroner; (8) gagal jantung; (9) stroke;
(10) gagal ginjal kronis; (11) batu ginjal; (12) penyakit sendi/ rematik. Salah
satu penyakit degeneratif yang perlu diwaspadai adalah hipertensi. Hipertensi
adalah penyebab kematian utama ketiga di Indonesia untuk semua umur 6,8%,
setelah stroke 15,4% dan tuberculosis 7,5% (Depkes, 2008). Hipertensi adalah
tekanan darah tinggi yang abnormal dan diukur palingtidak pada tiga
kesempatan yang berbeda. (Corwin, 2009). Diketahui sembilan dari sepuluh
orang yang menderita hipertensi tidak dapat diidentifikasi penyebab
penyakitnya. Itulah sebabnya hipertensi dijuluki pembunuh diam-diam atau
silent killer, sebab seseorang dapat mengidap hipertensi selama bertahun-tahun
tanpa menyadarinya sampai terjadi kerusakan organ vital yang cukup berat
yang bahkan dapat menyebabkan kematian. Seseorang baru merasakan dampak
gawatnya hipertensi ketika telah terjadi komplikasi. Jadi baru disadari ketika
telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung, koroner,
fungsi ginjal, gangguan fungsi kognitif atau stroke (Saraswati, 2009).
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi
esensial atau hipertensi primer. Hipertensi esensial merupakan 95% dari
seluruh kasus hipertensi. Sisanya adalah hipertensi sekunder, yaitu tekanan
darah tinggi yang penyebabnya dapat diklasifikasikan, diantaranya adalah
kelainan organik seperti penyakit ginjal, kelainan pada korteks adrenal,
pemakaian obat-obatan sejenis kortikosteroid, dan lainlain (Yogiantoro, 2006).
Hipertensi bukan merupakan penyakit dengan faktor penyebab tunggal, tetapi
disebabkan oleh banyak faktor yaitu kegemukan, pola makan yang tidak sehat,
aktivitas fisik yang kurang, keadaan stress psikologis, kebiasaan minum
alkohol, pola konsumsi kopi dan kebiasaan merokok (Dhianningtyas et al.,
2006). Hipertensi mempunyai gejala umum yang akan di timbulkan seperti
pusing, sakit kepala, rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang
(Soeparman, 2003). Sesungguhnya gaya hidup merupakan faktor terpenting
yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang tidak
sehat, dapat menyebabkan terjadinya penyakit hipertensi, misalnya; makanan,
aktifitas fisik, stres, dan merokok (Puspitorini, 2009). Meningkatnya kejadian
hipertensi cenderung terjadi pada orang dengan faktor risiko; orang dengan
usia diatas 18 tahun, jenis kelamin, orang yang memiliki riwayat keluarga
dengan hipertensi, serta pada orang dengan gaya hidup yang tidak sehat seperti
merokok (Depkes, 2006). Umumnya pada usia produktif seseorang kurang
memiliki motivasi untuk memperhatikan pola makan dan kesehatannya.
Walaupun 90% dari penyebab hipertensi adalah riwayat keluarga, namun
faktor lain seperti pola makan, aktivitas fisik dan gaya hidup turut
mempengaruhi kejadian hipertensi (Pritasari, 2006). Jenis kelamin merupakan
salah satu faktor resiko yang tidak dapat diubah yang berpengaruh terhadap
penyakit hipertensi (Cahyono, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
menggunakan data Riskesdas tahun 2007, prevalensi hipertensi pada
perempuan lebih besar dibandingkan dengan laki-laki yaitu 50,3% dan 49,7%
(Rahajeng dan Tuminah, 2009). Hal berbeda ditunjukan dari hasil penelitian
yang dilakukan di Pakistan. Penelitian tersebut menunjukkan sebesar 51,91%
laki-laki menderita hipertensi dan sebesar 48,09% pada perempuan (Humayun
et al., 2009). Riwayat hipertensi keluarga berhubungan dengan kejadian
hipertensi yang ditunjukan oleh penelitian Respati tahun 2007. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa rata-rata tekanan darah saat bekerja dan
beristirahat lebih tinggi pada responden yang salah satu atau kedua
orangtuanya tidak hipertensi (Tanjung, 2009). Hipertensi juga dirangsang oleh
adanya nikotin dalam batang rokok yang dihisap seseorang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nikotin mdapat meningkatkan penggumpalan darah
dalam pembuluh darah (Dalimartha et al., 2008). Menurut Sitorus (2005), yang
menyatakan bahwa merokok sebatang setiap hari meningkatkan tekanan darah
sistolik 10-25 mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kali/menit. Perilaku
konsumsi makanan asin juga diyakini berkontribusi dalam penyakit hipertensi
(Kothcen et al., 2006). Dari penelitian Sugihartono (2007), didapatkan bahwa
kebiasaan mengkonsumsi asin berisiko menderita hipertensi sebesar 3,95 kali
dibandingkan orang yang tidak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi asin.
Beberapa fakta dalam studi epidemiologi menunjukkan bahwa terdapat
hubungan bermakna antara tingginya asupan lemak jenuh dengan hipertensi
(Kotchen et al., 2006). Konsumsi lemak jenuh meningkatkan resiko kenaikan
berat badan yang merupakan faktor resiko hipertensi. Asupan lemak jenuh
yang kemudian menyebabkan hipertensi (Irza, 2009). Menurut penelitian
eksperimental Winkelmayer et al., (2005),
kafein akan meningkatkan konsentrasi hormon stres seperti epinefrin,
norepinefrin, dan kortisol yang dapat menyebabkan hipertensi (Saleh,
2011). Seseorang yang tidak terbiasa minum kopi memiliki tekanan darah
lebih rendah jika dibandingkan dengan seseorang yang mengkonsumsi
kopi 1-3 cangkir per hari. Pria yang mengkonsumsi kopi 3-6 cangkir per
hari memiliki tekanan darah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
yang mengkonsumsi kopi 1-3 cangkir per hari (Uiterwaal et al., 2007).
Hipertensi juga dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok
yang dihisap seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin
dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah
(Dalimartha et al., 2008). Menurut Sitorus (2005), yang menyatakan
bahwa merokok sebatang setiap hari meningkatkan tekanan darah sistolik
10-25 mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kali/menit.
Perilaku konsumsi makanan asin juga diyakini berkontribusi dalam
penyakit hipertensi (Kothcen et al., 2006). Dari penelitian Sugihartono
(2007), didapatkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi asin berisiko
menderita hipertensi sebesar 3,95 kali dibandingkan orang yang tidak
mempunyai kebiasaan mengkonsumsi asin.
Beberapa fakta dalam studi epidemiologi menunjukkan bahwa
terdapat hubungan bermakna antara tingginya asupan lemak jenuh dengan
hipertensi (Kotchen et al., 2006). Konsumsi lemak jenuh meningkatkan
resiko kenaikan berat badan yang merupakan faktor resiko hipertensi.
Asupan lemak jenuh yang kemudian menyebabkan hipertensi (Irza, 2009).
Menurut penelitian eksperimental Winkelmayer et al., (2005),
kafein akan meningkatkan konsentrasi hormon stres seperti epinefrin,
norepinefrin, dan kortisol yang dapat menyebabkan hipertensi (Saleh,
2011). Seseorang yang tidak terbiasa minum kopi memiliki tekanan darah
lebih rendah jika dibandingkan dengan seseorang yang mengkonsumsi
kopi 1-3 cangkir per hari. Pria yang mengkonsumsi kopi 3-6 cangkir per
hari memiliki tekanan darah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
yang mengkonsumsi kopi 1-3 cangkir per hari (Uiterwaal et al., 2007).
mempunyai tekanan darah normal bahkan rendah. Rata-rata sistolik yang
ditemukan sebesar 130 mmHg dan rata-rata diastolik yang ditemukan 100
mmHg serta dengan konsumsi obat antihipertensi. Belum diketahuinya
gambaran gaya hidup pada pasien hipertensi di Puskesmas Ciangsana
Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor Tahun 2015.
Melihat dari permasalahanpermasalahan diatas, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Gambaran Gaya Hidup
Pada Penderita Hipertensi Di Puskesmas Ciangsana Kecamatan
Gunung Putri Kabupaten Bogor Tahun 2015.

Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terdapat pelayanan


PROLANIS (Program Pengelolaan Penyakit Kronis) sebagai salah satu
program di Puskesmas. PROLANIS tersebut merupakan suatu sistem
pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara
terintegrasi dengan melibatkan peserta, fasilitas kesehatan, dan BPJS kesehatan
yang menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal
dengan biaya pelayanan yang efektif dan efisien. Adanya PROLANIS
memberikan wadah untuk mengelola pasien hipertensi dan DM secara
komprehensif.

Dari pemaparan di atas menunjukkan bahwa gizi seimbang memegang


peranan penting dalam menurunkan angka kejadian dan tingkat keparahan
penderita DM dan hipertensi ke arah yang lebih berat. Meningkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai gizi seimbang merupakan salah satu upaya
yang bisa dilakukan. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus, Pedoman Gizi Seimbang, dan Pedoman Penanganan Hipertensi yang
diterbitkan berdasarkan The Joint National Committee (JNC) 8 Guideline
merupakan salah satu langkah yang diambil pemerintah dalam meningkatkan
pengetahuan penyakit diabetes dan hipertensi, baik untuk tenaga medis, orang
awam sehat, dan penderita itu sendiri.
Dengan latar belakang tersebut dan mengingat pentingnya pengetahuan
penderita diabetes dan hipertensi tentang gizi seimbang maka kami memilih
judul Gambaran Gaya Hidup Peserta Klub Prolanis Hipertensi di Puskesmas
......................Kabupaten Garut.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti mengidentifikasi
masalah yaitu: Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap gizi seimbang bagi penderita diabetes maupun hipertensi di
Puskesmas Mekarwangi Kota Bogor?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah: Mengetahui gambaran tingkat
pengetahuan masyarakat terhadap gizi seimbang bagi penderita diabetes maupun
hipertensi di Puskesmas Mekarwangi Kota Bogor.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat tentang gizi
seimbang, meliputi jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori pada
penderita diabetes maupun hipertensi di Puskesmas Mekarwangi Kota Bogor.
2. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat terhadap gizi
seimbang dengan melihat faktor yang terkait seperti: usia, tingkat pendidikan, dan
pekerjaan pada penderita diabetes maupun hipertensi di Puskesmas Mekarwangi
Kota Bogor.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai Gambaran
Tingkat Pengetahuan Pasien Prolanis Diabetes dan Hipertensi Terhadap Gizi
Seimbang di Puskesmas Mekarwangi Kota Bogor.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai gizi seimbang sehingga dapat
menurunkan angka kejadian dan tingkat keparahan penderita DM dan hipertensi ke
arah yang lebih berat.

Anda mungkin juga menyukai