Anda di halaman 1dari 16

PEMBUATAN BIOGAS DARI KOTORAN SAPI

Oleh :

DEDI TEGUH
NIM. 03012681620002

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK KIMIA


BIDANG KAJIAN UTAMA TEKNOLOGI LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumber Bahan Baku Biogas


Biogas adalah gas yang mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-
bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara).
Pada umumnya semua jenis bahan organik dapat diproses untuk menghasilkan biogas, tetapi
hanya bahan organik padat dan cair homogen seperti kotoran hewan ternak yang cocok untuk
sistem biogas sederhana. Diperkirakan ada tiga jenis bahan baku yang dapat dikembangkan
sebagai bahan baku biogas di Indonesia, antara lain berupa kotoran hewan dan manusia,
sampah organik, dan limbah cair. Potensi limbah peternakan sebagai salah satu bahan baku
pembuatan biogas dapat ditemukan di sentra-sentra peternakan, terutama peternakan dengan
skala besar yang menghasilkan limbah dalam jumlah besar dan rutin. Di Indonesia cukup
banyak kawasan peternakan sapi yang limbah kotoran sapinya belum dimanfaatkan sebagai
pembangkit listrik secara optimum. Limbah peternakan seperti feses, urine beserta sisa pakan
ternak sapi merupakan salah satu sumber bahan yang dapat dimanfaatkan untuk
menghasilkan biogas. Kotoran sapi merupakan substrat yang paling cocok sebagai sumber
penghasil biogas, karena mengandung bakteri penghasil gas metana yang terdapat alam perut
ruminansia (lambung sapi). Bakteri tersebut membantu dalam proses fermentasi sehingga
mempercepat proses pembentukan biogas. Rata-rata kotoran sapi adalah 12-25 kg/hari/ekor.
Bahan baku dalam bentuk solulosa lebih mudah dicerna oleh bakteri anaerob, sehingga
kotoran sapi atau kerbau sangat baik untuk dijadikan bahan baku karena banyak mengandung
solulosa.

2.2. Karakteristik Biogas


1. Biogas kira-kira memiliki berat 20% lebih ringan dibandingkan udara dan memiliki
suhu pembakaran antara 6500C sampai 7500C
2. Biogas tidak berbau dan berwarna yang apabila dibakar akan menghasilkan nyala api
biru cerah seperti gas LPG
3. Nilai kalor gas metana adalah 20 MJ/m3 dengan efisiensi pembakaran 60% pada
konvesional kompor biogas
4. Nilai kalor rendah (LHV) CH4 = 50,1 MJ/kg
5. Densitas CH4 = 0,717 kg/m.
2.3. Karakteristik Kotoran Sapi
Kotoran sapi adalah limbah peternakan berupa sisa hasil pencernaan sapi. Kotoran
sapi mengandung banyak selulosa dan lignin. Hal tersebut menyebabkan kotoran sapi sangat
baik digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Sapi menghasilkan kotoran dengan
kandungan selulosa yang cukup tinggi karena sapi termasuk hewan memamah biak. Selulosa
yang terkandung pada kotoran sapi akan dimanfaatkan untuk memproduksi biogas. Limbah
ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan seperti
protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen, vitamin, mineral mikroba atau biota, dan zat-
zat yang lain (unidentified subtances). Kandungan nutrisi ini yang mengakibatkan limbah
ternak dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media
berbagai tujuan (Nurtjahya, 2003).
Dengan kandungan selulosa yang tinggi, kotoran sapi dapat menghasilkan biogas
dalam jumlah yang banyak. Susunan kotoran sapi juga bisa dinyatakan dengan jumlah
kotoran padat dan jumlah kotoran cair. Selain itu, rasio C/N juga bisa digunakan untuk
menyatakan susunan kotoran sapi secara praktis. Sri (2008) mengatakan bahwa rasio C/N
pada kotoran sapi adalah 24. Semakin tinggi rasio C/N, nitrogen akan dikonsumsi secara
cepat oleh bakteri metanogen. Hal tersebut mengakibatkan kesetimbangan reaksi bergeser ke
arah kiri dan laju produksi biogas menurun. Sebaliknya jika rasio C/N rendah, kesetimbangan
reaksi bergerser ke arah kanan dan laju produksi biogas meningkat. Rasio C/N pada kotoran
sapi memenuhi persyaratan bahan baku produksi biogas. Kotoran sapi berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai energi alternatif berupa biogas. Hal tersebut disebabkan jumlah
produksi biogas per kg kotoran sapi relatif lebih besar dibandingkan kotoran ternak lainnya.
Menurut Sri (2008), kotoran sapi sebanyak 1 kg dapat menghasilkan 0,023-0,040 m3
biogas. Dengan jumlah produksi tersebut, kotoran sapi sangat potensial untuk memproduksi
biogas dalam jumlah besar. Kotoran hewan dianggap substrat paling cocok untuk
pemanfaatan biogas, substrat dalam kotoran sapi telah mengandung bakteri penghasil gas
metana yang terdapat di dalam perut hewan ruminansia. Kotoran hewan lebih sering dipilih
sebagai bahan pembuat biogas karena ketersediaannya yang sangat besar diseluruh dunia.
Bahan ini memiliki keseimbangan nutrisi, mudah diencerkan dan relatif dapat diproses secara
biologi. Kisaran pemrosesan secara biologi antara 28-70% dari bahan organik tergantung dari
pakannya. Selain itu kotoran segar lebih mudah diproses dibandingkan dengan kotoran yang
lama dan atau yang telah dikeringkan, disebabkan karena hilangnya substrat volatile solid
selama pengeringan. Pada umumnya komposisi kotoran sapi memiliki karateristik yang dapat
dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Kotoran Sapi


Massa
No Komponen
(%)
1 Selulosa 22,59

2 Hemiselulosa 18,32

3 Lignin 10,20

4 Total Karbon Organik 34,72

5 Total Nitrogen 1,26

6 Fosfor 0,73

7 Kalium 0,68
Sumber : Rika, 2011

Tabel 2. Komposisi Gas dalam Biogas


Campuran Kotoran
No Jenis gas Kotoran Sapi
+ Sisa Pertanian
1 Methana (CH4) 54-70% 65,7%

2 Karbon dioksida (CO2) 27-45% 27,0%

3 Nitrogen (N2) 0,5-3% 2,3%

4 Karbon Monoksida (CO) 0,1% 0,0%

5 Oksigen (O2) 0,1% 1,0%

6 Propen (C3H8) - 0,7%

7 Hidrogen sulfida (H2S) Sedikit sekali Tidak teratur

8 Nilai kalori (Kcal/m3) 4800-6700 6513


Sumber : www.komposisi biogas.2009
Tabel 3. Jumlah Produksi Kotoran dan Biogas pada Berbagai Jenis Ternak dan
Manusia

Produksi
Jenis Ternak dan Manusia
Kotoran(Kg) Biogas (Lt/Kg)
Sapi
Besar 15 40
Sedang 10 40
Kecil 8 40
pedet 4 40
Kerbau
Besar 20 40
Sedang 15 40
Kecil 10 40
Pedet 5 40
Babi
Besar 20 70
Sedang 1,5 70
Kecil 1,0 70
Ayam
Besar 0,15 60
Sedang 0,10 60
Kecil 0,05 60
Kambing/domba
Besar 5,0 50
Sedang 2,0 50
Kecil 1,0 50
Itik 0,15 50
Merpati 0,05 50
Kuda 15 40
Unta 2,0 30
Manusia
Dewasa 0,40 70
Anak-anak 0,20 70
Gajah 40 20
Sumber: AFDIO Biogas ,1990,New Delhi, india (M Cahyo Oktario , 2011 dalam
Harsono, 2013).
Kotoran sapi merupakan bahan organik yang secara spesifik berperan meningkatkan
ketersediaan fosfor dan unsur-unsur mikro, mengurangi pengaruh buruk dari alumunium,
menyediakan karbondioksida pada kanopi tanaman, terutama pada tanaman dengan kanopi
lebat dimana sirkulasi udara terbatas. Kotoran sapi banyak mengandung hara yang
dibutuhkan tanaman seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, belerang dan
boron (Brady, 1974, dalam Sudarkoco, 1992). Kotoran sapi mempunyai C/N rasio yang
rendah yaitu 11, hal ini berarti dalam kotoran sapi banyak mengandung unsur nitrogen (N).
Komposisi kimia kotoran sapi dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini .

Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Kotoran Sapi


Kadar
No Jenis Analisa
(%)
1 Kadar Air 80

2 Bahan Organik 16

3 Nitrogen 0,3

4 P2O5 0,2

5 K2O 0,15

6 CaO 0,2

7 Nisbah C/N 20-25


Sumber : Lingga, 1991

Tabel 5. Kandungan Biogas Dari Jenis Ternak Dan Manusia


Produksi Gas/Kg
Kotoran
No Tipe Kotoran
(m3)
1 Sapi (sapi dan kerbau) 0,023-0,040

2 Babi 0,040-0,059

3 Peternakan ayam 0,065-0,116

4 Manusia 0,020-0,028

Sumber: United Nations, 1984 dalam Harsono, 2013


2.4. Proses Pembentukan Biogas
Proses pembentukan biogas dilakukan secara fermentasi yaitu proses terbentuknya
gas metana dalam kondisi anaerob di dalam suatu digester sehingga akan dihasilkan gas
metana (CH4) dan gas karbon dioksida (CO2) yang volumenya lebih besar dari gas hidrogen
(H2), gas Nitrogen (N2), dan gas hidrogen sulfida (H2S). Proses fermentasi memerlukan
waktu 7 sampai 10 hariu ntuk menghasilkan biogas dengan suhu optimum 350C dan pH
optimum pada skala 6,4-7,9. Bakteri pembentuk biogas yang digunakan yaitu bakteri anaerob
Methanobacterium, Methanobacillus, Methanococcus, dan Methanosarcina. Pada pembuatan
biogas dari bahan baku kotoran sapi atau kerbau yang banyak mengandung selulosa. Bahan
baku dalam bentuk selulosa akan lebih mudah dicerna oleh bakteri anaerob. Reaksi kimia
pembuatan biogas (gas metana) terdiri dari 3 tahap, yaitu :
1. Reaksi Hidrolisa / Tahap pelarutan
Pada tahap hidrolisis terjadi pemecahan enzimatis dari bahan yang tidak mudah larut
seperti lemak, polisakarida, protein, asam nukleat dan lain- lain menjadi bahan yang
mudah larut. Pada tahap ini bahan yang tidak mudah larut seperti selulosa, polisakarida
dan lemak diubah menjadi bahan yang larut dalam air seperti karbohidrat dan asam
lemak. Tahap pelarutan berlangsung pada suhu 250C di digester (Price dan
Cheremisinoff, 1981) dengan persamaan reaksi sebagai berikut :

(C6H10O5)n + n H2O n C6H12O6


Selulosa air glukosa

(C6H10O6)x + xH2O (C6H12O6)


Karbohidrat air glukosa

2. Reaksi Asidogenik / Tahap pengasaman


Pada tahap ini bakteri menghasilkan asam merupakan bakteri anaerobic yang dapat
tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Pembentukan asam dalam kondisi anaerob
sangat penting untuk membentuk gas metan oleh mikroorganisme pada proses
selanjutnya. Pada suasana anaerobik produk yang dihasilkan ini akan menjadi substrat
pada pembentukan gas metan oleh bakteri metanogenik. Tahap ini berlangsung pada
suhu 250C hingga 300C di dalam digester (Price dan Cheremisinoff, 1981). Adapun
reaksi asidogenik senyawa glukosa adalah sebagai berikut :
n (C6H12O6) 2n (C2H5OH) + 2n CO2 + kalor
Glukosa etanol karbondioksida

2n (C2H5OH) + n CO2 2n (CH3COOH) + nCH4


Etanol karbondioksida asam asetat metana

3. Reaksi Metanogenik / Tahap Pembentukan Gas Metana


Pada tahap ini, bakteri metanogenik membentuk gas metana secara anaerob. Bakteri
penghasil asam dan gas metan bekerja secara simbiosis. Bakteri penghasil asam
membentuk keadaan atmosfir yang ideal untuk bakteri penghasil metan, sedangkan
bakteri pembentuk gas metan menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil
asam. Proses ini berlangsung selama 14 hari dengan suhu 250C hingga 350C di dalam
digester. Pada proses ini akan dihasilkan 70% CH4, 30 % CO2, sedikit H2 dan H2S (Price
dan Cheremisinoff, 1981). Secara umum ditunjukan pada reaksi berikut ini :

2n (CH3COOH) 2n CH4 + 2n CO2


asam asetat metana karbondioksida

Gambar 1. Proses Pembentukan Biogas


2.5. Uraian Proses Pembuatan Biogas dari Kotoran Sapi
Proses pembuatan biogas dari bahan baku kotoran sapi terdiri dari beberapa tahap yaitu:
1. Tahap penampungan, pengenceran, pengadukan dan pemasukkan bahan baku.
Bahan baku kotoran ternak dimasukkan ke dalam tabung penampung, kemudian
diencerkan dengan menambah air hingga perbandingan antara bahan padat dan cair 1:1,
selanjutnya dilakukan pengadukan sampai merata. Bahan-bahan yang tidak berguna
dan diperkirakan mengganggu proses pembuatan biogas (seperti kayu, batu dan bahan-
bahan yang keras) dibuang. Kemudian bahan tersebut dimasukkan kedalam tabung
pemroses atau digester
2. Tahap pemrosesan, pengambilan dan pemanfaatan biogas
Tahap ini berlangsung pada tabung pencerna/pemroses atau digester. Bahan baku yang
sudah diencerkan dan sudah dibersihkan dari bahan-bahan yang diperkirakan
mengganggu proses terjadinya biogas, dimasukkan kedalam tabung digester melalui
lubang pemasukan. Pada pengisian pertama kran gas yang ada diatas digester dibuka
agar pemasukan lebih mudah dan udara yang ada didalam digester terdesak keluar.
Pada pengisian pertama ini dibutuhkan lumpur kotoran sapi dalam jumlah yang banyak
sampai digester penuh. Membuang gas yang pertama dihasilkan pada hari ke-1 sampai
ke-8 karena yang terbentuk adalah gas CO2. Sedangkan pada hari ke-10 sampai hari ke-
14 baru terbentuk gas metan (CH4) dan CO2 mulai menurun. Pada komposisi CH4 54%
dan CO2 27% maka biogas akan menyala. Pada hari ke-14 gas yang terbentuk dapat
digunakan untuk menyalakan api pada kompor gas atau kebutuhan lainnya. Mulai hari
ke-14 ini kita sudah bisa menghasilkan energi biogas. Selanjutnya, digester harus diisi
terus dengan kotoran sapi secara kontinyu sehingga dihasilkan biogas yang optimal.
3. Tahap pengambilan sisa limbah setelah diambil gasnya
Sisa limbah diperoleh dari melubernya kotoran yang bercampur air dari tabung
penampung sisa limbah. Sisa bahan yang diambil merupakan sisa dari limbah yang
telah diambil gasnya oleh bakteri methan atau bakteri biogas, bentuknya seperti lumpur
atau disebut slurry yang dapat digunakan sebagai pupuk organik.
Tahap-tahap tersebut merupakan suatu alur kerja yang terus-menerus yang terjadi pada
3 tabung yang tersedia yaitu tabung penampung, tabung pencerna/pemroses dan tabung
penampung sisa limbah tabung pengeluaran. Adapun skema umum pembuatan biogas
dari kotoran sapi dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Skema Pembuatan Biogas dari Kotoran Sapi

2.5. Faktor yang mempengaruhi Produksi Biogas


1. Laju pembebanan (loading rate)
Laju pembebanan biasanya disebut loading rate adalah besaran yang menyatakan
jumlah material organik dalam satu satuan volum yang diumpankan pada reaktor.
Substrat cair yang diumpankan dapat didegradasi oleh mikroba, kemudian diubah
menjadi metana melalui proses biologis oleh mikroba-mikroba pengurai didalam
reaktor. Perubahan laju pembebanan yang mendadak dapat mengakibatkan kenaikan
yang setara dalam produksi asam, yang tidak dapat disesuaikan oleh kenaikan yang
setara dalam pembentukan metan. Pembentukkan produk asam asetat (asam lemak
organik) akan mengakibatkan penurunan pH dan penghambatan lebih jauh dari
produksi metan
2. Konsentrasi substrat (COD)
Konsentrasi bahan organik sangat berpengaruh terhadap perencanaan pembuatan
dimensi reaktor dan juga bagi kelangsungan proses penguraian zat organik kompleks
menjadi senyawa sederhana. Kelemahan perencanaan reaktor dengan kandungan COD
yang rendah adalah kebutuhan volum reaktor yang cukup besar untuk dapat
menampung umpan substrat
3. Kandungan asam lemak organik (volatile fatty acid)
Asam lemak organik bisa disebut sebagai volatile fatty acid yang mempunyai rumus R
COOH, dimana R/ = CH3 (CH2), Asam lemak yang dibentuk dalam hidrolisa
polisakarida umumnya adalah jenis rantai pendek seperti asetat, propionate dan butirat.
Konsentrasi asam lemak yang tinggi akan menyebabkan turunnya pH reaktor dan akan
membuat terbentuknya asam lemak rantai panjang. Batas konsentrasi asam asetat yang
dapat ditoleransi adalah dibawah 10 mg/L, diatas batas tersebut menyebabkan rusaknya
sistem biologi.
4. Alkalinitas
Alkalinitas pada proses fermentasi anaerobik adalah kemampuan lumpur didalam
reaktor untuk menetralkan asam. Hal ini diperlukan untuk mengimbangi fluktuasi
konsentrasi asam didalam reaktor, sehingga fluktuasi pH tidak terlalu besar dan tidak
sampai mengakibatkan gangguan pada stabilitas reaktor.
5. pH
pH adalah besaran yang menyatakan banyaknya ion H+. Stabilitas proses fermentasi
anaerobik sangat tergantung pada nilai pH didalam reaktor. pH yang rendah
menyatakan adanya kelebihan proton (H) didalam reaktor sebab proton akan berubah
menjadi H2 yang merupakan senyawa dalam reaktor, pH yang baik untuk operasi adalah
6,0 7,5 Bakteri pada umumnya tumbuh dalam suatu rentang pH tiga unit dan mikroba
juga menunjukkan nilai pertumbuhannya maksimum antara pH 6,0 7,5. Pada pH lebih
rendah dari 5,0 dan lebih tinggi dari 8,5 pertumbuhannya sering terhambat meskipun
untuk beberapa mikroba ada pengecualian, seperti sejumlah kecil Acetobacter spp.
Pengaturan pH sangat penting untuk menjaga pertumbuhan mikroba yang terbaik dari
proses pengubahan sistem mikroba anerobik. Pada awal operasi atau pada saat
inokulasi pH dalam bioreaktor dapat turun menjadi 6 atau lebih rendah. Hal ini
disebabkan terbentuknya asam-asam lemak organik. Setelah beberapa saat pH akan
naik kembali yang disebabkan karena terbentuknya gas metan dari asam-asam lemak
tersebut.
6. Rasio perbandingan karbon dan nitrogen (C/N)
Rasio C/N adalah besaran yang menyatakan perbandingan jumlah atom karbon dibagi
dengan atom nitrogen. Karbon dan Nitrogen adalah sumber makanan utama bagi
bakteri anaerob, sehingga pertumbuhan optimum bakteri sangat dipengaruhi unsur ini,
dimana karbon dibutuhkan untuk mensuplai energi dan nitrogen dibutuhkan untuk
membentuk struktur sel bakteri. Nitrogen pada konsentrasi yang tinggi dapat
menghambat proses fermentasi anaerob. Konsentrasi yang baik berkisar 200-1500 mg/lt
dan bila melebihi 300 mg/lt akan bersifat toxic. Proses fermentasi anaerob akan
berlangsung optimum bila rasio C:N bernilai 30:1, dimana jumlah karbon 30 kali dari
jumhlah nitrogen. Dalam (Rahayu,2009, Harsono,2013) menyatakan bahwa salah satu
cara menetukan bahan organik yang sesuai untuk menjadi bahan masukan sistem biogas
adalah dengan mengetahui perbandingan karbon (C) dan nitrogen (N) atau disebut rasio
C/N. Beberapa percobaan menunjukkan bahwa metabolisme bakteri anaerobik akan
baik pada rasio C/N antara 20-30. Jika rasio C/N tinggi, nitrogen akan cepat
dikomsumsi bakteri anaerobik guna memenuhi kebutuhan proteinnya, sehingga bakteri
tidak akan bereaksi kembali saat kandungan karbon tersisa. Jika rasio C/N rendah,
nitrogen akan terlepas dan berkumpul membentuk amoniak sehingga akan
meningkatkan nilai pH bahan. Nilai pH yang tinggi dari 8,5 akan dapat meracuni
bakteri anaerobik. Untuk menjaga rasio C/N, bahan organik rasio tinggi dapat dicampur
bahan organik rasio C/N rendah. Menurut (Fry, 1974 dalam Harsono, 2013) dalam
(Kharistya Amaru, 2004) proses anaerob akan optimal bila diberikan bahan makanan
yang mengandung karbon dan nitrogen secara bersamaan. C/N ratio menunjukkan
perbandingan jumlah dari kedua elemen tersebut. Pada bahan yang memiliki jumlah
karbon 15 kali dari jumlah nitrogen akan memiliki C/N ratio 15 berbanding 1. C/N ratio
dengan nilai 30 (C/N=30/1 atau karbon 30 kali dari jumlah nitrogen) akan menciptakan
proses pencernaan pada tingkat yang optimum, bila kondisi yang lain juga mendukung.
Bila terlalu banyak karbon, nitrogen akan habis terlebih dahulu. Hal ini akan
menyebabkan proses berjalan dengan lambat. Bila nitrogen terlalu banyak (C/N ratio
rendah; misalnya 30/15), maka karbon habis lebih dahulu dan proses fermentasi
berhenti. Di dalam reaktor terdapat populasi mikroba yang memerlukan karbon dan
nitrogen. Apabila nitrogen tidak tersedia dengan cukup, maka mikroba tidak dapat
memproduksi enzim yang berguna untuk mencerna karbon. Apabila nitrogen terlalu
banyak maka pertumbuhan mikroba akan terganggu, hal ini khususnya terjadi apabila
kandungan ammonia didalam substrat terlalu tinggi. Kebutuhan atom atom karbon
selama respirasi pembentukan untuk setiap 1 atom nitrogen adalah sebanyak 30 atom
karbon. Oleh karena itu nilai C/N yang baik adalah sekitar 30.
Tabel 6. Rasio C/N beberapa bahan organik
Rasio
No Bahan Organik
C/N
1 Kotoran ayam 10

2 Kotoran kambing 12

3 Kotoran babi 2

4 Kotoran sapi 24

5 Kotoran manusia 6-10

6 Kotoran kerbau 18

7 Kotoran kuda 25

8 Sampah buah-buahan dan sayuran 25


Sumber : Agung Sulistyo, 2010

7. Temperatur
Proses pengubahan zat organik polimer menjadi senyawa yang lebih sederhana didalam
reaktor dipengaruhi oleh temperatur. Berdasarkan temperatur yang biasa pada
pengoperasian reaktor, maka bakteri yang terdapat didalam reaktor dapat dibedakan
atas dua golongan, yaitu: Termofilik yang hidup pada suhu antara 40600C, dan
Mesofilik yang hidup pada suhu antara 25400C. Temperatur yang terbaik untuk
pertumbuhan mikroba mesofilik adalah 30-550C, dimana pada suhu tersebut
mikroorganisme mampu merombak bahan-bahan organik secara optimal. Bila reaktor
anaerobik dioperasikan pada suhu yang lebih rendah, misalnya 200C, pertumbuhan
mikroba pada kondisi ini sangat lambat dan sulit pada awal operasi untuk beberapa
bioreaktor. Inokulasi akan lebih baik jika dimulai pada suhu 300C

2.6. Kelebihan dan Kekurangan Teknologi yang Digunakan


Prinsip dasar teknologi biogas adalah proses penguraian bahan-bahan organik oleh
mikroorganisme dalam kondisi tanpa udara (anaerob) untuk menghasilkan campuran dari
beberapa gas, di antaranya metan dan CO2. Biogas dihasilkan dengan bantuan bakteri
metanogen atau metanogenik. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang
mengandung bahan organik, seperti limbah ternak dan sampah organik. Proses tersebut
dikenal dengan istilah anaerobic digestion atau pencernaan secara anaerob. Umumnya, biogas
diproduksi menggunakan alat yang disebut reaktor biogas (digester) yang dirancang agar
kedap udara (anaerob), sehingga proses penguraian oleh mikroorganisme dapat berjalan
secara optimal.
Saat ini berbagai bahan dan jenis peralatan biogas telah banyak dikembangkan
sehingga dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, jenis, jumlah dan pengelolaan
kotoran ternak. Secara umum terdapat dua teknologi yang digunakan untuk memperoleh
biogas. Pertama, proses yang sangat umum yaitu fermentasi kotoran ternak menggunakan
digester yang didesain khusus dalam kondisi anaerob. Kedua, teknologi yang baru
dikembangkan yaitu dengan menangkap langsung gas metan dari lokasi tumpukan sampah
tanpa harus membuat digester khusus. Beberapa kelebihan/keuntungan dari proses fermentasi
kotoran sapi menggunakan teknologi digester anaerobik yaitu antara lain :
1. Keuntungan pengolahan limbah
Digunakan untuk proses pengolahan limbah yang alami
Lahan yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan dengan lahan untuk proses kompos
Memperkecil rembesan polutan
Menurunkan volume atau berat limbah yang dibuang
2. Keuntungan energi
Menghasilkan energi yang bersih
Bahan bakar yang dihasilkan berkualitas tinggi dan dapat diperbaharui.
Biogas yang dihasilkan dapat digunakan untuk berbagai penggunaan
3. Keuntungan lingkungan
Mengurangi polusi udara
Memaksimalkan proses daur ulang
Pupuk yang dihasilkan bersih dan kaya nutrisi
Menurunkan emisi gas metan dan CO2 secara signifikan
Memperkecil kontaminasi sumber air karena dapat menghilangkan bakteri Coliform
sampai 99%
4. Keuntungan Ekonomi
Ditinjau dari siklus ulang proses, digester anaerobik lebih ekonomis dibandingkan
dengan proses lainnya

Kelemahan dari teknologi digester anaerobik adalah pertumbuhan bakteri yang


berperan dalam penguraian anaerobik lebih lambat sehingga memerlukan waktu tinggal yang
lebih lama. Kelemahan ini menimbulkan batasan bagi industri dengan jumlah limbah organik
yang besar. Banyaknya jumlah limbah atau tingginya laju alir limbah ke dalam digester
menyebabkan kebutuhan volume digester lebih besar untuk memberikan waktu tinggal yang
cukup. Volume digester yang lebih besar tentunya berdampak pada kebutuhan ruang dan
biaya

2.7. Tinjauan Biogas dari Aspek Ekonomi


Manfaat energi biogas adalah menghasilkan gas metan sebagai pengganti bahan bakar
khususnya minyak tanah dan dapat dipergunakan untuk memasak. Dalam skala besar, biogas
dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik. Di samping itu, dari proses produksi
biogas akan dihasilkan sisa kotoran ternak yang dapat langsung dipergunakan sebagai pupuk
organik pada tanaman/budidaya pertanian. Manfaat energi biogas yang lebih penting lagi
adalah mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian bahan bakar minyak bumi yang tidak
bisa diperbaharui. Menurut (Sri Wahyuni, 2008) limbah biogas, yaitu kotoran ternak yang
telah hilang gasnya (slurry) merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur
yang dibutuhkan oleh tanaman, nilai kalori dari satu meter kubik biogas sekitar 6.000 watt
jam yang setara dengan setengah liter minyak diesel oleh karena itu, biogas sangat cocok
digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan pengganti minyak tanah,
Liquefied Petroleum Gas (LPG), butana, batubara, maupun bahan-bahan lain yang berasal
dari fosil. Dalam skala besar, biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik.
Potensi secara ekonomi dari biogas masih sangat besar, hal tersebut mengingat bahwa 1 m3
biogas dapat digunakan setara dengan 0,62 liter minyak tanah.

Tabel 7. Kesetaraan Biogas Terhadap Bahan Bakar Lain

Sumber: Sri, 2008

2.8. Tinjauan Biogas dari Aspek Lingkungan


Biogas mempunyai keunggulan dibandingkan dengan bahan bakar minyak (BBM)
yang berasal dari fosil. Sifatnya yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui merupakan
keunggulan dari biogas, bahan bakar fosil selama ini diisukan menjadi penyebab dari
pemanasan global. Bahan bakar fosil yang pembakarannya tidak sempurna dapat
menyebabkan gas CO2 naik kepermukaan bumi. Hal tersebut menyebabkan tingginya suhu di
atas permukaan bumi seperti yang terjadi pada saat ini. Biogas sebagai salah satu energi
alternatif skala rumah tangga yang ramah lingkungan dipastikan dapat menggantikan bahan
bakar fosil yang keberadaannya semakin hari semakin terbatas. Sastrosupeno (1984),
mengatakan bahwa lingkungan hidup, yaitu apa saja yang mempunyai kaitan kehidupan pada
umumnya dan kehidupan manusia pada khususnya. Manusia mempunyai hubungan dengan
lingkungan lainnya seperti hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda/alat, termasuk hal-hal yang
merugikan.

Anda mungkin juga menyukai