Anda di halaman 1dari 33

TEXT BOOK READING

SYOK

Oleh :
Danar Fahmi Sudarsono, S. Ked
Dina Rianti Fitri, S. Ked
Dwitya Rilianti, S. Ked
Fitrianisa Burmana, S. Ked
Resti Ramdhani, S. Ked
Satria Dharma Setiawan, S. Ked
Tegar Dwi Prakoso, S. Ked

Perceptor :
dr. Hartawan, Sp. An
dr. Yusnita Debora, Sp. An

SMF ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM AHMAD YANI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
OKTOBER 2015

1
BAB I
PENDAHULUAN

Shock merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi


b i l a oxygen delivery ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia tidak mampu memenuhi
kebutuhan oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan oksigen yang tidak c u k u p
i n i , metabolisme energi sel menjadi anaerobik. Keadaan ini hanya dapatditoleransi tubuh untuk
waktu yang terbatas, selanjutnya dapat timbul kerusakan irreversible pada organ vital.

P a d a tingkat multiseluler, tidak semua jaringan dan organ secara klinis terganggu
akibat kurangnya oksigen pada saat shock. Alfred Blalock membagi jenis shock menjadi 4
antara lain shock hipovolemik, shock kardiogenik, shock septik, shock neurogenik.

Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian akibat shock tiap tahun,
meskipun penyebabnya berbeda tiap-tiap negara. Diagnosa adanya shock harus
didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas, yang
merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan. S h o c k b e r s i f a t p r o g r e s i f d a n
t e r u s m e m b u r u k j i k a t i d a k s e g e r a d i t a n g a n i . S h o c k mempengaruhi kerja organ-
organ vital dan penanganannya memerlukan pemahaman tentang patofisiologi shock.
Penatalaksanaan shock dilakukan seperti pada penderita t r a u m a u m u m n ya
y a i t u p r i m a r y s u r v e y A B C D E . T a t a l a k s a n a s h o c k b e r t u j u a n memperbaiki
gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Shock merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan


perfusidarah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel.
Kematian karena shock terjadi bila keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan
metabolism sel. Terapi shock bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan
menghilangkan faktor penyebab. Shock sirkulasi dianggap sebagai rangsang paling hebat dari
hipofisis adrenalin sehingga menimbulkan akibat fisiologi dan metabolism yang besar.
Shock didefinisikan juga sebagai volume darah sirkulasi tidak adekuat yang
mengurangi p e r f u s i , p e r t a m a p a d a j a r i n g a n n o n v i t a l ( k u l i t , j a r i n g a n i k a t ,
t u l a n g , o t o t ) d a n kemudian ke organ vital (otak, jantung, paru - paru, dan ginjal).
Shock atau renjatan m e r u p a k a n s u a t u k e a d a a n p a t o f i s i o l o g i s d i n a m i k ya n g
m e n g a k i b a t k a n h i p o k s i a jaringan dan sel5

2.2 Etiologi dan Klasifikasi

Shock secara umum dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Shock hipovolemik, shock yang disebabkan karena tubuh kehilangan darah/shock


hemoragik. Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal. Hemoragik
internal : hematoma, hematotoraks Kehilangan plasma : luka bakar Kehilangan cairan
dan elektrolit. Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih. Internal : asites,
obstruksi usus
2. Shock kardiogenik, kegagalan kerja jantung. Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan
karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark Miokard Akut)
3. Shock septik, terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya didalam tubuh
yang berakibat vasodilatasi.

3
4. Shock anafilaktif, gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen
antibody yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan permeabilitas
membrane kapiler dan terjadi dilates arteriola sehingga venous return
menurun. Misalnya: reaksi tranfusi, sengatan serangga, gigitan ular berbisa.
5. Shock neurogenik, terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkn karena
disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi. Misalnya :
trauma pada tulang belakang, spinal shock.

2.3 Patofisiologi

Shock menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya


berupa l e m a h n y a a l i r a n d a r a h y a n g m e r u p a k a n p e t u n j u k y a n g u m u m ,
walaupun a d a bermacam-macam penyebab. Shock dihasilkan oleh disfungsi
empat system yang t e r p i s a h n a m u n s a l i n g b e r k a i t a n ya i t u : j a n t u n g , v o l u m e
d a r a h , r e s i s t e n s i a r t e r i o l (beban akhir), dan kapasitas vena. Jika salah satu faktor ini
bermasalah dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi shock.
Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi
peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika shock berlanjut, curah
j a n t u n g m e n u r u n d a n v a s o k o n t r i k s i p e r i f e r meningkat. Menurut patofisiologinya,
shock terbagi atas 3 fase yaitu:

Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output ) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul
gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme
kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan
otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan
untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air.Ventilasi
meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen didaerah arteri. Jadi pada fase
kompensasi ini terjadi peningkatan frekuensi dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan
curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar.

4
Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi ginjal mempunyai cara regulasi sendiri
untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka
filtrasi glomeruler juga menurun.

Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh.
Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga
terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah
menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme, produk
metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi
lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena.
Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah kejaringan tetapi
tidak dapat kembali ke jantung. Peristi wa ini dapat menyebabkan trombosis luas (DIC
=Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan
kerusakan pusat vasomotor dan r e s p i r a s i di otak. Keadaan ini menambah
h i p o k s i a jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan
bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bridikinin) yang ikut memperburuk
shock (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus
menimbulkan penurunan integritas mukosa usus pelepasan toksin dan invasi bakteri
usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksifikasi hepar
memperburuk keadaan. Timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas system retikulo
endotelial rusak, integritas mikrosirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan
perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis
metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di
jaringan.

Fase Irrevesibel/Refrakter
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki.
Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya irreversibilitas shock.Gagal sistem kardiorespirasi,
jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema
interstisial, daya respirasi menurun,dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.

5
Patogenesis dan Patofisiologi Shock Hipovolemik
Penyebab shock hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa
saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan terselubung adalah antara
laintrauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus obstruksi,
dan peritonitis. Secara klinis shock hipovolemik ditandai oleh volume cairan intravaskuler yang
berkurang bersama-sama penurunan tekanan vena sentral, hipotensi arterial, dan peningkatan
tahanan vaskular sistemik. Respon jantung yang umum adalah berupa takikardia, Respon ini
dapat minimal pada orang tua atau karena pengaruh obat-obatan. Gejala yang ditimbulkan
bergantung pada tingkat kegawatan shock.

Patogenesis dan Patofisiologi Shock Kardiogenik


Patofisiologi yang mendasari shock kardiogenik adalah depresi kontraktilitas miokard
yang mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah jantung, tekanandarah rendah,insufisiensi
koroner, dan selanjutnya terjadi penurunan kontraktilitas dan curah jantung. Shock kardiogenik
ditandai dengan gangguan fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada pefusi
jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada shock kardiogenik oleh infark
miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri. Selain dari
kehilangan masif jaringan otot ventrikel kiri juga ditemukan daerah-daerah nekrosis fokal
diseluruh ventrikel. Nekrosis fokal diduga merupakan kibat dari ketidak seimbangan yang
terus-menerus antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Pembuluh koroner
yang terserang juga tidak mampu meningkatkan alira darah secara memadai sebagai respon
terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung olehaktivitas respon
kompensatorik seperti perangsangan simpatik. Sebagai akibat dari proses infark,
kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu.Ventrikel kiri gagal bekerja
sebagai pompa dan tidak mampu menyediakancurah jantung yang memadai untuk
mempertahankan perfusi jaringan. M a k a dimulailah siklus berulang. Siklus dimulai
dengan terjadinya infark yang berlanjut dengan gangguan fungsi miokardium. Gangguan
fungsi miokardium yang berat akan menyebabkan menurunnya curah jantung dan hipotensi
arteria. Akibatnya terjadinya asidosis metabolik dan menurunnya perfusi koroner, yang lebih
lanjut mengganggu fungsi ventrikel dan menyebabkan terjadinya aritmia.

6
Patogenesis Shock Septik
Pada umumnya penyebab shock septik adalah infeksi kuman gram negatif yang berada
dalam darah/endotoksin. Jamur dan jenis bakteri juga dapat menjadi penyebab septicemia.
Shock septik sering diikuti dengan hipovolemia dan hipotensi. Hal ini dapat
disebabkan karena penimbunan cairan disirkulasi mikro, pembentukan pintasan arterio venus dan
penurunan tahanan vaskuler sistemik, kebocoran kapiler menyeluruh, depresi fungsi
miokardium. Beberapa faktor predisposisi shock septik adalah trauma, diabetes, leukemia,
granulositopenia berat, penyakit saluran kemih,terapi kortikosteroid jangka panjang,
imunosupresan atau radiasi. Shock septik sering terjadi pada bayi baru lahir, usia di atas 50
tahun, dan penderita gangguan system kekebalan.

Patogenesis Shock Neurogenik


Shock neurogenik disebut juga shock spinal merupakan bentuk dari shock distributif.
Shock neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena hilangnya tonus pembuluh
darah secara mendadak di seluruh tubuh sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada
pembuluh darah pada capacitance vessels. Hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah
sistemik ini diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf (seperti : trauma kepala, cedera spinal atau
anestesi umum yangdalam). Shock neurogenik juga disebut sinkop. Shock neurogenik terjadi
karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di
daerah splangnikus sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya
disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat. Pasien merasa
pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan, umumnya keadaan berubah
menjadi baik kembali secara spontan. Trauma kepaa yang terisolasi tidak akanmenyebabkan
shock. Adanya shock pada trauma kepala harus dicari penyebab yang lain. Trauma pada medulla
spinalis akan menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari
shock neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer.

7
Patogenesis Shock Neurogenik Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan
dalam hipersensitivitas tipe 1 atau Immediate type reaction. Mekanisme anafilaksis melalui
beberapa fase :

1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat
kulit, mukosa, saluran napas atau saluran makan ditangkap oleh makrofag. Makrofag
segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi
sel plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk
antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit)
dan basofil.

2. Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk allergen yang sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera pelepasan mediator vasoaktif antaralain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif lain dari granulayang disebut preformed mediators. Ikatan
antigen-antibodi merangsang degradasiasam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan Leukotrien (LT) danProstaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu
setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators.

3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ
organ tertentu. Histamin memberikan efek bronko konstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinyamenyebabkan edema, sekresi mucus dan vasodilatasi.
Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi
otot polos. Platelet Activating Factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitasvaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik
menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan
menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan leukotrien.

8
2.4 Penegakan Diagnosis

2.4.1 Shock Hipovolemia

Anamnesis
Pada pasien dengan kemungkinan shock akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting
untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung. Shock
hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah di diagnosis.
Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan,
letargi, atau perubahan status mental. Gejala-gejala shock seperti kelemahan, penglihatan kabur,
dan kebingungan,sebaiknya dinilai pada semua pasien. Pada pasien trauma, menentukan
mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap
cederatertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen
pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor). Jika sadar, pasien mungkin dapat
menunjukkan lokasi nyeri. Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat.
Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh
darah. Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke
punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri
punggung, atau nyeri panggul. Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan
keterangan tentang hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti
inflamasi non steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat
penting. Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan. Pada pasien dengan hematemesis
setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau
Mallory Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal
kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises esophagus.
Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi
mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan
pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri.
Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka
hamil. Tes kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.

9
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan,sistem sirkulasi harus
dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala shock. Jangan hanya berpatokan pada tekanan
darah sistolik sebagai indikator utama shock; hal ini m e n ye b a b k a n d i a g n o s i s l a m b a t .
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara
signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi
pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker
mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat shocknya.Klasifikasi
perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darahyang hilang. Namun,
perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan
sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.
Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari shock. Namun,
hal ini harus dibedakan dengan penyebab shock yang lain.Diantaranya tamponade jantung (bunyi
jantung melemah, distensi vena leher), tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas
melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit
neurologis).
Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan speculum steril. Meskipun, pada
perdarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai double set up di ruang operasi.
Periksa abdomen, uterus, atau adneksa. Penyebab-penyebab shock hemoragik adalah trauma,
pembuluh darah, gastrointestinal, atau berhubungan dengan kehamilan.

1. Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma bendatumpul.
Trauma yang sering menyebabkan shock hemoragik adalah sebagai berikut: laserasi dan
ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar, dan perlukaan organ padat abdomen,
fraktur pelvis dan femur, dan laserasi pada tengkorak.
2. Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilang an darah
antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri vena.
3. Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan shock hemoragik antara lain:
perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, Mallory Weiss tears, dan
fistula aorta intestinal.

10
4. Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik terganggu,
plasenta previa, dan solutio plasenta. Shock hipovolemik akibat kehamilan ektopik umum
terjadi. Shock hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan tes kehamilan
negatif jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan.

Pemeriksaan Laboratorium
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosi sselanjutnya
tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, danstabilitas dari kondisi pasien itu
sendiri. Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain:
1. Hemoglobin dan hematokrit. Pada fase awal renjatan shock karena perdarahan kadar Hb
dan hematokrit masih tidak berubah, kadar Hb dan hematokrit akan menurun
sesudah perdarahan berlangsung lama, karena proses autotransfusi. Hal ini tergantung
dari kecepatan hilangnya darah yang terjadi. Pada shock karena kehilangan plasma atau
cairan tubuh seperti pada dengue fever atau diare dengan dehidrasi akan terjadi
haemokonsentrasi.
2. Urin Produksi urin akan menurun, lebih gelap dan pekat. Berat jenis urinmenigkat
>1,020. Sering didapat adanya proteinuria.
3. Pemeriksaan analisa gas darah pH, PaO2, PaCO2 dan HCO3 darah menurun. Bila proses
berlangsung terus maka proses kompensasi tidak mampu lagi dan akan mulai
tampak tanda-tanda kegagalan dengan makin menurunnya pH dan PaO2
danmeningkatnya PaCO2 dan HCO3. Terdapat perbedaan yang jelas antaraPO2 dan
PCO2 arterial dan vena.
4. Pemeriksaan elektrolit serumPada renjatan sering kali didapat adanya gangguan
keseimbangan elektrolit seperti hiponatremi, hiperkalemia, dan hipokalsemia
terutama pada penderita dengan asidosis.
5. Pemeriksaan fungsi ginjal pemeriksaan BUN ( Blood urea nitrogen)dan serum kreatinin
penting pada renjatan terutama bila ada tanda-tanda gagal ginjal.
6. Pemeriksaan faal hemostasi.
7. Pemeriksaan yang lain untuk menentukan penyebab penyakit primer

11
Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi
secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi
intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi. Langkah diagnosis pasien dengan
trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada
sumber perdarahan. Pasien trauma dengan shock hipovolemik membutuhkan pemeriksaan
ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. J i k a
dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric
lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasiatau
Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasientertangani) untuk
selanjutnya mencari sumber perdarahan.7 Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme
dan penemuan dari foto polos dada awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography,
aortografi, atau CT-scan dada. Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan
pemeriksaan FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada
pasien yangstabil atau tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada Pasien yang stabil. Jika
dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi. Tes kehamilan
sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur.Jika pasien hamil dan sementara
mengalami shock, konsultasi bedah d a n ultrasonografi pelvis harus segera dilakukan pada
pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Shock hipovolemik akibat
kehamilan ektopik sering terjadi. Shock hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada
pasien dengan hasil tes kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.

Diagnosis Banding
1. Solusio plasenta
2. Kehamilan ektopik
3. Aneurisma abdominal
4. Perdarahan post partum
5. Aneurisma thoracis
6. Trauma pada kehamilan
7. Fraktur femur
8. Shock hemoragik

12
9. Fraktur pelvis
10. Shock hipovolemik
11. Gastritis dan ulkus peptikum
12. Plasenta previa

2.4.2 Shock Anafilaktik

Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat, disengat
hewan, makan sesuatu atau setelah test kulit ), timbul biduran mendadak, gatal dikulit, suara
parau sesak nafas, lemas, pusing, mual, muntah sakit perut setelah terpapar sesuatu.

Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : baik sampai buruk
2. Kesadaran: compos mentis sampai koma
3. Tensi : hipotensi
4. Nadi : takikardi
5. Kepala dan leher : sianosis, dispneu, konjungtivitis, lakrimasi, edema periorbita, perioral,
rinitis
6. Thorax aritmia sampai arrest pulmo bronkospasme, stridor, rhonki dan
wheezing ,abdomen: nyeri tekan, bising usus meningkat.
7. Ekstremitas : urtikaria, edema.Pemeriksaan Penunjang1.Pemeriksaan Tambahan
Hematologi : Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang banyak atau
sedikit, dan jumlah faktor pembekuan yang menurun. Jika terjadi gagal ginjal, kadar hasil
buangan metabolik (seperti ureanitrogen) dalam darah akan meningkat. Hitung sel
meningkat hemokonsentrasi,trombositopenia eosinofilia naik/ normal / turun. Biakan
darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi.

13
Pemeriksaan Penunjang
1. Analisa gas darah menunjukkan adanya asidosis dan rendahnya konsentrasi oksigen.
2. X foto : Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus plug,
3. EKG :Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia atau menunjukkan
ketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah yang tidak memadai ke otot
jantung.

Diagnosis Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti :
1. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi
anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi
sianosis.Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya
tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.
2. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan
atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak
tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak
ada nyeri dada.
3. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat anti diabetes atau sebab
lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah
kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda -tanda obstruksi
s a l u r a n napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
4. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau
sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara.Sedangkan tanda-
tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.

14
5. Carsinoid syndrome
Pada sindrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri
kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma.
6. Chinese restaurant syndrome.
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit
setelah mengkonsumsi MSG (monosodium glutamat) lebih dari1gr, bila penggunaan
lebih dari 5gr bisa menyebabkan asma. N a m u n t e k a n a n darah, kecepatan denyut nadi,
dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
7. Asma bronchial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas
yang berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus sepe rti
debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
8. Rinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidungyang
hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus . Hampir
semua kasus asma diawali dengan RA.

2.4.3 Shock Neurogenik

Anamnesis
Hampir sama dengan shock pada umumnya tetapi pada shock neurogenik dari
anamnesis biasanya terdapat cedera pada sistem saraf (seperti: trauma kepala, cideraspinal, atau
anestesi umum yang dalam).

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat,
bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa
quadriplegia atau paraplegia.

15
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah (Hb, Ht, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin,
glukosa darah.
2. Analisa gas darah
3. EKG

Diagnosis Banding
1. Semua jenis shock.
2. Sinkop (pingsan)
3. Hipoglikemia

2.4.4 Shock Kardiogenik

Shock kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda shock dan
dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas,gangguan irama jantung,
rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli p a r u , tamponade jantung, kelainan katub atau
sekat jantung. Shock kardiogenik ditandai dengan tekanan sistolik rendah (kurang dari
90mmHg), diikuti menurunnya aliran darah ke organ vital :
1. Produksi urin kurang dari 20 ml/jam
2. Gangguan mental, gelisah, sopourus
3. Akral dingin
4. Aritmia yang serius, berkurangnya aliran darah koroner, meningkatnya laktatkardial.
5. Meningkatnya adrenalin, glukosa,free fatty acid cortisol , rennin, angiotensin plasma
serta menurunnya kadar insulin plasma.Pada keadaan lanjut akan diikuti hipoksemia
primer ataupun sekunder, terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi-perfusi,
hipovolemia, dan asidosis metabolic .Hipovolemia merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada shock kardiogenik,disebabkan oleh meningkatnya redistribusi cairan dari
intravaskular ke interstitiel,stres akut, ataupun penggunaan diuretika.

16
Kriteria hemodinamik shock kardiogenik adalah hipotensi terus menerus (tekanan darah
sistolik <90 mmHg lebih dari 90 menit) dan bekurangnya cardiac index (<2,2/menit per m2) dan
meningginya tekanan kapiler paru (>15 mmHg). Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai
berikut:
1. Tensi turun : sistolik < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30 -60 mmHg
darisemula, sedangkan tekanan nadi < 30 mmHg.
2. Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2.
3. Tekanan di atrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun, normal,rendah
sampai meninggi.
4. Tekanan diatrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai meninggi.
5. Resistensi sistemis.
6. Asidosis.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang segera dilakukan :
1. Serum elektrolit, fungsi ginjal dan fungsi hepar.
2. Jumlah sel darah merah, leukosit (infeksi), trombosit (koagulopati)
3. Enzim Jantung (Creatinine Kinase, troponin, myoglobin, LDH)
4. Analisa gas darah arteri, dapat menggambarkan keseimbangan asam-basa dan k a d a r
oksigen. Defisit basa penting, menggambarkan kejadian dan
d e r a j a t renjatan, harus dipantau terus selama resusitasi.
5. Pemeriksaan serial kadar laktat, menggambarkan hipoperfusi dan prognosis.
6. Pemeriksaan yang harus direncanakan adalah EKG, ekokardiografi. foto polos dada.

2.4.5 Shock sepsis

Pada anamnesis sering didapatkan riwayat demam tinggi yang berkepanjangan, sering
berkeringat dan menggigil, menilai faktor resiko menderita 23 penyakit menahun,
mengkonsumsi antibiotik jangka panjang, pernah mendapatkan tindakan medis/pembedahan.

17
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan demam tinggi, akral dingin,
tekanandarah turun < 80 mmHg dan disertai penurunan kesadaran. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang banyak atau sedikit, dan
jumlah faktor pembekuan yang menurun. Jika terjadi gagal ginjal, kadar hasil buangan metabolik
(seperti urea nitrogen) dalam darah akan meningkat. Analisa gas darah menunjukkan adanya
asidosis dan rendahnya konsentrasi oksigen.Pemeriksaan EKG jantung menunjukkan
ketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah yang tidak memadai ke otot jantung.
Biakan darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi.

Diagnosis Banding
Semua penyakit infeksi

2.5 Tatalaksana dan komplikasi

2.5.1 Shock hipovolemia

Keadaan shock hipovolemia biasanya terjadi berbarengan dengan kecelakaan sehingga


diperlukan tatalaksana prehospital untuk mencegah timbulnya komplikasi,transfer pasien ke
rumah sakit harus cepat, tatalaksana awal di tempat kejadian harus segera dikerjakan. Pada
perdarahan eksternal yang jelas, dapat dilakukan penekanan langsung untuk mencegah
kehilangan darah yang lebih banyak lagi. Prinsip pengelolaan dasar adalah menghentikan
perdarahan dan mengganti kehilangan volume.

Penatalaksanaan awal
1. Airway dan Breathing
Tujuan: menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaranventilasi dan
oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi >95%. Pada
pasien cedera servikal p e r l u dilakukan imobilisasi. Pada pasien dengan shock
hipovolemik memberikan ventilasi tekanan positif dapat mengakibatkan terjadinya
penurunan aliran balik vena, cardiac output, dan memperburuk shock.

18
Untuk memfasilitasi ventilasi maka dapat diberikan oksigen yang sifat
alirannya high flow. Dapat diberikan dengan menggunakan non rebreathing mask
sebanyak 10-12 L/menit.

2. Sirkulasi
Kontrol pendarahan dengan, mengendalikan pendarahan memperoleh akses intravena
yang cukup, menilai perfusi jaringanPengendalian pendarahan, dari luka luar tekanan
langsung pada tempat pendarahan (balut tekan). Pendarahan patah tulang pelvis dan
ekstremitas bawah. PASG ( Pneumatic Anti Shock Garment ).Pendarahan internal operasi.
Posisi pasien juga dapat mempengaruhi sirkulasi. Pada pasien dengan hipotensi dengan
menaikkan kakinya lebih tinggi dari kepala dan badannya akan meningkatkan venous
return. Pada pasien hipotensi yang hamil dengan cara memiringkan posisinya ke sebelah
kiri juga meningkatkan aliran darah balik ke jantung.

3. Disability
pemeriksaan neurolog. Menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon
pupil, fungsi motorik dan sensorik. Manfaat: menilai perfusi otak,
mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.

4. Exposure
Pemeriksaan lengkap terhadap cedera lain yang mengancam jiwa serta pencegahan terjadi
hipotermi pada penderita.

5. Dilatasi Lambung: dekompresi Dilatasi lambung pada penderita trauma, terutama anak-
anak mengakibatkan terjadinya hipotensi dan disritmia jantung yang tidak
dapatditerangkan. Distensi lambung menyebabkan terapi shock menjadi sulit. Pada
penderita yang tidak sadar, distensi lambung menyebabkan resiko aspirasi isi lambung.
Dekompresi dilakukan dengan memasukkan selang melalui mulut atau hidung dan
memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung.

19
6. Pemasangan kateter urin memudahkan penilaian adanya hematuria dan evaluasi perfusi
ginjal dengan memantau produksi urin. Kontraindikasi: darah pada uretra, prostat letak
tinggi, mudah bergerak.

Harus segera didapatkan akses ke pembuluh darah. Paling baik dengan 2 kateter
intravena ukuran besar, sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral. Kateter yang digunakan
adalah kateter pendek dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairan dalam jumlah
besar. Tempat terbaik jalur intravena orangd e w a s a a d a l a h l e n g a n b a w a h . B i l a t i d a k
m e m u n g k i n k a n d i g u n a k a n a k s e s pembuluh sentral atau melakukan venaseksi. Pada
anak-anak < 6 tahun, teknik penempatan jarum intraosseus harus dicoba sebelum menggunakan
jalur vena sentral. Selain itu, teknik intraoseus juga dapat dilakukan pada pasien dewasa dengan
hipotensi. Jika kateter vena telah terpasang, diambil darah untuk crossmatc,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan toksikologi, serta tes kehamilan pada wanita
subur serta analisis gas darah arteri.

Terapi Awal Cairan


Larutan elektrolit isotonik digunakan sebagai terapi cairan awal. Jenis cairan ini
mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkanvolume vaskuler
dengan mengganti volume darah yang hilang berikutnya kedalam ruang intersisial
dan intraseluler. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama sedangkan NaCl
fisologis adalah pilihan kedua. Jumlah cairan yang diberikan adalah berdasarkan hukum 3 untuk
1, yaitu memerlukansebanyak 300 ml larutan elektrolit untuk 100 ml darah yang hilang. Sebagai
contoh, pasien dewasa dengan berat badan 70 kg dengan derajat perdarahan III membutuhkan
jumlah cairan sebanyak 4.410 cairan kristaloid. Hal inididapat dari perhitungan [(BB x % darah
untuk masing-masing usia x % perdarahan) x 3], yaitu [70 x 7% x 30% x 3]. Jumlah darah pada
dewasa adalah sekitar 7% dari berat badan, anak-anak sekitar 8-9% dari berat badan. Bayi sekitar
9-10% dari berat badan. Pemberian cairan ini tidak bersifat mutlak, sehingga perlu
dinilai respon penderita untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan. B i l a
s e w a k t u r e s u s i t a s i , j u m l a h c a i r a n ya n g diperlukan melebihi perkiraan, maka
diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau
penyebab shock yang lain.

20
A. Umum p u l i h n y a t e k a n a n d a r a h m e n j a d i n o r m a l , t e k a n a n n a d i
d a n d e n y u t n a d i merupakan tanda positif yang menandakan bahwa perfusi
sedang kembali kekeadaan normal, tetapi tidak memberi informasi tentang perfusi
organ.
B. Produksi urin J u m l a h p r o d u k s i u r i n m e r u p a k a n i n d i k a t o r p e n t i n g u n t u k
perfusi g i n j a l . Penggantian volume yang memadai menghasilkan
pengeluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam
pada anak-anak dan 227 ml/kgBB/jam pada bayi. Jika jumlahnya kurang atau makin
turunnya produksi dengan berat jenis yang naik menandakan resusitasi yang tidak cukup.
C. Keseimbangan Asam-Basa penderita shock hipovolemik dini akan mengalami alkalosis
pernafasan karena takipneu. Alkalosis respiratorik disusul dengan asidosis metabolik
ringan dalam tahap shock dini tidak perlu diterapi. Asidosis metabolik yang berat dapat
terjadi pada shock yang terlalu lama atau berat. Asidosis yang persisten pada penderita
shock yang normo thermic harus diobati dengan cairan darah dan dipertimbangkan
intervensi operasi untuk mengendalikan pendarahan. Defisit basa yang diperoleh dari
analisa gas darah arteri dapat memperkirakan beratnya defisit perfusi yang akut.

Keberhasilan manajemen shock hemoragik atau lebih khusus lagi resusitasi cairan bias dinilai
dari parameter-parameter berikut: Capilary refill time < 2 detik, MAP 65-70 mmHg, O2 sat
>95%,Urine output >0.5 ml/kg/jam (dewasa) ; > 1 ml/kg/jam (anak), Shock index = HR/SBP
(normal 0.5-0.7),CVP 8 to12 mm Hg, ScvO2 > 70%IV.

Transfusi Darah
Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki kemampuan mengangkutoksigen dari
volume darah. Pemberian darah juga tergantung respon penderitaterhadap pemberian cairan.
Tujuan utama transfusi darah: memperbaiki kemampuan mengangkut oksigen dari volume darah.
Dapat diberikan darah biasa maupun packed cell.Pemberian cairan adekuat dapat
memperbaikicardiac output tetapi tidak memperbaiki oksigensi sebab tidak ada
penambahan jumlah dari mediatransport oksigen yaitu hemoglobin. Pada keadaan
tersebut perlu dilakukan tranfusi. Beberapa indikasi pemberian tranfusi PRC adalah:

21
1. J u m l a h perdarahan diperkirakan >30% dari volume total atau
p e r d a r a h a n derajat III
2. Pasien hipotensi yang tidak berespon terhadap 2 L kristaloid
3. Memperbaiki delivery oksigen
4. P a s i e n k r i t i s d e n g a n k a d a r h e m o g l o b i n 6 - 8 g r / d l . Fresh frozen plasma
diberikan apabila terjadi kehilan gan darah lebihdari 20-25% atau terdapat
koagulopati dan dianjurkan pada pasien yang telahm e n d a p a t 5 - 1 0 u n i t P R C .
T r a n f u s i p l a t e l e t d i b e r i k a n a p a d a k e a d a a n trombositopenia (trombosit
<20.000-50.000/mm 15) dan perdarahan yang terus berlangsung. Berikut indikasi dan
unit pemberian:

a. Lebih baik darah yang sepenuhnya crossmatched.


b. Darah tipe spesifik dipilih untuk penderita ya n g r e s p o n n ya
s e m e n t a r a atau singkat.
c. Jika darah tipe spesifik tidak ada, maka packed cell tipe O dianjurkan untuk penderita
dengan pendarahan
d. Hipotermia harus dihindari dan dikoreksi bila penderita saat tiba di RS dalam keadaan
hipotermi. Untuk mencegah hipotermi pada penderita yang menerima volume
kristaloid adalah menghangatkan cairannya sampai 39C sebelum digunakan.
e. Pengumpulan darah keluar untuk autotransfusi sebaiknya dipertimbangkan
untuk penderita dengan hemothoraks berat.
f. Pemberian kalsium tambahan dan berlebihan dapat berbahaya.

22
Komplikasi paling umum pada shock hemoragik adalah penggantian volume yang tidak adekuat.
1. Pendarahan yang berlanjut , pendarahan yang tidak terlihat adalah penyebab paling
umum dari respon buruk penderita terhadap cairan, dan termasuk kategori respon
sementara.
2. Kebanyakan cairan (overload ) dan pemantauan CVP (central venous pressure) Setelah
penilaian penderita dan pengelolaan awal, resiko kebanyakan cairandiperkecil dengan
memantau respon penderita terhadap resusitasi, salahsatunya dengan CVP. CVP
merupakan pedoman standar untuk menilai kemampuan sisi kanan jantung untuk
menerima beban cairan.
3. Menilai masalah lain. Jika penderita tidak memberi respon terhadap terapi, maka
perludipertimbangkan adanya tamponade jantung, penumothoraks tekanan, masalah
ventilator, kehilangan cairan yang tidak diketahui, distensi akut lambung, infark miokard,
asidosis diabetikum, hipoadrenalisme dan shock neurogenik.Beberapa medikasi lain yang
diperlukan adalah pemberian antibiotik dan antasida atau H2 blocker.

4. Sekuele neurologis
5. Kematian

23
2.5.2 Shock kardiogenik

Prehospital care: bertujuan untuk meminimalisir iskemik dan shock


y a n g sedang terjadi. Pasien dipasang akses intravena, oksigen h i g h f l o w , d a n
m o n i t o r jantung/ EKG. Dengan EKG dapat segera dideteksi terjadinya ST elevasi yang
terjadi pada infark miokard. Obat-obatan inortropik sebaiknya dipersiapkan. Bila
perlu,dapat dilakukan pemberian ventilasi tekanan positif dan intubasi. Pemasangan CPAP
(Continuous positive airway pressure) atau BIPAP (bilevel positive airway pressure) dapat
dipertimbangkan. Berikut adalah algoritme sindroma koroner akut. gambar 2.7

24
B e r d a s a r k a n p e n e l i t i a n ya n g t e r d a h u l u , t e r a p i p i l i h a n u n t u k s h o c k
t i p e i n i adalah percutaneus coronary intervention (PCI) atau bypass arteri koroner.
Dengan t e r a p i i n i m a k a a n g k a k e m a t i a n d a p a t t u r u n d a l a m 1 t a h u n p e r t a m a .
P C I t e r b a i k dilakukan saat onset dengan kejadian infark sekitar 90 menit sampai 12 jam
pertama. Jika fasilitas seperti ini tidak ada, maka terapi dengan trombolitik dapat
dipertimbangkan. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian trombolitik pada tekanan darah
yang rendah tidak dapat mengakibatkan lisis thrombus di pembuluh darah. Tatalaksana dimulai
dengan manajemen ABC. Pada pasien yang sangat sesak dapat dipertimbangkan intubasi dan
ventilasi mekanik. P e m b e r i a n v a s o p r e s o r i n t r a v e n a b a i k u n t u k m e n i n g k a t k a n
i n o r t r o p i k d a n m e m a k s i m a l k a n p e r f u s i k e miokardium yang iskemik. Yang perlu
diperhatikan, pemberian vasopresor itu sendiri dapat berakibat peningkatan denyut jantung
yang pada akhirnya akan memperluas infark yang telah terjadi. Sehingga
penggunaan vasopresor di sini harus digunakan secara hati-hati. Beberapa vasopresor yang
dapat diberikan seperti:

1. Dopamin, dengan dosis tinggi mengakibatkan peningkatan konsumsioksigen miokard,


dosis yang digunakan 5-10 mcg/kg/min.
2. Dobutamin selain memiliki sifat inortropik tetapi juga memiliki efek vasodilatasi
sehingga dapat mengurangi preload dan afterload
3. Norepinefrin per infus dapat diberikan pada shock kardiogenik yang refrakter, obat ini
dapat mengakibatkan peningkatan afterload, dosis yang dapat digunakan 0.5 mcg/kg/min
Preparat nitrat atau morfin digunakan untuk analgetik, tetapi perlu diingat bahwa
keduanya dapat mengakibatkan hipotensi sehingga jangan sampai memperparah keadaan
shock pasien dengan pemberian preparat ini. Alat yang dapat membantu pasien
dalam shock kardiogenik secara mekanis yakni
intraaortic balloon pump (IABP) bermanfaat terutama pada shock kardiogenik
yang sudah tidak dapat ditangani dengan obat-obatan.20 Anti agregasi trombosit
seperti aspirin tersedia dalam 81 mg, 325 mg, 500 mg, dapat menurunkan mortalitas
akibat infark miokard. Vasodilator yang juga dapatdigunakan adalah
nitrogliserin IV yang bekerja dengan merelaksasikan otot polos pembuluh darah
sehingga menurunkan resistensi perifer.20

25
Beberapa komplikasi shock kardiogenik:
-Henti jantung
-Disritmia
-Gagal ginjal
-Kegagalan multiorgan
-Aneurisma ventrikel
-Sekuele tromboembolik
-Stroke
-Kematian.20

2.5.3 Shock neurogenik

Konsep dasar untuk shock distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin dan
efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitansfingter prekapiler dan vena
kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut. 4,9
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisiTrendelenburg).
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan
masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan
endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk
menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jikaterjadi distres respirasi yang
berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan
menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.13
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasicairan. Cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara
cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral,
turgor kulit, dan urin output untuk menilairespon terhadap terapi
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat -
obatvasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan
sepertiruptur lien) :

26
Dopamin merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa
dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi. Norepinefrin efektif jika dopamin tidak adekuat
dalam menaikkan tekanan darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah
jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian
subkutan,diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat
yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap
jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali.
Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot
uterus. Epinefrin pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme
cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung
Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami shock
hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh
diberikan pada pasien shock neurogenik Dobutamin Berguna jika tekanan darah rendah yang
diakibatkan oleh menurunnya cardiacoutput . Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah
melalui vasodilatasi perifer.

2.5.4 Shock septik

Pada SIRS (systemic inflammation response syndrome) dan sepsis, bila terjadi shock ini
karena toksin atau mediator penyebab vasodilatasi. Prinsip utama semua s h o c k
tetap ABC. Pengobatan berupa resusitasi cairan segera dan setelah
k o n d i s i cairan terkoreksi, dapat diberikan vasopressor untuk mencapai MAP optimal.
Perfusi jaringan dan oksigenasi sel tidak akan optimal kecuali bila ada perbaikan
preload.Dapat dipakai dopamin, norepinephrine dan vasopressin. Untuk menurunkan
suhu tubuh yang hiperpireksia dapat diberikan antipiretik. Pengobatan lainnya
bersifatsimtomatik. Pengobatan kausal dari sepsis.22 Pemilihan antibiotik untuk sepsis
biasanya secara empiris dapat digunakan :vankomisin, ceftazidim, cefepime, ticarcilin,
pipercilin, imipenem, meropenem, cefotaxim, klindamisin, metronidazol.

27
2.5.5 Shock anafilaktik

Penanggulangan shock anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada


pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan shock anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-
obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal
ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian
atau cacat organ tubuh menetap.14 Kalau terjadi komplikasi shock anafilaktik setelah
kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu
dilakukan, adalah:

1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggidari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung
dan menaikkan tekanan darah.

2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:


A. Airway
'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama
sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak
jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B. Breathing support
segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik
melalui mulut ke mulut atau mulut kehidung. Pada shock anafilaktik yang disertai udem
laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.Penderita
yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga
harus diberikan bantuan napas danoksigen. Penderita dengan sumbatan jalan
napas total, harus segeraditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi,atau trakeotomi.
C. Circulation support
yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.karotis, atau a. femoralis), segera lakukan
kompresi jantung luar.

28
D. Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasaatau 0.01
mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15
menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus
kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit.
E. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons,
dapat ditambahkan aminofilin 5-6 mg/kgBB intravenadosis awal yang diteruskan 0.4-0.9
mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
F. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5--10
mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari shock anafilaktik
atau shock yang membandel.
G. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
t u j u a n utama dalam mengatasi shock anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan
tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan
antara larutan kristaloid dan koloid tetapmerupakan perdebatan didasarkan atas
keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau
kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka
diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada
shock anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume
plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah
yangsama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu
dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa
melepaskan histamin.
H. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita shock anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu
dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
I. Kalau shock sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam.

29
2.6 Prognosis

Prognosis shock hipovolemik tergantung derajat kehilangan cairan. Bila keadaan klinis
pasien dengan shock anafilaktik masih ringan dan penanganan cepat dilakukan maka hasilnya
akan memuaskan. Prognosis pada shock neurogenik tergantung penyebab shock tersebut.
Sedangkan pada shock sepsis baik apabila penatalaksaan hemodinamik cepat dan segera
mengetahui bakteri/virus penyebab infeksi.

30
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan ulasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain;

1. Shock bukan merupakan suatu diagnosis, melainkan suatu sindrom klinis yang
mencakup sekelompok keadaan dengan manifestasi hemodinamik yang bervariasi
dengan gambaran umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan.

2. Shock terdiri dari beberapa tahapan, diantaranya tahapan kompensasi, tahapan


dekompensasi, dan tahapan irreversible.

3. Berdasarkan etiologinya, shock terdiri dari, shock hipovolemik, shock


kardiogenik, dan shock distributif. Shock distributif meliputi;
a. Shock anafilaktik
b. Shock neurogenik
c. Shock sepsis

4. Penanganan shock berbeda-beda sesuai dengan kelainan atau penyebab shock


tersebut.

5. Adapun gejala umum dari shock adalah;


a. Pucat (pallor)
b. Hipotensi (tekanan sistol <90 mmHg); terkadang tekanan darah tak terdeteksi
c. Takikardi (frekuensi jantung >100x/menit)
d. Takipneu (nafas cepat >28x/menit)
e. Berkeringat
f. Akral dingin (kecuali pada tipe shock anafilaktik dan sepsis)
g. Oliguria

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. 119 -
24.
2. Udeani J. Shock, Hemorrhagic. 2008 [cited November 26
Th 2011].http://emedicine.medscape.com/article/432650-overview
3. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency
Surgery. 2006. 1-144.
4. American College of Surgeons Committe On Trauma. Advanced Trauma
LifeSupport Untuk Dokter. 1997. 89-1155 .
5. Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 1, edisi
4.1995. Jakarta: EGC.
6. Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic shock:Helpful or
harmful Curr Opin Crit Care 7:422, 2001
7. Japardi,Iskandar.2002.ManifestasiNeurologikShock
Sepsis. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi20.pdf
8. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock.Dalam buku:
Darovic G O, ed,Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical
Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 - 499.9 .
9. SchwarzA, Hilfiker ML.Shock. update October
2004http:/www/emedicine.com/ped/topic30471 0
10. Patrick D. At a Glance Medicine, Norththampon : Blackwell Science Ltd,2003
11. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku:Safe Anaesthesia, 1996 ; 408-413
12. Kolecki P, author. Hypovolemic shock [monograph on the
Internet].Washington:Medscape reference;2010[cited2011Nov29]. Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment
13. American College of Surgeons Committe On Trauma. Advanced Trauma LifeSupport
Untuk Dokter. 1997. 89-11543
14. Rifki. Shock dan penanggulangannya. FKUA. Padang.1999

32
15. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency
Surgery. 2006. 1-141 6 .
16. Martel MJ. Hemorrhagic shock. J Obstet Gynaecol Can. Vol 24 (6). 2002.504-11
17. Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic
shock:Helpful or harmful? Curr Opin Crit Care 7:422, 2001
18. Bozeman P WShock, Hemorrhagic. 2007 [cited Mei 10
th2011].http://www.emedicine.com
19. Demling RH, Wilson RF. Decision making in surgical care. B.C. Decker
Inc.1988.64
20. Brandler ES, editor. Cardiogenic shock in emergency medicine [monographon
the Internet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29].Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment
21. Lenneman A, Ooi HH, editors. Cardiogenic shock. [monograph on theInternet].
Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29].Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/152191-treatment
22. Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan shock pada dewasa. [Clinical
updatesemergency case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 2008

33

Anda mungkin juga menyukai