Anda di halaman 1dari 11

BED SIDE TEACHING

ANESTESI SPINAL PADA APENDIKTOMI

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

Firdha Kumala Indriyani


20174010070

Pembimbing:
dr. Tinon Anindita, Sp. An

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
A. Problema

B. Hipotesis

Appendiktomi dengan ASA 1 menggunakan anestesi regional


C. Mekanisme

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan


penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering. Apendisitis akut sering muncul
dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang
memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum
lokal.
Gajala apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus, sering disertai mual dan
kadang muntah, nafsu makan menurun dan dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
Appendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera
mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan
dibawah anestesi umum umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara
laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila
apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah.
Pada kasus ini operasi appendiktomi dengan diagnosis pre-operatif
appendisitis pada pasien ASA II Gejala yang paling menonjol adalah demam dan
nyeri tekan pada regio abdomen kanan bawah (titik Mc Burney) dan leukositosis.
Pada operasi pasien ini, teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi
regional (spinal). Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok
spinal intradural atau blok intratekal. Hal hal yang mempengaruhi anestesi spinal
ialah jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat,
posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang
belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.
Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini
berdasarkan pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi appendiktomi
sehingga pasien memerlukan blockade pada regio abdomen bawah untuk
mempermudah operator dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya
sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan. Analgesia spinal dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgetik lokal ( bupivacain ) ke dalam ruang
subarachnoid ( urutan jarum spinal untuk mencapai raung subarachnoid : kulit
subkutis lig. Supraspinosum lig. Interspinosum lig. Flavum ruang epidural
duramater ruang subarachnoid ) di antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-
L5.

8 jam sebelum operasi pasien menjalani puasa hal ini bertujuan untuk
meminimalkan terjadinya regurgitasi karena selama anestesia refleks laring
mengalami penurunan.

D. Keadaan Pasien
Status pasien
o Kesadaran: kompos mentis
o Nadi :
o Suhu :
o Respirasi :
Status lokalis :
Hasil pemeriksaan laboratorium
Hb : 13,3 gr/dl
Ht : 40,5%
Eritrosit : 4,49 106 mm3
MCV : 90 m3
MCH : 29,6 pg
MCHC : 32,8 gr/dl
Leukosit : 6,9 x 103/mm3
Trombosit : 379 x 103/mm3
Ureum : 18,5 mg/dl
Kreatinin : 0,81 mg/dl
SGOT : 26 /l
SGPT : 24 /l
GDS : 72 mg/dl
EKG : normal
E. Pertanyaan
1. Apa yang dimaksud anestesi spinal?
2. Apa indikasi dan kontaindikasi anestesi spinal
3. Bagaimana teknik anestesi spinal dan mekanisme kerjanya?
4. Apa obat yang digunakan pada anestesi spinal?

F. Teori

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan


penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/
subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal.
Hal hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat
yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan
intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien,
obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis
dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan
dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar
(vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya
kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi
dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.
Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung
lambat. Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui
aliran darah vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya
anestesi tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal.
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai
bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus
seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul,
bedah obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil
dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi
lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan
tekanan intracranial. Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine surgery,
nyeri punggung, penggunaan obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin
subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, serta a resistant surgeon.
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi
tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed
concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan
untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga
adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan
adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin
parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.

Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan
operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan
tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki
permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai
dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain,
lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran
obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat
lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat
ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari
area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang
sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat
jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan
duk steril juga harus disiapkan.
Jarum spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya
runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis
yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan
karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.

Tipe Quincke Tipe Whitacre

Teknik Anestesi Spinal


Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi
termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi
dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di
depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan salah
satu sisi tubuh berada di meja operasi.
2. Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara
vertebrata lumbalis (interlumbal).
3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.
4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang
medial dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah cranial.
Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan
subaraknoid.
5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.

6. Suntikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang


subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat ditambahkan
vasokonstriktor seperti adrenalin.

Komplikasi
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
delayed.

Komplikasi tindakan :

1. Hipotensi berat: Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid
500ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi
akibat blok sampai T-2
3. Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat
kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi pasca tindakan:

1. Nyeri tempat suntikan


2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis

Komplikasi intraoperatif:

1). Komplikasi kardiovaskular


Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,
makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus
diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan
obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.

Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat
dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya
karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien
dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau hipoksia
bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan
dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-
Jarisch.

Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan


kristaloid (NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm
10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan
infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-
4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia
dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.

2). Blok spinal tinggi atau total

Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang
bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan
kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti
jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan
kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling
sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan
sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan
faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal
total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot
nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf
phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di
atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya
menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam
mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian
cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah
tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal
seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang
disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat
dan tepat.

Komplikasi respirasi

1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.

Komplikasi postoperative:

1). Komplikasi gastrointestinal


Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis
berlebihan,pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada
perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam
pasca pungsi lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua
lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Said A.Latief dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta :
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2002
2. Mansjoer, Arif. dkk. Kapita Selekta Kedokteran edisi III. Jakarta. 2002
3. R. Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi dua. Jakararta : Penerbit EGC.
2004
4. Anonim. Anestesiologi. Diakses dari http/www.doktermuda.wordpress.com. d

Anda mungkin juga menyukai