Anda di halaman 1dari 5

GALAHERANG

Di dalam negeri Matan, tersiar sebuah kabar tentang kemahsyuran seorang ulama besar yang
bernama Al Habib Hashim Yahya. Dari hari-kehari kemahsuran Al Habib Hashim Yahya
semakin berkembang, laksana bunga yang sedang mekar dan harumnya menyebar keseluruh
negeri.

Sementara itu, di kerajaan Matan Sukadana telah datang dua orang alim, yaitu Habib Husin
Al-Qadri dan Sayyid Salim Hambal yang kemudian bersahabat dengan Al-Habib Hashim
Yahya dan mereka sepakat untuk menyebarkan agama Islam di Kalimantan Barat.

Ketika menghadiri undangan dari Sultan Muhammad Zainuddin, yaitu Panembahan Matan
Tanjungpura untuk jamuan makan di dalam istana. Selain Al Habib Hashim Yahya diundang
pula Habib Husin Al-Qadri dan Sayyid Hambal.

Sudah merupakan adat istiadat bahwa setiap ada penjamuan selalu terdapat acara adat makan
sirih B. Pada waktu sirih itu disuguhkan atau diletakkan dihadapan Al Habib Hashim Yahya,
tampak air muka beliau berubah. Alat pembelah pinang atau yang lebih dikenal dengan nama
kacep, yang ujungnya berbentuk kepala burung, diambilnya. Lantas ia pun berkata tegas
sambil memegang alat pembelah pinang itu.

"Sesungguhnya, semua yang menyerupai ciptaan Tuhan adalah perbuatan syirik hukumnya
dan itu harus dimusnahkan."

Setelah mengatakan kalimat itu, alat pembelah pinang itu pun dipatahkan didepan Sultan dan
semua undangan yang hadir. Melihat hal itu, semua undangan membisu, terdiam seribu
bahasa, termasuk Sultan Zainuddin sendiri. Hal ini dikarenakan Al Habib Hashim Yahya
merupakan guru dari Sultan itu sendiri, sehingga beliau tidak berani memperotes karena takut
durhaka.

Melihat gelagat yang tidak baik tersebut, akhirnya Habib Husin Al-Qadri membacakan
firman Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur'an surah An-Nahl ayat 125. Kemudian alat
pembelah pinang yang sudah dipatahkan Al Habib Hashim Yahya itupun diambilnya
kembali. Sementara Sultan dan para undangan menunggu dan terdiam, dalam hati mereka
sendiri masing-masing bertanya, apa yang hendak dilakukan oleh Habib Husin Al-Qadri?

Dengan ibu jari, diambilnya air liur dari langit-langit mulutnya. Lalu, dicampurnya air liur itu
dengan kapur sirih sambil mengucapkan kata Bismillah. Setelah itu, air liur yang sudah
dicampur dengan kapur sirih tersebut lantas diusapkannya ke pembelah pinang yang sudah
patah menjadi dua tadi. Seketika itu pula, pembelah pinang tersebut menjadi utuh kembali
seperti sediakala, bahkan bentuknya semakin terlihat indah.

Para undangan yang menyaksikan kejadian itu menatap dengan penuh takjub. Mereka juga
kagum atas kebijaksanaan Habib Husin Al-Qadri dalam menetralkan suasana yang sempat
tegang dalam acara tersebut. Maka dengan rasa hormat, sebagian para undangan yang hadir
langsung menyalami dan mencium tangan Habib Husin Al-Qadri.

Setelah suasana agak tenang, Sultan pun berkata, "Tuan Habib Husin, aku sangat terkesan
dengan apa yang telah tuan lakukan tadi. Untuk itu, aku menginginkan Tuan Habib Husin Al
Qadri yang bijaksana menjadi mufti peradilana agama dan menyebar agama Islam di
Kerajaan Matan Tanjungpura ini untuk mendampingi Tuan Al-Habib Hashim Yahya."
Pintanya.

Habib Husin Al-Qadri terdiam sejenak. Ia tampaknya sedang meikirkan tawaran tersebut.
"Setelah saya berpikir, saya bersedia menerima tawaran dari Sultan. Dan semuanya semata-
mata hanya karena Allah." Kata Habib Husin Al-Qadri memberi jawaban. Beliau sanggup
mengemban tugas yang diberikan Sultan.

"Alhamdulillah." Ucap Sultan sambil menadahkan tangannya, mengucapkan rasa syukur


kehadirat Allah SWT. Dia senang telah menemukan orang seperti Habib Husin Al-Qadri
yang dia yakini adalah orang yang dapat menjaga amanah dan selalu mengedapankan
kejujuran yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan Hadits.

***

Pada suatu hari, Sultan memanggil Habib Husin Al-Qadri ke istana. Sepertinya ada sesuatu
hal yang ingin disampaikan beliau.

"Mufti Al-Habib Husin, kulihat engkau begitu sibuk berdakwah dalam membantuku
menegakkan keadilan di negeri ini. Tidak pernahkah engkau berpikir untuk mencari pasangan
hidup?" Tanya Sultan dengan hati-hati.

"Bagi saya, soal jodoh saya serahkan semuanya kepada Allah SWT." Jawab Habib Husin Al-
Qadri santun.

"Jika engaku berkenan, aku bermaksud menjodohkanmu dengan putriku yang bernama Nyai
Tua. Aku rasa engkau pun sudah mengenalnya." Kata Sultan. menghibur

"Beri saya waktu, Sultan. Saya akan memikirkannya dulu. Seadainya putri Sultan memang
jodoh saya, Insya Allah kami akan menjadi suami istri." Kata Habib Husin Al-Qadri dengan
bijak.

Setelah itu Habib Husin Al-Qadri pun mulai berpikir dan mempertimbangkan tawaran dari
Sultan tersebut. Setelah berpikir dan mempertimbangkan, dia kemudian mantap mengambil
sebuah keputusan. Maka tak lama kemudian Habib Husin Al-Qadri pun menikahi Nyai Tua.
Dan dari hasil perkawinan mereka, lahirlah seorang putra bernam Syarif Abdurrahman Al-
Qadri, yang kemudian hari dikenal sebagai pendiri Kerajaan Pontianak.

Kabar tentang kemahsyuran Habib Husin Al-Qadri sampai pula ketelinga Opu Daeng
Manambon, raja dari Kerajaan Mempawah. Ingin sekali beliau bertemu dengan Habib Husin
Al-Qadri. Lalu diutusnyalah putranya untuk menjemput Habib Husin Al-Qadri dengan
terlebih dahulu meminta persetujuan dari Sultan Zainuddin. Ketika sampai di istana Matan,
Utusan Opu Daeng Manambon langsung menghadap Sultan Zainuddin. Dan Setelah berbasa-
basi sejenak, dia pun langsung menyampaikan maksud dari kedatangan tersebut.

"Baginda Sultan, kedatangan saya kesini adalah sebagai utusan dari Raja Opu Daeng
Manambon, raja kerajaan Mempawah. Raja Opu Daeng Manambon menitipkan amanah
kepada saya untuk disampaikan kepada Baginda Raja."

"Ada apa gerangan wahai Pangeran?" Tanya Sultan dengan ramah.


"Baginda Raja Opu Daeng Manambon sangat ingin bertemu dengan ulama besar negeri ini
yakni Tuan Habib Husin Al-Qadri. Dan saya diutus kesini untuk menjemput beliau. Itupun
jika Sultan mengijinkan." Ujar Pangeran mengutarakan maksudnya dengan penuh rasa
hormat.

"Aku mengerti dengan keinginan Baginda Raja Opu Daeng Manambon untuk bertemu dan
membawa Habib Husin Al-Qadri ke Kerajaan Mempawah. Akan tetapi, sekarang ini aku
masih belum bisa mengijinkan Habib Husin Al-Qadri untuk keluar dari negeri ini." Kata
Sultan memberikan penjelasan.

"Kalau itu keputusan Sultan, saya akan sampaikan kepada Raja." Kata Pangeran. Maka,
Pangeran pun kembali ke kerajaan Mempawah tanpa membawa Habib Husin Al-Qadri ikut
bersamanya.

***

Pada suatu hari, di negeri Matan terjadi sebuah peristiwa yang cukup menggemparkan. Ada
seseorang pemuda tampan yang datang dari Pulau Siantan bernama Ahmad yang dikenal juga
dengan nama Nahkoda Ahmad. Sayangnya, pemuda tampan itu adalah seorang jagoan yang
sombong dan suka mengganggu wanita. Bahkan, di negeri Matan pun dia berulah yang sama.
Bahkan, kaum kerabat istana pun berani diganggunya.

Karena ulahnya tersebut, akhirnya Nahkoda Ahmad kemudian ditangkap dan mendapatkan
hukuman mati dari Sultan. Tapi oleh peradilan agama, Habib Husin Al-Qadri malah
mengubah hukumannya dengan mewajibkan Nahkoda Ahmad membayar denda dan dilarang
singgah ke Matan dan diharuskan juga untuk meminta maaf kepada Raja.

Rupanya, diam-diam Sultan sangat kecewa dengan keputusan Habib Husin Al-Qadri karena
mengubah hukuman yang telah dijatuhkannya kepada Nahkoda Ahmad. Tetapi Sultan tidak
berani mengutarakan kekecewaan hatinya tersebut.

Ketika kapal Nahkoda Ahmad meninggalkan Negeri Matan, kapal itu berserta awaknya lantas
diserang oleh laskar Matan. Sehingga Nahkoda Ahmad tewas dalam pertempuran itu.
Rupanya, dengan diam-diam Sultan memerintahkan Panglima untuk menyerang kapal
Nahkoda Ahmad. Berita itu akhirnya sampai juga kepada Habib Husin Al-Qadri. Betapa
terkejut dan tersinggungnya beliau, karena merasa keputusannya tidak diindahkan oleh
Sultan. Maka dari itu, dia pun lantas menghadap Sultan di istana dan langsung
mengungkapkan rasa kekecewaannya.

"Sultan telah memberikan amanah kepada saya selama tujuh belas tahun untuk menegakkan
keadilan di negeri ini. Dan selama itu pula saya selalu berusaha agar setiap hukuman yang
dijatuhkan tidak menyimpang dari aturan dan hukum agama. Tapi, sekarang tampaknya
Sultan tidak menghormati keputusan peradilan Negeri Matan lagi." Habib Husin Al-Qadri
berkata panjang lebar kepada Sultan dengan nada kecewa yang tidak dapat lagi
disembunyikannya.

"Menurutku, pemuda Nahkoda Ahmad itu memang layak mendapatkan hukuman mati." Kata
Sultan tegas.
"Tapi di negeri ini kita sudah mempunyai aturan yang jelas untuk menjatuhkan hukuman
kepada seseorang. Dan keputusan yang sudah diambil oleh mufti peradilan terhadap Nahkoda
Ahmad, saya rasa sudah cukup adil." Tukas Habib Husin Al-Qadri. Kemudian dia kembali
melanjutkan. "Tampaknya saya sudah tidak dapat lagi menjadi mufti di negeri ini Sultan."
Putusnya.

Sultan tampak terkejut mendengar perkataan terakhir Habib Husin Al-Qadri. "Mengapa Tuan
Habib Husin Al-Qadri sampai berkata begitu? Tuan masih sangat diperlukan di negeri Matan
ini." Kata Sultan dengan nada meyakinkan.

"Sebenarnya, sebelum menghadap Sultan, saya sudah memikirkan hal ini masak-masak. Dan
rasanya keputusan saya sudah bulat." Kata Habib Husin Al-Qadri dengan tegas.

"Kalau sudah begitu keputusanmu, aku pun tidak bisa memaksa Tuan Habib Husin Al-Qadri.
Tetapi kalau Tuan berubah Pikiran, kembalilah lagi kesini." Kata Sultan, memberikan
penawaran kepada Habib Husin Al-Qadri.

Setelah kejadian itu, Habib Husin Al-Qadri pun menyurati Raja Opu Daeng Manambon, agar
menjemputnya untuk hijrah ke Mempawah. Dalam suratnya tersebut, Habib Husin Al-Qadri
meminta agar disediakan dua bangunan yang terletak diujung pohon, yang daun dan
batangnya berwarna hijau yaitu pohon nipah. Maksudnya tidak lain adalah, sebuah tempat
yang banyak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang hijau, akan dapat dimanfaatkan sebagai
lahan kehidupan maupun untuk kemuliaan.

Sedangkan fungsi kedua bangunan itu adalah, satu untuk tempat tinggalnya dan satu lagi
untuk dijadikan surau. Raja Opu Daeng Manambon sangat senang menerima surat dari Habib
Husin Al-Qadri yang selama ini memang dinantikannya. Untuk mempersiapkan segala
sesuatunya, Raja Opu Daeng Manambon pun mengadakan musyawarah dengan para petinggi
kerajaan.

"Saya sangat gembira karena menerima surat dari Habib Husin Al-Qadri. Beliau akan datang
ke kerajaan kita ini. Tetapi beliau minta disiapkan tempat dan minta di jemput ke negeri
Matan." Kata Raja membuka peretemuannya dengan wajah gembira. "Untuk itulah saya
mengundang saudara-saudara kesini."

Setelah itu Raja Opu Daeng Manambon pun membacakan surat dari Habib Husin Al-Qadri
didepan para petinggi kerajaan. Setelah itu dia berkata lagi.

"Saya sangat gembira mendengar berita ini. Bangunan yang diinginkan Tuan Habib Husin
Al-Qadri, untuk tempat tinggal dan surau secepatnya harus sudah disiapkan. Sedangkan
untuk penjemputan, kita harus menyiapkan dua perahu kakap. Dan utusan ini saya serahkan
kepada Pangeran Mangku untuk memimpinnya." Titah Sang Raja.

***

Pada tahun 1758 Masehi, resmilah Habib Husin Al-Qadri datang ke Mempawah, tepatnya di
kampung yang sekarang ini dikenal dengan nama Desa Sejegi. Sejak saat itu, tersiarlah kabar
bahwa Habib Husin Al-Qadri sudah menetap di Mempawah. Kemudian berdatanganlah
penduduk dari berbagai penjuru negeri untuk berguru mempelajari agama Islam.
Mereka datang dengan menggunakan perahu-perahu badung, penjajab, badar dan sekunyar.
Perahu-perahu itu diikat di tengah sungai di sebatang galah yaitu batang bambu yang
berwarna hijau. Dan ada pula yang menyangkutkan galanya didahan, ranting dan di akar-akar
beringin yang ada di sekitar kediaman Habib Husin Al-Qadri.

Lama-kelamaan tempat yang semula dijadikan orang untuk menambat perahu di sebatang
bambu dan menggantung gala itu, akhirnya disebut dengan Gala Orang. Dan karena
pengucapan bahasa atau dialek kedalam bahasa daerah, maka kata Gala Orang kemudian
berubah menjadi Galah Herang.

Galaherang kemudian menjadi nama yang identik dengan tempat tinggal Habib Husin Al-
Qadri, sang penyebar agama Islam di Mempawah dan menjadi kota penuntut ilmu

Anda mungkin juga menyukai