Anda di halaman 1dari 19

KASUS BANK LIPPO

Profil perusahaan

PT Bank Lippo Tbk merupakan perusahaan yang menyediakan produk perbankan umum dan
pelayanan dengan segmen konsumen dan perusahaan di Indonesia. Perusahaan ini menyediakan
account pribadi, kartu debit, kartu distribusi, kartu kredit, produk investasi, bancassurance, safe
deposit dan produk dan layanan pembayaran. PT Bank Lippo Tbk juga menawarkan deposito,
giro, pengiriman uang, pembukaan, rekening tabungan, pembiayaan perdagangan, dan produk
bank draft dan jasa. Pada 24 April 2007, beroperasi 400 cabangdan kantor, dan 693 anjungan
tunai mandiri. Sejarah Bank Lippo dimulai pada tahun 1948 dan didirikan oleh Mochtar Riady
bersama grup Lippo hingga sempat menjadi bank kesembilan terbesar dalam jumlah aktiva yang
dimilikinya. Saat Asia mengalami krisis pada tahun 1997, Indonesia menjual sebagian saham di
Bank Lippo yang digunakan untuk menutup defisit anggaran pemerintah Indonesia yang
mencapai 450 triliun rupiah. Penjualan itu akhirnya juga digunakan untuk menyelamatkan
keuangan bank-bank yang mengalami krisis pada saat itu. Kemudian pada tahun 2004 sebuah
lembaga asal Swiss yang bernama Swissasia Global, membeli 52,1 persen saham Bank Lippo
dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya Pada tanggal 26 Agustus
2005, pemegang saham bank dan Bank Indonesia menyetujui penjualan 52,05% saham
mayoritas dimiliki oleh Swissasia Global ke Santubong Investment BV yang sepenuhnya
dimiliki oleh Khazanah Nasional Berhad, sebuah institusi investasi milik pemerintah federal
Malaysia. Penjualan mulai berlaku pada Sejak Khazanah, memiliki kepentingan langsung dari 93
persen di Bank Lippo melalui Santubong Investment BV dan Greatville Pte. Ltd, dan juga
memiliki 64 persen dari Bank CIMB Niaga melalui Bumiputra-Commerce Holdings, Bank Niaga
dan Bank Lippo harus digabung untuk memenuhi ke "kebijakan kepemilikan tunggal" bank
sentral Indonesia. Pada November 2008, Lippo Bank resmi bergabung dengan Bank CIMB
Niaga dan dikenal sebagai PT Bank CIMB Niaga Tbk anak perusahaan Indonesia dari CIMB
Group.

Overview Kasus
Seperti diketahui, telah terjadi perbedaan laporan keuangan Bank Lippo per 30
September 2002, antara yang dipublikasikan di media massa dan yang dilaporkan ke BEJ. Dalam
laporan yang dipublikasikan melalui media cetak pada tanggal 28 November 2002 disebutkan
total aktiva perusahaan sebesar Rp 24 triliun dengan laba bersih Rp 98 Miliar.Sedangkan dalam
laporan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002, total aktiva berkurang menjadi Rp 22,8 triliun dan
rugi bersih (yang belum diaudit) menjadi Rp 1,3 triliun. Manajemen Lippo beralasan, perbedaan
itu terutama pada kemerosotan nilai agunan yang diambil alih (AYDA) dari Rp 2,393 triliun
pada laporan publikasi dan Rp 1,42 triliun pada laporan ke BEJ. Akibatnya keseluruhan neraca
dan akun-akun berbeda signifikan, termasuk penurunan rasio kecukupan modal (CAR) dari
24,77 persen menjadi 4,23 persen
Dalam Press release bapepam , ternyata terdapat 3 versi laporan keuangan PT Bank
Lippo Tbk per 30 september 200, dari 3 versi ini semuanya dinyatakan telah diaudit, yaitu:
1. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan di surat kabar
pada tanggal 28 November 2002;
2. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan ke BEJ pada
tanggal 27 Desember 2002;
3. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan oleh Akuntan
Publik KAP Prasetio, Sarwoko &Sandjaja kepada Manajemen PT Bank Lippo Tbk pada tanggal
6 Januari 2003. Ketiga versi laporan keuangan tersebut disajkan ditabel berikut ini:

Versi Laporan keuangan 1. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang2. Laporan
diiklankan di surat kabar pada tanggal 28 November 2002; Pemuatan iklan 2002 yan
tersebut merupakan pelaksanaan kewajiban PT Bank Lippo Tbk atas 2002; Pe
ketentuan Bank Indonesia. kewajiba
Laporan

informasi dalam laporan a. pernyataan Manajemen PT Bank Lippo Tbk bahwa laporan keuangan a. Pernyata
keuangan tersebut disusun berdasarkan Laporan keuangan Konsolidasi yang telah keuangan
diaudit oleh KAP Prasetio,Sarwoko & Sandjaya (penanggung jawab Drs. audited
Ruchjat Kosasih) dengan pendapat wajar tanpa pengecualian b. Penyajia
b. Penyajian dalam bentuk komparasi per 30 September 2002(Diaudit) dan 2002(au
per 30 September 2001 (Tidak Diaudit) c. Nilai Ag
c. Nilai Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) per 30 September 2002 Septembe
sebesar Rp 2,393 triliun; d. Total akt
d. Total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp 24,185 triliun; e. Rugi ber
e. . Laba tahun berjalan per 30 September 2002 sebesar Rp 98,77 M f. Rasio Ke
f. Rasio Kewajiban Modal Minimum Yang Tersedia sebesar 24,77%.

(Sumber Press Release BAPEPEM)

Seperti terlihat pada tabel, rasio kecukupan modal (CAR) juga terjadi penurunan yang signifikan
dari 24,77% menjadi hanya sebesar 4,23%, dimana Rasio Kecukupan modal yang disyaratkan
oleh Bank Indonesia pada saat itu adalah sebesar 8%.

Tanggapan Manajemen
Atas Perbedaan Laporan keuangan ini, pada tanggal 15 januari 2003,Bank Lippo
dipanggil BEJ dan Bapepam untuk menjelaskan soal laporan ganda, MenurutPresiden Direktur
Bank Lippo I Gusti Made Mantra, seperti dituturkan Direktur Utama BEJ Erry Firmansyah,
laporan keuangan kuartal III tahun 2002 yang dipublikasikan pada 28 November 2002 lalu
belum memasukkan hasil penilai terhadap transaksi yang diketahui kemudian. Laporan keuangan
itu dilansir guna memenuhi ketentuan Bank Indonesia, agar laporan keuangan diumumkan paling
lambat 60 hari setelah masa buku ditutup. "Kalau menurut BEJ tidak harus diumumkan itu," kata
Erry.
Pihak Lippo berdalih, kerugian itu terjadi menyusul adanya laporan konsultan penilai per
16 Desember terhadap aset yang diambil alih dan sekarang dalam proses penjualan. Menurut
penilaian konsultan mengacu harga pasar, aset properti senilai Rp 2,6 triliun itu telah menurun
menjadi Rp 1,6 triliun sehingga Lippo harus menyediakan cadangan sebesar Rp 980 miliar.
Selain itu, bank ini juga mencadangkan untuk aset lain yang kualitasnya memburuk sebesar Rp
400 miliar. Sehingga total dana yang dicadangkan sebesar Rp 1,4 triliun. Keuntungan bank ini
sebesar Rp 200 miliar tidak memadai untuk menutupi pencadangan sebesar Rp 1,4 triliun,
sehingga Bank Lippo dianggap rugi Rp 1,2 triliun. Menjawab teka-teki dalam maalah laporan
keuangan ini tidaklah mudah, terutama karena manajemen Lippo Bank cenderung tutup mulut.
Hal ini dibenarkan oleh Presiden Direktur Lippo Bank, I Gusti Made Mantra. "Direksi
diperintahkan tutup mulut," ujarnya menjawab telepon TEMPO, Sabtu tanggal 27 januari 2003
"Saya diminta puasa bicara," katanya menambahkan.
Dalam sebuah konferensi pers, Presiden Direktur Bank Lippo, I Gusti Made Mantera,
menjelaskan bahwa perbedaan isi laporan disebabkan adanya peristiwa setelah tanggal neraca
(subsequent event), yakni berupa penurunan nilai aset yang diambil alih (AYDA) dari Rp 2,4
triliun menjadi Rp 1,42 triliun. Menurut seorang pejabat Bank Lippo yang tak mau disebut
namanya, penurunan drastis nilai aset yang kebanyakan berbentuk properti ini terjadi karena saat
itu--Juni 2002-- BPPN mengguyur pasar melalui penjualan aset secara besar-besaran dengan
harga obral. "Akibatnya, ketika aset itu dinilai otomatis nilainya turun," kata pejabat itu. Namun,
yang menarik, pihak direksi terkesan berusaha menutupi fakta bahwa aset tersebut berasal dari
Grup Lippo, yang diserahkan kepada Bank Lippo menjelang rekapitalisasi pada 1999.
Pada tanggal 24 Februari 2003, Presiden Direktur Bank Lippo, I.G.M. Mantera,
menyatakan, Untuk menambal kerugian yang besar itu, Mantera mengatakan, Bank Lippo akan
melakukan penambahan kapital. Besarnya tambahan modal memang belum dipastikan, tapi
diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun. Para analis lagi-lagi melongo. Tiga tahun lalu, bank yang
didirikan keluarga Riady itu sudah diinjeksi modal Rp 7,7 triliun dari pemerintah. Kok, mau
menambah kapital lagi? Sementara itu, di pasar modal, harga saham Bank Lippo terus merosot.
Dalam tempo tujuh bulan sejak April 2002, harga saham bank terbesar nomor tujuh Indonesia itu
telah melorot turun hingga 75 persen. Padahal, harga saham bank lain di bursa Jakarta justru
sebaliknya, malah terus membaik.
Tanggapan BEJ
Sehubungan dengan temuan ini, BEJ telah melakukan beberapa tindakan. Tanggal 15
Januari 2003 lalu, BEJ meminta manajemen Lippo melakukan klarifikasi. Karena dua kali
hearing, BEJ menilai klarifikasi yang dilakukan belum jelas, manajemen bank itu diwajibkan
melakukan paparan publik. Paparan publik dilakukan pada tanggal 11 Februari lalu Sebelumnya,
dalam rilis yang dikirimkan, BEJ menilai manajemen Lippo telah melakukan kelalaian. Yaitu,
mencantumkan kata audited pada laporan keuangan yang unaudited, sehingga mengakibatkan
kerancuan informasi pada publik. Sehubungan dengan itu, BEJ memberikan sanksi berupa
peringatan keras kepada manajemen.
Terkait dengan dilakukannya penilaian kembali atas Aset Yang Diambil Alih (AYDA),
maka BEJ mewajibkan manajemen untuk memberikan progress report yang ada, pada hari bursa
pertama setiap minggunya. Laporan perkembangan ini harus dilakukan manajemen Lippo mulai
tanggal 24 Februari hingga dikeluarkannya laporan keuangan auditan per 31 Desember 2002
kepada publik.
Bapepam Periksa Akuntan yang mengaudit Bank Lippo
Badan Pengawas Pasar Modal pada senin 3 februari 2003, memeriksa kantor akuntan
publik Ernst & Young, Sarwoko and Sanjaya, yang mengaudit laporan keuangan PT Bank Lippo
Tbk. Pemeriksaan ini untuk mengklarifikasi pernyataan Managing Partners Sarwoko Iman
Sarwoko beberapa waktu lalu, yang mengaku hanya mengaudit laporan keuangan Lippo yang
dilaporkan ke Bursa Efek Jakarta.
Menanggapi hal ini, Managing Partners Sarwoko yaitu Iman Sarwoko, bersikukuh
menyatakan bahwa kantornya hanya mengaudit laporan keuangan Lippo yang dilaporkan ke
BEJ. "Kita cuma merasa membuat audit report ke BEJ tuh,". Saat laporan keuangan Lippo
pertama kali keluar kepada publik, yaitu ke Bank Indonesia, kantornya belum selesai mengaudit
laporan keuangan itu. "Valuasinya belum selesai karena belum menyesuaikan agunannya," kata
dia, sambil menambahkan ada selisih waktu sekitar 3 minggu dari laporan ke BI dan selesainya
audit oleh kantornya. Jadi, lanjutnya, dia tidak tahu menahu kenapa ada laporan keuangan yang
sebenarnya belum beres diaudit tapi sudah dilaporkan ke BI. "Harusnya kalau memang mau
dilaporkan juga, bilang saja itu bukan laporan belum diaudit," imbuhnya. Karena itu, tutur Iman,
sulit bagi Sarwoko dan Sanjaya untuk ikut pula mempertanggungjawabkan laporan keuangan
ganda itu.Dia mengaku siap diperiksa dan dimintai keterangan oleh BEJ, Bapepam, dan BPPN
terkait laporan keuangan ini. "Kita punya bukti kok audit report-nya yang ke BEJ," tandasnya.
Tapi Iman belum bisa mengungkapkan hasil pertemuan hari ini dengan bapepam. Karena, yang
memenuhi panggilan itu adalah penanggung jawab langsung laporan itu dari Sarwoko dan
Sanjaya, Ruhiyat Kosasih. "Anda hubungi dia saja," katanya.

Tanggapan Komisaris
Laksamana Sukardi, Mentri Negara BUMU mengatakan akan segera memangiil
komisaris pemerintah di Bank Lippo. wakil pemerintah di Bank Lippo adalah Anggito
Abimanyu, Deputi Kepala BPPN Junianto Triprijono dan Asisten Menko Perekonomian Hadiah
Herawati.
Anggito mengatakan laporan ganda merupakan hal yang biasa. Kata dia, ini biasa disebut
dengan dual dating. Biasa itu kalau ada sub sequen event lalu ada laporan berikutnya. Dan
tahun lalu juga terjadi demikian, kata wakil pemerintah di Bank Lippo ini yang juga menjabat
sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan. Ia menegaskan pihaknya sudah mengakui itu sebagai
kelalaian. Dan sudah dijelaskan dalam paparan publik beberapa waktu lalu tidak ada dua laporan
melainkan hanya satu. Mereka lalai mencantunkan kata-kata audit, lalu apalagi sudah minta
maaf sekarang tinggal serahkan ke Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal), tegas Anggito.
Dalam setiap rapat, ungkap dia, jajaran komisaris sudah mengingatkan untuk mencermati
kembali setiap laporan. Tapi, soal paparan publik itu merupakan urusan jajaran direksi. Yang
menyampaikan laporan keuangan itu kan direksi. Masa komisaris memeriksa kalimat per
kalimat, Karenanya ketika ditanya kalau Bapepam menyatakan kesalahan di pihak Lippo
apakah ia siap mundur? Ia menjawab, pokoknya semua proses hasil prosedur kita serahkan ke
Bapepam. Toh, kata dia, kesalahan itu tidak terlalu fatal karena hanya alpa mencantumkan kata
audit pada laporan ke Bursa Efek Jakarta. Anggito mengatakan kinerja banknya tidak ada yang
salah. Pihaknya akan tutup buku dan Anggito menambahakan penjualan aset kredit sudah tidak
dilakukan lagi oleh pihaknya. Bank Lippo memutuskan untuk menunggu sampai kondisi
membaik. Karena dalam RUPS (rapat umum pemegang saham) juga sudah diputuskan bahwa
penjualan itu dengan syarat tidak merugikan jadi tunggu situasi lebih baik, jelas dia.
DI kalangan wartawan, Roy Tirtadji dikenal dengan sebutan Mr. Off The Record. Tiap
kali diwawancarai, ia selalu buru-buru meminta semua pernyataannya tak dikutip. Tapi pekan
lalu, seiring kian memuncaknya skandal Bank Lippo, "tradisi" ini mendadak ia tinggalkan.
"Sudah saatnya saya bicara," Wakil Presiden Komisaris Bank Lippo ini memberi alasan saat
menerima tim TEMPO, Kamis kemarin, di sebuah kamar suite di Hotel Aryaduta. Berikut
petikannya pada tanggal 3 maret 2003
Kenapa laporan keuangan Bank Lippo yang tak diaudit dikatakan
sudah diaudit?
Laporan keuangan yang kita laporkan cuma satu, tapi tanggalnya saja yang ganda: tanggal 20
November, 22 November, dan 16 Desember. Ini normal untuk standar internasional, tapi
memang baru di Indonesia. Jadi, tidak ada dua laporan audit. Hanya satu. Opininya satu, tanda
tangannya juga satu.
Berarti BEJ salah memberi peringatan keras kepada Lippo?
Silakan tanya ke BEJ. Ini masalah rumit. Laporan yang kami publikasi pada 28 November
memang belum ditandatangani. Tapi, kalau ditanya apakah itu sudah diaudit, jawabannya sudah.
Soal aset yang diambil alih (AYDA), siapa debitor aslinya?
Ada asas kerahasiaan bank sehingga saya tidak bisa memberi tahu Anda. Saya profesional, dan
harus menuruti peraturan yang berlaku.
Peraturan Bank Indonesia mengatakan yang wajib dirahasiakan hanya
nasabah dan simpanannya. Soal kredit kan tidak.
Saya rasa tidak begitu. Saya tidak tahu ada peraturan yang mengharuskan bank mempublikasi
aset yang diambil alih.
Apakah pengutang itu masih terafiliasi dengan Grup Lippo?
Perlu diingat, ada peraturan di mana perusahaan publik yang minimal 30 persen sahamnya
dimiliki masyarakat tidak dianggap terafiliasi. AYDA itu memang ada yang dari Lippo
Karawaci. Terkait atau tidak? Saya katakan tidak, karena ada peraturan tadi.

Tanggapan BPPN
Pada tanggal 27 januari 2003,Ketua BPPN Syafruddin Temenggung memastikan untuk
tidak merekap Lippo. "Enak saja," katanya. Deputi Ketua BPPN Bidang Restrukturisasi
Perbankan, I Nyoman Sender, pun sepakat dengan bosnya. Bahkan, katanya, BPPN akan
mengganti manajemen Lippo jika mereka tidak mampu mengelolanya. Sender pun mengakui
bahwa pengaruh pemilik lama di Lippo Bank masih kuat.
Raymond van Beekum Kepala Divisi Komunikasi BPPN, pada yanggal 24 februari 2003,
memberikan tanggapan terkait kasus ini, antara lain:
1. Pernyataan bahwa penjualan AYDA membuat CAR merosot dari 24,7 persen menjadi 4,1 persen
tidak sepenuhnya benar. Proses penjualan AYDA saat ini masih berlangsung, sedangkan
penurunan CAR dimaksud terjadi karena adanya pencadangan atas nilai AYDA yang dinilai oleh
penilai independen. Dengan demikian masalah penjualan AYDA dan penilaian aset penjualan
merupakan dua hal yang terpisah.
2. Penjualan AYDA telah diagendakan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB)
pada 22 November 2002. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mewakili
pemerintah telah memberikan persetujuan atas penjualan AYDA, dengan catatan bahwa
penjualan aset tersebut dilaksanakan secara terbuka, mengacu pada praktek pasar yang sehat
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka menjaga kinerja Bank Lippo.
Proses penjualan AYDA adalah merupakan fenomena umum dan bukan hanya terjadi pada Bank
Lippo. Beberapa bank di bawah pengawasan BPPN juga telah melaksanakan program penjualan
aset dimaksud.
3. Penurunan nilai AYDA baru diketahui oleh BPPN setelah BPPN menyetujui usulan penjualan
AYDA melalui RUPSLB. Sebagai informasi dapat kami sampaikan bahwa RUPSLB
dilaksanakan pada 22 November 2002, sedangkan informasi hasil penilaian pihak independen
atas AYDA ini baru disampaikan Bank Lippo ke media massa melalui press release pada 17
Desember 2002.
4. Menindaklanjuti pengumuman bersama antara BPPN dan Bank Lippo pada 17 Januari 2003,
telah ditunjuk pihak penilai independen untuk melakukan penilaian kembali atas AYDA yang
dimaksud. Saat ini pihak penilai independen tersebut sedang menjalankan tugasnya.
5. BPPN saat ini masih menunggu hasil dari penilaian AYDA dimaksud, yang akan tecermin pada
laporan keuangan per posisi 31 Desember 2002 sebelum BPPN menentukan tindakan
selanjutnya. Untuk itu BPPN mengharapkan agar semua pihak untuk dapat bersabar.
6. Perlu kami klarifikasi bahwa Ketua BPPN, Bapak Syafruddin A. Temenggung, tidak menempati
posisi jabatan Komisaris Bank Lippo. Hal tersebut sebagaimana pernah beliau sampaikan bahwa
penunjukan dirinya sebagai komisaris Bank Lippo dalam RUPS pada 24 Januari 2002
sebenarnya belum pernah efektif, dan karenanya secara de facto tidak pernah terlibat langsung
dalam kepengurusan Bank Lippo. Beliau telah mengundurkan diri sebagai anggota komisaris
secara resmi dan berlaku efektif sejak 22 April 2002. Pengunduran diri ini dilakukan sebelum
beliau diangkat menjadi Ketua BPPN pada tanggal 23 April 2002. Sejak tanggal pengunduran
dirinya sampai pengangkatannya menjadi Ketua BPPN, beliau belum mengikuti proses fit and
proper test di Bank Indonesia sehingga belum dinyatakan efektif sebagai anggota komisaris Bank
Lippo. Dengan demikian hingga saat ini beliau tidak pernah melaksanakan fungsi kepengurusan
di Bank Lippo.
Aset Yang Diambil Alih (AYDA)
Berdasarkan pengumuman bersama antara BPPN dan Bank Lippo pada 17 Januari 2003,
telah ditunjuk pihak penilai independen untuk melakukan penilaian kembali atas AYDA
Tanggal 27 februari 2003, Valuasi aset Bank Lippo tersebut dilakukan oleh Satyatama
Graha Tara ,tim penilai independen valuasi aset ini menyatakan bahwa nilai aset yang diambil
alih (AYDA) Lippo saat ini, tak jauh berbeda dengan perhitungan awal, yakni senilai Rp 2,4
triliun. Konsekuensinya, rasio kecukupan modal (CAR) Bank Lippo masih di atas 20 persen.
Konsekuensinya, rasio kecukupan modal (CAR) Bank Lippo masih di atas 20 persen.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional pun memastikan tak perlu melakukan right
issue (penerbitan saham untuk dijual) untuk meningkatkan modal Bank Lippo. "Hitungan AYDA
tak menurun signifikan, tapi hanya sedikit," kata Kepala BPPN Syafruddin Temenggung di
Jakarta, Kamis (27/2).
Valuasi aset Bank Lippo tersebut dilakukan oleh Satyatama Graha Tara. Menurut
Syafruddin, penilaian ulang aset itu bertujuan untuk menjernihkan kontroversi mengenai
penurunan nilai aset Bank Lippo. Polemik dualisme laporan keuangan itu dipublikasikan pada
Desember 2002.
Berdasarkan valuasi, Syafruddin menambahkan, BPPN tidak bakal menjual AYDA
pada disstress value atau harga yang tertekan. "Pokoknya, sedang kita hitung," kata dia. Sebab
jika dijual juga, justru akan menyebabkan CAR Bank Lippo anjlok. Namun akan segera
dilakukan rapat umum pemegang saham luar biasa Lippo dalam waktu dekat. Menurut
Syafruddin, manajemen Lippo menggunakan asumsi, AYDA bakal dijual pada tahun ini karena
kebutuhan likuiditas dan untuk menurunkan biaya dana atas aset yang diambil alih. Tapi, bila
penjualan malah menyebabkan AYDA menurun secara signifikan, BPPN bisa menolak
penjualan AYDA seperti yang ditargetkan Lippo.
Pernyataan Syafruddin memang mengenakkan sesaat. Tengok saja. Pada saat yang sama,
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) justru menyerahkan penanganan pemeriksaan terhadap
lembaga penilai Bank Lippo kepada Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen
Keuangan. Alasannya, menurut Ketua Bapepam Herwidayatmo, pemeriksaan lembaga penilai
bukan kewenangan embaganya. Pemeriksaan versi Bapepam hanya soal skandal laporan
keuangan ganda ke dugaan rekayasa harga saham di pasar modal.
Pemeriksaan terhadap laporan keuangan Bank Lippo memang baru akan diumumkan
pada pertengahan Maret mendatang. Langkah tersebut menyangkut pemeriksaan akuntan publik
Bank Lippo, manajemen, serta lembaga penilai AYDA yang ditunjuk BPPN. Pascapemeriksaan,
Herwidayatmo menambahkan, akan diketahui pihak yang bertanggung jawab terhadap laporan
keuangan ganda Bank Lippo tersebut. "Ini untuk melihat, apakah penilai sudah independen dan
melaksanakan tugasnya dengan baik," kata dia.(BMI/Tim Liputan 6 SCTV)
Perbankan Nasional pun memastikan tak perlu melakukan right issue (penerbitan saham
untuk dijual) untuk meningkatkan modal Bank Lippo. "Hitungan AYDA tak menurun signifikan,
tapi hanya sedikit," kata Kepala BPPN Syafruddin Temenggung di Jakarta, Kamis (27/2).
Valuasi aset Bank Lippo tersebut dilakukan oleh Satyatama Graha Tara. Menurut
Syafruddin, penilaian ulang aset itu bertujuan untuk menjernihkan kontroversi mengenai
penurunan nilai aset Bank Lippo. Polemik dualisme laporan keuangan itu dipublikasikan pada
Desember 2002. Berdasarkan valuasi, Syafruddin menambahkan, BPPN tidak bakal menjual
AYDA pada disstress value atau harga yang tertekan. "Pokoknya, sedang kita hitung," kata dia.
Sebab jika dijual juga, justru akan menyebabkan CAR Bank Lippo anjlok.Namun akan segera
dilakukan rapat umum pemegang saham luar biasa Lippo dalam waktu dekat.

Pendapat Pengamat Perbankan


Menurut pengamat perbankan dari Bahana Sekuritas Mirza Adityaswara, sebenarnya
perusahaan sudah mengetahui adanya penurunan nilai agunan yang diambil alih (AYDA),
sebelum kedua laporan keuangan itu dikeluarkan. Namun perusahaan tetap memakai dua laporan
keuangan yang berbeda. Karena itu dia menduga, manajemen Lippo berusaha membohongi
publik dengan menyebutkan perusahaannya mendapat untung. Mereka takut, katanya, publik
akan merespon negatif jika mengetahui kinerja bank milik Mochtar Riady jeblok. Harusnya
tidak perlu takut kalau memang rugi, tandasnya.
Selain takut diketahui menderita rugi, menurut Mirza, hal ini juga terkait dengan adanya
usaha put option yang akan dilakukan pemerintah, dalam hal ini BPPN, untuk menjual saham
Bank Lippo yang dimilikinya kepada Lippo Group. Dia menjelaskan, sebelumnya Menteri
Keuangan pada saat itu hanya mau melepas saham Lippo seharga Rp 300 miliar saham (Rp 300
per saham) kepada Lippo Group. Namun Lippo sendiri melalui penilai independen mengatakan
nilai wajar Bank Lippo sebesar Rp 30 per saham. Menurut Mirza, dengan adanya nilai Rp 30 per
saham menunjukkan mereka sudah akan melakukan penyusutan nilai agunan yang diambil alih.
Hal ini dilakukan agar saham yang dijual pemerintah bisa dibeli dengan harga murah. Jadi
mereka harusnya sudah tahu lebih dulu. Tidak masuk akal alasan timing different, imbuhnya.
Meski Lippo telah melakukan revisi atas laporan keuangan tersebut, Mirza menilai harus tetap
ada sanksi yang tegas terhadap bank itu. ada penurunan nilai aset yang diambil alih, dari Rp 2,39
triliun menjadi hanya Rp 1,42 triliun. Aset ini merupakan jaminan yang diserahkan Grup Lippo
sebagai pembayaran atas utang-utangnya kepada Lippo Bank.
Mirza juga mengatakan , Lippo Bank seperti tak memberikan banyak pilihan kepada
BPPN. Dengan CAR di bawah delapan persen, mau tidak mau BPPN harus merekap ulang. Jika
tidak, BI akan menutupnya. "Ada upaya fait accompli," kata Mirza. Pilihan lain, divestasi saham,
sami mawon. Cara ini berakibat dua hal: saham pemerintah akan berkurang atau saham
pemerintah tetap melalui suntikan modal. Nah, jika pemerintah tidak mengambil haknya, pemilik
lama akan masuk karena mereka masih punya saham sekitar 8,11 persen melalui Lippo E-Net.
Analis lainya Lin Che Wei yakin bahwa pemilik lama Lippo, yaitu keluarga Riady,
berniat membeli aset berharga mereka (properti) dengan harga murah,misalnya AYDA, yang Rp
1,42 triliun. Tapi secara hampir bersamaan mereka juga memborong saham Bank Lippo dengan
harga supermurah. Memang ada indikasi bahwa harga saham Bank Lippo terus ditekan. Dalam
enam bulan, harganya jatuh dari Rp 75 per lembar menjadi cuma Rp 25. Saat itulah Grup Lippo
memborong saham Lippo di bursa. Pialang yang menggoreng saham ternyata yang itu-itu juga.
Satu di antaranya adalah Ciptadana Securities, anak perusahaan Lippo sendiri, yang pernah
memborong 74 juta lembar saham dalam sekali transaksi.
Kebetulan Oversight Committee Badan Penyehatan Perbankan Nasional (OCBPPN)
cepat bertindak dengan merekomendasikan kepada Kepala BPPN, Syafruddin Temenggung, agar
manajemen Lippo diganti. Akibat kisruh ini, penjualan aset yang berupa properti ditunda.
Sementara itu, analisis konsultan UBS Warbrug menyimpulkan bahwa AYDA senilai Rp 2,4
triliun itu setara dengan 82 persen modal bank. UBS Warbrug lalu mempermasalahkan kesehatan
Bank Lippo dalam hubungannya dengan AYDA. Ternyata, ketika AYDA dilepas oleh Bank
Lippo, rasio kecukupan modalnya (capital adequacy ratio/CAR) serta-merta anjlok dari 24,77
persen menjadi 4,38 persen. Berarti ini sudah di bawah ketentuan Bank Indonesia, yang
menetapkan CAR setinggi delapan persen. Tentu saja Bank Lippo memerlukan tambahan modal.
Deni Daruri dari Centre for Banking Crisis menilai bahwa manuver Lippo itu menggulirkan buah
simalakama kepada pemerintah. Soalnya, untuk menambah modal, bank harus menerbitkan
saham baru (right issue). Andaikata pemerintah tak mau beli saham itu?karena tak punya
duit?porsi sahamnya di Lippo otomatis menyusut alias dilusi. Tetapi, jika pemerintah nekat
membelinya, jelaslah hal itu akan membebani APBN. Kemungkinan buruk seperti itu bukan
tidak diketahui, baik oleh BPPN, BI, maupun Bapepam. Tapi mereka pasif sampai kini. Menurut
Lin Che Wei, mereka saling melempar tanggung jawab. Hal ini pun tak terlepas dari kelihaian
Lippo melobi dan "menempatkan" orang yang loyal pada pemilik lama di berbagai institusi
24 februari 2003,Che Wei menjadi orang terdepan yang menyerang keganjilan-keganjilan
di Bank Lippo. Ia membongkar berbagai praktek bengkok di bank yang mendapat suntikan
modal Rp 6 triliun dari pemerintah tersebut. Ia menelisik kejanggalan laporan keuangan ganda
sampai indikasi manipulasi harga saham. Semuanya berujung pada dugaan: pemilik lama Bank
Lippo, keluarga Mochtar Riady, ingin menguasai kembali banknya dengan harga murah.
Bagaimana persisnya upaya yang dilakukan keluarga Riady mencaplok Bank Lippo? Panjang
ceritanya. Ini bermula dari laporan keuangan kuartal ketiga 2002 yang dipublikasikan akhir
November lalu. Saat itu Bank Lippo menyatakan total asetnya mencapai Rp 24 triliun, dengan
keuntungan bersih Rp 99 miliar. Tapi hanya sebulan kemudian, dalam laporan ke Bursa Efek
Jakarta, aset Lippo merosot menjadi Rp 22,8 triliun. Keuntungan? Hilang lenyap, malah
berganti dengan kerugian yang jumlahnya mencapai Rp 1,3 triliun. Menurut pengelola Bank
Lippo, penurunan itu terkait dengan anjloknya nilai agunan yang sudah diambil alih (biasa
disebut sebagai AYDA), dari semula Rp 2,4 triliun menjadi Rp 1 triliun. Untuk menutup
jebloknya nilai agunan itu, Bank Lippo menyisihkan dana yang diambil dari pos modal. Tentu
saja langkah ini membuat rasio kecukupan modal (CAR) Bank Lippo melorot dari semula 24,8
persen menjadi 4,2 persen. Anjloknya nilai agunan yang begitu dahsyat sungguh mencurigakan.
Padahal sebagian besar jaminan yang diambil alih Lippo berupa petak tanah. Menurut data
sejumlah agen properti, harga tanah sejak 1998-2002 terus meningkat. Bagaimana mungkin nilai
properti Lippo, yang merupakan 70 persen AYDA, turun sendirian? Che Wei mempertanyakan
lelang yang kurang transparan dan berlangsung cepat. Lippo mengumumkan penjualan aset itu
beberapa hari menjelang akhir tahun 2002, melalui iklan di surat kabar yang begitu kecil.
Beberapa investor yang mencoba menawar seperti dihalangi dengan pelbagai syarat. Misalnya,
mereka harus menyerahkan deposit dalam jumlah besar, padahal informasi tentang asetnya
sangat tak memadai. Dari sinilah muncul kecurigaan adanya niat dari pengelola Bank Lippo
menjual AYDA-antara lain terdiri atas rumah dan tanah di Lippo Cikarang-kepada kelompok
sendiri. Lantaran kecurigaan itu pula Komite Pemantau BPPN minta agar proses lelang itu
dihentikan. Bersamaan dengan itu, terjadi aksi "menggoreng" saham Bank Lippo di pasar modal.
Beberapa broker secara bergantian berusaha menyeret turun harga saham bank papan tengah itu.
Salah satu broker itu sebagian sahamnya dimiliki Kelompok Lippo. Che Wei bahkan mencatat
adanya transaksi ganjil: menjelang pasar ditutup, beberapa pialang menjual saham Bank Lippo di
bawah harga pasar. Gerakan pelorotan itu dilakukan selama 40 hari berturut-turut sejak 4
November 2002 hingga 10 Januari 2003. Jatuhnya nilai buku dan penggorengan saham berhasil
memojokkan harga saham Bank Lippo. Dari Rp 450 di awal November menjadi cuma Rp 210,
atau turun sekitar 50 persen. Merosotnya harga saham Bank Lippo terasa ganjil karena harga
saham perbankan relatif stabil, bahkan menanjak (lihat grafik Liku-liku Sebuah Gerilya). Karena
modalnya mepet, Bank Lippo tak punya pilihan lain kecuali melakukan suntikan kapital. Ini
perlu agar Bank Lippo tetap masuk standar bank sehat menurut ketentuan Bank Indonesia, yang
mengharuskan rasio kecukupan modal 8 persen. Kalau tak bisa menambah modal, pilihan lain
Bank Lippo adalah likuidasi. Tapi jurus ini kurang masuk akal mengingat Bank Lippo
tergolong sistemic bank. Artinya, kalau ditutup, puluhan perusahaan yang terkait dengannya akan
ikut terseret ambruk. Langkah penambahan modal bisa dilakukan dengan penerbitan saham baru.
Tapi ini tak mudah-terutama bagi pemerintah yang menguasai mayoritas (hampir 60 persen)
saham Bank Lippo. Untuk mempertahankan kepemilikannya, pemerintah harus ikut
menyuntikkan modal sesuai dengan jatah. Jika Bank Lippo harus menambah modal Rp 1,4
triliun (sesuai dengan nilai agunan yang "hilang"), misalnya, pemerintah harus menyetor
sedikitnya Rp 840 miliar. Itu bukan jumlah yang ringan untuk sebuah negeri yang sedang
kesulitan uang. Pemerintah tak punya pos anggaran untuk menambah modal bank. Justru
sebaliknya, pemerintah akan menjual kepemilikan sahamnya di perbankan (termasuk di Bank
Lippo) untuk membiayai anggaran. Jika pemerintah tak bisa menyuntikkan modal, jatahnya bisa
dimanfaatkan pemilik saham Lippo yang lain (termasuk Riady), sekaligus mengambil alih posisi
mayoritas dari tangan pemerintah. Keluarga Riady bahkan bisa berlagak bak pahlawan karena
bisa "membantu" pemerintah menyehatkan Bank Lippo dengan menyuntikkan seluruh modal
yang dibutuhkan. Sampai di sini, pemilik lama bisa datang menagih janji lama pemerintah yang
tertuang dalam Perjanjian Kinerja, Manajemen, dan Investasi (IMPA). Perjanjian itu menyatakan
pemilik lama (keluarga Riady) boleh membeli kembali bagian sahamnya dengan harga pasar.
Saat ini harga saham Lippo hanya Rp 30. Nyaris sepersepuluh dari harga saham waktu direkap
pemerintah dulu, yaitu Rp 260 per saham. Sebuah skenario yang hampir sempurna, nyaris tanpa
cacat. Dengan sejumlah jurus yang licin, Lippo akan segera kembali ke pemilik lamanya.
Persoalannya, mengapa pemerintah seperti tak menyadari jurus-jurus kungfu Lippo yang
sebetulnya masih "standar" itu. Mengapa mereka tak bertindak? Bank Indonesia, misalnya,
selama ini menempatkan lima pengawas di Bank Lippo. Mungkinkah mereka tak mencium
kejanggalan dalam penilaian AYDA yang menjatuhkan modal Bank Lippo? Adnan Juanda,
Kepala Bagian Direktorat Pengawasan Perbankan Bank Indonesia yang mengawasi Bank Lippo,
menjawab secara diplomatis. "Barangkali itu di luar job rekan-rekan yang melakukan
pengawasan," katanya. Jawaban lebih jujur diungkapkan seorang bankir. Bank sentral, katanya,
telah mencurigai keanehan penilaian agunan oleh lembaga penilai yang ditunjuk Bank Lippo.
Tapi BI tak punya otoritas minta penilaian ulang. "Itu wewenang BPPN sebagai pemilik, kita
cuma pengawas," kata sumber tadi menirukan pejabat BI. Saling lempar tanggung jawab
diperlihatkan pula oleh otoritas Bursa Efek Jakarta (BEJ). Mereka mendiamkan manipulasi harga
saham Bank Lippo selama 40 hari. Baru setelah kontroversi berkembang, BEJ mengeluarkan
peringatan keras kepada pengelola Bank Lippo soal laporan keuangan ganda. "Hanya sebatas itu
wewenang kami," kata Direktur Utama BEJ, Erry Firmansyah. Soal manipulasi harga saham,
Erry mengaku masih menyelidiki soal itu. Menurut penelitian awal BEJ, harga saham Bank
Lippo dibentuk oleh beberapa transaksi besar di awal perdagangan. "Transaksi satu menit
menjelang penutupan pasar itu cuma mengikuti," kata Erry. Artinya, BEJ tak melihat adanya
kecurangan, apalagi manipulasi. Erry menampik kecurigaan dirinya bertindak lamban dan tak
fokus dalam kasus ini, karena pernah bekerja delapan tahun di Lippo. "Saya ini profesional. Lagi
pula saya sudah memberikan peringatan keras," katanya. Dosa Badan Pengawas Pasar Modal
(Bapepam) tak kalah besar. Lembaga ini terkesan tak berinisiatif memeriksa adanya laporan
keuangan ganda. Mereka juga mengabaikan surat peringatan adanya manipulasi saham yang
dikirim oleh Scott Ashton, seorang investor institusional. Lebih celaka lagi, Bapepam tak
mengendus rekayasa membeli kembali saham Bank Lippo oleh pemilik lama dengan harga
murah. Padahal semua itu menjadi tugas Bapepam, yang berada di garda depan pengawasan
perdagangan saham. Ketua Bapepam Herwidayatmo mengaku tengah meneliti laporan keuangan
ganda itu. Hasilnya akan diumumkan akhir bulan ini. Bila ada pelanggaran, ia berjanji akan
mengambil tindakan. Tapi pagi-pagi Herwid sudah lebih dulu menduga, laporan ganda itu terjadi
"karena kelalaian". Herwid juga berjanji akan memeriksa dugaan manipulasi harga saham. Tapi
Bapepam tak mau berurusan dengan dugaan adanya rekayasa keluarga Riady untuk membeli
kembali Bank Lippo. "Itu urusan BPPN," katanya. Herwid menepis kecurigaan ia kurang aktif
lantaran dekat dengan Lippo. Ia merasa tidak naik pangkat karena Lippo. "Kalau benar saya
orang Lippo, kenapa Bambang Sudibyo mengangkat saya menjadi Ketua Bapepam? Sampai
sekarang saya tidak pernah dikutik-kutik, tuh," tuturnya. Dari semua instansi pemerintah, yang
paling konyol dalam urusan Bank Lippo tak lain adalah BPPN. Komisaris yang ditunjuk
mewakili pemerintah di sana ternyata tak berfungsi dengan benar. Ini tampak dari keputusannya
menyetujui penjualan AYDA pada harga murah dan menyepakati rencana penambahan modal.
Padahal ini memudahkan pemilik lama membeli kembali sahamnya dengan harga murah.
Anggito Abimanyu, salah satu komisaris Bank Lippo dari BPPN, tetap ngotot tak melakukan
blunder. "Kinerja Lippo baik, tak yang salah," katanya. Ia membantah kabar Bank Lippo
merencanakan penambahan modal. Untuk itu Anggito siap mempertanggungjawabkan posisinya
sebagai komisaris. Ketua BPPN Syafruddin Temenggung sudah berkali-kali berjanji akan
mengganti manajemen Bank Lippo. Tapi sampai saat ini janji itu tak terpenuhi. "Setelah asetnya
dinilai kembali, saya akan melakukan sesuatu, jangan khawatir," katanya kembali melempar
janji. Untuk mencegah terulangnya jurus-jurus kungfu Bank Lippo, Che Wei mendesak
penggantian manajemen. Upaya lain: membatalkan pelelangan aset atau penilaian kembali
AYDA. "Biar saja aset itu tetap di Bank Lippo," katanya, "nanti dinilai sekalian ketika
pemerintah mau menjual sahamnya." Dengan cara ini, aset Lippo tak merosot, begitu pula
modalnya. Meskipun demikian, peluang keluarga Riady menguasai kembali Bank Lippo
bukannya tertutup. Mereka masih bisa beraksi ketika pemerintah menjual sahamnya. Untuk itu,
kata Mirza Adityaswara, mereka mesti dimasukkan daftar orang tercela karena terlibat
pelanggaran batas maksimal pemberian kredit. Sayang, pelbagai tudingan ini tak ditanggapi
keluarga Riady. Roy Tirtadji, yang biasa menjadi juru bicara, cuma sedikit memberikan
komentar. Itu pun ia minta off the record. Aneh, soal ini menyangkut reputasi. Roy mestinya
paham betul, dalam industri keuangan, reputasi adalah segala-galanya.
Kasus Bank Lippo Masuk Pengadilan
Kasus yang mencuat dari laporan keuangan ganda itu kini melebar ke pengadilan.
Komisaris Bank Lippo Rudi Toha Bachrie menggugat analis bursa Lin Che Wei secara perdata
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (26/2). Che Wei dinilai mencemarkan nama baik
manajemen Bank Lippo. Presiden Direktur PT SG Securities itu dituntut membayar ganti rugi
sebesar Rp 103 miliar. Dalam tulisannya di sebuah surat kabar harian, Che Wei menduga telah
terjadi praktik perampokan kekayaan negara dalam jumlah besar. Orang yang pertama
mencurigai laporan keuangan ganda itu menuding manajemen Bank Lippo merekayasa harga
saham dengan tujuan pemilik lama bisa membeli saham dengan harga murah. Saat ini, saham
Bank Lippo di lantai bursa hanya Rp 30 per lembar. Padahal, ketika menyuntik Lippo,
pemerintah harus membayar Rp 260 untuk tiap lembarnya. Analisis Che Wei juga didukung
pihak lain. Laporan Koalisi Masyarakat Antiskandal Bank Lippo kepada Kejaksaan Agung
menyebutkan kasus itu berpotensi merugikan negara senilai Rp 6 triliun atau setara dengan
saham yang pernah disetorkan pemerintah. Karena harga saham yang terus melorot, saham
pemerintah hanya tersisa Rp 600 miliar. BEJ yang menyelidiki masalah ini menemukan Bank
Lippo memberikan informasi yang dapat menyesatkan public Dalam pandangan Che Wei,
laporan keuangan bertujuan memberikan informasi yang benar kepada publik. Tapi yang
dilakukan Bank Lippo dengan laporan ganda adalah suatu rekayasa untuk menurunkan
nilai buku dari perusahaan. "Itu sama dengan pemalsuan kepada publik, bahkan BEJ
telah memberi peringatan keras," kata dia melalui video telekonferens dari Bali.
Sedangkan Roy Tirtadji berpendapat laporan keuangan yang berbeda itu dimungkinkan
untuk kepentingan berbeda sehingga angkanya juga bisa berlainan. Paskah berharap
peristiwa ini tak menganggu kepemilikan saham pemerintah dan merusak harga saham.Menurut
dia, Lippo adalah bank swasta nasional terbesar ketiga setelah Bank Central Asia dan Bank
Danamon. Bank Lippo yang kini memiliki 367 cabang dan 6.000 karyawan itu melayani sekitar
3,5 juta nasabah. Rasio kecukupan modal (CAR) Bank Lippo sejak direkapitalisasi terus
meningkat, bahkan mencapai 31 persen pada 2001. Angka ini melebihi ketentuan Bank
Indonesia yang hanya 12 persen. Kepemilikan saham Bank Lippo tersebar pada tiga pihak: 59,26
persen pemerintah, 32,57 persen publik, dan delapan persen pengelola. Namun pengamat
ekonomi Faisal Basri berpendapat, ada kejanggalan dalam perwakilan komisaris di Bank Lippo.
Meski pemegang saham mayoritas, pemerintah hanya diwakili empat orang yakni dua pejabat
BPPN, petinggi Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, dan pejabat Departemen Keuangan.
Jumlah itu sama dengan komisaris dari Bank Lippo. Che Wei juga menyoroti tentang sumber
penjualan aset-aset Bank Lippo, Desember 2002. Roy Tirtadji menjawab ada hal-hal yang tak
bisa dijelaskan kecuali atas permintaan BI. "Kami mempunyai kode etik dan rahasia perbankan,"
kata dia. Menurut Roy, jika terjadi kejanggalan penjualan aset tentunya diketahui tiga pejabat BI
yang setiap hari mengawasi. Menurut Wakil Ketua Komisi IX DPR Paskah Suzetta, berdasarkan
perjanjian dengan pemerintah, Bank Lippo diperbolehkan menjual lima persen dari aset yang
diambil alih. Dia menuturkan, laporan keuangan periode 1999-2001 menyebutkan laba dan CAR
Bank Lippo juga meningkat. "Ini artinya kepercayaan masyarakat bertambah, bahkan total dana
pihak ketiga mencapai Rp 21 triliun," ujar dia. Fakta yang diperoleh Che Wei menunjukkan
harga saham Bank Lippo turun secara sistematis. Selama tujuh bulan sejak April 2002, harga
saham bank terbesar nomor tujuh Indonesia itu merosot tajam hingga 75 persen. Padahal, harga
saham bank lain justru terus membaik. "Dalam jangka waktu tersebut, Bank Lippo the worst
performer di antara saham perbankan," kata dia. Roy Tirtadji mempertanyakan kecenderungan
serupa pada keseluruhan harga saham di pasar modal. "Apakah hanya saham Bank Lippo saja
yang turun," tanya dia. Anehnya, kata Che Wei, kecurigaan itu diperkuat saat BEJ menghentikan
transaksi penjualan saham ketika seorang investor melaporkan kejanggalan itu ke Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Dunia. "Itu membuktikan ada konspirasi kok kebetulan banget.
Saya punya bukti," ujar dia menegaskan. Roy Tirtadji menyanggah manajemen merekayasa
harga saham di bursa karena mereka tidak mengurus hal tersebut. Menurut Roy, para pendiri dan
manajemen Bank Lippo berkomitmen mengelola bank tersebut. Hal ini terlihat ketika mereka
menyerahkan dana pribadinya sebesar Rp 4 triliun untuk dana rekapitulasi. "Dari sekian bank
yang direkap, pemerintah hanya memiliki 60 persen saham di Bank Lippo," kata dia. Roy juga
mengungkapkan, Bank Lippo akan menjual aset-asetnya pada pada 2003. Di sesi terakhir, Che
Wei menegaskan, kecurigaan yang diungkapnya itu bukan persoalan pribadi dirinya dengan
jajaran komisaris dan direksi Bank Lippo. "Ini usaha saya mempertahankan independensi
sebagai analis yang tidak bisa diancam oleh pengadilan manapun," kata dia. Che Wei juga
berharap pejabat pemerintah tidak saling melempar tanggung jawab dan menjaga investasi uang
rakyat. Sedangkan Roy Tirtadji mengingatkan Che Wei agar berhati-hati menuding telah terjadi
praktik perampokan dan penjarahan di Bank Lippo. Berbeda dengan Rudi Toha Bachrie, Roy
tidak tertarik menggugat Che Wei ke meja hijau. "Saya berkonsentrasi mengelola bank karena
mempunyai tanggung jawab secara hukum," kata dia.

Siapa di balik Akal-akalan Lippo?


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/02/17/EB/mbm.20030217.EB85110.id.html
Sesaat sebelum proses rekapitalisasi bank dimulai pada 1999, dengan gesit Bank Lippo menarik
sejumlah aset Grup Lippo senilai Rp 2,45 triliun. Hal ini dilakukan untuk menekan jumlah kredit
macet di grup usaha Lippo itu. Alhasil, Bank Lippo lolos fit and proper testyang digelar BI saat
itu. Tetapi aset grup yang dialihkan ke bank Lippo lama-lama jadi bom waktu. Awal tahun ini,
Grup Lippo berniat membeli kembali aset tersebut. Rencana ini buyar ketika pers mencium
keganjilan di balik laporan keuangan ganda yang dibuat Bank Lippo akhir tahun 2002 lalu.
Berikut adalah pihak-pihak yang diperkirakan ikut memiliki kontribusi dalam skandal Lippo kali
ini. Dr. Mochtar Riady Sebagai pendiri sekaligus Presiden Komisaris Bank Lippo, dialah yang
merestui langkah direksi Bank Lippo yang berniat menjual aset yang dialihkan (AYDA) senilai
Rp 2,45 triliun. Dalam laporan tahunan Bank Lippo tahun 2001, Mochtar mengatakan masa
krisis adalah masa transisi untuk berubah. Jadi, Lippo berniat meninggalkan kebiasaan lama
dalam berbisnis. Untuk meraih kepercayaan publik, Bank Lippo sangat mengandalkan SDM
yang berkualitas, bahkan sampai menciptakan moto baru, yakni The Power of Change.
Ternyata moto tidak serta-merta mengubah watak perusahaan ini, begitu pula tekad untuk
berubah yang dicanangkan pendirinya, Mochtar Riady. James Tjahaja Riady Ketika James
diangkat sebagai CEO Grup Lippo pada pertengahan 1990-an, majalah Business
Week menobatkannya sebagai raja pasar uang Indonesia. Salah satu modal James adalah
keluwesannya bergaul. Mulai dari mantan presiden Soeharto, Habibie, hingga Bill Clinton.
Bahkan Habibie dan James saling mengagumi. "He call me 'uncle'," kata Habibie, sekadar
menggambarkan keakraban mereka. James memang dikenal piawai mengutak-atik keuangan
perusahaan agar nilainya bertambah. Di mata analis ekonomi Lin Che Wei, James-lah yang
menjadi otak berbagai rekayasa keuangan Grup Lippo. Salah satu buktinya adalah penggorengan
saham Bank Lippo yang dilakukan Ciptadana Securities sejak akhir 2002. Pernah dalam sekali
transaksi, Ciptadana, yang juga anak perusahaan Lippo, memborong 74 juta lembar saham Bank
Lippo. Tetapi, dalam wawancara dengan TEMPO di tahun 1999, James membantah bahwa
dirinya dipersiapkan menjadi raja imperium Lippo. Katanya, "Jika memandang Lippo hanya dari
figur Mochtar dan James, berarti orang melihat Lippo dari luarnya saja." Padahal,
ditambahkannya, dalam pengambilan keputusan Grup Lippo, semua ikut ambil
bagian. Syafruddin Temenggung, Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Tanpa
persetujuan BPPN, mustahil aset milik Bank Lippo bisa dijual. Soalnya, BPPN mewakili
pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas di Bank Lippo (59,25 persen). Dalam hal ini
dipertanyakan sikap Syafruddin, yang membiarkan penjualan AYDA sehingga berakibat rasio
kecukupan modal (CAR) Bank Lippo merosot dari 24,7 persen menjadi 4,1 persen. Bank Lippo
tentu perlu modal tambahan, tapi dampaknya bisa menyudutkan pemerintah. Sayang, keterangan
Syafruddin tentang masalah ini tak bisa diperoleh karena ia sedang melawat ke luar
negeri. Herwidayatmo, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Kasus laporan keuangan ganda
Lippo bukanlah "akrobat" Lippo yang pertama di bursa saham. Pada 2000 lalu, Lippo Life
"disulap" menjadi Lippo E-Net. Akibatnya, Bapepam mendenda Lippo E-Net "cuma" Rp 500
juta. Selain itu, direksi dan komisaris Lippo E-Net didenda Rp 5 miliar. Tetapi, menghadapi aksi
Ciptadana saat memborong saham Bank Lippo dan juga laporan gandanya, Bapepam seolah
kebingungan. Seorang eks pejabat Bapepam tak kaget atas sikap lembek Herwid kepada Lippo.
Saat masih bertugas di Bapepam bersama Herwid?demikian Herwidayatmo biasa disapa?ia tahu
bahwa keluarga Riady dekat dengan Herwid sejak tahun 1996. Waktu itu Herwid menjabat
Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan I di Bapepam. Tanpa buang waktu, pihak Lippo
langsung menempel Herwid, tentu agar diberi kemudahan "bermain" di pasar saham. Pada 1998,
James membawa Herwid kepada Menteri BUMN waktu itu, Tanri Abeng. Tujuannya agar
Herwid diangkat menjadi asisten Tanri, dan upayanya membuahkan hasil. Sejak saat itu karier
Herwid terus meroket hingga diangkat menjadi Ketua Bapepam tahun 2000 lalu. Martin
Panggabean, seorang ekonom, mengaku tak kaget atas kasus laporan ganda Lippo ini. "Banyak
kasus di bursa selama Herwid menjadi Ketua Bapepam. Misalnya, kasus Semen Gresik dan
Lippo E-Net." Katanya. Namun, semua cerita miring itu dibantah Herwid. "Orang yang
ngomong seperti itu karena iri. Saya tak mau menanggapi," katanya. Ia juga membantah ketika
dikatakan bahwa Bapepam tidak menjatuhkan sanksi apa-apa atas Bank Lippo. "Kita lihat Maret
nanti, saya akan tindak tegas jika memang bersalah," ujarnya, menantang.

PERTANYAAN
Tindakan manajemen laba telah memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi.
Bank Lippo merupakan salah satu kasus skandal pelaporan akuntansi di Indonesia selain Kimia
Farma dan tentunya Enron, Merck, WorldCom (Amerika).
Menurut Saudara bagaimana manajemen laba yang dilakukan oleh Bank Lippo dan seharusnya
apa yang harus dilakukan oleh pihak Manajemen (agent) sehingga tidak terjadi manajemen laba.
Jelaskan Pendapat Saudara dengan Argumen dari berbagai literature

TEORI AKUNTANSI
PT. KIMIA FARMA Tbk.
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada
audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih
sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM).
Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar
dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan
keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan
yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya
sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal
yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan
berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral
berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi
berupa overstatedpersediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7
miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam
daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya,
menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari
2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar
penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan
kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda
atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh
akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan
bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit
yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak
terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa Kementerian
BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di PT KAEF setelah
melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam laporan keuangan
pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar Peraturan Bapepam
No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 Khusus huruf m
Perubahan Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan Mendasar, sebagai berikut:
Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam
penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan atau kelalaian.
Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar harus
diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali (restatement) untuk
periode yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum
periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode. Pengecualian dilakukan
apabila dianggap tidak praktis atau secara khusus diatur lain dalam ketentuan masa transisi
penerapan standar akuntansi keuangan baru.

Sanksi dan Denda


Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang-undang Nomor 8
tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 jo Pasal
64 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang
Pasar Modal maka PT Kimia Farma (Persero) Tbk. dikenakan sanksi administratif berupa denda
yaitu sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka:
1. Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 Juni 2002 diwajibkan membayar
sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena
melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31 Desember 2001.
2. Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT Kimia
Farma (Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
untuk disetor ke Kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya
penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk. tersebut, meskipun
telah melakukan prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan
tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan. Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar
denda karena dianggap telah gagal menerapkan Persyaratan Profesional yang disyaratkan di
SPAP SA Seksi 110 Tanggung Jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf 04 Persyaratan
Profesional, dimana disebutkan bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari auditor
independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor
independen.
Keterkaitan Akuntan Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk.
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melakukan pemeriksaan atau penyidikan baik atas
manajemen lama direksi PT Kimia Farma Tbk. ataupun terhadap akuntan publik Hans
Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Dan akuntan publik (Hans Tuanakotta dan Mustofa) harus
bertanggung jawab, karena akuntan publik ini juga yang mengaudit Kimia Farma tahun buku 31
Desember 2001 dan dengan yang interim 30 Juni tahun 2002.
Pada saat audit 31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan pencatatan atas laporan
keuangan. Tapi setelah audit interim 2002 akuntan publik Hans Tuanakotta Mustofa (HTM)
menemukan kesalahan pencatatan alas laporan keuangan. Sehingga Bapepam sebagai lembaga
pengawas pasar modal bekerjasama dengan Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai Direktorat
Jenderal Lembaga Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi para akuntan
publik untuk mencari bukti-bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam kesalahan pencatatan
laporan keuangan pada PT. Kimia Farma Tbk. untuk tahun buku 2001.
Namun dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena mereka
adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam pencatatan
laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995 disebutkan apabila di temukan adanya
kesalahan, selambat-lambamya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya
ke Bapepam. Dan apabila temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor tersebut dapat
dikenai pidana, karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi akuntan itu wajib
melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan pelanggaran peraturan pasar modal.
Sehingga perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk.
dikarenakan adanya kesalahan pencatatan yang mendasar, akan tetapi kebanyakan auditor
mengatakan bahwa mereka telah mengaudit sesuai dengan standar profesional akuntan publik.
Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi laporan keuangan,
karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM)
seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan laporan fiktif
atau tidak.
Keterkaitan Manajemen Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk
Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus
dugaan penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan perusahaan milik negara
untuk tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta agar kantor akuntan itu menyatakan
kembali (restated) hasil sesungguhnya dari laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001.
Sementara itu, direksi lama yang terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti
diketahui, perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih 2001
sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai,
pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi penggelembungan. Terbukti
setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar.
Sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan
keuangan per 30 Juni 2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik.
Setelah hasil audit selesai dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta & Mustafa,
akan segera dilaporkan ke Bapepam. Dan Kimia Farma juga siap melakukan revisi dan
menyajikan kembali laporan keuangan 2001, jika nanti ternyata ditemukan kesalahan dalam
pencatatan. Untuk itu, perlu dilaksanakan rapat umum pemegang saham luar biasa sebagai
bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada publik. Meskipun nantinya laba bersih Kimia
Farma hanya tercantum sebesar Rp 100 miliar, investor akan tetap menilai bagus laporan
keuangan. Dalam persoalan Kimia Farma, sudah jelas yang bertanggung jawab atas terjadinya
kesalahan pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan laba terlihat di-mark up ini,
merupakan kesalahan manajemen lama.
Kesalahan Pencatatan Laporan Keuangan Kimia Farma Tahun 2001
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam laporan keuangan
PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di pasar
modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa keuangan dan menimbulkan
pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Bukti-bukti tersebut
antara lain adalah kesalahan pencatatan apakah dilakukan secara tidak sengaja atau memang
sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada karena laporan keuangan itu
telah dipakai investor untuk bertransaksi. Seperti diketahui, perusahaan farmasi itu sempat
melansir laba bersih sebesar Rp 132 miliar dalam laporan keuangan tahun buku 2001. Namun,
kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham mayoritas mengetahui adanya
ketidakberesan laporan keuangan tersebut. Sehingga meminta akuntan publik Kimia Farma, yaitu
Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) menyajikan kembali (restated) laporan keuangan Kimia
Farma 2001. HTM sendiri telah mengoreksi laba bersih Kimia Farma tahun buku 2001 menjadi
Rp 99 milliar. Koreksi ini dalam bentuk penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati
para pemegang saham Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam rapat
tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui tidak memakai
lagi jasa HTM sebagai akuntan publik.
Dampak Terhadap Profesi Akuntan
Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas dari
bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi yang
menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair. Akuntan sudah
melanggar etika profesinya. Kejadian manipulasi pencatatan laporan keuangan yang
menyebabkan dampak yang luas terhadap aktivitas bisnis yang tidak fair membuat pemerintah
campur tangan untuk membuat aturan yang baru yang mengatur profesi akuntan dengan maksud
mencegah adanya praktik-praktik yang akan melanggar etika oleh para akuntan publik.
PEMBAHASAN
Keterkaitan Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP HTM
selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien (PT Kimia Farma Tbk.) dan
pemberian opini atas laporan keuangan klien.
Dalam kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutanstakeholder mana ditinjau dari
segi kepentingan stakeholderadalah:
1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk.
2. Pemegang saham
3. Masyarakat luas
Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa
audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu
melakukanreview menyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena
kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan
nilai persediaan.
Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu tugas audit.
Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan ada risiko
manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM adalah KAP yang
telah berdiri cukup lama. Risiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun
publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko seperti hilangnya
kepercayaan publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit,
hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya Kantor Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan
dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan keuangan.
Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus manipulasi tersebut, namun
hal ini bisa saja terjadi.
Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat diterapkan oleh
KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai risiko etika, serta
menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis denganstakeholder.

1. Mengidentifikasi dan menilai risiko etika


Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan penilaian risiko
etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
a. Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder HTM
HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa dan apa saja parastakeholder yang
berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para stakeholder dan apa
kepentingannya serta harapan mereka, maka KAP HTM dapat melakukan penilaian dalam
pemenuhan harapan stakeholder melalui pembekalan kepada para auditor senior dan junior
sebelum melakukan audit pada Kimia Farma.
b.) Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi para stakeholder, dan menilai
risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam menjalankan tugas audit.
c.) Mengutamakan reputasi KAP HTM
Yaitu dengan berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran, kredibilitas, reliabilitas,
dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka kerja dalam melakukan
perbandingan.
Tiga tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP HTM dapat
mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk menghindari
dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis mengambil keuntungan dari
kesempatan tersebut.
2. Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder
KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stakeholder dan meratingnya dari segi
kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan stakeholder yang
dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhi harapan
para stakeholder HTM.

PERTANYAAN
Tindakan manajemen laba telah memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan
akuntansi. Kimia Farma merupakan salah satu kasus skandal pelaporan akuntansi di Indonesia
selain Bank Lippo dan tentunya Enron, Merck, WorldCom (Amerika).
Menurut Saudara bagaimana manajemen laba yang dilakukan oleh Kimia Farma dan seharusnya
apa yang harus dilakukan oleh pihak Manajemen (agent) sehingga tidak terjadi manajemen laba.
Jelaskan Pendapat Saudara dengan Argumen dari berbagai literatur

Anda mungkin juga menyukai