Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan

diperkirakan 4-5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit

ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus

lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia anak-anak terdapat predisposisi

laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun

(Isselbacher, 2000).

Prevalensi asma pada anak-anak berkisar antara 1,4% hingga 11,4% (Santosa,

2008). Penelitian International Study of Asthma and Allergy in Childhood

(ISAAC) fase I tahun 1996, prevalensi asma pada anak usia 13 hingga 14 tahun di

Indonesia adalah sekitar 1,6%, sementara hasil survei prevalensi asma anak di

Indonesia oleh Kartasasmita tahun 2002 untuk usia anak 13 hingga 14 tahun

sebesar 5,2% (Kartasasmita, 2008).

Penelitian prevalensi asma yang dilakukan pada siswa sekolah dasar (SD) di

kotamadya Yogyakarta tahun 1990 oleh Naning, dengan menggunakan kuesioner

ISAAC didapatkan prevalensi asma sebesar 4,8% (Naning et. al., 1991).

Penelitian yang dilakukan oleh Sjaifurrochman pada bulan Mei 1998 s/d Mei

1999, yang dilakukan pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) di

kotamadya Yogyakarta dengan metode yang sama didapatkan prevalensi sebesar

10,55% (Sjaifurrochman and Sadjimin, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh

1
2

Sundari pada siswa SLTP di kotamadya Yogyakarta tahun 1998, didapatkan

prevalensi asma sebesar 10,9% (Sundari et. al., 1999).

Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) tahun 2004 membuat definisi asma

adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara

episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas

fisik, serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam keluarga atau penderita

sendiri (Nataprawira, 2008).

Konsensus Internasional III membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan

keadaan klinis dan kebutuhan obat menjadi 3 yaitu, Asma episodik jarang yang

meliputi 75% populasi anak asma, Asma episodik sering meliputi 20% populasi

dan Asma persisten meliputi 5% populasi. Klasifikasi asma seperti ini juga

dikemukakan oleh Martin dkk dari Melbourne asthma Study Group (Lenfant and

Khaltaev, 2002).

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian

asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa

faktor tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian yang lain

masih dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin,

usia, sosio-ekonomi, alergen, infeksi, atopi, lingkungan dan lain-lain

(Kartasasmita, 2008).

Asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu asma alergi/atopi dan nonalergi

dengan gambaran patologi yang ditemukan tidak berbeda walaupun berbeda

penyebabnya. Pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan


3

manifestasi atopi melalui mekanisme imunologi yang tergantung pada IgE

(Supriyatno and Wahyudin, 2008).

Atopi adalah peningkatan sensitivitas sebagai hasil peningkatan antibodi IgE

spesifik terhadap alergen lingkungan yang umum seperti tungau, serbuk sari atau

bulu hewan. Pajanan ulang terhadap alergen secara bermakna akan meningkatkan

prevalensi asma (Field and Gillis, 1997). Sembilan puluh persen penyandang

asma anak dan 80% dewasa adalah atopi (Creticos, 2001).

Asma alergi/atopi ditandai dengan infiltrasi eosinofil dan sel T helper 2 (Th-

2) ke mukosa bronkus, peningkatan antibodi IgE spesifik dalam sirkulasi, uji kulit

positif dengan menggunakan alergen yang umum dan hipereaktivitas bronkus.

Melalui Interleukin-4 (IL-4) dan IL-13, sel B akan distimulasi untuk

menghasilkan IgE dan melalui IL-5 akan terjadi pertumbuhan, diferensiasi dan

mobilisasi eosinofil ke saluran pernafasan pada pajanan ulang terhadap alergen.

IL-13 berperan sebagai regulator respons inflamasi dengan menghambat aktivasi

dan pelepasan sitokin inflamasi (Creticos, 2001; Humbert, 1999; Corry dan

Kheradmand, 1999).

Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan

beratnya asma. Menurut laporan dari Inggris, pada anak usia 16 tahun dengan

riwayat asma atau mengi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak

jika anak pernah mengalami hay fever, rhinitis alergi atau eksema. Menurut

Buffum dan Settipane, anak dengan eksema dan uji kulit positif menderita asma

berat. Terdapat juga laporan bahwa anak dengan mengi persisten dalam kurun

waktu 6 tahun pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada
4

anak yang tidak pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan. Beberapa laporan

menunjukkan bahwa sensitisasi alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada

tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma (Kartasasmita,

2008).

Paparan alergen pada individu yang tersensitisasi, telah jelas akibatnya pada

derajat penyakit asma, morbiditas asma dan penggunaan fasilitas pelayanan

kesehatan (Platts-Mills et. al., 2007). Paparan alergen inhalan pada individu yang

tersensitisasi merupakan faktor risiko kekambuhan/ eksaserbasi asma, gejala asma

persisten dan perubahan fungsi paru yang bermakna (Koshak, 2006). Semakin

muda anak tersensitisasi alergen inhalan biasanya mempunyai gejala asma

persisten pada masa remaja dan dewasa serta fungsi paru yang rendah daripada

yang tidak tersensitisasi (Illi et. al., 2006).

Alergen outdoor dan alergen indoor, keduanya mensensitisasi dan

menyebabkan eksaserbasi asma alergi dan rhinokonjungtivitis. Sebagian besar

alergen outdoor berasal dari serbuk pohon, rumput dan tembakau. Sebagian besar

alergen indoor berasal dari tungau, jamur, kecoa, kucing, anjing dan bulu binatang

yang lain (Arbes et. al., 2005).

Ada 3 macam penanganan pasien dengan penyakit alergi, termasuk asma

alergi. Penanganan ini termasuk penghindaran alergen inhalan, pengobatan untuk

mengontrol gejala, dan imunoterapi alergen. Kualitas lingkungan dalam ruangan

yang baik adalah penting, karena sebagian besar orang berada di dalam ruangan

lebih dari 90% waktunya, dan lebih dari setengahnya berada di dalam rumah. Hal
5

ini penting dalam penghindaran paparan alergen pada pasien dengan alergi pada

alergen indoor (Arbes et. al., 2005; Richardson et. al., 2005).

Tungau debu rumah, kecoa, kucing dan anjing adalah alergen indoor yang

umum ditemukan, yang berperan besar terhadap sensitisasi dan sebagai faktor

pencetus asma pada anak di beberapa belahan dunia (Munir et. al., 1997; Koshak,

2006).

Pengetahuan tentang sensitivitas alergen spesifik merupakan pedoman

penting pada manajemen asma, penghindaran terhadap alergen, imunoterapi dan

pengobatan alergi. Pedoman National Asthma Education and Prevention Program

(NAEPP) terbaru merekomendasikan uji alergi untuk orang dengan asma

persisten, dan setelah sensitivitas diketahui ditentukan penghindaran trigger

(pencetus) dan pengurangan paparan alergen (William et. al., 2003).

Uji tusuk kulit adalah salah satu jenis uji alergi sebagai alat diagnosis yang

banyak digunakan untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel

mastosit di kulit. Dibawah permukaan kulit terdapat sel mast yang di dalamnya

didapatkan granula-granula yang berisi histamin. Sel mast ini juga memiliki

reseptor yang berikatan dengan IgE. Ketika lengan IgE ini mengenali alergen

(misalnya kecoa) maka sel mast terpicu untuk melepaskan granul-granulnya ke

jaringan setempat, maka timbulah reaksi alergi karena histamin dan mediator

lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah akibatnya timbul kemerahan (flare) dan bentol (wheal) pada kulit

tersebut (Lie, 2004).


6

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa asma merupakan penyakit yang sering ditemukan pada anak.

Penghindaran alergen merupakan salah satu penanganan alergi dan sebagian besar

waktu anak berada dalam ruangan, sehingga penting untuk mengetahui hubungan

antara sensitisasi alergen indoor dengan kekambuhan asma pada anak.

C. Pertanyaan Penelitian

Apakah sensitisasi alergen indoor berhubungan dengan kekambuhan asma

pada anak?

D. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara sensitisasi alergen indoor dengan

kekambuhan asma pada anak.


7

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang sensitisasi alergen indoor yang berhubungan dengan asma

yang pernah dilakukan antara lain :

1. Surdu et. al., (2006) dengan judul : Childhood asthma and indoor allergens in

Native Americans in New York.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi antara asma pada anak

dengan faktor risiko potensial, terutama paparan alergen indoor pada populasi

penduduk asli Amerika. Metode yang digunakan adalah case-control study.

Dari data rekam medis St. Regis Mohawk Health Service dari kelompok anak

umur 2-14 tahun, diambil 25 kasus dengan asma dan 25 kontrol yang dilakukan

matching umur dan jenis kelamin. Paparan ditentukan berdasarkan wawancara

dan pengukuran alergen tungau debu rumah dan kucing yang terdapat pada

debu dalam rumah.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif antara

asma dengan paparan alergen tungau debu rumah dan kucing tapi tidak

bermakna secara statisitik. Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor

risiko potensial indoor maupun outdoor pada asma di pemukiman Mohawk,

dimana penghindaran dari paparan akan menurunkan atau memperlambat

perkembangan asma secara individual.


8

2. Leung et. al., (2002) dengan judul : Inhalant Allergens as Risk Factors for the

Development and Severity of Mild-to-Moderate Asthma in Hongkong Chinese

Children.

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti alergen indoor yang dominan pada

anak dengan asma di rumah sakit pendidikan di Hongkong dan untuk

menentukan apakah ada hubungan antara sensitisasi alergen dengan beratnya

asma pada masa yang akan datang. Metode yang digunakan adalah case-

control study, dengan concecutive sampling, 173 pasien asma anak yang

berkunjung ke spesialis anak umum dimasukkan dalam penelitian, 3 pasien

dikeluarkan dari penelitian. Lima puluh tujuh subjek kontrol bukan pasien

alergi dan bukan pasien imunologi digunakan sebagai pembanding.

Penelitian ini menunjukkan bahwa 85% pasien asma anak mempunyai

sensitisasi terhadap tungau debu rumah. Sensitisasi terhadap tungau debu

rumah dan kucing sesuai dengan peningkatan konsentrasi IgE total di serum.

Sensitisasi tungau debu rumah merupakan faktor risiko perkembangan asma

selanjutnya. Beratnya asma berkorelasi bermakna dengan sensitisasi terhadap

tungau debu rumah, hewan piaraan dan kecoa. Sebagai kesimpulan, alergen

inhalan indoor adalah salah satu faktor risiko untuk perkembangan dan derajat

asma ringan sampai sedang di anak-anak Cina di Hongkong.

3. Joo et. al., (2002) dengan judul : Atopy as a Risk Factor for Asthma Severity.

Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara paparan dan

sensitisasi terhadap alergen indoor dengan beratnya asma di populasi

Suburban. Anak dengan asma diambil dari 4 praktek dokter anak di Baltimore.
9

Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional study dengan subjek

penelitian sebanyak 158 anak dengan asma, kemudian dilakukan uji tusuk

kulit.

Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara

paparan alergen atau sensitisasi terhadap alergen spesifik dengan beratnya

asma, tetapi beratnya asma menunjukkan hubungan bermakna dengan derajat

atopi.

4. Wong et. al., (2002) dengan judul : Individual Allergens as Risk Factors for

Asthma and Bronchial Hiperresponsiveness in Chinese Children.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara sensitisasi

alergen dengan perkembangan asma dan hiperesponsivitas bronkhus pada anak

sekolah di 3 kota: Hongkong, Beijing dan Guangzhou. Penelitian berbasis

komunitas dengan mengunakan sampel yang diambil secara acak pada anak

sekolah umur 10 tahun di 3 kota tersebut di atas. Metode yang digunakan

adalah cross-sectional study. Subjek diteliti dengan menggunakan kuesioner

yang diisi oleh orang tua anak, kemudian dilakukan uji tusuk kulit dan uji

provokasi bronkhus.

Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang bermakna antara

sensitisasi alergen tungau debu rumah dan kucing dengan wheezing dan

hiperesponsivitas bronkhus. Untuk atopi didapatkan hasil Odds Ratio

(OR)=2,53; 95% CI: 1,07-5,97.


10

Penelitian yang akan kami lakukan mempunyai perbedaan dalam hal:

a. Variabel penelitian: variabel terikat yang diteliti adalah frekuensi kekambuhan

asma.

b. Waktu penelitian: penelitian ini dilakukan untuk memperbarui penelitian yang

sudah ada.

F. Manfaat penelitian

1. Bidang ilmu pengetahuan

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

ilmu pengetahuan dan dapat menambah wawasan tentang faktor risiko

kekambuhan asma pada anak.

2. Bidang kemasyarakatan

Pengetahuan tentang sensitisasi alergen indoor sebagai faktor risiko

kekambuhan asma, diharapkan dapat menjadi masukan dalam penatalaksanaan

asma terutama dalam pencegahan kekambuhan sehingga meningkatkan kualitas

hidup penderita asma.

3.Bidang penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam penelitian-

penelitian penyakit asma lainnya.

Anda mungkin juga menyukai