Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Retinopati diabetic adalah suatu kelainan vaskular yang didapatkan pada penderita
diabetes mellitus tipe 1 dan 2 setelah 10 15 tahun. Gambaran klinis awal penyakit ini adalah
mikroaneurisma dan perdarahan retina. Pada keadaan yang lebih lanjut, kelainan ini dapat
ditandai dengan pertumbuhan abnormal pembuluh darah retina yang disebabkan oleh iskemia
retina.1 Retinopati diabetik mengenai sebagian besar pasien diabetes melitus. Retinopati
nonproliferatif terdiri dari perdarahan intraretina serta
preretina, eksudasi, edema, penebalan kapiler retina dan mikroaneurisma. Retinopati
proliferative merupakan proses neovaskularisasi dan fibrosis pada retina dengan
kecenderungan yang tinggi untuk menimbulkan kebutaan.
Seiring dengan meningkatnya jumlah pasien diabetes melitus, meningkat pula
prevalensi retinopati diabetik dan resiko kebutaan yang diakibatkannya. Survey kesehatan di
Amerika Serikat dari tahun 2005 sampai 2008 yang melibatkan pasien diabetes mellitus
menunjukkan 28,5% diantaranya didiagnosis sebagai retinopati diabetic dan 4,4% dengan
retinopati diabetik yang terancam buta. Retinopati diabetic sering terjadi pada kelompok usia
20-60 tahun. Di Negara berkembang 12% kasus kebutaan disebabkan oleh diabetes melitus.
Penatalaksanaan retinopati diabetik dibuat berdasarkan pada tingkat kelainan
penyakitnya. Salah satu cara adalah dengan menggunakan terapi fotokoagulasi laser.
Fotokoagulasi laser telah memberikan hasil yang baik pada retinopati diabetik yang disertai
clinically significant macular edema (CSME), neovaskularisasi pada retina dan pada
penderita dengan resiko tinggi proliferative disease. Dengan fotokoagulasi laser, progesifitas
retinopati diabetic dapat diturunkan secara efektif yaitu sekitar 90%, sehingga kehilangan
tajam penglihatan yang berat dapat dihindari.
Terdapat tiga metode fotokoagulasi laser pada retinopati diabetik. Pertama adalah
Scatter (panretinal) yang dapat memperlambat perkembangan serta meregresi
neovaskularisasi pada diskus optikus dan permukaan retina. Kedua ,fotokoagulasi fokal yang
ditujukan langsung pada kebocoran di fundus posterior retina untuk mengurangi edema
makula. Ketiga adalah fotokoagulasi grid, yang ditujukan pada daerah edema yang terjadi
akibat kebocoran kapiler yang difus.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 RETINOPATI DIABETIK


2.1.1 Definisi Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang dapat ditemukan pada
penderita diabetes mellitus, Retinopati diabetes merupakan komplikasi penyakit diabetes
mellitus (DM) bagi penglihatan. Pada retinopati diabetik terjadi mikroangiopati progresif
yang ditandai oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol
prekapiler retina, kapiler, dan vena. Keadaan tersebut menyebabkan kerusakan pada mata
dimana secara perlahan terjadi kerusakan pembuluh darah retina atau lapisan saraf mata.
Retinopati diabetik adalah penyebab utama kebutaan dalam usia 20-64 tahun. Retinopati
diabetik juga memerlukan penanganan multidisipliner dalam tatalaksana pasien.
Penanganan dini dapat mencegah 90% dari kasus kebutaan.

2.1.2 Etiologi Retinopati Diabetik


Diabetes mellitus tipe 1 (insulin-dependent) dan Diabetes mellitus tipe 2 (non insulin-
dependent). Hiperglikemia kronik, hipertensi, hiperkolesterolemia dan merokok
merupakan faktor risiko timbul dan berkembangnya retinopati. Orang muda dengan DM
tipe 1 baru mengalami retinopati paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit sistemik
ini. Pasien DM tipe 2 dapat sudah mengalami retinopati pada saat diagnosis ditegakkan.

2.1.3 Faktor Resiko Retinopati Diabetik


Ada beberapa faktor resiko Retinopati Diabetik adalah sebagai berikut :
a. Kadar gula darah
b. Hipertensi
c. Kehamilan
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada retinopati diabetika non-proliferatif
maupun proliferative, progesivitas retinopati berhubungan dengan tekanan darah sistolik

2
dan diastolic. Pengendalian gula darah yang baik memperlambat terjadinya perubahan
pembuluh darah. Kehamilan dapat mempercepat progresifitas retinopati diabetika.

2.1.4 Klasifikasi Retinopati Diabetik


Klasifikasi dari Retinopati diabetik dimulai dari tahun 1968 dengan airlie house
classification. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan kumpulan stereophotograph dan
membagi klasifikasi retinopati diabetik sebanyak 13 pembagian kompleks dari level 10 (
tanpa retionpati) sampai level 85. Pembagian ini tidak digunakan diluar lingkup
penelitian karena terlalu kompleks.
Klasifikasi yang digunakan selanjutnya adalah klasifikasi yang lebih mudah
digunakan , mudah diingat dan berbasis bukti ilmiah. Klasifikasi terbagi dalam 5 stadium,
stadium satu berupa tidak ada retinopati. Stadium kedua adalah mild non-proliferative
retinopathy (NPDR) dalam stadium ini terdapat beberapa mikroaneurisma. Stadium
ketiga adalah moderate NPDR, dalam stadium ini juga terdapat beberapa mikroaneurisma
dengan pendarahan intraretinal atau venous beading, kondisi dimana vena melebar pada
beberapa titik. Stadium keempat, severe NPDR, adalah stadium kunci, dimana pada
stadium ini terapi laser diindikasikan untuk dilakukan, sebuah data menunjukkan
kenaikkan menuju karakteristik risiko tinggi kebutaan apabila tidak diterapi. Diagnosis
dari NPDR berat adalah dengan 4:2:1 rule dari ETDRS. Berupa mikroaneurisma pada 4
kuadran, venous beading pada 2 kuadran, dan terdapat abnormalitas mikrovaskular pada
intraretina. Stadium terakhir adalah PDR (proliferative diabetic retinopathy) dengan ciri-
ciri terdapat neovaskularisasi pada diskus, neovaskularisasi pada retina, neovaskularisasi
pada iris, pendarahan pada vitreous humor, dan tractional retinal detachment.

Tabel 2.1
Retinopaty Stage
and Findings on
Ophthalmoscopy

3
Gambar 2.1 Klasifikasi Retinopati Diabetikum

Diunduh dari : https://www.magrabi.com.sa/wp-content/uploads/2015/08/Diabetic-


retinopathy.jpg

2.1.5 Patogenesis Retinopati Diabetik


Penyebab kelainan mikrovaskuler pada diabetes mellitus tidak diketahui secara pasti,
tetapi dipercaya bahwa hiperglikemia dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
perubahan biokimia dari fisiologi jaringan sehinga terjadi kerusakan endotel vaskuler.
Perubahan vaskuler retina yang spesifik adalah hilangnya sel pericyte dan penebalan
membrane basalis sehingga lumen kapiler menyempit dan terjadi gangguan fungsi sawar
endotel.
Kelainan yang ditemukan pada retinopati diabetika bisa berupa :
a. Kebocoran atau peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menimbulkan edema
retina.
b. Eksudat keras ( berwarna kuning, timbul karena transudasi plasma yang berlangsung
lama).
c. Perdarahan retina akibat gangguan permeabilitas mikroanuerisma.
d. Plak-plak wol kapas ( cotton wool patches ) yang berwarna putih, tak berbatas tegas,
dan terkait dengan iskemia retina.

4
Selain itu, terjadi juga obstruksi kapiler yang menyebabkan berkurangnya aliran darah
dalam kapiler retina. Pirau arteri-vena bisa terbentuk sebagai akibat berkurangnya aliran
darah arteri karena obstruksi kapiler. Daerah iskemik pada retina akan memicu proses
pertumbuhan pembuluh darah baru yang bersifat rapuh pada retina.
Retinopati diabetika secara klinis dibagi menjadi dua tipe yaitu non-proliferatif dan
proliferatif. Retinopati diabetika non-proliferatif memiliki tanda-tanda yaitu
mikroaneurisma ( berupa tonjolan dinding kapiler terutama daerah kapiler vena), eksudat
keras dan lunak, perdarahan retina, serta dapat disertai edema macula.
Retinopati diabetika proliferatif terjadi akibat adanya iskemia retina sehingga memicu
peningkatan kadar Vascular endothelial growth factor ( VEGF ) yang menyebabkan
terjadinya proliferasi endotel dan timbulnya jaringan fibrovaskular. Pembuluh-pembuluh
darah baru tampak sebagai pembuluh darah yang berkelok-kelok. Mula-mula terdapat
pada retina, lalu dapat menjalar ke depan retina, dan pada akhirnya dapat masuk ke
vitreus. Pada pembuluh darah baru ini pecah maka dapat menimbulkan perdarahan
viterus, perdarahan retina, dan memicu timbulnya jaringan fibrous di vitreus dan retina.
Fibrosis ini selanjutnya dapat menarik retina sehingga lepas dari tempat melekatnya (
ablasi retina tarikan). Neovaskularisasi juga dapat memicu pada permukaan iris, yang
disebut meosis iridis. Hal ini dapat menimbulkan glaucoma neovaskular karena
tertutupnya sudut bilik mata dari pembuluh darah baru dan juga akibat perdarahan akibat
pecahnya rubeosis iridis.

2.1.6 Gejala Retinopati Diabetik


a. Retinopati Nonproliferatif
Retinopati nonproliferatif ringan ditandai oleh sedikitnya satu mikroaneurisma
(kantung-kantung kecil yang menonjol dari pembuluh darah). Pada retinopati
nonproliferatif sedang, terdapat mikroaneurisma luas, perdarahan intraretina, venous
beading, dan bercak-bercak cotton wool. Retinopati nonproliferatif berat ditandai oleh
bercak-bercak cotton wool, gambaran manik-manik pada vena dan kelainan
mikrovaskular intraretina (IRMA). Stadium ini terdiagnosis dengan ditemukannya
perdarah intraretina di empat kuadran, gambaran venous beading, atau kelainan
mikrovaskular intraretina berat.

5
b. Retinopati Proliferatif
Iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang pembentukan pembuluh-
pembuluh halus baru yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum dalam
jumlah besar. Retinopati diabetik proliferative ditandai dengan kehadiran pembuluh-
pembuluh baru pada diskus optikus (NVD) atau di bagian retina manapun (NVE).

Ciri yang berisiko tinggi ditandai oleh pembuluh darah baru pada diskus
optikus yang meluas lebih dari sepertiga diameter diskus, sembarang pembuluh darah
baru pada diskus optikus yang disertai perdarahan vitreus. Pembuluh-pembuluh baru
yang rapuh berproliferasi ke permukaan posterior vitreus. Apabila pembuluh tersebut
berdarah, perdarahan vitreus yang masif dapat menyebabkan penurunan penglihatan
mendadak.

Pada mata retinopati diabetik proliferative dan adhesi vitroretinal persisten,


jaringan neovaskular yang menimbul dapat mengalami perubahan fibrosa dan
membentuk pita-pita fibrovaskular rapat, yang menyebabkan traksi vitreoretina. Hal
ini dapat menyebabkan ablatio retina akibat traksi progresif. Ablatio retina dapat
ditandai atau ditutupi oleh perdarahan vitreus. Retinopati proliferative berkembang
pada 50% pasien diabetes mellitus tipe 1 dalam 15 tahun sejak onset penyakit
sistemiknya.

Gambar 2.2 Retinopati Non Proliferatif dan Retinopati Proliferatif

Diunduh dari : http://www.newhealthguide.org/images/10448676/image001.jpg

6
Gambar 2.3 Manifestasi Klinis dari Retinopati Diabetikum

Diunduh dari : http://images.nature.com/m685/nature-


assets/nrdp/2016/nrdp201612/images_hires/nrdp201612-f4.jpg

2.1.7 Penatalaksaan Retinopati Diabetik


Walaupun sampai saat ini diabetes mellitus belum dapat dicegah, tetapi kebutaan
karena komplikasi diabetes mellitus dapat dikurangi secara bermakna. Timbulnya
retinopati diabetika serta progresivitas retinopati dapat diperlambat apabila kadar gula
darah, tekanan darah, serta kadar kolestrol darah dikendalikan sehingga mendekati angka
normal. Deteksi dini terjadinya retinopati sangat penting untuk mencegah kebutaan.
Untuk DM tipe 1 perlu dilakukan pemeriksaan retina 5 tahun setelah awitan. Sedangkan
untuk DM tipe 2 perlu pemeriksaan retina setahun sekali, mulai sejak diagnosis DM
ditegakkan sampai ditemukan retinopati DM, lalu pemeriksaan selanjutnya tergantung
derajat retinopati.
Prinsip penanganannya adalah pencegahan penurunan penglihatan lebih jauh dengan
fotokoagulasi laser retina. Syaratnya ialah tepat waktu dan memadai sehingga perlu
dilakukan deteksi dini.

7
Penatalaksanaan retinopati diabetik dibuat berdasarkan pada tingkat kelainan
penyakitnya. Salah satu cara adalah dengan menggunakan terapi fotokoagulasi laser.
Fotokoagulasi laser telah memberikan hasil yang baik pada retinopati diabetik yang
disertai clinically significant macular edema (CSME), neovaskularisasi pada retina
dan pada penderita dengan resiko tinggi proliferative disease. Dengan fotokoagulasi
laser, progesifitas retinopati diabetic dapat diturunkan secara efektif yaitu sekitar
90%, sehingga kehilangan tajam penglihatan yang berat dapat dihindari.

a. Fotokoagulasi Laser
Meningkatnya minat dalam penggunaan laser untuk tujuan pengobatan,
membawa dampak kemajuan dalam bidang kedokteran. Pada beberapa penyakit mata,
sinar laser digunakan secara rutin untuk koagulasi darah dan memblokir pembuluh
darah vena. Dan laser argon adalah laser yang sering digunakan untuk fotokoagulasi.
Laser adalah singkatan dari kata Light Amplification by Stimulated Emission
of Radiation, yang berarti menghasilkan sumber cahaya dengan intensitas yang besar
dan fase koheren. Laser memiliki intensitas sinar yang tinggi, dengan pulse
4 -15
energies sebesar 10 joule dan pulse durations 6 X 10 detik.
Beberapa jenis sinar laser yang digunakan dalam pengobatan terapi, yaitu laser
p-n junction, laser He-Ne, laser argon, laser CO , dan laser solid state . Laser solid
state terdiri atas laser ruby dan laser Nd-YAG (Neodymium in Yttrium Aluminium
Garnet).
Laser Argon memberikan tingkat daya kontinyu yang tingi (1-15 W) dengan
spektrum 515 nm. Kegunaannya untuk foto koagulasi pembuluh darah di dalam mata
penderita diabetes retinopati.

Gambar 2.4 Kerangka dasar laser argon.


Diunduh dari : http://www.rli.com/resources/argon.asp

8
Kemungkinan bahaya pada mata dan kulit karena radiasi laser bergantung
pada panjang gelombang (wavelength), lama penyinaran (exposure duration), dan
kondisi yang nampak (viewing conditions).
Dalam bidang kedokteran fotokoagulasi laser merupakan terapi yang paling
sering digunakan untuk membantu pasien yang mengalami perdarahan retina,
fotokoagulasi laser juga dilakukan sebagai upaya preventif, mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih serius pada pasien tersebut. Fotokoagulasi laser menggunakan
laser argon sebagai bahan utamanya. Laser argon adalah laser dengan cahaya hijau,
yang difokuskan untuk pembakaran mikroskopis. Tujuan pembakaran ini adalah
untuk memperbaiki jaringan mata yang sakit atau rusak sehingga bisa mencegah
komplikasi yang akan disebabkan oleh jaringan sakit atau rusak yang menetap. Secara
keseluruhan, pengobatan terapi laser ini sering dinyatakan berhasil dengan lebih dari
satu kali pengobatan.
Terdapat berbagai efek biologis pada penggunaan laser dengan berbagai jenis
spectrum, diantaranya adalah :
1. Panjang gelombang: 190 nm 315 nm
Jenis laser: ArF, KrF, XeF
Efek yang merugikan:
a. Fotokeratokonjungtivitis, normalnya pulih kembali dalam 48 jam.
Terdapat sensasi nyeri seperti kemasukan pasir dalam mata, peradangan
kornea dan konjungtiva.
b. Eritema, normalnya pulih kembali dalam 1 minggu.
c. Kanker kulit
d. Lensa katarak (300-315 nm)
MEP untuk laser:
3 mJ/cm for 200 nm sampai 302 nm 0.56 t1/4 J/cm untuk 1 ns sampai 10 s

2. Panjang gelombang: 315 nm 400 nm


Jenis laser: He, Argon
Efek yang merugikan:
a. Fotokeratokonjungtivitis, normalnya pulih kembali dalam 48 jam.
Terdapat sensasi nyeri seperti kemasukan pasir dalam mata, peradangan
kornea dan konjungtiva,

9
b. Eritema, normalnya pulih kembali dalam 1 minggu.
c. Kanker kulit
d. Lensa katarak
MEP untuk laser:
0.56 t1/4 J/cm untuk 1 ns sampai 10 s; 1 J/cm untuk 10 sec sampai 1000 sec
1 mW/cm untuk 1000 kali penyinaran.

3. Panjang gelombang: 400 nm - 550 nm


Jenis laser: He-Cd, Argon
Efek yang merugikan:
retinal photochemical injury, permanen scotoma (blind spot) dalam kasus
berat.
MEP untuk laser:
10 mJ/cm untuk t = 10 s - 10,000 s

4. Panjang gelombang: 400 nm 1400 nm


Jenis laser: argon, ruby, He-Ne, Nd-YAG
Efek yang merugikan:
retinal thermal injury, permanent scotoma

5. Panjang gelombang: 1400 nm 1 mm


Jenis laser: CO, CO2
Efek yang merugikan:
corneal thermal burns, skin burns
MEP untuk laser:
10 mJ/cm untuk 1 ns sampai 100 ns
0.56 t1/4 J/cm untuk 100 ns - 10 s;
100 mW/cm untuk t > 10 s.

10
2.2 PANRETINAL FOTOKOAGULASI

2.2.1 Definisi Panretinal Fotokoagulasi

Sebelum munculnya perawatan laser, ablasi hipofisis melalui berbagai pendekatan


bedah invasif adalah standar perawatan untuk menunda atau mencegah komplikasi retina
diabetes. Meskipun efektif untuk mencegah kehilangan penglihatan progresif dari
retinopati diabetes, ablasi dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Fotokoagulasi panretina (panretinal photocoagulation = PRP) merupakan terapi baku
emas untuk mencegah kehilangan penglihatan pada retinopati diabetik proliferatif
(proliferative diabetic retinopathy = PDR) dan retinopati diabetik non proliferatif (non
proliferative diabetic retinopathy = NPDR) berat. Fotokagulasi laser memberikan efek
regresi neovaskularisasi, sehingga dapat mencegah dan menghentikan progresifitas
retinopati diabetic.

a. Neovascularization b. "Focal" Laser Treatment to Treat Microaneurysms

Gambar 2.5 "Focal" Laser Treatment to Treat Microaneurysms


Diunduh dari : http://www.retinaeyedoctor.com/2009/12/laser-treatment-for-diabetic-
retinopathy/

11
2.2.2 Indikasi dan Efek Samping Panretinal Fotokoagulasi

Indikasi tindakan panretinal fotokoagulasi adalah untuk tatalaksana iskemik retina dan
neurovaskularisasi retina apapun penyebabnya, walaupun hal ini disebabkan paling
banyak oleh diabetik retinopati.

Oleh karena PRP menyebabkan kerusakan jaringan retina, prosedur ini juga
menyebabkan beberapa gejala penglihatan seperti defek lapang pandang perifer,
berkurangnya penglihatan saat malam hari, penglihatan warna berkurang, dan penurunan
sensitivitas kontras. Efek samping lainnya adalah efusi koroid atau terlepasnya koroid
yang dapat menyebabkan miopia sementara atau peningkatan tekanan intraokuler.
Komplikasi yang berat adalah luka bakar salah arah atau berlebihan yang menyebabkan
kerusakan makula, perdarahan dari koriokapiler, atau iatrogenic neovaskularisasi koroid.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh bagian ilmu kesehatan mata Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado bulan November 2013 secara deskriptif
retrospektif di Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Propinsi Sulawesi Utara
periode Januari 2012 Desember 2012 , mendapatkan data 35 penderita retinopati
diabetik yang melakukan terapi fotokoagulasi laser. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penderita retinopati diabetik yang telah melakukan fotokoagulasi laser pada kelompok
umur 41 60 tahun memiliki jumlah yang paling banyak yaitu 24 penderita dengan
presentase sebesar 68,6 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita retinopati
diabetik yang termasuk dalam Retinopati Diabetik Proliferatif /Proliferative Diabetic
Retinopathy (PDR) merupakan kelompok terbanyak yang difotokoagulasi laser dengan
jumlah 31 penderita dengan presentase sebesar 88,6%. Sedangkan penderita dengan
retinopati diabetik nonproliferatif/Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR)
memiliki jumlah 4 penderita (11,4%). Hal ini menunjukkan bahwa retinopati diabetik
proliferative/Proliferative Diabetic Retinopathy merupakan penyebab tersering seseorang
melakukan fotokoagulasi laser sekaligus juga merupakan komplikasi mata yang paling
parah pada penderita diabetes mellitus.

12
2.2.3 Persiapan Untuk Panretinal Photocoagulation

1. Anestesia
Pasien menerima anesthesia sebagai prosedurnya. Sebagian pasien yang akan
menjalani prosedur laser retina dibawah anestesi local seperti tetes mata,
Proparacaine. Sedangkan di lain pasien membutuhkan injeksi lidokain untuk di
subkonjungtiva, peribulbar atau retrobulbar.
Untuk memonitor anestesi atau general anestei biasanya digunakan untuk bayi
premature ( dengan retinopathy premature ), anak-anak, dan pasien dengan masalah
yang lainnya.
Anestesi yang diperlukan adalah anestesi retrobulbar, peribulbar, atau sub-
Tenon, terutama bila daerah-daerah retina harus dilaser ulang akibat neovaskularisasi
yang berulang (rekuren) atau sulit ditangani.

2. Peralatan
Sumber laser disambungkan melalui kabel fiberoptik ke sistem penyalur
dengan tipikal yang berbeda. Laser diberikan ke eksternal retina, antara melalui
kornea ( transcorneal ) atau sclera ( transcleral ). Penghantaran ke transcorneal
melibatkan slit lamp atau Laser Indirect Ophthalmoscope (LIO). Dengan
menggunakan sistem penghantar slit lamp, laser ditembakkan menuju retina dengan
menggunakan kontak lensa dimana ditempatkan di permukaan kornea pasien. Dengan
menggunakan sistem penghantar LIO, lensa kondensasi oftalmoskop tidak langsung
binocular non-kontak seperti lensa 28 D atau 20 D , digunakan untuk mefokuskan
laser ke dalam retina.
Penghantar transkleral dengan menggunakan probe laser transskelar diode ke
dalam sclera untuk mengobati retina atau badan siliaris.
Laser juga bisa dihantarkan secara internal ( dari dalam mata ), biasanya
dengan menggunakan prosedur vitrectomy. Sebuah probe endolaser yang dimasukkan
ke dalam rongga vitreous, dan laser ditembakkan langsung menuju retina. Prosedur
ini dilihat dengan menggunakan lensa viterctomy di bawah mikroskop operasi.

3. Posisi pasien
Dengan menggunakan sistem penghantar slit lamp, prosedur dilakukan dengan
pasien dalam posisi duduk. Dengan menggunakan endolaser dan sistem penghantar

13
transklearal, pasien dalam posisi supine. Dengan menggunakan LIO, pasien bisa
duduk atau supine.

4. Pencegahan komplikasi
Kacamata proteksi laser yang layak diperlukan untuk staf yang ikut serta dalam
prosedur tersebut. filter aman untuk laser ( spesifik untuk setiap gelombang panjang
dari laser ) pada sistem penghantar harus selalu aktif selama dilakukannya prosedur.
Pasien harus dalam posisi yang benar dan sesuai instruksi pada saat prosedur.
Blok retrobulbar atau anestesi umum mungkin dapat dilakukan. Prosedur harus
dilakukan atau diawasi oleh oftalmologist yang berpengalaman untuk mencegah
kesalahan teknis yang menghasilkan segala komliasi dari prosedur.

5. Teknik
Pada saat menggunakan sistem penghantar slit lamp, kontak lensa slit lamp
tersebut digunakan untuk memfokuskan berkas sinar laser ke dalam retina. Dengan
menggunakan sistem oftalmoskop tidak langsung, lensa indirek digunakan untuk
memfokuskan cahaya laser ke dalam retina. Dengan menggunakan endolaser, laser
menyelidiki di dalam kavitas vitreous ( biasanya dengan menggunakan operasi
vitrectomy ), dan cahaya laser secara diterapkan pada retina.
Jika menggunakan Headlamp pasien dalam posisi tertidur atau duduk. Dokter
menggunakan tipikal headlamp indirect dengan menggunakan laser yang di pasang
coaxially. Lensa tangan digunakan untuk melihat retina dan memfokuskan laser ke
retina. Kepala dokter bergerak dengan tujuan untuk mengendalikannya.
Kedua metode tersebut membuat sekitar 1500-5000 luka bakar berukuran khas di
1-4 sesi pengobatan (bervariasi dengan protokol pengobatan). Menurut protokol DRS
menggunakan PRP laser argon-type standar, pengaturan termasuk luka bakar yang
berkisar sekitar 200 sampai 500 dalam ukuran, durasi pulsa 100 milidetik, dan 200-
250 mW daya di balik setiap api laser. Tujuannya adalah untuk menghasilkan luka
bakar yang berwarna abu-abu; hindari luka bakar putih. Bergantung pada protokol
yang digunakan, semua pengaturan mungkin disesuaikan untuk efek yang diinginkan.
Terapi ini yang paling efektif untuk neovaskularisasi iris dan retina, dimana terapi
PRP mencakup seluruh retina, kecuali daerah di dalam jalur-jalur vascular temporal,
dengan bakaran berdiameter 200-500 mikrometer terpisah sejarak 0,5-1 kali diameter

14
bakaran. PRP memerlukan sedikitnya 2000 dan terkadang 6000 atau bakaran lebih,
biasanya diberikan dalam dua sesi atau lebih dengan selang waktu 1-2 minggu.

Gambar 2.7 Retinopati Diabetik Proliferatif dengan klinis edema macular dan PRP
diterapkan dengan menggunakan laser oftalmoskop secara indirek.
Diunduh dari : https://www.aao.org/munnerlyn-laser-surgery-center/laser-treatment-of-
proliferative-nonproliferative-

Gambar 2.8 Penampilan dari Pembakaran PRP dengan menggunakan teknik standar
Diunduh dari : https://www.aao.org/munnerlyn-laser-surgery-center/laser-treatment-of-
proliferative-nonproliferative-

15
6. Tambahan
Sistem penghantar laser konvensional untuk retinal fotokoagulasi dihantarkan ke
lokasinya secara individu di dalam retina. Sistem penghantar laser semiautomatic
yang terbaru seperti Pattern Scanning Laser ( PASCAL ) telah dibuat untuk
memproduksi lokasi yang banyak di dalam retina pada jumlah waktu yang sama
seperti sistem penghantar laser konvensional. Ini membuat prosedur kurang
menjemukkan dan konsumsi waktunya, membuat pasien lebih nyaman.
Teknologi terbaru telah dikembangkan untuk kerusakan retina minimal,
menghantarkan laser dalam mikropulses ( micropulse laser). Mikropulses ini telah
terbukti mengakibatkan kerusakan retina yang sedikit.

Gambar 2.9 Sebelum Fotokoagulasi dan Sesudah Fotokoagulasi


Diunduh dari : H. Michael Lambert, MD PanRetinal Photocoagulation
http://imagebank.asrs.org/case/2133/panretinal-photocoagulation

2.2.4 Post Operasi


Komplikasi
PRP dapat menyebabkan luka bakar yang salah arah atau luka bakar yang
parah, yang dapat menyebabkan kerusakan makula, kerusakan pada struktur okular
lainnya seperti lensa, pendarahan pada choriocapillaris, atau pecahnya membran
Bruchs, yang dapat mempengaruhi perkembangan neurovaskuskular choroidal.
Penerapan yang berlebihan dapat menyebabkan pecahnya membran Bruch.
Selanjutnya sintesis fase fibroblas (FGF) atau aktivasi epitel pigmen retina untuk
mensintesis VEGF bisa menyebabkan pengembangan neovaskularisasi koroid.
Tingkat faktor pertumbuhan intravitreal bervariasi dengan berbagai tahap retinopati

16
dan dapat mempengaruhi apakah neovaskularisasi koroid berkembang. Pada diabetes,
iskemia yang mendasari dapat berperan dalam mempercepat perkembangan
neovaskularisasi koroid pada area perawatan laser sebelumnya. Situs membran Bruch
rupture kemudian dapat berfungsi sebagai tempat masuk untuk neovaskularisasi
choroidal subretinal baru.
Walaupun telah terbukti keamanannya, seperti semua prosedur operasi
lainnya, reinal fotokoagulasi, terkadang dapat dikatikan dengan komplikasi. Sebelum
menjalani retinal photokoagulasi, pasien harus sepenuhnya diberikan informasi, yang
meliputi berikut ini :
Komplikasi segment anterior seperti korneal atau lenticular opacification.
Kehilangan visual transient
Fovea Fotokoagulasi
Edema macular
Hemorrhage
Choroidal Effusion
Perubahan penglihatan warna
Cacat bidang visual dan masalah penglihatan malam hari
Hemaralopia

2.2.5 Efektifitas Panretinal Fotokoagulasi


Penggunaan PRP yang tepat sangat efektif dalam menimbulkan regresi
neovaskularisasi. Mekanisme kerja yang pasti masih belum ditetapkan, tetapi
penurunan derajat iskemia retina dan berkurangnya pembentukkan zat-zat
vasostimulatif yang berdifusi diduga berperan penting. Setelah dilakukan PRP,
didapatkan penurunan aliran darah mata, yang mengisyaratkan adanya penurunan
kebutuhan oksigen di retina. Jenis laser yang digunakan tampaknya tidak
mempengaruhi efikasi PRP, tetapi sifat-sifat tertentu dapat berguna dalam
pengobatan, tetapi sifat-sifat tertentu dapat berguna dalam pengobatan, misalnya
penggunaan laser inframerah diode yang lebih mudah pada keberadaan perdarahan
vitreus.
PRP tidak menyebabkan regresi pada fibrosis yang menyertai neovaskularisasi
retina, fibrosis ini dapat menyebabkan ablation reinae traksional. Lebih lanjut, PRP
dapat dihambat oleh perdarahan vitreus. Dengan demikian, PRP harus dilakukan

17
segera setelah tanda-tanda risiko tinggi timbul. Tanda-tanda ini mencakup setiap
neovaskularisasi diskus yang disertai oleh perdarahan vitreus atau praretina,
neovaskularisasi diskus yang signifikan, dan neovaskularisasi yang signifikan di
bagian retina mana pun dengan perdarahan vitreus atau praretina.
Pada penelitian yang dilakukan bagian mata Universitas Padjajaran oleh
Iskandar Erwin dkk, dikatakan bahwa fotokoagulasi panretina menjadi terapi pilihan
utama pada retinopati diabetik proliferatif dan retinopati diabetik nonproliferatif berat,
dan efektif dalam mempertahankan stabilitas tajam penglihatan dan stabilitas fundus.

Pada penelitian tersebut dilakukan analisa retrospektif berdasarkan catatan


medis pasien yang berkunjung ke Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung yang
didiagnosis PDR dan NPDR berat periode Januari 2009 sampai Desember 2011 yang
mendapat fotokoagulasi panretina (PRP). Fotokoagulasi panretina lengkap adalah
PRP yang dilakukan sebanyak tiga sesi (selang waktu minimal 1 minggu). Pasien
PDR dan NPDR berat yang dilakukan PRP lengkap sebanyak 435 mata dari 295
pasien pada periode Januari 2009 sampai Desember 2011 di Rumah Sakit Mata
Cicendo Bandung. Usia pasien terbanyak pada penelitian tersebut antara 50 tahun
sampai 59 tahun yaitu sebanyak 37,62%. Diagnosis diabetes terbanyak adalah pada
perempuan yaitu sebanyak 63,05%. Berbeda dengan penelitian The Wisconsin
Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy (WESDR) didapatkan bahwa tidak ada
perbedaan prevalensi dan insidensi retinopati diabetik antara laki-laki dan perempuan
pada diabetes dengan awitan usia dewasa. Pada penelitian ini juga didapatkan kadar gula
darah terbanyak dengan kadar gula darah 200 mg/ dl (51,86%) dengan tekanan darah
sistolik terbanyak 140 mmHg (58,64%), dan tekanan darah diastolik terbanyak < 90
mmHg (54,91%). Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko retinopati diabetik. Pada
WESDR, adanya hipertensi yang tidak terkontrol, berhubungan dengan 73% peningkatan
risiko PDR.
Laser PRP di Rumah Sakit Mata Cicendo menggunakan double ND YAG laser
dengan frekuensi 532 nm. Jumlah bakaran terbanyak >1600 bakaran (51,72%),
dengan ukuran bakaran 200-500m (100%), dan waktu pemaparan terbanyak 0,1 - 0,2
sec (68,28%), sedangkan power terbanyak >200mW (38,16%). Fotokoagulasi laser
standar untuk retinopati diabetik sesuai ETDRS menggunakan pengaturan laser
dengan panjang gelombang 514 atau 532 nm dengan durasi 100-200 milidetik, spot
size 100-500 m dan daya 100- 750 mW. Lang menyebutkan pada standar full-scatter
fotokoagulasi panretina, 1200-1600 bakaran dengan 500m spot size, eksposure 0,1-

18
0,2 detik, terbagi dalam 2-5 sesi. Fotokoagulasi panretina lengkap dalam 3-6 minggu.
Jumah bakaran tiap sesi harus tidak lebih dari 500-600 bakaran, untuk menghindari
efek samping.
Sebagian besar mata tidak terdapat komplikasi paska PRP (80,92%), dan 19,08%
terdapat komplikasi, perdarahan subhyaloid maupun perdarahan vitreus. Foto
koagulasi laser tambahan dilakukan pada 34,94% dengan indikasi terbanyak karena
adanya perdarahan yaitu sebesar 21,15%. Stabilitas fundus paska PRP lengkap, terdapat
pada 126 mata (51,43%) pada pasien PDR, dan 157 mata (82,63%) pada pasien NPDR
berat. Hal tersebut sesuai dengan kepustakaan bahwa fotokoagulasi panretina efektif pada
85% NPDR berat, dan 77% PDR, yang ditandai dengan stabilitas fundus (regresi
neovaskularisasi).
Foto fundus fluorescens angiografi (FFA) digunakan dalam mengidentifikasi area
neovaskularisasi yang tidak terlihat, untuk menilai beratnya iskemik retina, adanya
NVD/NVE yang meragukan, dan dapat menilai regresi yang adekuat pada retinopati
diabetik setelah terapi laser.

2.2.6 Kemajuan Visus Penderita Retinopati Diabetik


Penelitian yang dilakukan oleh Mulyati dkk bagian mata Universitas Sriwijaya
Palembang, presentase kemajuan visus lebi besar pada tindakan laser fotokoagulasi
dibandingkan tindakan injeksi intravitreal anti VEGF. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif observasional berdasarkan data sekunder berupa rekam medik di
Bagian Mata Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang. Pada penelitian ini
didapatkan bahwa penderita yang mengalami retinopati diabetik di Bagian Mata
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang adalah sebanyak 155 pasien, namun hanya
43 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini. Rentang usia pasien
yang paling banyak mengalami retinopati diabetik adalah pasien yang berusia 45-65
tahun yaitu sebesar 67,1%. Dari kelompok usia tersebut, didapatkan jenis kelamin
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki yaitu sebanyak 27 orang
(62,79%). Pada penelitian ini didapatkan bahwa dari 43 penderita retinopati diabetik,
hanya terdapat 70 mata (dari total 86 mata) yang dilakukan tindakan. Hasilnya
didapatkan sebanyak 29 mata (41,4%) dilakukan tindakan injeksi intravitreal anti
VEGF, 25 mata (35,7%) dilakukan tindakan laser fotokoagulasi dan 16 mata (22,9%)
dilakukan tindakan kombinasi antara laser fotokoagulasi dan injeksi intravitreal anti
VEGF.

19
Pada penelitian ini, visus penderita retinopati diabetik yang dilakukan tindakan
dibedakan menjadi empat kategori berdasarkan WHO (2012), yaitu severe visual
impairment (visus <6/60), moderate visual impairment (visus 6/60 sampai <6/18),
nearly normal vision (visus 6/18 sampai <6/12), dan normal vision (visus 6/12).
Hasilnya, visus terbanyak yang dialami penderita retinopati diabetik baik sebelum
maupun setelah tindakan adalah penderita mengalami gangguan penglihatan yang
berat. hal ini sesuai dengan hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa pasien
yang terdiagnosis retinopati diabetik untuk tingkat keparahan PDR, sebagian besar
memiliki visus dengan kategori visual impairment bahkan sampai kebutaan, baik pada
mata kanan maupun mata kiri.
Pada penelitian ini didapatkan perbaikan tajam penglihatan setelah tindakan
meningkat hingga bulan ke-2, meskipun pada bulan ke-3 terjadi penurunan persentase
dari perbaikan visus. Sementara itu terjadi fluktuasi pada kejadian penurunan visus
pada bulan pertama hingga bulan ke-3. Namun, angka kejadian dari visus yang tidak
mengalami perubahan mengalami penurunan mulai dari sehari setelah dilakukan
tindakan hingga bulan ke-3 setelah tindakan. Penurunan visus pada penderita
retinopati diabetik setelah dilakukan tindakan dapat terjadi karena berbagai macam
hal, diantaranya keadaan sistemik penderita yang sangat mempengaruhi visus,
misalnya kadar gula darah yang tidak stabil dapat mempengaruhi terjadinya
penurunan visus pada penderita.
Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya yang
menyebutkan bahwa tajam penglihatan akan meningkat lebih baik pada grup dengan
tindakan laser fotokoagulasi dibandingkan dengan injeksi intravitreal anti VEGF atau
kombinasi keduanya, meskipun perbaikan itu hanya terjadi hingga minggu keempat
setelah tindakan. Sedangkan, pada minggu ke-12 setelah tindakan, tajam penglihatan
pada grup dengan tindakan laser fotokoagulasi akan menurun. Meskipun demikian,
hasilnya pada minggu ke-12 lebih baik jika dibandingkan dengan kedua grup lainnya
yaitu injeksi intravitreal anti VEGF dan kombinasi. Namun demikian, tajam
penglihatan tidak bisa digunakan sebagai indikator tunggal keberhasilan suatu
tindakan, karena hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Hal ini menunjukkan bahwa
kelompok dengan tindakan kombinasi dari laser fotokoagulasi dan injeksi intravitreal
anti VEGF mempunyai hasil terendah bahkan sebelum tindakan apapun dilakukan.
Sehingga, setelah tindakan dilakukan, tidak banyak yang dapat diharapkan untuk
memperbaiki tajam penglihatan lebih banyak lagi.

20
BAB III
KESIMPULAN

Fotokoagulasi panretina atau disebut juga fotokoagulasi scatter merupakan suatu


teknik yang digunakan sebagai penatalaksanaan retinopati diabetikum dan secara tidak
langsung menangani neovaskularisasi pada nervus optik, retina, atau sudut ruang anterior.
Teknik ini digunakan dengan menggunakan sinar laser yang dapat menyebabkan luka bakar
kecil pada retina perifer. Luka bakar ini menyebabkan pembuluh darah abnormal dapat
menyusut dan menghilang. Fotokoagulasi laser memberikan efek regresi neovaskularisasi,
sehingga dapat mencegah dan menghentikan progresifitas retinopati diabetikum. Indikasi dari
tindakan panretinal fotokoagulasi adalah untuk tatalaksana retina yang iskemik dan
neurovaskularisasi retina apapun penyebabnya. Penyebab paling banyak adalah karena
retinopati diabetikum.
Fotokoagulasi laser standar untuk retinopati diabetik sesuai ETDRS menggunakan
pengaturan laser dengan panjang gelombang 514 atau 532 nm dengan durasi 100-200
milidetik, spot size 100-500 m dan daya 100- 750 mW.17 Lang menyebutkan pada standar
full-scatter fotokoagulasi panretina, 1200-1600 bakaran dengan 500m spot size, eksposure
0,1- 0,2 detik, terbagi dalam 2-5 sesi. Fotokoagulasi panretina lengkap dalam 3-6 minggu.
Jumah bakaran tiap sesi harus tidak lebih dari 500-600 bakaran, untuk menghindari efek
samping.
Prosedur ini dapat menyebabkan efek samping dalam penglihatan seperti defek
lapang pandang perifer, berkurangnya penglihatan saat malam hari, berkurangnya
penglihatan warna, atau terlepasnya koroid yang dapat menyebabkan miopia sementara atau
peningkatan tekanan intraokuler. Komplikasi yang berat adalah luka bakar yang salah arah
maupun berlebihan yang menyebabkan kerusakan makula, perdarahan dari koriokapiler, atau
neovaskularisasi koroid iatrogenik.
Terapi laser sangat efektif dalam mencegah kebutaan pada pasien diabetes sehingga
diperlukan suatu program skrining yang efektif untuk mendeteksi lesi-lesi yang dapat diterapi
pada semua pasien diabetes.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Paul Riordan-Eva, John P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, 17 ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2012.
2. Prof. dr. H. Sidarta Ilyas, SpM dan dr. Sri Rahayu Yulianti, SpM. Ilmu Penyakit Mata, 5
ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
3. Prof. dr. Suhardjo, SU SpM (K) dan dr Hartono SpM (K). Ilmu Kesehatan Mata.
Jogjakarta: Badan Penerbit Buku Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2012.
4. Boesoirie SF. Keberhasilan terapi fotokoagulasi laser pada pasien retinopati diabetik di
rumah sakit mata cicendo Bandung periode januari-desember 2004. Diunduh dari :
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/10/keberhasilan_terapi_fotokoagulasi_laser.pdf
5. http://ophthalmologica.perdami.or.id/index.php/journal/article/view/2/2 diunduh pada
tanggal 4/9/2017
6. http://eyewiki.aao.org/Panretinal_Photocoagulation#Indications_and_Evidence diunduh
pada tanggal 4/9/2017
7. Yannis M. Paulus, MD; Mark S. Blumenkranz, MD. Proliferative and Nonproliferative
Diabetic Retinopathy. American Academy Of Ophthalmology. 2013. Diunduh dari :
https://www.aao.org/munnerlyn-laser-surgery-center/laser-treatment-of-proliferative-
nonproliferative- . 4 September 2017
8. Sejal Jhawer, Peter A.Karth, MD. Panretinal Photocoagulation. American Academy of
Ophthalmology. 2016. Diunduh dari :
http://eyewiki.aao.org/Panretinal_Photocoagulation. 4 September 2017
9. John R. Minarcik, MD. Daniel M. Berinstein, MD. Panretinal Photocoagualation:
Practical Guidelines and Considerations. Retinal Physician. 2010. Diunduh dari :
http://www.retinalphysician.com/issues/2010/may-2010/panretinal-photocoagulation-
practical-guidelines . 4 September 2017
10. Lang GE. Laser treatment of Diabetic Retinopathy. Augenklinik Universiti Ulm
Germany. Dev Ophthalmol. Basel, Karger.2007;39:48-68

22
11. Iskandar irwan, dijah dkk. Effectiveness of Panretinal Photocoagulation in Treatment of
Diabetic Retinopathy. Ophthalmol Ina (2015) 41:1. Department of Ophthalmology
Faculty of Medicine, Padjadjaran University
12. Mulyati, Amin Ramzi,dkk. Kemajuan Visus Penderita Retinopati Diabetik yang Diterapi
dengan Laser Fotokoagulasi dan atau Injeksi Intravitreal di Rumah Sakit Mohammad
Hoesin Palembang. MKS, Th. 47, No. 2, April 2015.

23

Anda mungkin juga menyukai