Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lansia
1. Pengertian
Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan
biologis, fisis, kejiwaan dan sosial (UU No23 Tahun 1992 tentang kesehata).Pengertian
dan pengelolaan lansia menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
1998 tentang lansia sebagai berikut :
a. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas
b. Lansia usia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa
c. Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.
2. Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, lanjut usia meliputi: usia pertengahan yakni
kelompok usia 46-59 tahun, usia lanjut (Elderly) yakni antara usia 60-74 tahun, Tua (Old)
yaitu antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (Very old) yaitu usia diatas 90 tahun
(Setiabudhi, 1999), dan menurut DepKes RI tahun 1999, umur dibagi 3 lansia yaitu;
a. Usia pra senelis atau Virilitas adalah seseorang yang berusia 45-49 tahun
b. Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
c. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih
atau dengan masalah kesehatan.
3. Proses Menua
Menurut Constantindes (1994) dalam Nugroho (2000) mengatakan bahwa proses
menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya,
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaikinya kerusakan yang
diderita. Proses menua merupakan proses yang terus-menerus secara alamiah dimulai
sejak lahir dan setiap individu tidak sama cepatnya. Menua bukan status penyakit tetapi
merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam maupun dari luar tubuh.
Aging proses adalah suatu periode menarik diri yang tak terhindarkan dengan
karakteristik menurunnya interaksi antara lansia dengan orang lain di sekitarnya.
Individu diberi kesempatan untuk mempersiapkan dirinya menghadapi ketidamampuan
dan bahkan kematian (Cox, 1984 dalam Miller,1995).
Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi
dan akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan stuktural yang disebut sebagai
penyakit degeneratif seperti, hipertensi, aterosklerosis, diabetes militus dan kanker yang
akan menyebabkan kita menghadapi akhir hidup dengan episode terminal yang dramatik
seperti strok, infark miokard, koma asidosis, metastasis kanker dan sebagainya (
Darmojo, 2004 ).
4. Teori penuaan
a. Teori biologis
1) Teori radikal bebas
Radikal bebas adalah produk metabolisme seluler yang merupakan bagian
molekul yang sangat aktif. Molekul ini memiliki muatan ekstraseluler kuat yang
dapat menciptakan reaksi dengan protein, mengubah bentuk dan sifatnya, molekul
ini juga dapat bereaksi dengan lipid yang berada dalam membran sel,
mempengaruhi permeabilitas, atau dapat berikatan dengan organel sel.
Proses metabolisme oksigen diperkirakan menjadi sumber radikal bebas
terbesar, secara speifik, oksidasi lemak, protein, dan karbohidrat dalam tubuh
menyebabkan formasi radikal bebas. Polutan lingkungan merupakan sumber
eksternal radikal bebas (Potter & Perry, 2005).
2) Teori cross link
Teori cross link ikat menyatakan bahwa molekul kolagen dan elastis,
komponen jarigan ikat, membentuk senyawa yang lama meningkatkan rigiditas
sel, cross linkage diperkirakan akibat reaksi kimia yang menimbulkan senyawa
antara molekul molekul yang normal terpisah. Kulit yang menua merupakan
contoh cross linkage jaringan ikat terikat usia meliputi penurunan kekuatan daya
rentang dinding arteri, tanggalnya gigi, dan tendon kering dan berserat (Potter &
Perry, 2005).
3) Teori imunologis
Mekanisme seluler tidak teratur diperkirakan menyebabkan serangan pada
jaringan tubuh melalui autoagresi atau imonodefisiensi (penurunan imun).
Tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan proteinnya sendiri dengan
protein asing, sistem imun menyerang dan menghancurkan jaringan sendiri pada
kecepatan yang meningkat secara bertahap.
Dengan bertambahnya usia, kemampuan sistem imun untuk
menghancurkan bakteri, virus, dan jamur melemah, bahkan sistem ini mungkin
tidak tahan terhadap serangannya sehingga sel mutasi terbentuk beberapa kali.
Disfungsi system imun ini diperkirakn menjadi faktor dalam perkembangan
penyakit kronis seperti kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler, serta
infeksi (Potter & Perry, 2005).

b. Teori psikologis
1) Teori disengangement (pembebasan)
Menyatakan bahwa orang yang menua menarik diri dari peran yang
biasanya dan terikat pada aktivitas yang lebih intropeksi dan berfokus diri sendiri,
meliputi empat konsep dasar yaitu : (i) invidu yang menua dan masyarakat secara
bersama saling menarik diri, (ii) disengangement adalah intrinsik dan tidak dapat
diletakkan secara biologis dan psikologis, (iii) disengangement dianggap perlu
untuk proses penuaan, (iv) disengangement bermanfaat baik bagi lanjut usia dan
masyarakat (Potter & Perry, 2005).
2) Teori aktifitas
Lanjut usia dengan keterlibatan sosial yang lebih besar memiliki semangat
dan kepuasan hidup yang tinggi, penyesuaian serta kesehatan mental yang lebih
positif dari pada lanjut usia yang kurang terlibat secara sosial (Potter & Perry,
2005). Mempertahankan hubungan antara system sosial dan individu agar tetap
stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia (Nugroho, 2000). Menurut Mubarak
dkk (2006), bahwa sangat penting bagi individu lanjut usia untuk tetap aktivitas
dan mencapai kepuasan hidup.
3) Teori kontinuitas (kesinambungan)
Teori kontinuitas atau teori perkembangan menyatakan bahwa
kepribadiaan tetap sama dan perilaku menjadi lebih mudah diprediksi seiring
penuaan. Kepribadian dan pola perilaku yang berkembang sepanjang kehidupan
menentukan derajat keterikatan dan aktivitas pada masa lanjut usia (Potter &
Perry, 2005).
5. Perubahan yang terjadi pada lansia
Suatu proses yang tidak dapat dihindari yang berlangsung secara terus-menerus dan
berkesinambungan yang selanjutnya menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis dan
dan biokemis. Pada jaringan tubuh dan akhirnya mempengaruhi fungsi dan kemampuan
badan secara keseluruhan (Depkes RI, 1998). Menurut Setiabudhi (1999) .Perubahan
yang terjadi pada lansia yaitu:
a. Perubahan dari aspek biologis
Perubahan yang terjadi pada sel seseorang menjadi lansia yaitu adanya
perubahan genetika yang mengakibatkan terganggunya metabolisme protein,
gangguan metabolisme Nucleic acid dan deoxyribonucleic (DNA), terjadi ikatan
DNA dengan protein stabil yang mengakibatkan gangguan genetika, gangguan
kegiatan enzim dan system pembuatan enzim, menurunnya proporsi protein
diotak, otot, ginjal darah dan hati, terjadinya pengurangan parenkim serta adanya
penambahan lipofisin.
1) Perubahan yang terjadi di sel otak dan saraf berupa jumlah sel menurun
dan fungsi digantikan sel yang tersisa, terganggunya mekanisme
perbaikan sel, kontrol inti sel terhadap sitopalsma menurun, terjadinya
perubahan jumlah dan stuktur mitokondria, degenerasi lisosom yang
mengakibatkan hoidrolisa sel, berkurangnya butir Nissil, penggumpalan
kromatin, dan penambahan lipofisin, terjadi vakuolisasi protoplasma.
2) Prubahan yang terjadi di otak lansia adalah terjadi trofi yang berkurang 5
sampai 10% yang ukurannya kecil terutama dibagian prasagital, frontal,
parietal, jumlah neuron berkurang dan tidak dapat diganti dengan yang
baru, terjadi pengurangan neurotransmitter, terbentuknya struktur
abnormal diotak dan akumulasi pigmen organik mineral( lipofuscin,
amyloid, plaque, neurofibrillary tangle), adanya perubahan biologis
lainnya yang mempengaruhi otak seperti gangguan indra telinga, mata,
gangguan kardiovaskuler, gangguan kelenjar tiroid, dan kortikosteroid.
3) Perubahan jaringan yaitu terjadinya penurunan sitoplasma protein,
peningkatan metaplastik protein seperti kolagen dan elastin.
b. Perubahan Fisiologis.
Pada dasarnya perubahan fisiologis yang terjadi pada aktivitas seksual pada
usia lanjut biasanya berlangsung secara bertahap dan menunjukkan status dasar
dari aspek vaskuler, hormonal dan neurologiknya(Alexander & Allison, 1989
dalam Darmojo, 2004). Untuk suatu pasangan suami-istri, bila semasa usia
dewasa dan pertengahan aktivitas seksual mereka normal, akan kecil sekali
kemungkinan mereka akan mendapatkan masalah dalam hubungan seksualnya.
Kaplan dalam Darmojo (2004) membagi siklus seksual dalam beberapa
tahap, yaitu fase desire (hasrat) dimana organ targetnya adalah otak. Fase ke-2
adalah fase arousal (pembangkitan/ penggairahan)dengan organ targetnya adalah
sistem vaskuler dan fase ke-3 atau fase orgasmic dengan organ target medulla
spinalis dan otot dasar perineum yang berkontraksi selama orgasme. Fase
berikutnya yaitu fase orgasmik merupakan fase relaksasi dari semua organ target
tersebut.
c. Perubahan Psikologis
Perubahan psikologis pada lansia sejalan dengan perubahan secara
fisiologis. Masalah psikologis ini pertama kali mengenai sikap lansia terhadap
kemunduran fisiknya (disengagement theory) yang berati adanya penarikan diri
dari masyarakat dan dari diri pribadinya satu sama lain. Lansia dianggap terlalu
lamban dengan daya reaksi yang lambat, kesigapan dan kecepatan bertindak dan
berfikir menurun(Santrock, 2002).

d. Perubahan sosial
Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka,
walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Orang lanjut usia yang
memutuskan hubungan dengan dunia sosialnya akan mengalami kepuasan.
Pernyataan tadi merupakan disaggrement theory. Aktivitas sosial yang banyak
pada lansia juga mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial lansia
(Santrock, 2002).
e. Perubahan kehidupan keluarga
Sebagian besar hubungan lansia dengan anak jauh kurang memuaskan yang
disebabkan oleh berbagai macam hal. Penyebabnya antara lain : kurangnya rasa
memiliki kewajiban terhadap orang tua, jauhnya jarak tempat tinggal antara anak
dan orang tua. Lansia tidak akan merasa terasing jika antara lansia dengan anak
memiliki hubungan yang memuaskan sampai lansia tersebut berusia 50 sampai
55 tahun (Darmojo, 2004)..
Orang tua usia lanjut yang perkawinannya bahagia dan tertarik pada dirinya
sendiri maka secara emosional lansia tersebut kurang tergantung pada anaknya
dan sebaliknya. Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal keuangan.
Karena lansia sudah tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya pun tidak semua dapat menerima
permintaan atau tanggung jawab yang harus mereka penuhi.
Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemunduruan
kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas
ekonomi dan sosial mereka. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada
aktivitas kehidupan sehari-hari.

6. Permasalahan yang terjadi pada lansia


a. Permasalahan dari Aspek Fisiologis
Terjadinya perubahan normal pada fisik lansia yang dipengaruhi oleh factor
kejiwaan, sosial, ekonomi dan medik. Perubahan tersebut akan terlihat dalam
jaringan dan organ tubuh seperti kulit menjadi kering dan keriput, rambut beruban
dan rontok, penglihatan menurun sebagian atau menyeluruh, pendengaran
berkurang, indra perasa menurun, daya penciuman berkurang, tinggi badan
menyusut karena proses osteoporosis yang berakibat badan menjadi bungkuk,
tulang keropos, massanya dan kekuatannya berkurang dan mudah patah,
elastisitas paru berkurang, nafas menjadi pendek, terjadi pengurangan fungsi
organ didalam perut, dinding pembuluh darah menebaldan menjadi tekanan darah
tinggi otot jantung bekerja tidak efisien, adanya penurunan organ reproduksi,
terutama pada wanita, otak menyusutdan reaksi menjadi lambatterutama pada
pria, serta seksualitastidak terlalu menurun (Martono, 1997 dalam Darmojo,
2004).
b. Permasalahan dari Aspek Psikologis
Menurut Martono, 1997 dalam Darmojo (2004), beberapa masalah psikologis
lansia antara lain:
a. Kesepian (loneliness), yang dialami oleh lansia pada saat meninggalnya
pasangan hidup, terutama bila dirinya saat itu mengalami penurunan status
kesehatan seperti menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau
gangguan sensorik terutama gangguan pendengaran harus dibedakan antara
kesepian dengan hidup sendiri. Banyak lansia hidup sendiri tidak mengalami
kesepian karena aktivitas sosialnya tinggi, lansia yang hidup dilingkungan
yang beraggota keluarga yang cukup banyak tetapi mengalami kesepian.
b. Duka cita (bereavement),dimana pada periode duka cita ini merupakan
periode yang sangat rawan bagi lansia. meninggalnya pasangan hidup, temen
dekat, atau bahkan hewan kesayangan bisa meruntuhkan ketahanan kejiwaan
yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang selanjutnya memicu terjadinya
gangguan fisik dan kesehatannya. Adanya perasaan kosong kemudian diikuti
dengan ingin menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat
duka cita biasanya bersifat self limiting.
c. Depresi, pada lansia stress lingkungan sering menimbulkan depresi dan
kemampuan beradaptasi sudah menurun.
d. Gangguan cemas, terbagi dalam beberapa golongan yaitu fobia, gangguan
panik, gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan ganggua
obstetif-kompulsif. Pada lansia gangguan cemas merupakan kelanjutan dari
dewasa muda dan biasanya berhubungan dengan sekunder akibat penyakit
medis, depresi, efek samping obat atau gejala penghentian mendadak suatu
obat.
e. Psikosis pada lansia, dimana terbagi dalam bentuk psikosis bisa terjadi pada
lansia, baik sebagai kelanjutan keadaan dari dewasa muda atau yang timbul
pada lansia.
f. Parafrenia, merupakan suatu bentuk skizofrenia lanjut yang sering terdapat
pada lansia yang ditandai dengan waham (curiga) yang sering lansia merasa
tetangganya mencuri barang-barangnya atau tetangga berniat membunuhnya.
Parfrenia biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi atau diisolasiatau
menarik diri dari kegiatan social.
g. Sindroma diagnose, merupakan suatu keadaan dimana lansia menunjukkan
penampilan perilaku yang sangat mengganggu. Rumah atau kamar yang kotor
serta berbau karena lansia ini sering bermain-smain dengan urin dan fesesnya.
Lansia sering menumpuk barang-barangnya dengan tidak teratur (jawa:
Nyusuh). Kondisi ini walaupun kamar sudah dibersihkan dan lansia
dimandikan bersih namun dapat berulang kembali.
c. Permasalahan dari Aspek Sosial Budaya
Menurut Setiabudhi (1999), permasalahan sosial budaya lansia secara
umum yaitu masih besarnya jumlah lansia yang berada di bawah garis
kemiskinan, makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga
yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati, berhubung
terjadi perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara fisik lebih mengarah
pada bentuk keluarga kecil, akhirnya kelompok masyarakat industry yang
memiliki ciri kehidupan yang lebih bertumpu kepada individu dan menjalankan
kehidupan berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan efisien yang secara
tidak langsung merugikan kesejahteraan lansia, masih rendahnya kuantitas
tenaga professional dalam pelayanan lansia dan masih terbatasnya sarana
pelayanan pembinaan kesejahteraan lansia, serta belum membudayanya dan
melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia.

B. Karakteristik Lansia
Menurut Keliat (1999) dalam Mariyam dkk (2008), Lanjut usia memiliki benerapa
karakteristik diantaranya adalah; Pertama, Orang Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan
Pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan ); Kedua, kebutuhan dan masalah yang
bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuha biopsikososial sampai spiritual, serta
dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptive; Ketiga, lingkungan dan tempat tinggal yang
bervariasi.
Adapun ciri-ciri pada lansia sehingga akan berdampak terhadap mekanisme koping dari
respon yang dihadapi, seperti;

1. Usia dan jenis pekerjaan


Semakin bertambahnya usia seseorang, semakin siap pula dalam menerima
cobaan. Hal ini didukung oleh teori aktivitas yang menyatakan bahwa hubungan
antara sistem sosial dengan individu bertahan stabil pada saat individu bergerak dari
usia pertengahan menuju usia tua,( Cox, 1984 dalam Tamher & Noorkasiani,2009).
Usia adalah lamanya kehidupan yang dihitung berdasarkan tahun kelahiran sampai
dengan ulang tahun terakhir. Oleh sebab itu, tidak dibutuhkan suatu kompensasi
terhadap kehilangan, seperti pensiun dari peran sosial karena menua.
Keterkaitannya dengan jenis pekerjaan juga membawa dampak yang berarti
(Darmojo dkk, 1999 dalam Tamher & Noorkasiani, 2009).
2. Jenis kelamin
Perbedaan gender juga dapat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
psikologis lansia, sehingga akan berdampak pada bentuk adaptasi yang digunakan
(Darmojo dkk, 1999 dalam Tamher Dan Noorkasiani, 2009), menyatakan hasil
penelitian mereka yang memaparkan bahwa ternyata keadaan psikososial lansia di
Indonesia secara umum masih lebih baik dibandingkan lansia di negara maju, antara
lain tanda-tanda depresi pria (pria 43% dan wanita 42%), menunjukkan
kelakuan/tabiat buruk(pria 7,3% dan wanita 3,7%), serta cepat marah irritable (pria
17,2% dan wanita 7,1%). Jadi dapat diasumsikan bahwa wanita lebih siap dalam
menghadapi masalah dibandingkan laki-laki, karena wanita lebih mampu
menghadapi masalah dari pada lelaki yang cenderung lebih emosional.
3. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan juga merupakan hal terpenting dalam menghadapi
masalah. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak
pengalaman hidup yang dilaluinya,sehingga akan lebih siap dalam menghadapi
masalah yang terjadi. Umumnya lansia yang memiliki tingkat pendidikan yang
lebih tinggi masih dapat produktif, mereka justru banyak memberikan
konstribusinya sebagai pengisi waktu luang dengan menulis buku-buku ilmiah
maupun biografinya sendiri (Tamher, 2009)
4. Sosial dan ekonomi
Kebiasaan sosial budaya masyarakat di dunia timur sampai sekarang masih
menempatkan orang-orang usia lanjut pada tempat terhormat dan penghargaan yang
tinggi. Menurut Brojklehurst dan Allen (1987) dalam Tamher (2009), lansia sering
dianggap lamban, baik dalam berpikir maupun dalam bertindak. Anggapan ini
bertentangan dengan pendapat-pendapat pada zaman sekarang, yang justru
menganjurkan masih tetap ada social involvement (keterlibatan sosial) yang
dianggap penting dan menyakinkan. Contohnya dalam bidang pendidikan, lansia
masih tetap butuh tetap melanjutkan pendidikannya, sehingga dapat meningkatkan
inteligensi dan memperluas wawasannya. Hal ini merupakan suatu dukungan bagi
lansia dalam menghadapi masalah yang terjadi. Pada zaman sekarang status
ekonomi baik status menengah keatas, menengah/sederhana, maupun menengah
kebawah sangat diperhatikan seseorang dalam menjalin hubungan baik dengan
teman, relasi kerja maupun pasangan hidup sehingga status ekonomi ada hubungan
erat dengan status sosial karena dimana status ekonomi individu itu tinggi maka
dalam menjalin hubungan dengan relasi akan semakin mudah dan erat misalnya
dalam hubungan keluarga terutama dalam pemenuhan kebutushan dasar.

C. Pemenuhan Kebutuhan Seksualitas Lansia


1. Pengertian Seksualitas
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa seksualitas berarti
ciri, sifat, atau peranan seks. Dari artinya saja jelas bahwa seksualitas menunjuk pada
sesuatu yang kompleks yang ada dalam diri manusia. Kekomplekan inilah yang jarang
dilihat oleh manusia. Orang sering memandang seksualitas dalam arti yang sempit yakni
terbatas pada alat genetikal belaka. Dengan kata lain, seksualitas dipersempit menjadi
seks yaitu apa yang kita alami dan kita lakukan dengan alat kelamin kita. Padahal
seksualitas mempunyai arti yang sangat luas dan mendalam dalam prilaku seksual ( Kris,
2004).
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual,
baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat
beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu
dan senggama maupun berimajinasi. Obyek seksual dapat berupa orang, baik sejenis
maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku ini
memang tidak memiliki dampak, terutama bila tidak menimbulkan dampak fisik bagi
orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual justru
dapat memiliki dampak dengan kesehatan seksual itu sendiri (Potter & Perry, 2005).
Kesehatan seksual merupakan suatu hal yang sukar untuk diartikan Karena
kebanyakan masyarakat menganggap kesehatan seksual adalah suatu peristiwa yang sulit
untuk dijelaskan sehingga menimbulkan suatu anggapan yang salah. World Health
Organization,1975 mendefinisikan kesehatan seksual sebagai pengintegrasian aspek
somatik, emosional, intelektual, dan aspek sosial dari kehidupan seksual dengan cara
yang positif untuk memperkaya pengrtahuan seksualnya dalam bentuk kepribadian, dan
perasaan cinta (Kozier,2004).

Arti lain dari seksualitas menurut Kozier (2004), adalah suatu tindakan alamiah,
spontan yang meningkatkan kepuasan dari kedua pasangan. Setelah aktivitas seksual,
harus ada periode persaan senang dimana kedua pasangan mengalami kehangatan,
sejahtera dan kedekatan. Dalam kenyataan, hal ini sering menjadi pengecualian
ketimbang peraturan, seperti yang ditunjukkan oleh sejumlah buku peningkatan seksual
swabantu yang tersedia ditoko. Perawat dapat saja menghadapi klien yang mempunyai
masalah satu tahap perilaku seksual atau lebih, termasuk perasaan ingin melakukan
hubungan seks.

Perlu diketahui bahwa seksualitas manusia berarti kita terarah kepada yang lain.
Artinya seksualitas yang kita miliki memampukan kita untuk dapat berelasi secara akrab
dengan sesama kita dan Tuhan secara intim (Kozier,2004).

Seksualitas adalah energi yang berdasarkan pada relasi-relasi kita. Energi ini
sangat tampak dalam orientasi hidup manusia yang merupakan kualitas hidupnya seperti
kerinduan untuk akrab dengan orang lain, untuk bersahabat dan untuk bersatu. Perlu
disadari juga bahwa seksualitas berkaitan erat dengan compassion, healing, dan
pengampunan. Sedangkan ciri dari seksualitas adalah passion, kehangatan, afeksi, dan
perasaan, rasa tertarik, vitalitas. Selain itu, seksualitas mengenal juga derita, kesakitan,
frustasi, dan kekacauan( Kris, 2004).

Seksualitas dalam usia lanjut makin diakui sebagai hal yang penting dalam
perawatan lansia. Semua lansia, baik sehat maupun lemah, perlu mengekspresikan
perasaan seksualnya. Seksualitas meliputi cinta, kehangatan , saling membagi dan
sentuhan, bukan hanya melakukan hubungan seksual. Seksualitas berkaitan dengan
identitas dan validasi keyakinan bahwa orang dapat memberi pada orang lain dan
mendapatkan penghargaan ( Perry & Potter, 2005).

Seksualitas dalam usia tua beralih dari penekanan pada prokreasi menjadi
penekanan pada pertemanan, kedekatan fisik, komunikasi intim, dan hubungan fisik
mencari kesenangan (Hebersol &Hess, 1994). Tidak ada alasan bagi individu tidak dapat
tetap aktif secara seksual sepanjang mereka memilihnya. Hal ini dapat secara efektif
dipenuhi dengan mempertahankan aktifitas seksual secara teratur sepanjang hidup.
Terutama sekali bagi wanita, hubungan senggama teratur membantu mempertahankan
elastisitas vagina, mencegah atrofi, dan mempertahankan kemampuan untuk lubrikasi.
Namun demikian, proses penuaan mempengaruhi proses seksual. Perubahan fisik yang
terjadi bersama proses penuaan harus dijelaskan kepada klien lansia. Lansia mungkin
juga menghadapi kekuatiran kesehatan yang membuat sulit bagi mereka untuk
melanjutrkan aktivitas seksual. Dewasa yang menua mungkin harus menyesuaikan
tindakan seksual dan respon terhadap penyakit kronis, medikasi, sakit dan nyeri, atau
masalah kesehatan lainnya( Perry & Potter, 2005).

Kiranya menjadi jelas bahwa pemahaman akan seksualitas secara benar dapat
meminimalisir pikiran-pikiran sempit yang mau menonjolkan bahwa kegiatan seks itu
adalah hal yang terpenting. padahal seksualitas itu dapat diungkapkan (diekspresikan)
dalam ribuan bentuk. Salah satu diantaranya yakni ekspresi atau ungkapan genital ( Kris,
2004).
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi seksual dalam Kebutuhan Seksualitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan seksualitas menurut Perry & Potter,
(2005) adalah:
a) Faktor fisik. Klien dapat mengalami penurunan keinginan seksual karena alasan
fisik. Aktivitas seksualdapat menyebabkan nyeri dan ketidak nyamanan. Bahkan
hanya membayangkan bahwa seks dapat menyakitkan sudah menurunkankeinginan
seks. Penyakit minor dan keletihan adalah alasan seseorang untuk tidak merasakan
seksual. Medikasi dapat mempengaruhi keinginan seksual. Citra tubuh yang buruk,
terutama ketika diperburuk oleh perasaan penolakan atau pembedahan yang
mengubah bentuk tubuh, dapat menyebabkan klien kehilangan perasaannya secara
seksual.
b) Faktor hubungan. Masalah dalam berhubungan dapat mengalihkan perhatian
seseorang dari keinginan seks. Setelah kemesraan hubungan telah memudar,
pasangan mungkin mendapati bahwa mereka dihadapkan pada perbedaan yang
sangat besar dalam nilai atau gaya hidup mereka. Tingkat seberapa jauh mereka
mssih merasa dekat satu sama lain dan berinteraksi pada tingkat intim bergantung
pada kemampuan mereka untuk bernegoisasi dan berkompromi. Ketrampilan seperti
ini memainkan peran yang sangat penting ketika mengahadapi keinginan seksual
dalam berhubungan. Penurunan minat dalam aktifitas seksual dapat mengakibatkan
ansietas hanya karena harus mengatakan kepada pasangan perilaku seksual apa yang
diterima dan menyenangkan.
c) Faktor gaya hidup. Faktor gaya hidup seperti, penggunaan atau penyalahgunaan
alkohol atau tidak punya waktu untuk mencurahkan perasaan dalam berhubungan,
dapat mempengaruhi keinginan secara seksual. Dahulu perilaku seksual yang
dikiatkan dengan, terutama dalam periklanan, alkohol dapat menyebabkan rasa
sejahtera atau gairah palsu dalam tahap awal seks. Namun demikian, banyak bukti
sekarang ini menunjukkan bahwa efek negatif alkohol terhadap seksualitas jauh
melebihi euforia yang mungkin dihasilkan pada awalnya.
d) Faktor harga diri. Tingkat harga diri klien juga dapat menyebabkan konflik yang
melibatkan seksualitas. Jika harga diri seksual tidak pernah dipelihara dengan
mengembangkan perasaan yang kuat tentang seksual diri dan dengan mempelajari
keterampilan seksual, seksualitas mungkin menyebabkan perasaan negatif atau
menyebabkan perasaan negatif atau menyebabkan tekanan perasaan seksual. Harga
diri seksual dapat menurun dalam banyak cara. Perkosaan , inses, dan penganiayaan
fisik atau emosi meninggalkan luka yang dalam. Rendahnya harga diri seksual dapat
juga diakibatkan oleh kurang adekuatnya pendidikan seks, model peran yang
negatif, dan upaya untuk hidup dalam pengharapan pribadi atau kultural yang tidak
realistik.
3. Masalah Seksualitas Lansia
Masyarakat biasanya ragu-ragu untuk memperkenalkan topik dengan masalah
seksual dengan alasan tertentu kepada tenaga kesehatan maupun orang lain. Mereka
mungkin terlalu malu atau berpikir bahwa tidak semestinya mempunyai permasalahan
seksual. Oleh karena itu para penyedia pelayanan kesehatan profesional terus menerus
memperkenalkan masalah seksual kepada masyarakat supaya hal ini mudah diatasi
permasalahannya untuk mengatasi masalah seksualnya ( Darmojo, 2004 ).
Masalah seksual bagi individu yang secara seksual aktif dimana individu
berkeinginan melakukan hubungan seks yang aman. Melakukan hubungan seks yang
aman telah mendapat pengakuan yang meningkat akibat ketakutan tentang AIDS. Resiko
dan konsekuensi dari PMS harus selalu menjadi pertimbangan (Perry & Potter, 2005).
Senggama dan manipulasi seksual, meskipun dimaksudkan untuk memberikan
kesenangan bagi yang melakukannya, mungkin menjadi penyiksaan dalam situasi
disfungsi. Penganiayaan seksual dapat mencakup tindak kekerasan pada wanita,
pelecehan seksual, perkosaan, pedofilia (aktifitas seksual dengan anak-anak), pornografi
anak, dan inses (hubungan seksual yang dilakukan ayah kepada anak perempuannya)
(Perry & Potter, 2005).
Pada usia lanjut, tedapat berbagai hambatan untuk melakukan aktivitas seksual
yang dapat dibagi menjadi hambatan/masalah eksternal yang datang dari lingkungan dan
hambatan internal, yang terutama berasal dari subyek lansianya sendiri ( Darmojo, 2004
).
Hambatan eksternal biasanya berupa pandangan sosial, yang menganggap bahwa
aktivitas seksual tidak layak lagi dilakukan oleh para lansia. Masyarakat biasanya masih
bisa menerima seorang duda lansia kaya yang menikah lagi dengan wanita yang lebih
muda atau mempunyai anak setelah usianya agak lanjut, tetapi hal sebaliknya seorang
janda kaya yang menikah dengan pria yang lebih muda sering kali mendapat cibiran
masyarakat. Hambatan eksternal bilamana seseorang janda atau duda akan menikah lagi
seringkali juga berupa sikap menentang dari anak-anak, dengan berbagai alasan.
Kenangan pada ayah/ibu yang telah meninggal atau ketakutan akan berkurangnya warisan
merupakan latar belakang penolakan. Di negara Barat hal ini masih terjadi, akan tetapi
pengaruhnya di negara Timur akan lebih terasa mengingat kedekatan hubungan orang tua
dengan anak-anak ( Darmojo, 2004 ).
Hambatan internal psikologik seringkali sulit dipisahkan secara jelas dengan
hambatan ekternal. Seringkali seorang lansia sudah merasa tidak bisa dan tidak pantas
berpenampilan untuk bisa menarik lawan jenisnya. Pandangan sosial dan keagamaan
tentang seksualitas di usia lanjut(baik pada mereka yang masih mempunyai pasangan,
tetapi terlebih pada mereka yang sudah menjanda/menduda) menyebabkan keinginan
dalam diri mereka ditekan sedemikian sehingga memberikan dampak pada
ketidakmampuan fisik, yang dikenal sebagai impotensia ( Darmojo, 2004 ).
Hampir setiap orang yang mengalami usia lanjut akan mengalami
masalah/Hambatan seksual. Sebagian besar menghadapinya sebagai hal yang sangat
memalukan untuk dibicarakan, sebagian lagi menganggapnya sebagai bagian proses
penuaan yang alamiah dan tidak bisa diperbaiki. Sikap optimis inilah yang perlu dibina
sehingga mampu memperbaiki kehidupan seks dan menghadapinya sebagai suatu
penyakit biasa yang dapat diobati (Suparto, 1998).
4. Kebutuhan Seksualitas Lansia
Keinginan seksual beragam diantara individu: sebagian orang menginginkan dan
menikmati seks setiap hari, sementara yang lainnya menginginkan seks hanya sekali
dalam sebulan, dan yang lainnya lagi tidak memiliki keinginan sama sekali dan cukup
merasa nyaman dengan fakta tersebut. Keinginan seksual menjadi masalah jika klien
semata-mata menginginkan untuk merasakan keinginan hubungan seks lebih sering, jika
keyakinan klien adalah pentinguntuk melakukannya pada beberapa norma kultur, atau
jika perbedaan dalam keinginan seksual dari pasangan menyebabkan konflik (Kozier,
2004).
Aktivitas seksual mungkin terbatas karena ketidakmampuan spesifik, tetapi
dorongan seksual, ekspresi cinta, dan perhatian tidak mengalami penurunan yang sama.
Dari pada penurunan fungsi seksual diasumsikan dengan sakit, lebih baik perhatian
difokuskan pada sesuatu yang masih mungkin dilakukan. Pengaruh psikososial dari
ketidakmampuan pada umumnya mempunyai pengaruh yang lebih negatif pada fungsi
seksual dari pada gangguan fisik akibat ketidakmampuan itu sendiri. Mengembangkan
kepercayaan diri dan membentuk ekspresai seksual yang baru dapat banyak membantu
pada lansia yang mengalami ketidakmampuan seksual ( Pudjiastuti, 2003 ).
Lanjut usia masih mempunyai harapan untuk menikah dan masih memiliki minat
terhadap lawan jenis. Hal tersebut di tunjukkan dengan usaha berkunjung ke lawan jenis
yang sudah tidak memiliki pasangan. Adanya fenomena keinginan menikah, pengacuhan
kebutuhan seksual lanjut usia yang berdampak pada kebahagiaan dan gangguan
homeostasis , teori-teori yang menunjukkan perlu adanya kebutuhan seksual dipenuhi,
dan masih adanya anggapan yang keliru mengenai pemenuhan kebutuhan seksual pada
lanjut usia ( Mayasari, 2009 ).
Namun, kondisi hubungan seksual dan nonseksual dengan pasangan hidup
memberi pengaruh besar. Makin baik hubungan, makin memuaskan kehidupan
seksualnya. Maka, seks akan bertambah lama sampai tidak ada batasnya. Akhirnya salah
satu penentu lain adalah tidak adanya pasangan. Wanita usia lanjut yang tidak
mempunyai pasangan lagi umumnya akan menekan ddorongan seksnya sampai habis.
Sebaliknya, pria yang sudah kehilangan pasangan, sebagian akan menikah lagi
(Suparto,1998).
5. Usaha Perbaikan Kebutuhan Seksualitas
Sikap yang ditujukan pada perasaan dan prilaku seksual berubah sejalan dengan
perkembangan dan pertumbuhan seseorang sampai menjadi tua. Perubahan ini mungkin
menjadi lebih tradisional atau liberal karena perubahan masyarakat, umpan balik dari
orang lain, dan keterlibatan dalam kelompok keagamaan dan komunitas (Perry & potter,
2005).
Perbaikan penderita lansia dengan masalah seksual pada dasarnya tidak berbeda
dengan apabila penderita tersebut berusia lebih muda. Yang berbeda adalah bahwa
ketelitian dan kehati-hatian baik dalam diagnosis maupun dalam pemberian terapi harus
lebih ditekankan karena disamping kelainan yang mendasari gangguan seksual tersebut
lebih beragam, sedangkan terapi baik medikamenntosa maupun pembedahan mungkin
sangat mempengaruhi keadaan umum penderita (Darmojo, 2004).
Pemeriksaan sebaiknya dihadapan kehadiran pasangannya. Anamnesis harus
rinci, meliputi awitan, jenis maupun intensitas gangguan yang dirasakan. Juga anamnesis
tentang gangguan sistemik maupun organik yang dirasakan. Penelaahan tentang
gangguan psikologik (kesepian, depresi, duka cita), gangguan kognitif harus pula
dilakukan. Tidak kalah pentingnya adalah anamnesis tentang obat-obatan yang diminum.
Pemeriksaan fisik meliputi organ dari ujung kepala sampai kaki. Status lokalis organ
seksual perlu mendapatkan perhatian khusus ( Darmojo, 2004 ).
Terapi yang diberikan tentu saja tergantung dari diagnosis/gangguan yang
mendasari keluhan tersebut dan sebaiknya dilakukan oleh suatu tim multi disiplin. Pada
keadaan disfungsi ereksi, terapi yang diberikan dapat berupa (Weg, 1986; Leslie,1987
dalam Darmojo, 2004) :
a. Terapi psikologik
b. Medikamentosa (hormonal atau injeksi intrakorporeal dengan menggunakan
papaverin atau alprostadil).
c. Pengobatan dengan alat vakum
d. Pembedahan, baik pembedahan vaskuler atau untuk pemasangan protesis
penis.
6. Manfaat melakukan hubungan seksual dalam pemenuhan kebutuhan seksualitas
Masih banyak orang yang memandang aktivitas seks hanya sebagai salah satu
bentuk pemenuhan kebutuhan semata. Padahal di luar itu, seks ternyata memiliki
beragam manfaat yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan, baik dari segi
fisik maupun psikologis (Perry & Potter,2005).
Menurut para ahli, setidaknya ada 10 keuntungan yang dapat diperoleh dari
aktivitas seks yang teratur dan benar. Seluruh manfaat ini bukanlah sekedar anekdot
belaka, tetapi merupakan hasil riset yang didukung bukti ilmiah, diantaranya adalah;
(Kris, 2009)
a. Redakan stres
Peneliti dari Skotlandia dalam riset yang dipublikasikan jurnal Biological
Psychology menyimpulkan, salah satu manfaat utama seks bagi kesehatan adalah
menurunkan tekanan darah dan meredakan stres secara umum. Kesimpulan ini
merupakan hasil pemantauan 22 pria dan 24 wanita yang dikondisikan dalam
situasi stres. Aktivitas seksual mereka dicatat dan hasilnya menunjukkan, mereka
yang melakukan hubungan intim dapat mengatasi stres lebih baik ketimbang yang
tidak ngeseks. Dalam riset lain yang dipublikasikan jurnal yang sama
menyebutkan bahwa aktivitas seks rutin berkaitan dengan tekanan diastolik yang
rendah.
b. Tingkatkan daya tahan tubuh
Kehidupan seks yang baik dapat mengindikasikan kesehatan fisik yang baik
pula. Melakukan seks sekali atau dua kali dalam seminggu akan meningkatkan
antibodi yang disebut Immunoglobin A atau IgA, yang mampu melindungi anda
dari flu ataupun infeksi.
c. Seks membakar kalori
Meurut penelitian, aktivitas seks selama 13 menit bisa membakar sekitar 85
kalori lebih. Sepertinya jumlah ini tidak banyak. Namun dihitung-hitung, jika
Anda melakukannya minimal 42 kali dalam setahun (sebulan tiga kali) berarti
telah membakar 3,570 kalori, lebih dari cukup untuk menurunkan 0,5 kg berat
badan. Jika Anda ngeseks rata-rata satu jam, satu kilo berat badan mungkin bisa
diturunkan dengan 21 kali ngeseks. Seks adalah model terhebat dari olahraga,
komentar Patti Britton, PhD, seksolog dan Presiden American Society of Sexuality
Educators and Therapist.
d. Sehatkan jantung dan pembuluh darah
Meskipun ada mitos yang mengkhawatirkan bahwa tenaga yang dikeluarkan
saat ngeseks dapat memicu stroke, namun para peneliti Inggris menyatakan
anggapan itu tidaklah benar.
Dalam riset yang dipublikasikan Journal Epidemiologycal and Community
Health, para ahli mengungkapkan bahwa seks rutin tidak ada kaitannya dengan
stroke pada 914 partisipan yang dipantau selama 20 tahun.
Manfaat seks bagi jantung pun tidak berhenti di situ. Peneliti juga
mengungkapkan bahwa ngeseks sekali atau dua kali seminggu dapat menurunkan
risiko serangan jantung fatal hingga 50 persen pada pria, dibanding mereka yang
melakukan seks kurang dari sekali dalam sebulan.
e. Tingkatkan kepercayan diri
Meningkatkan kepercayaan diri adalah salah satu dari 237 alasan orang
melakukan seks. penelitian ini dilakukan oleh ahli dari Universitas Texas dan
dipublikasikan dalam Archives of Sexual Behavior.
f. Memperbaiki keintiman.
Melakukan seks dan orgasme akan meningkatkan hormon oksitosin atau
juga disebut hormon cinta. Hormon ini dapat membantu pasangan membangun
dan memperkuat ikatan dan kepercayaan satu sama lain.
Peneliti dari Universitas Pittsburgh dan Universitas North Carolina
mengevaluasi respon 59 wanita premenopause. Partisipan dihitung kadar
hormonnya sebelum dan setelah berhubungan dengan suami mereka yang diakhiri
dengan berpelukan. Riset menunjukkan, semakin sering terjadinya sentuhan,
makin tinggi kadar oksitosin. Kadar oksitosin membuat kita merasa ingin
mengasihi dan mengikat, kata peneliti.
g. Mengurangi rasa sakit
Ketika hormon oksitosin dalam tubuh meningkat, endorphin juga akan naik
dan rasa sakit akan berkurang. Oleh sebab itu, jika rasa sakit kepala, artritis atau
gejala sidrom premenstrual Anda bisa mereda setelah berhubungan seks, itu lebih
karena efek hormon oksitosin.

h. Tekan risiko kanker prostat


Peneliti Australia pernah mengungkapkan bahwa ejakulasi secara teratur
akan menurunkan risiko kanker prostat di masa lansia. Riset ini dipublikasikan
dalam British Journal of Urology International.
i. Memperkuat otot dasar panggul
Bagi para wanita, melakukan latihan otot dasar panggul saat berhubungan
intim dikenal dengan istilah gerakan Kegel. Gerakan ini akan memberi
kenikmatan bagi kedua pasangan, selain juga memperkuat bagian otot dan
menekan risiko inkontinensi di masa lansia.
j. Memperbaiki kualitas tidur
Menurut penelitian, oksitosin yang dilepaskan selama orgasme juga dapat
merangsang kantuk. Dengan tidur yang cukup, kesehatan pun akan lebih baik
karena tensi darah dan berat badan tetap terplihara.

D. Penurunan Kebutuhan Seksualitas


Dengan meningkanya usia, proses penuaan berlanjut terus sampai produksi hormon
dan aspek kesehatan lainnya juga akan menurun sehingga kebutuhan seksual akan
mengalami penurunan. Kondisi ini jarang didiagnosa atau diperiksakan kedokter. Sebagian
akan menerimanya sebagai bagian dari proses penuaan dan kebutuhan seksual pun akan
berhenti seterusnya. Yang lebih sulit lagi harapan hidupnya akan menurun sehingga kondisi
itu dirasakan sebagai tanda berakhirnya kehidupan ( Suparto,1997).
Seiring dengan proses penuaan aktivitas seksual mungkin kebutuhan seksual akan
menurun/terbatas karena ketidakmampuan spesifik, tetapi dorongan seksual, ekspresi cinta,
dan perhatian tidak mengalami penurunan yang sama. Dari pada penurunan fungsi seksual
diasumsikan dengan sakit, lebih baik perhatian difokuskan pada sesuatu yang masih dapat
dilakukan. Pengaruh psikososial dari ketidakmampuan pada umumnya mempunyai pengaruh
yang lebih negatif pada fungsi seksual dari pada gangguan fisik akibat ketidakmampuan itu
sendiri. Mengembangkan kepercayaan diri dan membentuk ekspresi seksual yang baru dapat
banyak membantu pada lansia yang mengalami ketidakmampuan seksual (Pudjiastuti, 2003).

E. Hubungan Karakteristik Lansia Dengan Pemenuhan Kebutuhan Seksualitas Golongan


Lansia
Hasil penelitian menyebutkan bahwa lebih dari 90% gangguan seksual disebabkan oleh
faktor psikologis (Psikoseksual). Walaupun pengaruh psikologis cukup besar, ternyata
pengaruh faktor fisik semakin tinggi pada lansia. Semakin tua seseorang, penyebab fisik
dapat lebih besar dari pada penyebab psikologis ( Pudjiastuti, 2003 )
Kehilangan aktivitas seksual bukan merupakan aspek penuaan yang tidak dapat
dihindari dan sebagian besar orang yang sehat tetap aktif secara seksual secara teratur sampai
usia lanjut. Namun, dalam karakteristik usia lanjut memang membawa perubahan tertentu
dalam respon seksual fisiologis pria dan wanita, dan disertai sejumlah masalah medis yang
menjadi lebih prevalen pada usia lanjut yang berperan penting terhadap terjadinya gangguan
seksual patogen terhadap lansia. Tipikal pasien berusia lebih dari 50 tahun yang mengalami
kerusakan biologis parsial, yang meningkat menjadi ketidak mampuan seksual total akibat
berbagai stressor budaya, intrapsikis, dan hubungan. Untungnya, masalah-masalah tersebut
sering dapat diatasi dengan pendekatan terintegrasi yang secara psikodinamik berorientasi
pada terapi seks yang menekankan pada perbaikan keintiman pasangan dan perluasan
fleksibilitas seksual mereka ( Stanley, 2006 ).
Lansia dalam pemenuhan kebutuhan seksualnya sangat tergantung dengan keadaan
personal yang mengalami proses penuaan, hal ini disebabkan karena keadaan lansia yang
sudah terbatas kemampuannya dalam melakukan segala sesuatunya sendiri,agar dalam
pemenuhan kebutuhan seksual mereka dapat tercapai sesuai dengan keadaan kondisi mereka.
F. Kerangka Teori

Faktor yang mempengaruhi Karakteristik Lansia:


kebutuhan seksual : -Umur
-Faktor fisik -Jenis kelamin
-Faktor hubungan -Status pernikahan
-Faktor gaya hidup -Pendidikan
-Faktor harga diri -Pekerjaan
-Sosial ekonomi

Pemenuhan Permasalahan seksualitas


Keutuhan Seksualitas

Penurunan Kebutuhan
Seksualitas

Skema 1.1 Kerangka Teori

[Sumber; Modifikasi Perry & Potter (2005); Pudjiastuti dan Utomo (2003)]

G. Kerangka Konsep

Karakterisatik Lansia
- Umur
- Jenis Kelamin Pemenuhan Kebutuhan Seksual
- Status pernikahan
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Sosial Ekonomi

Variabel Independent Variabel Dependent

Skema : 1.2 kerangka konsep


H. Variabel penelitian
1. Variabel independent
Variabel independent pada penelitian ini adalah karakteristik lansia.
2. Variabel dependent
Variabel dependent pada penelitian ini adalah pemenuhan kebutuhan seksualitas.

I. Hipotesis
Ada hubungan karakteristik lansia dengan pemenuhan kebutuhan seksualitas golongan
usia lanjut di Kelurahan Karangroto Kecamatan Genuk Kota Semarang.

Anda mungkin juga menyukai