Anda di halaman 1dari 6

Tokoh Islam Abu Darda

Sumber : Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

dikirim oleh : Retno Wahyudiaty - 2003

==================================================

Uwaimir bin Malik al-Khazraji yang lebih dikenal dengan nama Abu Darda bangun dari
tidurnya pagi-pagi sekali. Setelah itu, dia menuju berhala sembahannya di sebuah kamar
yang paling istimewa di dalam rumahnya. Dia membungkuk memberi hormat kepada
patung tersebut, kemudian diminyakinya dengan wangi-wangian termahal yang terdapat
dalam tokonya yang besar, sesudah itu patung tersebut diberinya pakaian baru dari sutera
yang megah, yang diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yang datang dari Yaman
dan sengaja mengunjunginya.

Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu Darda masuk ke rumah dan bersiap hendak
pergi ke tokonya. Tiba-tiba jalan di Yastrib menjadi ramai, penuh sesak dengan para
pengikut Nabi Muhammad yang baru kembali dari peperangan Badar. Di muka sekali
terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari orang-orang Quraisy. Abu Darda mendekati
keramaian dan bertemu dengan seorang pemuda suku Khazraj. Abu Darda menanyakan
kepadanya keberdaan Abdullah bin Rawahah. Pemuda Khazraj tersebut menjawab
dengan hati-hati pertanyaan Abu Darda, karena dia tahu bagaimana hubungan Abu Darda
dengan Abdullah bin Rawahah. Mereka tadinya adalah dua orang teman akrab di masa
jahily. Setelah Islam datang, Abdullah bin Rawahah segera masuk Islam, sedangkan Abu
Darda tetap dalam kemusyrikan. Tetapi, hal itu tidak menyebabkan hubungan
persahabatan keduanya menjadi putus. Karena, Abdullah berjanji akan mengunjungi Abu
Darda sewaktu-waktu untuk mengajak dan menariknya ke dalam Islam. Dia kasihan
kepada Abu Darda, karena umurnya dihapiskan dalam kemusyrikan.

Abu Darda tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila di atas kursi, sibuk jual beli dan
mengatur para pelayan. Sementara itu, Abdullah bin Rawahah datang ke rumah Abu
Darda. Sampai di sana dia melihat Ummu Darda di halaman rumahnya.
"Assalamu'alaiki, ya amatallah," (Semoga Anda bahagia, hai hamba Allah) kata Abdullah
memberi salam.
"Wa'alaikassalam, ya akha Abi Darda'"(Dan semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu
Darda), jawab Ummu Darda.
"Ke mana Abu Darda?" tanya Abdullah.
"Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang," jawab Ummu Darda.
"Bolehkah saya masuk?" tanya Abdullah.
"Dengan segala senang hati, silakan!" jawab Ummu Darda.

Ummu Darda melapangkan jalan bagi Abdullah, kemudian dia masuk ke dalam dan
mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Abdullah bin Rawahah
masuk ke kamar tempat Abu Darda meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya
kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu, lalu dikapaknya hingga
berkeping-keping. Katanya, "Ketahuilah, setiap yang disembah selain Allah adalah batil!"
Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia pergi meninggalkan rumah.

Ummu Darda masuk ke kamar tempat patung berada. Alangkah terperanjatnya dia, ketika
dilihatnya petung telah hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Ummu Darda
meratap menampar-nampar kedua pipinya seraya berkata, "Engkau celakan saya, hai Ibnu
Rawahah." Tidak berapa lama kemudian Abu Darda pulang dari toko. Ia mendapati
istrinya sedang duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut
kelihatan jelas di wajahnya.
"Mengapa engkau menangis?" tanya Abu Darda.
"Teman Anda, Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia
telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri," jawab
Ummu Darda.

Abu Darda menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah berkeping-keping,
maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari Abdullah. Tetapi,
setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi.
Kemudian katanya, "Seandainya patung itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela
dirinya sendiri." Maka, ditinggalkannya patung yang menyesatkan itu, lalu dia pergi
mencari Abdullah bin Rawahah. Bersama-sama dengan Abdullah, dia pergi kepada
Rasulullah saw. dan menyatakan masuk agama Allah di hadapan beliau. Sejak detik
pertama Abu Darda iman dengan Allah dan Rasul-Nya, dia iman dengan sebenar-benar
iman. Dia sangat menyesal agak terlambat masuk Islam. Sementara itu, kawan-kawannya
yang telah lebih dahulu masuk Islam telah memperoleh pengertian yang mendalam
tentang agama Allah ini, hafal Alquran, senantiasa beribadat, dan takwa yang selalu
mereka tanamkan dalam dirinya di sisi Allah. Karena itu, dia bertekad hendak mengejar
ketinggalannya dengan sungguh-sunggu sekalipun dia berpayah-payah siang dan malam,
hingga tersusul orang-orang yang telah berangkat lebih dahulu. Dia berpaling kepada
ibadat dan memutuskan hubungannya dengan dunia; mencurahkan perhatian kepada ilmu
seperti orang kehausan; mempelajari Alquran dengan tekun dan menghafal ayat-ayat,
serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya perdagangannya
terganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majlis-majlis ilmu, maka
ditinggalkannya perusahaanya tanpa ragu-ragu dan tanpa menyesal.

Berkenaan dengan sikapnya yang tegas itu, orang pernah bertanya kepadanya. Maka,
dijawabnya, "Sebelum masa Rasulullah, saya menjadi seorang pedagang. Maka, setelah
masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk beribadat. Demi Allah, yang
jiwa Abu Darda dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya
tidak luput salat berjamaah, kemudian saya berjual beli dan berlaba setiap hari 300 dinar."
Kemudian, saya menengok kepada si penanya dan berkata, "Saya tidak mengatakan,
Allah Ta'ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila
perdagangan dan jual beli tidak menganggu saya untuk dzikrullah (berzikir)."

Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekadar
meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup
sesuap nasi sekadar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi
tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda
menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak
tidur, mereka mempertanyakan selimut. Seorang di antaranya berkata, "Biarlah saya
tanyakan kepada Abu Darda. Kata yang lain, "Tidak perlu!" Tetapi, orang yang seorang
itu menolak saran orang yang tidak setuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda. Sampai
di muka pintu dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya.
Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari
kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda, "Saya melihat Anda sama dengan
kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan harta benda
Anda?"
Jawab Abu Darda, "Kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami
langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal
di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan
ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan
mungkin lebih baik daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja
meringankan beban kami supaya mudah dibawa. Kemudian Abu Darda bertanya kepada
orang itu, "Pahamkah Anda?"
Jawab orang itu, "Ya, saya mengerti."

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Umar mengangkat Abu Darda
menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak pengangkatan tersebut.
Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda, "Bilamana Anda menghendaki
saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Alquran dan sunah Rasulullah
kepada mereka serta menegakkan salat bersama-sama dengan mereka." Khalifah Umar
menyukai rencana Abu Darda tersebut. Lalu, Abu Darda berangkat ke Damsyiq. Sampai
di sana didapatinya masyarakat telah mabuk kemewahan dan tenggelam dalam
kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya. Maka, dipanggilnya orang banyak ke
masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka.

Katanya, "Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah saudaraku seagama; tetangga


senegeri; dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damsyiq! Saya
heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyenangi saya? Padahal, saya tidak
mengharapkan balas jasa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan
belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan
kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian
supaya melaksanakan segala perintah Allah Taala, dan menghentikan segala larangan-
Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan banyak-banyak,
tetapi tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang
mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin
tercapai oleh kalian. Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan harta
sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya sebentar, harta
yang mereka tumpuk habis kikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan-
bangunan mewah yang mereka bangun rubuh menjadi kuburan.
Hai penduduk Damsyiq! Inilah bangsa 'Ad (kaum Nabi Hud As.)yang telah memenuhi
negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara
kalian yang berani membeli dariku peninggalan kaum 'Ad itu dengan harga dua dirham?"

Mendengar pidato Abu Darda tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis
mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi
majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya
kepadanya, dijawabnya; jika dia bertemu dengan orang bodoh, diajarinya; dan jika dia
melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik sesuai
dengan situasi dan kondisi serta kemampuan yang ada padanya.

Pada suatu ketika dia melihat sekelompok orang mengeroyok seorang laki-laki. Laki-laki
itu babak belur dipukuli dan dicaci-maki mereka. Abu Darda datang menghampiri, lalu
bertanya, "Apa yang telah terjadi?
Jawab mereka, "Orang ini jatuh ke dalam dosa besar."
Kata Abu Darda, "Seandainya dia jatuh ke dalam sumur, tidakkah kalian keluarkan dia
dari sumur itu?"
Jawab mereka, "Tentu!"
Kata Abu Darda, "Karena itu, janganlah kalian caci maki dia, dan jangan pula kalian
pukuli. Tetapi, berilah dia pengajaran dan sadarkan dia. Bersyukurlah kalian kepada Allah
yang senantiasa memaafkan kalian dari dosanya."
Tanya mereka, "Apakah Anda tidak membencinya?"
Jawab Abu Darda, "Sesungguhnya saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah
menghentikan perbuatannya yang berdosa itu, dia adalah saudara saya." Orang itu
menangis dan tobat dari kesalahannya.

Kali yang lain seorang pemuda mendatangi Abu Darda dan berkata kepadanya, "Wahai
sahabat Rasulullah! Ajarilah saya!"
Jawab Abu Darda, "Hai anakku! Ingatlah kepada Allah di waktu kamu bahagia. Maka
Allah akan mengingatmu di waktu kamu sengsara.
Hai anakku! Jadilah kamu pengajar atau menjadi pelajar atau menjadi pendengar. Dan,
janganlah sekali-kali menjadi yang keempat (yaitu orang bodoh), karena yang keempat
pasti celaka. Hai anakku! Jadikanlah masjid menjadi tempat tinggalmu, karena aku
pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Setiap masjid adalah tempat tinggal orang
yang bertakwa. Allah SWT menjanjikan bagi orang yang menjadikan masjid sebagai
tempat tinggalnya, kesenangan, kelapangan rahmat, dan lewat di jalan yang diridai Allah
Taala."

Abu Darda pernah pula melihat sekelompok pemuda duduk-duduk di pinggir jalan.
Mereka ngobrol sambil melihat orang-orang yang lalu lintas. Abu Darda mengahmpiri
mereka dan berkata kepadanya, "Hai anak-anakku! Tempat yang paling baik bagi orang
muslim adalah rumahnya. Di sana dia dapat memelihara diri dan pandangannya. Jauhilah
duduk-duduk di pinggir jalan dan di pasar-pasar, karena hal itu menghabiskan waktu
dengan percuma.
Ketika Abu Darda tinggal di Damsyiq, Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan melamar
anak gadis Abu Darda, yaitu Darda, untuk putranya, Yazid. Abu Darda menolak lamaran
Muawiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak gadisnya, Darda, dengan Yazid
(putra Gubernur). Bahkan, Darda dikawinkannya dengan pemuda muslim, anak orang
kebanyakan. Abu Darda menyukai agama dan akhlak pemuda itu. Orang banyak heran
dengan sikap Abu Darda, dan berbisik-bisik sesama mereka, "Anak gadis Abu Darda
dilamar oleh Yazid bin Muawiyah, tetapi lamarannya ditolak. Kemudian Abu Darda
mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim anak orang kebanyakan."

Seorang penanya bertanya kepada Abu Darda,"Mengapa Anda bertindak seperti itu."
Jawab Abu Darda, "Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda."
Tanya, "Mengapa?"
Jawab Abu Darda, "Bagaimana pendapat Anda, apabila nanti Darda telah berada di
tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap sedia melayaninya, sedangkan dia
berada dalam istana yang gemerlapan menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama
Darda ketika itu?"

Pada suatu waktu ketika Abu Darda berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar bin
Khattab datang memeriksa. Khalifah mengunjungi sahabat itu di rumahnya malam hari.
Ketika Khalifah membuka pintu rumah Abu Darda, ternyata pintu itu tidak dikunci dan
rumah gelap tanpa lampu. Ketika Abu Darda mendengar suara Khalifah, Abu Darda
berdiri mengucapkan selamat datang dan menyilakan Khalifah Umar untuk duduk.
Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan penting, padahal kegelapan
menyelubungi keduanya, sehingga masing-masing tidak melihat kawannya berbicara.
Khalifah Umar meraba-raba bantal alas duduk Abu Darda, kiranya sebuah pelana kuda.
Dirabanya pula kasur tempat tidur Abu Darda, kiranya berisi pasir belaka. Dirabanya pula
selimut, kiranya pakaian-pakaian tipis yang tidak mencukupi untuk musim dingin.
Kata Khalifah Umar, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda. Maukan
Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu untuk melapangkan kehidupan
Anda?"
Jawab Abu Darda, "Ingatkah Anda hai Umar sebuah hadis yang disampaikan Rasulullah
kepada kita?"
Tanya Umar, "Hadis apa gerangan?"
Jawab Abu Darda, "Bukankah Rasulullah telah bersabda, "Hendaklah puncak salah
seorang kamu tentang dunia seperti perbekalan seorang pengendara (yaitu secukupnya
dan seadanya)."
Jawab Khalifah Umar, "Ya, saya ingat!" Kata Abu Darda, "Nah, apa yang telah kita
perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?"
Khalifah Umar menangis, Abu Darda pun menangis pula. Akhirnya, mereka berdua
bertangis-tangisan sampai waktu subuh.

Abu Darda menjadi guru selama tinggal di Damsyiq. Dia memberi pengajaran kepada
penduduk, memperingatkan mereka, mengajarkan kitab (Alquran) dan hikmah kepada
mereka sampai dia meninggal.

Tatkala Abu Darda hampir meninggal, para sahabatnya datang berkunjung.


Mereka bertanya, "Sakit apa yang Anda rasakan?"
Jawab Abu Darda, "Dosa-dosaku!"
Tanya, "Apa yang Anda inginkan?"
Jawab, "Ampunan Tuhanku."
Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya, "Ulangkanlah
kepadaku kalimah, Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah."
Abu Darda senantiasa membaca kalimah tersebut berulang-ulang hingga nafasnya yang
terakhir. Setelah Abu Darda pergi menemui Tuhannya, Auf bin Malik al-Asyja'iy
bermimpi. Dia melihat dalam mimpinya sebuah padang rumput yang luas menghijau.
Maka, mengambanglah bau harum semerbak dan muncul suatu bayangan berupa sebuah
kubah besar dari kulit. Sekitar kubah berbaring hewan ternak yang belum pernah terlihat
sebelumnya.
Dia bertanya, "Milik siapa ini?"
Jawab, "Milik Abdur Rahman bin Auf."
Abdur Rahman muncul dari dalam kubah. Dia berkata kepada Auf bin Malik, "Hai, Ibnu
Malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat Alquran. Seandainya engkau mengawasi
jalan ini, engkau akan melihat suatu pemandangan yang belum pernah engkau saksikan,
dan mendengar sesuatu yang belum pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas
dalam pikiranmu."
Tanya Auf bin Malik, "Untuk siapa semuanya, hai Abu Muhammad?
Jawab, "Disediakan Allah Taala untuk Abu Darda, karena dia telah menolak dunia dengan
mudah dan lapang dada."

Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, Dr. Abdur Rahman Ra'fat Basya

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Anda mungkin juga menyukai