Anda di halaman 1dari 3

PENGERTIAN ETIKA POLITIK

Setelah penjelasan kedua poin di atas, maka tibalah pada intisari penting, yaitu etika politik.
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai
pelaku etika, yakni manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan erat dengan bidang
pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa
menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Dapat disimpulkan bahwa dalam
hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar
fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa
kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk beradab dan
berbudaya.

Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa, maupun negara bisa berkembang ke
arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh
penguasa atau rezim yang otoriter. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka
seseorang yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara
serta masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa
mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia.

Sebagai dasar filsafat Negara Pncasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan
perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam
hubungannya dengan legtimasi kekuasaan, hukum serta berbagai macam kebijakan dalam
pelaksanaan dan penyelenggearaan Negara. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa serta
sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan sumber nilai-nilai moral bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.Negara Indonesia berdasarkan sila pertama bukanlah
Negara yang Teokrasi yang mendasarkan kekuasaan Negara pada legitimasi religious,
melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi. Oleh karena itu asas sila
pertama lebih berkaitan dengan legitimasi moral. Hal ini lah yang membedakan Negara
Berketuhanan Yang Maha Esa dengan Negara Teokrasi. Walaupun dalam Negara Indonesia
tidak mendasarkan pada legitimasi religious, namun secara moralitas kehidupan Negara harus
sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam
kehidupan Negara.

Selain sila pertama, sila kedua juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan
Negara. Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di
dunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita dan prinsip-
prinsip hidup demi kesejahteraan bersama (Sila Ketiga). Oleh karena itu manusia pada
hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan Negara. Manusia
adalah merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara. Oleh
karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan Negara dan
hukum. Selain itu asas manusia juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara.

Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara harus berdasarkan legtimasi
hukum yaitu prinsip legalitas. Negara Indonesia adalah Negara hukum oleh karena itu
keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagai mana terkandung dalam sila kelima,
adalah merupakan tujuan dari kehidupan Negara. Oleh karena itu segala kebijakan,
kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang
berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan
ketidakseimbangan dalam kehidupan Negara.

Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijakan dan kekuasaan yang dilakukan
senantiasa untuk rakyat (sila keempat). Oleh karena itu rakyat merupakan asal mula
kekuasaan Negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut
kekuasaan eksekutif, legislatif serta yudikatif konsep pengambilan keputusan, pengawasan
serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan kata lain harus
memiliki legitimasi demokrasi.

Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praksis dalam kehidupan kenegaraan
senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan
yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun
luar negeri, ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat dan lainnya
selain berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), harus mendapat legitimasi rakyat
(legitimasi demokrasi) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi
moral).

Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang terlibat secara kongkrit
dalam pelaksanaan pemerintah Negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun
yudikatif, para pejabat Negara baik DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum
harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokrasi juga harus
berdasar pada legitimasi moral. Misalnya suatu kebijakan itu sesuai dengan hukum belum
tentu seuai dengan moral, contohnya gaji para pejabat Negara sesuai dengan hukum tetapi
bila dilihat dari keadaan Negara maka hal tersebut tidak sesuai secara moral.

Inti permasalahan etika politik adalah masalah Legitimasi etis kekuasaan yang dapat di
rumuskan dalam pertanyaan: atas hak moral apa seseorang atau sekelompok orang
memegang dan mempergunakan kekuasaan yang mereka miliki? betapapun besarnya
kekuasaan, selalu dituntut pertanggung jawaban. Karena itu, etika politik menuntut agar
kekuasaan dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku (Legalitas), disahkan secara
demokratis (Legitimasi Demokratis) dan tidak bertentangan dengan prinsipprinsip dasar
moral (Legitimasi Moral). Ketiga tuntutan itu dapat disebut Legitimasi normatif atau etis
(Magnis-suseno:1987). Selanjutnya dijelaskan kriteria-kriteria legitimasi yaitu legitimasi
sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis sebagai berikut :Legitimasi Sosiologis, Paham
sosiologis tentang legitimasi. Mempertanyakan motivasi motivasi apakah yang nyata-nyata
membuat masyarakat mau menerima kekuasaan atau wewenag seseorang, sekelompok orang
atau penguasa. Magnis-Suseno menyebutkan motivasi penerimaan kekuasaan sebagaimana
dirumuskan oleh Weber yaitu:

a. Legitimasi Sosiologis

Paham sosiologis tentang legitimasi. Mempertanyakan motivas-imotivasi apakah yang nyata-


nyata membuat masyarakat mau menerima kekuasaan atau wewenag seseorang, sekelompok
orang atau penguasa. Magnis-Suseno menyebutkan motivasi penerimaan kekuasaan
sebagaimana dirumuskan oleh Max Weber yaitu :

b. Legitimasi Tradisional
Suatu keyakinan dalam suatu masyarakat tradisonal, bahwa pihak yang menurut tradisi lama
memegang pemerintahan memang berhak untuk memerintah, misalnya golongan Bangsawan
atau keluarga raja dan memang patut untuk ditaati.

c. Legitimasi Kharismatik

Berdasarkan perasaan kagum, hormat, dan cinta masyarakat terhadap seseorang pribadi yang
sangat mengesankan sehingga masyarakat bersedia untuk taat kepadanya.

d. Legitimasi Rasional-Legal

Berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seseorang
atau penguasa dalam memerintah kelompok atau rakyat.

e. Legalitas

Suatu tindakan yang legal atau resmi apabila dilakukan sesuai dengan hokum atau peraturan
yang berlaku. Jadi legalitas adalah kesesuaian dengan hokum yang berlaku. Legalitas
menuntut agar kekuasaan ataupun wewenangdilaksanakan sesuai hukum yang berlaku. Jadi
suatu tindakan adalah sah apabila sesuai, tidak sah apabila tidak sesuai dengan hukum yang
berlaku. Karena itu legalitas merupakan salah satu kriteria pengujiannya pada suatu
kekuasaan atau wewenang.

f. Legitimasi Etis

Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan wewenang ataupun kekuasaan politik dari segi
norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan pemerintah
apakah Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif dipertanyakan dari segi norma-norma moral.
Pertanyaan yang timbul merupakan unsur penting untuk mengarahkan kekuasaan dalam
menggunakan kebijakan-kebijakan yang semakin sesuai tuntutan kemanusian yang adil dan
beradab.

Bagi orang (siapapun) yang brsikap seperti kaum optimis masa pencerahan dan kaum
liberalis naif, maka bisa dipastikan bahwa mereka memandang makhluk manusia pada
dasarnya adalah baik, rasional, mampu belajar dan dilatih dan dunia dianggapnya sebagai
kosmos yang teratur. Ia melihat politik sebagai alat untuk kemajuan manusia, juga latat untuk
memperbaiki dunia kekuasaan, kemudian diartikan yang baik dan berguna.

Dengan demikian kekuasaan politik dalam arti luas, sebenarnya adalah sebagai ungkapan
sifat dasar manusia yang kedua-duanya sama mengalami ambivalensi: Artinya, di satu sisi
kekuasaan manusia dapat digunakan untuk kebaikan, dengana cara yang betul betul yang
manusiawi, baik untuk kemakmuran mereka yang berkepentingan, untuk mereka yng berada
di sekitar kekuasaan tersebut dan lingkungannyaa. Kemudian di sisi lain kekuasaan manusia
bisa juga digunakan untuk kejahatan, melalui cara yang tidak manusiawi dan tidaka mengenal
prikemanusiaan, baik dengan sengajaa untuk merugikan mereka yang berkepentingan
maupun untuk mereka yang ada di sekitarnya dan lingkungannya. Kekuasaan yang tak
berprikemanusiaan ini lebih sering muncul malah menjadi yang biasa.

Anda mungkin juga menyukai