Anda di halaman 1dari 7

Pelanggaran Korupsi

Setelah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Kamis (31/3), KPK menetapkan
Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra, Mohamad Sanusi (MSn) sebagai
tersangka. KPK juga menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL)
Ariesman Widjaja (AWj) dan karyawan PT APL, Trinanda Prihantoro (TPt) sebagai
tersangka.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, Sanusi, Ariesman, dan Trinanda ditetapkan sebagai
tersangka kasus dugaan suap pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

"Dalam OTT, KPK berhasil mengamankan barang bukti uang Rp1 miliar dan Rp140 juta.
Uang itu merupakan pemberian kedua kepada Sanusi, setelah sebelumnya menerima Rp1
miliar pada 28 Maret 2016. Sedangkan, uang Rp140 juta yang disita KPK adalah sisa dari
pemberian pertama kepada Sanusi, dimana sisanya telah digunakan," katanya di KPK, Jumat
(1/4).

Tak hanya uang Rp1 miliar dan Rp140 juta, KPK ikut mengamankan uang sejumlah AS$80
ribu yang diakui Sanusi sebagai uang pribadinya. Agus mengungkapkan, penangkapan
pertama dilakukan terhadap Sanusi dan Geri (Ger). Sanusi dan Geri ditangkap di pusat
perbelanjaan di Jakarta Selatan setelah menerima uang dari Trinanda.

Selanjutnya, KPK mengamankan Sekretaris Direktur PT APL bernama Berlian (Ber) di


kantornya di Jakarta Barat. Namun, setelah gelar perkara, KPK hanya menetapkan tiga orang
sebagai tersangka, yaitu Sanusi, Trinanda, dan Ariesman. Sanusi disangka melanggar Pasal 12
huruf a, huruf b, atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1)
KUHP.
Sementara, Ariesman dan Trinanda disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, atau
Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Terhadap Ariesman,
Agus mengaku, sampai hari ini, KPK masih belum melakukan penangkapan. Sebab, KPK
masih mencari tahu keberadaan Ariesman.

Jakarta, HanTer - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebut proyek


reklamasi 17 pulau di pantai utara Jakarta merupakan praktik yang cacat hukum dan sosial
karena banyak menabrak peraturan perundang-undangan.
berdasarkan Reklamasi Penuh Duri di Jakarta, Sabtu, Ketua Dewan Pembina KNTI Chalid
Muhammad menyatakan ada banyak aturan yang dilanggar dalam Keputusan Presiden
(Keppres) nomor 52 tahun 1995 yang selama ini digunakan Pemerintah Provinsi DKI sebagai
acuan pelaksanaan reklamasi.

"Kalau dicermati di dalam Keppres itu, untuk reklamasi diperlukan satu badan pelaksana yang
terdiri dari gubernur dan jajarannya serta satu tim pengarah yang terdiri dari kementerian
terkait. Ini kan tidak ada,"
Selain itu, dalam Keppres juga disebutkan bahwa hak kelola pulau reklamasi berada di tangan
pemda, bukan di pihak pengembang seperti yang terjadi saat ini.

Chalid pun menduga telah terjadi penyelundupan hukum dari sisi analisis dampak lingkungan
(amdal) karena Pemprov DKI Jakarta diduga memecah amdal dari amdal kawasan yang
otorisasinya ada di pemerintah pusat, ke amdal pulau per pulau yang kemudian menjadi
kewenangan pemda.

"Amdal kawasan reklamasi dulu ditolak oleh Kementerian Lingkungan Hidup, maka pemda
mengakalinya dengan memecah amdal pulau per pulau. Padahal kan laut tidak ada batas
administratif, jadi kalau dipecah begitu jadi tidak rasional," paparnya.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu (UNIB) Juanda menilai
masalah reklamasi yang kini mencuat menjadi kasus korupsi diakibatkan kekacauan norma
hukum dalam beberapa undang-undang yang mengatur tentang zonasi dan penataan kawasan
pantai utara Jakarta.

"Saya tidak menyalahkan Pemprov DKI, saya melihat ini ada salah penafsiran tentang
kewenangan yang diberikan perundangan kita," ujarnya.

Sebagai contoh, beberapa pasal yang mengatur tentang tata ruang dalam Keppres 52/2015
telah dibatalkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan
Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek
Punjur).

Perpres tersebut menyatakan bahwa Jabodetabek Punjur merupakan kawasan strategis nasional
dimana kewenangannya berada di tingkat kementerian.

Namun, Pemprov DKI tetap mengacu pada Keppres 52/2015 sebagai dasar hukum karena
kewenangan gubernur mengelola proyek reklamasi masih tercantum dan berlaku menurut
undang-undang tersebut.

"Kekacauan hukum ini harus segera diselesaikan dengan mencabut baik keppres dan perpres
yang bermasalah tersebut, kemudian membuat peraturan baru disesuaikan dengan kondisi saat
ini," ungkap Juanda.

Tata ruang
Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP), Subandono Diposaptono menuturkan, ada tiga pelanggaran utama yang
dilakukan Pemprov DKI terkait prosedur dan kewenangan izin reklamasi Teluk Jakarta.
Pertama, pemanfaatan ruang laut melalui reklamasi semestinya didahului dengan penerbitan
Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perda
RZWP3K).

Berdasarkan Pasal 17 UU No 1 Tahun 2014, izin reklamasi tidak dapat dikeluarkan dengan
hanya didasarkan pada Rencana Tata Ruang dan Wilyah (RTRW), tetapi harus didasarkan
RZWP3K. Hingga saat ini, Provinsi DKI Jakarta belum memiliki Perda RZWP3K sehingga
Izin Reklamasi tidak dapat diterbitkan.

Kedua, kata Subandono, kewenangan izin pada reklamasi Teluk Jakarta merupakan
kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan, karena wilayah Jakarta termasuk dalam
kawasan strategis nasional (KSN). Aturan soal kewenangan itu mengacu kepada UU 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) dan Peraturan
Presiden 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Ketiga, Keputusan Presiden No 52/1995yang oleh Pemprov DKI Jakarta dijadikan landasan
dalam menerbitkan izin reklamsitelah dicabut dengan keluarnya PP 54 tahun 2008. Dengan
begitu, tidak ada kewenangan yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta untuk meluluskan
proyek reklamasi.

Berdasarkan catatan di atas, lanjut Subandono, izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang
diterbitkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kepada pengembang Pulau G cacat
hukum karena izin reklamasi tidak didasari RZWP3K. Gubernur juga tidak berwenang
mengeluarkan izin reklamasi di Teluk Jakarta karena masuk dalam KSN, kata Subandono.

Ahok sempat mengatakan bahwa reklamasi di Teluk Jakarta sudah berdasarkan kajian
panjang. Bahkan, ia menyebut hasil kajian tersebut sudah menentukan jumlah dan posisi pulau
yang bakal direklamasi. Menurut Ahok, proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta bukan
keinginan pribadinya. "Itu sudah ada kajian Menteri Lingkungan Hidup dari 1995," katanya.

Seperti diketahui, proyek reklamasi di Teluk Jakarta menimbulkan sengketa antara Pemerintah
Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan para nelayan tradisional yang selama ini mencari
penghidupan di perairan tersebut. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
mengajukan gugatan terhadap proyek reklamasi.
Namun, belum lagi sengketa tersebut diselesaikan oleh pengadilan, Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama dikabarkan kembali menerbitkan izin baru untuk reklamasi tiga pulau
di kawasan itu.

"Sepanjang Oktober dan November 2015, Gubernur DKI Jakarta diam-diam menerbitkan izin
reklamasi Pulau F, I, dan K tanpa banyak diketahui publik," ujar Ketua Bidang Pengembangan
Hukum dan Pembelaan Nelayan Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional
Indonesia (KNTI), Martin Hadiwinata.

Padahal, kata Martin, izin reklamasi di Pulau G yang dulu pernah menjadi sengketa, belum
lagi diselesaikan oleh Pemprov DKI. Ia menyatakan, langkah Gubernur DKI Jakarta
menerbitkan izin reklamasi tersebut secara diam-diam menunjukkan adanya pemaksaan dalam
proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Pintu masuk pelanggaran


Pintu masuk
Ilyas Asaad, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, KLHK bisa
masuk menghentikan proyek pembangunan jika ada terjadi pelanggaran serius. Tindakan
melanggar hukum yang sebabkan pencemaran lingkungan hidup dan timbulkan keresahan
masyarakat, katanya. Hal ini, termaktub dalam Padal 73 UU UU Nomor 32 Tahun 2009.
Soal penolakan pemerintah pusat terhadap proyek reklamasi Jakarta ini pernah terjadi pada
awal 2000-an. Pada 2003, kata Ilyas, Kementerian Lingkungan Hidup menolak reklamasi
Teluk Jakarta dengan beberapa pertimbangan, antara lain, reklamasi mengancam
keragamanhayati, asal tanah reklamasi tak jelas (kala itu, pemerintah Jakarta tak bisa
menjelaskan asal tanah dari mana). Lalu, ada PLTU, bagaimana desain penanganan masalah
air (tak ada jawaban darimana asal air tawar), dan reklamasi bisa perluas banjir Kakarta. Kala
itu, rencana reklamasi sepanjang 30 km x 1 km.
Penolakan ini muncul dengan keluar Keputusan Menteri (Kepmen) No 14/2003 yang menilai
rencana reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara tak layak. Para pengembang beraksi dengan
mengajukan gugatan hukum. Pada pengadilan tingkat pertama dan tinggi, para pengembang
menang. KLH kasasi dan menang pada 2009. Reklamasi Teluk Jakarta, tak layak.
Pengembang mengajukan peninjauan kembali (PK). Pada 2011 putusan Mahkamah Agung
berbalik. PK mereka diterima. (Putusan MA), yang menetapkan penghentian reklamasi bukan
menteri harus presiden. Kita kalah.
Alhasil, reklamasi kembali jalan. Setelah 2011, mulai diteruskan izin oleh (Gubernur) Fauzi
Bowo. Ini di luar kontrol Lingkungan Hidup, katanya.
Pulau D
AKARTA, KOMPAS.com - Terlepas dihentikannya pembahasan Raperda Tata Ruang
Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta dan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (ZWP3K), ada beberapa pulau buatan yang sudah memiliki urukan material
pasir cukup banyak sehingga mengganggu lalu lintas nelayan kala melaut.

"Di pulau D itu sudah ada urukan pasir setinggi 3-5 meter dan di pulau G juga terlihat mondar-
mandir kapal besar dari Belanda yang menyemprotkan pasir ke tengah lautan. Itu mengganggu
nelayan dan bikin ikan-ikan pergi," kata Pengacara Kesatuan Nelayan Tradisional LBH, Tigor
Hutapea, di Jakarta, Sabtu (16/4/2016).

Banyaknya pasir yang digunakan lantas membuat LBH bersama dengan Kesatuan Nelayan
Tradisional melakukan investigasi untuk mencari tahu dari mana asalnya.

Setelah diusut, pasir tersebut diambil secara ilegal dari Banten dan menimbulkan masalah bagi
masyarakat di sekitar pertambangan pasir di sana.

"Setelah operasi tangkap tangan, KPK selain menyelidiki perizinan raperda juga harus
menyelidiki pertambangan pasir karena sudah timbul konflik sosial antara masyarakat," kata
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional, M Riza Damanik dalam kesempatan yang sama.

Riza melanjutkan bahwa reklamasi Pantura Jakarta sudah sepatutnya mendapat penolakan juga
dari Gubernur Banten akibat konflik sosial dari pertambangan pasir ilegal besar-besaran yang
terjadi di sana.

"Reklamasi Pantura Jakarta tidak hanya berdampak lingkungan di tempatnya tapi juga ke
daerah lain seperti Banten itu," tambahnya.

Oleh sebab itu, dengan kata lain pulau-pulau yang telah memiliki urukan pasir merupakan
pulau ilegal dari segi izin dan perolehan material.
"Kalau dari awalnya sewaktu ambil pasir saja sudah ilegal berarti pulau buatan ini juga kan
ilegal," tandas Tigor.

Ahok
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menilai
pembatalan pembahasan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta (RTRKSPJ)
dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) akan menguntungkan
pengembang. Sebab, menurut Ahok, dalam peraturan yang berlaku, kontribusi bagi
pengembang hanya 5 persen. "Pengembang sebenarnya lebih demen kalau enggak ada perda
ini," katanya di kantor Wali Kota Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa, 5 April 2016.

Menurut Ahok, kontribusi tambahan yang dipersyaratkan 15 persen merupakan bagian dari
kontribusi pengembang. Nantinya kontribusi ini akan dialihkan menjadi fasilitas bagi
kepentingan masyarakat di DKI Jakarta, seperti rumah susun, RPTRA, parkir, ataupun jalan
layang Semanggi.

Meski terlihat sama seperti corporate social responsibility (CSR), Ahok menolak jika itu
disebut CSR. Menurut Ahok, itu merupakan dua hal yang berbeda. Apalagi pemerintah daerah
tidak diperkenankan menerima bantuan berupa uang.

Kontribusi tambahan ini, menurut Ahok, juga bertujuan meminta tambahan retribusi dari
pengembang. Pasalnya, dia mengaku tidak dapat mencabut izin dari para pengembang pulau
reklamasi.

Namun besarnya persentase ini diduga menyebabkan munculnya permainan antara dewan
perwakilan rakyat daerah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. DPRD dikabarkan hanya
meminta 5 persen atau jauh di bawah nilai yang diinginkan pemerintah DKI.

Meski perda direncanakan akan berhenti dibahas, Ahok mengatakan akan tetap menelurkan
peraturan sebagai bantalan hukum kontribusi tambahan ini. "Lima belas persen itu, kalaupun
enggak, pemerintah provinsi kan bisa buat pergub, ada perjanjian," tuturnya.

"Ada analisa dunia 40 tahun ke depan, kalau enggak mau lakukan reklamasi akan kelaparan
karena penduduk bertambah banyak, lahan tidak cukup," kata Ahok di kantor Gubernur DKI
Jakarta, Kamis, 14 April 2016.

Ahok menyatakan pada dasarnya tidak ada yang menolak reklamasi. Di banyak negara upaya
reklamasi merupakan hal yang biasa dilakukan. Misalnya, di Singapura dan di Dubai. Kedua
negara ini merupakan negara yang melakukan reklamasi di negaranya.

Menurut Ahok, Indonesia cukup beruntung dengan kondisi geologisnya. Indonesia berada di
lempeng samudra sehingga kedalaman lautnya tidak terlalu dalam.
Dengan kondisi perairan yang dangkal, reklamasi dapat dilakukan dengan lebih mudah. "Maka
beruntunglah Indonesia yang punya pulau, kita ini bukan lempeng samudra tapi lempeng
benua makanya cetek," ujarnya.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995, pemerintah mengeluarkan izin untuk
membangun pulau reklamasi. Aturan ini kemudian diperbarui oleh aturan lain, yakni Peraturan
Presiden Tahun 122 Tahun 2012.

Ahok juga telah mengeluarkan izin bagi sejumlah pengembang yang tertuang dalam surat
keputusan gubernur. Izin itu di antaranya dikeluarkan dalam bentuk SK Gubernur DKI Jakarta
Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F kepada PT
Jakarta Propertindo.

Selain itu, ada SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin
Pelaksanaan Reklamasi Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci. Ada juga SK Gubernur DKI
Jakarta Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K
kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.

Anda mungkin juga menyukai