Indonesia
Armida
Fakultas Adab IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak:
Pembiayaan dalam dunia pendidikan bukanlah hal sederhana. Di
negara maju, pembiayaan pendidikan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab negara. Dalam sejarah Indonesia, setidaknya ada
dua model pembiayaan pendidikan. Model pertama adalah
sentralisasi, yang dilaksanakan pada masa Orde Baru. Bersamaan
dengan reformasi dengan semangat desentralisasi, persoalan
pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggung jawab daerah.
Dalam hal pembiayaan, ada tiga komponen yang bertanggung
jawab: pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Dalam perjalannya, ketiga komponen ini sering tidak satu kata.
Walhasil, amanat undang-undang bahwa pendidikan memeroleh
20 persen anggaran acap tidak terlaksana.
Kata Kunci: Pembiayaan pendidikan, kebijakan pembangunan,
anggaran.
A. Pendahuluan
Biaya adalah harga pokok yang merupakan gambaran pengorbanan
dalam bentuk kuantitatif pada saat barang atau jasa diperlukan.
Bentuk lain diartikan harga pokok merupakan nilai pengorbanan
dalam bentuk uang yang diberikan kepada produksi yang pada
gilirannya menghasilkan produksi. Menganalisis biaya pendidikan
sebagai modal yang produktif, dan sebagai barang modal tentu meiliki
Otda No 22/2000; PP No. 25; PP No. 80; Revisi UU Otda No. 35/
2005 UU Sisdiknas No. 20/2003. Pasal 6 ayat 6 menyatakan bahwa
pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan
pengendalian untuk layanan penedidikan.
Pasal 46 ayat 1 menyatakan bahwa pendanaan pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat. Demikian juga Pasal 49 ayat 1 menyatakan lokasi
dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan 20 persen APBD
di luar gaji. Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, dituntut
kesungguhan dari para elite politik, para pelaku pendidikan agar
mampu mengembangkan sitem pendidikan sehingga lembaga
mampu dijadikan penggerak bagi kemajuan daerahnya.
Kenyataannya sampai sekarang masih banyak daerah yang belum
dapat melaksanakan amanat undang-undang tersebut, dan intitusi
pendidikan berjalan apa adanya.
Equalization Model
Equalization model ini bertitik tolak pada ability to pay (kemampuan
membayar) masyarakat. Masyarakat yang miskin tentu perlu
menerima bantuan dana lebih serius dibanding dengan masyarakat
yang income-nya lebih tinggi. Karena itu sekolah miskin akan
memperoleh kesempatan sejajar dengan sekolah lainnya, artinya
setiap daerah akan menerima jumlah dana yang berbeda tiap tahun
tergantung bagaimana membagi sesuai kepada kemampuan daerah.
Daerah miskin akan menerima 5 per mil ditambah dengan 7 per mil
dana dasar daerah.
Menurut Thomas H. Jones, ada enam model pembiayaan
pendidikan, yaitu:5
Flat Grant
Flat grant merupakan tipe perencana bantuan pembiayaan
pendidikan yang pertama dan tertua. Dalam rencana ini, setiap
sekolah memiliki sejumlah dana yang sama, yang dihitung per siswa
atau per unit pendanaan lainnya. Sebagaimana penjelasan terdahulu,
akibat dari sistem bagi rata, maka sekolah yang jumlah siswanya
banyak akan mengeruk uang lebih besar, sehingga atas dasar hal
tersebut flat grant tidak dianggap sebagai equalizing.
Flat grant bisa cocok di bawah kondisi-kondisi politik yang
Power Equalizing
Power equalizing dibebankan kepada distrik-distrik yang sangat kaya
untuk membayarkan sebagian pajak sekolah yang mereka pungut
kembali ke kantong negara bagian. Negara bisa menggunakan uang
yang dari distrik-distrik kaya untuk manambah bantuan bagi distrik-
distrik yang miskin.
Setiap daerah akan menerima jumlah dana berbeda tergantung
pada kemampuan penghasilan daerah (APBD). Daerah miskin akan
menerima 5 per mil ditambah dengan 7 per mil dana dasar daerah.
Dengan demikian akan ada keseimbangan dana antar daerah-daerah
yang sumber daya alamnya kaya.
Foundation Plan
Foundation plan, dirancang untuk menggali empat masalah besar
dalam pendidikan dan keuangan, yaitu: kesetaraan pembelanjaan,
penetapan-penetapan standar pajak dan pembelanjaan sekolah
minimum, pemisahan (demarkasi) wewenang politik antara distrik-
D. Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mengelola suatu
pembiayaan pendidikan diperlukan suatu konsep dan sistem
perencanaan yang matang, agar mampu merumuskan sistem
pembiyaan nasional pendidikan Indonesia dalam kerangka otonomi
daerah.
Semua ini akan sangat dipengaruhi oleh pembiayaan dalam
pendidikan, baik tingkat nasional dan daerah. Pembiyaan sebagai
salah satu komponen sistem pendidikan memerlukan kajian
pemikiran yang lebih mendalam dan penelitian yang lebih cermat,
supaya untuk menggunakan dana-dana yang tersedia secara tepat.
Model pembiayaan yang ideal di suatu daerah sangatlah tergantung
pada berbagai kondisi. Boleh jadi dengan memilih salah satu ataupun
dengan mengombinasikan dua atau lebih dari model yang ada.
Untuk kondisi Indonesia, model pembiayaan tidak bisa terlepas
dari subsidi pemerintah pusat, sekalipun telah ada wewenang
sebagaimana diamanatkan UU Otonomi Daerah. Hal ini dikarenakan
kemampuan sumber daya alam yang sangat berbeda atau penghasilan
(PAD) yang sangat rendah, kesadaran ada pembangunan investasi
Catatan:
1. Idochi Anwar, Kepemimpinan dalam Proses Belajar-Mengajar,
(Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 34.
2. N. Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm. 79.
3. D. Clark et al., Financing of Education in Indonesia, (Manila: Asian
Development Bank, 1998), hlm. 11.
4. L.R. Johns & L.F. Morphet, The Economics and Financing of Education:
A System Approach, (New Jersey: Prentice-Hall Englewood Cliffs, 1975),
hlm. 253.
5. T.H. Jones, Introduction to School Finance: Technique and Social Policy,
(New York: Macmillan Publishing Company Jones, 1985), hlm. 100-131.
DAFTAR PUSTAKA