Anda di halaman 1dari 5

Farah Khairunnisa Setiawan

150668467

Bab 7 Wanita Pengusaha di Pasar-Pasar Jawa

Etnisitas, Gender, dan Semangat Kewirausahaan

Sejumlah anggota dari banyak komunitas masih menggeluti bisnis di bidang jasa dan dagang.
Para anggota komunitas wirausaha merasa harus harus mendapatkannya melalui nilai-nilai
ibadah keagamaannya yang membedakan mereka dari orang Jawa yang lain. Pendapat bahwa
keberhasilan para pengusaha, berkat internasionalisasi nilai-nilai ekonomi dan komunitas-
komunitas yang relatif kaya yang penduduknya terkenal amat taat beragama adalah yang
memiliki sikap terbuka terhadap perhitungan ekonomi, akumulasi kekayaan, dan hubungan-
hubungan sosial yang sesuai dengan keberhasilan ekonomi. Namun ada beberapa kesulitan
empiris, diantaranya: hubungan yang diakui antara kewirausahaan dan ketaatan kepada agama
Islam berlangsung tanpa terpaksa dalam masa kolonial, apalagi di Jawa saat ini. Dalam beberapa
kasus, para penulis kolonial menyimpulkan dengan jelas bahwa kesalehan muncul dari praktik-
praktik ekonomi. Bahwa perdagangan dan industri kecil yang diduga sektor kewirausahaan
merupakan cara yang mantap, misalnya menyewakan tanah atau meminjamkan uang (Husken
1989). Ada dasar-dasar yang kuat untuk menganggap benar, bahwa keuntungan yang diperoleh
kaum elite desa dari penyewaan tanah dan pembungaan uang banyak dipakai untuk membiayai
industri dan perdagangan wilayah pertanian (Whita 1991). Indikasi dari pentingnya perdagangan
historis di daerah pertanian Jawa adalah keberlanjutan praktik-praktik perdagangan. Praktik-
praktik perdagangan yang sama juga digunakan di pasar tenaga kerja daerah pertanian dan pasar
uang dan sama sekali tidak terbatas untuk barang-barang tradisional saja (Alexander 1987;
Hart 1986). Pendekatan untuk memahami pasar barang dagangan di Jawa Tengah didasarkan
pada konseptualisasi mereka sebagai sistem tiga sistem yang secara analitis berbeda, sebagai
dagang, pedagang, dan perdagangan (Alexander 1987).

Keterlibatan luas orang Jawa pada tanah, keuangan, dan pasar tenaga kerja, sebagaimana
keterlibatan orang Jawa dalam jumlah yang amat besar sebagai pedagang, beberapa diantaranya
menjalankan bisnis besar (Fernando dan Bulbeck 1992), menyebabkan tidak beralasan untuk
menduga bahwa nilai-nilai yang sesuai untuk keberhasilan ekonomi juga tidak terdapat di
kalangan penduduk Jawa pada umumnya, khususnya di antara jumlah terbesar kelompok
pedagang wanita. Dari sudut pandangan ini, praktik-praktik seperti pembagian tenaga kerja
berdasarkan gender, hubungan antara para pedagang, melakukan tawar-menawar untuk
menentukan harga, dan lintasan barang yang tipikal merupakan seluruh aspek budaya ekonomi
yang membangun perekonomian Jawa sebagai yang bersifat Jawa. Namun, secara simultan
merupakan aspek-aspek umum budaya-banyak pedagang di Jawa adalah wanita karena budaya
Jawa bersifat martifokal-maka kita perlu menyelidiki ekonomi sebagai suatu sistem budaya
(Gudeman 1986). Peran wanita yang menonjol di bidang ekonomi dan dalam kasus khusus ini,
persentasi tinggi para pedagang wanita serta karakteristik sejumlah praktik dagangnya yang
feminin meningkatkan kemungkinan yang menarik bahwa budaya pasar Jawa bersifat gender,
yakni dalam cara-cara pendekatan peran gender dalam masyarakat kejawaan telah menyesuaikan
diri sejak dini dengan memberi hak partisipasi yang penting dalam hubungan pasar oleh kaum
wanita. Hubungan keluarga dan rumah tangga yang khas juga memudahkan wanita terjun ke
bidang dagang.

Dalam penelitiannya, Hildred Geertz (1961) menggambarkan keluarga Jawa sebagai matrifokal
(berpusat pada ibu), sangat berbeda hubungan emosional yang hangat antara ibu dan anak-anak
(terutama anak-anak perempuan) dengan hubungan formal antara ayah dan anak-anak laki-laki,
hampir saling menghindari. Tetapi hubungan antara gagasan orang Jawa tentang perilaku yang
layak dan partisipasi ekonomi wanita lebih kuat. Bahwa ada gambaran tentang kejawaan budaya
Jawa yang secara positif menguntungkan wanita daripada laki-laki dalam meraih karier dagang.
Namun sebagian besar keuntungan ini dianggap melanggar watak hierarkis budaya Jawa, di
mana status laki-laki bersifat superior berdasarkan kemampuan mereka mempertahankan kendali
emosi dan keinginan mereka. Karena sebagian besar perusahaan dagang Jawa terbukti dimiliki
dan dikelola laki-laki, hal itu sangat membebani pandangan elit kecil tentang berbagai perbedaan
wanita dalam perdagangan dan keluarga bangsawan Solo (Brenner 1991). Singkatnya, orang
Jawa terlibat dalam perdagangan, tetapi tidak dalam pemupukan modal; mereka pengusaha,
barangkali tetapi bukan kapitalis. Alasan utama orang Jawa, secara keseluruhan tetap terperosok
ke dalam perdagangan kecil sampai waktu paling akhir bukanlah karena tidak adanya keinginan
atau kemampuan, tetapi disebabkan oleh kesulitan-kesulitan praktis dalam menyesuaikan secara
efektif keuangan dan tenaga kerja yang lain.
Farah Khairunnisa Setiawan

150668467

Bab 8 Pasar dan Keadilan bagi Muslim Indonesia

Penulis berfokus pada kaitan negara dan masyarakat terutama dalam hal mempengaruhi
masyarakat Muslim. Ia meneliti berbagai gagasan dan prakarsa Muslim akan bisnis dan etika,
memberikan gambaran singkat mengenai gambaran umum tentang dilema-dilema politik dan
etika yang dihadapi masyarakat Muslim dalam usahanya meraih tumpuan dalam ekonomi Orde
Baru. Meski pertumbuhan ekonomi terakhir telah meningkatkan jenjang kelas menengah Islam,
sebagian besar masyarakat Muslim tetap miskin. Reaksi kaum Muslimin Indonesia terhadap
marginalisasi ekonominya sangat bervariasi. Sejumlah pemipin Islam terlibat dalam polemik
anti-Cina yang sengit; yang lainnya berusaha menarik para pengusaha Cina dalam usaha-usaha
patungan. Sementara beberapa di antara mereka menyerukan penerapan syariah (hukum) Islam
di segala sektor perekonomian, yang lain berteguh bahwa tidak terdapat hal-hal seperti ilmu
ekonomi Islam dan kaum Muslimin harus mempelajari teknik-teknik manajemen modern.
Akhirnya, beberapa orang menganjurkan program industrialisasi negara secara besar-besaran,
dan yang lainnya berkeras bahwa kegiatan usaha yang bebas adalah satu-satunya cara
membangkitkan kembali kesejahteraan kaum Muslimin.

Agar reaksi tersebut masuk akal, marginalisasi ekonomi tidak lain dari usaha yang lebih luas
untuk menyingkirkan organisasi-organisasi Islam dalam dua dasawarsa pertama Orde Baru.
Strategi ekonomi Muslim dipengaruhi tidak hanya oleh persepsi mereka tentang keadilan pasar
tetapi-juga lagi isu keterikatan moral-oleh persepsi mereka mengenai logika dan legitimasi
sistem ekonomi-politik sebagai suatu keseluruhan. Kunci kebangkitan kembali Islam terletak
pada kemajuan Muslim di bidang-bidang pendidikan, teknologi keilmuan, manajemen modern-
dalam hubungan, tindakan yang sah (afirmatif) dalam pemberian kontrak-kontrak bisnis.
Pemikiran ekonomi Islam kontemporer menyatakan bahwa selain semangat kejujuran dan
keadilan sosial, tidak terdapat hal seperti alternatif Islam pada ekonomi pasar. Kelas menengah
Islam baru kurang siap bersaing di pasar-pasar, tetapi mereka memiliki posisi untuk memainkan
peran dalam produksi dan penyebaran gagasan-gagasan politik. Bangkitnya kelas menengah
Islam yang terwirausaha kembali dan kesenjangan yang bertahan antara antara orang-orang
Islam dan Cina Indonesia telah mendukung keyakinan di kalangan kaum Muslimin bahwa
beberapa jenis campur tangan pemerintah benar-benar diperlukan.

Tidak ada kelompok penting dalam masyarakat Muslim yang yakin bahwa kebijakan laissez-
faire memadai untuk mengoreksi keseimbangan pasar dan meningkatkan kemakmuran kaum
Muslim semua percaya beberapa tindakan memerlukan campur-tangan dari pemerintah. Tetapi
bagaimana campur-tangan itu dapat dilakukan merupakan masalah ketidakpastian yang besar.
Jelas terdapat persoalan politik maupun ekonomi di sini. Model pembangunan ekonomi yang
belakangan, yang sipil bertentangan dengan kebijakan resmi di Indonesia kontemporer.
komunitas Islam itu sendiri, keputusan tentang keseimbangan apa yang harus dilakukan di
kalangan pemerintah, ekonomi, dan masyarakat madani masih belum jelas. Usaha-usaha
pemerintah untuk membantu kaum Muslim tampaknya tidak akan memiliki dampak yang sangat
mendasar. Ketika Indonesia bergerak ke era pasca Soeharto, keyakinan bahwa semua harus
dikoordinasikan oleh negara secara bersama mungkin sama sulitnya bagi dinamisme ekonomi
Islam dengan berbagai kerugian yang diduga terdapat dalam keterampilan-keterampilan
kewirausahaan.
Farah Khairunnisa Setiawan

150668467

Budaya Pasar Terbagi di Cina (Robert P. Weller)

Gender, Perusahaan, dan Agama

Penulis meneliti dua unsur dalam masyarakat yang sangat berbeda, yang terpusat di Taiwan, di
mana memiliki bukti yang sangat memadai, tetapi dengan sering merujuk ke Republik Rakyat
Cina. Pertama, ia mengambil penggunaan hubungan-hubungan khusus dalam bisnis, terutama
pernyataan bahwa orang Cina . Efektif .. keluarga dan hubungan-hubungan pribadi lainnya
untuk menghindari individualisme Barat yang ekstrem, ia juga meneliti upaya-upaya yang
berkaitan untuk menentukan suatu alternatif filosofis pasca-Konfusian dalam menghadapi
budaya pasar Barat. Kedua, ia mengambil perkembangan-perkembangan belakangan dalam
agama rakyat, yang mengadakan dan mengganti pasar yang dirasakan tidak bermoral. Suatu
analisis tentang kelompok-kelompok masyarakat Cina; penulis memusatkan pandangan-
pandangan yang berbeda tentang keluarga, dan akses beragam ke pasar-pasar dan sumber daya
sosial lainnya yang telah mendorong kaum laki-laki dan perempuan untuk memberikan
tanggapan berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan di antara laki-laki dan perempuan dalam
pandangan keluarga menyebarkan posisi gender dalam penggunaan hubungan-hubungan tertentu,
dalam gerakan lingkungan, dan dalam kelompok-kelompok keagamaan baru.

Penulis meruju pada kebudayaan Cina dan menyimpan referensi kepada Konfusianisme dan
pasca-Konfusianisme untuk upaya-upaya filosofis yang sedang berlangsung. Gambaran umum
kebudayaan Cina berdasarkan ajaran-ajaran Konfusius telah membentuk gagasan-gagasan Barat
tentang pertumbuhan ekonomi pasar di wilayah itu sepanjang abad ke-20.

Anda mungkin juga menyukai