Anda di halaman 1dari 49

BAB II

STUDI PUSTAKA

2.2 Peledakan
Dalam kegiatan pertambangan, peledakan merupakan salah satu
metode pembongkaran batuan baik di tambang terbuka maupun pada
tambang bawah tanah. Kegiatan peledakan bertujuan untuk memecah atau
membongkar batuan padat menjadi material yang cocok untuk dikerjakan
dalam proses produksi berikutnya. Metode peledakan digunakan apabila
metode pembongkaran yang lain yaitu, ripping sudah tidak mampu lagi
membongkar batuan.
Suatu operasi peledakan dinyatakan berhasil dengan baik pada
kegiatan penambangan apabila (Koesnaryo, 2001):

Target produksi terpenuhi (dinyatakan dalam ton/hari atau ton/bulan).


Penggunaan bahan peledak efisien yang dinyatakan dalam jumlah
batuan yang berhasil dibongkar per kilogram bahan peledak (disebut
powder factor).
Diperoleh fragmentasi batuan berukuran merata dengan sedikit
bongkah (kurang dari 15 % dari jumlah batuan yang terbongkar per
peledakan).
Diperoleh dinding batuan yang stabil dan rata (tidak ada overbreak,
overhang, retakan-retakan).
Aman
Dampak terhadap lingkungan (flyrock, getaran, kebisingan, gas
beracun, debu) minimal.

4
Untuk memenuhi kriteria-kriteria diatas, diperlukan kontrol dan
pengawasan terhadap faktor yang dapat mempengaruhi suatu operasi
peledakan.

2.2.1 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kegiatan Peledakan

A. Faktor Rancangan yang Tidak Dapat Dikendalikan

Faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh


kemampuan manusia, hal ini disebabkan karena prosesnya
terjadi secara alamiah. Yang termasuk faktor faktor ini
adalah :

a. Karakteristik Massa Batuan


Batuan adalah material yang membentuk kulit
bumi termasuk pori dan fluida yang berada didalamnya
(seperti air, minyak dan lain-lainnya). Mekanika batuan
adalah suatu teknik dan juga sains yang tujuannya adalah
mempelajari perilaku batuan di tempat asalnya untuk
dapat mengendalikan pekerjaan-pekerjaan yang dibuat
pada batuan tersebut (Made Astawa Rai, 1998).

Parameter-parameter yang mempengaruhi sifat


massa batuan yang erat kaitannya dengan proses
peledakan yaitu :

1. Rock Quality Designation (RQD):


Salah satu indikator frekuensi bidang
lemah yang sering digunakan adalah Rock
Quality Designation (RQD) yang dikembangkan
oleh DEERE, 1964. Kualitas massa batuan
berdasarkan RQD dapat dinyatakan sebagai
berikut :

5
Tabel 2.1
Kualitas Massa Batuan Berdasarkan RQD1)

No RQD Kualitas

1 < 25 % Sangat jelek

2 25 50 % Jelek

3 50 - 70 % Sedang

4 75 90 % Baik

5 90 100 % Sangat baik

Beberapa klasifikasi massa batuan yang


banyak dipakai sekarang ini menggunkan
frekuensi kekar, ynag merupkan jumlah kekar
per meter panjang inti bor. Karena ini bor tidak
selalu ada, apalagi bila kegiatan penambangan
sudah dilaksanakan maka Priset & Hudson, 1976
mengusulkan suatu persamaan untuk
mendapatkan nilai RQD dari frekuensi kekar
hasil pemetaan kekar pada singkapan batuan.
Menurut data yang diperoleh bahwa hubugan
antara frekunsi kekar dan jarak kekar merupakan
hubungan exponensial negative. Hubungan
antara RQD dan frekuensi kekar per meter
dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut

RQD = 100 e-0,1(0,1 + 1)

Dimana,

RQD = Rock Quality Designation

6
= rata-rata frekuensi kekar per
meter dalam satu garis
pengukuran
2. Kekerasan batuan
Semakin tinggi tingkat kekerasan batuan,
maka akan semakin sukar batuan tersebut untuk
dihancurkan (Tabel 3.2), demikian juga dengan
batuan yang memiliki kerapatan tinggi. Hal ini
disebabkan karena semakin berat massa suatu
batuan, maka bahan peledak yang dibutuhkan
untuk membongkar atau menghancurkan batuan
tersebut akan lebih banyak.

No Kekerasan Skala Mohs Kuat Tekan Uniaksial

1 Sangat keras >7 >200

2 Keras 6-7 120-200

3 Agak keras 4,5-6 60-120

4 Agak lunak 3-4,5 30-60

5 Lunak 2-3 10-20

6 Sangat lunak 1-2 <10

3. Elastisitas batuan
Elastisitas batuan adalah sifat yang dimiliki
batuan untuk kembali ke bentuk atau keadaan
semula setelah gaya yang diberikan kepada
batuan tersebut dihilangkan. Secara umum
batuan memiliki sifat elastis fragile yaitu batuan

7
dapat dihancurkan apabila mengalami regangan
yang melewati batas elastisitasnya.

4. Porositas Batuan
Ada dua jenis porositas, yaitu porositas antar
butir (interglanular) dan porositas post-
formation. Porositas antar butir dengan
penyebaran yang seragam dalam batuan dapat
melemahkan energi gelombang tarik dan
mengurangi kekuatan batuan dan akibatnya
tingkat penghancuran akan meningkat. Porositas
post-formation terjadi akibat adanya terobosan
air bawah tanah yang menghasilkan rongga-
rongga pada batuan. Rongga-rongga ini lebih
besar ukurannya dan penyebarannya tidak
seragam jika dibandingkan dengan
5. Tekstur batuan
Tekstur suatu batuan menujukkan hubungan
antara mineral-mineral penyusun batuan,tekstur
juga mempengaruhi kecepatan pemboran, jika
butirannya mempunyai bentuk lembaran
pemboran akan lebih sulit dibandingkan jika
butirannya berbentuk bulat seperti batu pasir.
6. Abrasivitas
Abrasivitas batuan merupakan suatu parameter
batuan yang mempengaruhi keausan (umur) dari
mata bor yang digunakan untuk melakukan
pemboran pada batuan tersebut. Abrasivitas
batuan tergantung kepada mineral penyusun
batuan tersebut. Semakin keras mineral penyusun

8
batuan tersebut maka tingkat abrasivitasnya akan
semakin tinggi pula.
7. Kecepatan perambatan gelombang pada batuan
Kecepatan perambatan gelombang pada setiap
batuan berbeda. Pada batuan yang keras,
kecepatan perambatan gelombang yang melalui
batuan tersebut akan lebih tinggi dari kecepatan
rambat gelombang pada batuan lunak. Secara
teoritis semakin tinggi kecepatan rambat
gelombang pada suatu batuan maka memerlukan
bahan peledak yang memiliki kecepatan detonasi
yang tinggi pula agar dapat menghancurkan
batuan tersebut.
8. Kuat tekan dan kuat tarik batuan.

Batuan pada dasarnya lebih kuat atau tahan


terhadap tekanan daripada tarikan, hal ini
dicirikan oleh kuat tekan batuan yang lebih besar
dibandingkan dengan kuat tariknya. Apabila
bahan peledak yang digunakan menghasilkan
energi untuk menekan batuan melebihi dari kuat
tarik batuan tersebut, maka batuan akan hancur
atau lepas dari batuan induknya

b. Struktur Geologi
Struktur geologi yang berpengaruh pada kegiatan
peledakan adalah struktur rekahan (kekar) dan struktur
perlapisan batuan.

Kekar merupakan rekahan-rekahan dalam batuan


yang terjadi karena tekanan atau tarikan yang
disebabkan oleh gaya-gaya yang bekerja dalam kerak

9
bumi atau pengurangan bahkan kehilangan tekanan
dimana pergeseran dianggap sama sekali tidak ada.
Dengan adanya struktur rekahan ini maka energi
gelombang tekan dari bahan peledak akan mengalami
penurunan yang disebabkan adanya gas-gas hasil reaksi
peledakan yang menerobos melalui rekahan, sehingga
mengakibatkan penurunan daya tekan terhadap batuan
yang akan diledakkan. Penurunan daya tekan ini akan
berdampak terhadap batuan yang diledakkan sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya bongkah pada batuan
hasil peledakan bahkan batuan hanya mengalami
keretakan. Berkaitan dengan struktur kekar ini
penentuan arah peledakan menurut R.L.Ash (1963)
adalah :

Pada batuan sedimen bidang kekar berpotongan satu


dengan yang lain, sudut horizontal yang dibentuk
oleh bidang kekar vertikal biasanya membentuk
sudut tumpul dan pada bagian lain membentuk
sudut lancip.
Fragmentasi yang dihasilkan umumnya mengikuti
bentuk perpotongan bidang kekar. Apabila
peledakan diarahkan pada sudut runcing akan
menghasilkan pecahan melebihi batas (over break)
dan retakan-retakan pada jenjang. Peledakan
selanjutnya menghasilkan bongkah, getaran tanah,
suara peledakan (air blast) dan batu terbang. Untuk
menghindari hal tersebut peledakan diarahkan
keluar dari sudut tumpul.
Jika dijumpai kemiringan kekar horizontal atau
miring maka lubang ledak miring akan memberikan

10
keuntungan karena energi peledakan berfungsi
secara efisien. Jika kemiringan vertikal fragmentasi
lebih seragam dapat dicapai bila peledakan
dilakukan sejajar dengan kemiringan kekar.

Struktur perlapisan batuan juga mempengaruhi


hasil peledakan. Apabila lubang ledak yang dibuat
berlawanan dengan arah perlapisan, maka akan
menghasilkan fragmentasi yang lebih seragam dan
kestabilan lereng yang lebih baik bila dibandingkan
dengan lubang ledak yang dibuat searah dengan bidang
perlapisan. Secara teoritis, bila lubang ledak arahnya
berlawanan dengan arah kemiringan bidang pelapisan,
maka pada posisi demikian kemungkinan terjadinya
backbreak akan sedikit, lantai jenjang tidak rata, tetapi
fragmentasi hasil peledakan akan seragam dan arah
lemparan batuan tidak terlalu jauh. Sedang jika arah
lubang ledak searah dengan arah kemiringan bidang
perlapisan , maka kemungkinan yang terjadi adalah
timbul backbreak lebih besar, lantai jenjang rata,
fragmentasi batuan tidak seragam dan batu akan
terlempar jauh serta kemungkinan terhadap terjadinya
longsoran akan lebih besar (Gambar 3.5).

11
Gambar 3.5.

Arah pemboran pada bidang perlapisan miring10)

Gambar 3.6.

Arah pemboran pada bidang perlapisan vertikal10)

12
Gambar 3.7

Arah pemboran pada bidang perlapisan mendatar10)

c. Pengaruh Air

Kandungan air dalam jumlah yang cukup banyak


dapat mempengaruhi stabilitas kimia bahan peledak
yang sudah diisikan kedalam lubang ledak. Kerusakan
sebagian isian bahan peledak dapat mengurangi
kecepatan reaksi bahan peledak sehingga akan
mengurangi energi peledakan, atau bahkan isian akan
gagal meledak (misfire). Misalnya ANFO yang dapat
larut dalam air, tidak dapat digunakan untuk zona
peledakan yang banyak airnya. Untuk mengatasi
pengaruh air, dapat menggunakan pompa untuk
mengeluarkan air tersebut dari lubang ledak kemudian
membungkus bahan peledak menggunakan plastik..
Penutupan pada lubang ledak pada saat hujan juga
merupakan salah satu cara mengurangi pengaruh air.

d. Kondisi Cuaca
Kondisi cuaca mempunyai pengaruh besar
terhadap kegiatan pembongkaran batuan, hal ini
13
berkaitan dengan jadwal kerja waktu kerja efektif rata-
rata. Dalam suatu operasi peledakan, proses pengisian
dan penyambungan rangkaian lubang ledak dilakukan
pada cuaca normal dan harus dihentikan ketika cuaca
mendung (akan hujan).

B. Faktor Yang Dapat Dikendalikan

a. Geometri Pemboran

Geometri pemboran meliputi diameter lubang


bor, kedalaman lubang tembak, kemiringan lubang
tembak, tinggi jenjang, dan juga pola pemboran.
1. Diameter lubang tembak.
Di dalam menentukan diameter lubang
tembak tergantung dari volume massa batuan yang
akan dibongkar, tinggi jenjang, tingkat fragmentasi
yang diinginkan, mesin bor yang dipergunakan, dan
kapasitas alat muat yang akan dipergunakan untuk
kegiatan pemuatan material hasil pembongkaran..
Untuk diameter lubang tembak yang terlalu
kecil, maka faktor energi yang dihasilkan akan
berkurang sehingga tidak cukup besar untuk
membongkar batuan yang akan diledakkan, sedang
jika lubang tembak terlalu besar maka lubang
tembak tidak cukup untuk menghasilkan
fragmentasi yang baik, terutama pada batuan yang
banyak terdapat kekar dengan jarak kerapatan yang
tinggi. Ketika kekar membagi burden dalam blok-
blok yang besar, maka fragmentasi yang akan terjadi
bila masing-masing terjangkau oleh suatu lubang

14
tembak. Hal seperti ini menghendaki diameter
lubang tembak yang kecil.
Diameter lubang tembak yang kecil juga
memberikan patahan atau hancuran yang lebih baik
pada bagian atap jenjang. Hal ini berhubungan
dengan stemming, di mana lubang tembak yang
besar maka panjang stemming juga akan semakin
besar dikarenakan untuk menghindari getaran dan
batuan terbang, sedangkan jika menggunakan
lubang tembak yang kecil maka panjang stemming
dapat dikurangi.
2. Kedalaman lubang tembak
Kedalaman lubang tembak biasanya
disesuaikan dengan tinggi jenjang yang diterapkan.
Dan untuk mendapatkan lantai jenjang yang rata
maka hendaknya kedalaman lubang tembak harus
lebih besar dari tinggi jenjang, yang mana kelebihan
daripada kedalaman ini disebut dengan sub drilling.
3. Kemiringan lubang tembak (Arah pemboran)
Arah pemboran yang kita pelajari ada dua,
yaitu arah pemboran tegak dan arah pemboran
miring.
Adapun keuntungan dan kerugian dari
masing-masing lubang adalah :
Untuk lubang tembak tegak (vertikal) adalah :
Keuntungannya :
Untuk tinggi jenjang yang sama panjang
lubang ledak lebih pendek jika dibandingkan
dengan lubang ledak miring.
Kemungkinan terjadinya lontaran batuan
lebih sedikit.
15
Lebih mudah dalam pengerjaannya.
Kerugiannya :
Penghancuran sepanjang lubang tidak merata
Fragmentasi yang dihasilkan kurang bagus
terutama di daerah stemming.
Menimbulkan tonjolan-tonjolan pada lantai
jenjang ( toe ).
Dapat menyebabkan retakan ke belakang
jenjang ( backbreak ) dan getaran tanah.
Untuk lubang tembak miring adalah :
Keuntungannya :
Bidang bebas yang terbentuk semakin besar
Fragmentasi yang dihasilkan lebih bagus
Dapat mengurangi terjadinya backbreak dan
permukaan jenjang yang dihasilkan lebih rata.
Dapat mengurangi bahaya kelongsoran pada
jenjang.
Kerugiannya :
Kesulitan untuk menempatkan sudut
kemiringan yang sama antar lubang.
Biaya operasi semakin meningkat.

16
Gambar 3.2.
Pengaruh Arah Lubang Tembak

4. Pola pemboran
Pola pemboran yang biasa diterapkan pada
tambang terbuka biasanya menggunakan dua
macam pola pemboran yaitu :
Pola pemboran segi empat (square pattern)
Pola pemboran selang-seling (staggered)
Pola pemboran segi empat adalah pola
pemboran dengan penempatan lubang-lubang
tembak antara baris satu dengan baris berikutnya
sejajar dan membentuk segi empat ( Gambar 3.3).
Pola pemboran segi empat yang mana panjang
burden dengan panjang spasi tidak sama besar
disebut square rectangular pattern (Gambar3.4).
Sedangkan pola pemboran selang-seling adalah pola
pemboran yang penempatan lubang ledak pada baris

17
yang berurutan tidak saling sejajar (Gambar 3.5),
dan untuk pola pemboran selang-seling yang mana
panjang burden tidak sama dengan panjang spasi
disebut staggered rectangular pattern (Gambar
3.6).
Dalam penerapannya, pola pemboran sejajar
adalah pola yang umum, karena lebih mudah dalam
pengerjaannya tetapi kurang bagus untuk
meningkatkan mutu fragmentasi yang diinginkan,
maka penggunaan pola pemboran selang-seling
lebih efektif.

Bidang Bebas

S Baris 1

Baris 2

Baris 3

Baris 4

S=B

Gambar 3.3.
Pola Pemboran Segiempat (Square Pattern)8)

18
Bidang Bebas

Baris 1

Baris 2

Baris 3

Baris 4

SB

Gambar 3.4.

Pola Pemboran Segi Empat (Square Rectanguler Pattern)8)

Bidang Bebas

Baris 1

S Baris 2

Baris 3

Baris 4

S=B

Gambar 3.5.

Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Square Pattern)8)

19
Bidang Bebas

Baris 1

Baris 2

Baris 3

Baris 4

SB

Gambar 3.6.
Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Rectanguler Pattern)8)

2.3 Bahan Peledak


Pemilihan bahan peledak yang paling sesuai merupakan bagian dari
keseluruhan rancangan dan proses optimasi peledakan. Dalam pemilihan
bahan peledak tidak hanya menyangkut pertimbangan jumlah energi yang
diperlukan untuk memberaikan batuan, tetapi juga harus disesuaikan dengan
kondisi di lapangan..
2.3.1 Sifat Fisik Bahan Peledak
A. Bobot Isi
Kerapatan suatu bahan peledak dapat dinyatakan dalam
berat jenis (specific gravity), stick count dan loading density.
Berat jenis adalah nisbah kerapatan bahan peledak terhadap
kerapatan air pada kondisi standar. Stick count dinyatakan
dalam jumlah cartridge berukuran 11/4 x 8 inchi di dalam kotak
sebesar 50 pon. Loading density adalah jumlah berat bahan
peledak per meter panjang muatan yang biasanya dinyatakan
dalam lb/ft atau kg/m. Bahan peledak yang kerapatannya tinggi
biasanya akan menghasilkan kecepatan detonasi dan tekanan
detonasi yang tinggi.
20
B. Kecepatan detonasi (velocity of detonation)
Kecepatan detonasi adalah kecepatan gelombang detonasi
untuk merambat disepanjang kolom isian bahan peledak.
Biasanya dinyatakan dalam m/det. Kecepatan detonasi
terkurung (confined detonation velocity) adalah ukuran
kecepatan gelombang detonasi merambat melalui kolom bahan
peledak didalam lubang tembak atau ruang kerkurung lainnya,
sedangkan kecepatan detonasi bahan peledak apabila diledakkan
dalam keadaan terbuka atau tidak terkurung. Kecepatan detonasi
tidak terkurung umumnya 70 80 % kecepatan detonasi
terkurung. Kecepatan detonasi bahan peledak komersia antara
1.500 8.000 m/det.
Kecepatan detonasi suatu bahan peledak tergantung pada :
Jenis handak (ukuran butir, bobot isi)
Diameter dodol atau diameter lubang ledak
Derajat pengurungan
Penyalaan awal (Initiating)
C. Kekuatan (Strength)
Kekuatan suatu bahan peledak berkaitan dengan
kandungan energi yang dimiliki oleh bahan peledak tersebut dan
merupakan suatu kemampuan bahan peledak tersebut untuk
melakukan kerja, biasanya dinyatakan dalam persen (%). Untuk
menyatakan kekuatan bahan peledak dapat dipakai dua jenis
ukuran, yaitu weight strength (grede strength) yaitu
membandingkan kekuatan bahan peledak dengan dasar berat
yang sama, volume strength (bulk strength) yaitu
membandingkan kekuatan bahan peledak dengan dasar volume
yang sama dan sebagai standar perbandingan dipakai strength
NG Dynemite.

21
D. Kepekaan (sensivity)
Merupakan ukuran kemudahan bahan peledak untuk
diinisiasi dan kemudahan bagi suatu reaksi kimia bahan peledak
yang terjadi dalam lubang tembak untuk menjalar melalui
seluruh muatan. Sensitivitas suatu bahan peledak merupakan
fungsi dari bahan-bahan yang terdapat dalam bahan peledak,
ukuran partikel, diameter muatan, derajat penyesuaian dan
beberapa faktor lainnya.
Ada beberapa macam kepekaan, yaitu :
Sensivity to shock (impact), yaitu kepekaan bahan peledak
terhadap benturan
Sensivity of friction, yaitu kepekaan bahan peledakn
terhadap gesekan
Sensivity of head, yaitu kepekaan bahan peledak terhadap
panas (suhu)
Sensivity to gap, yaitu kepekaan suatu bahan peledak
terhadap gelombang ledakan dari bahan peledak lain yang
letaknya berjauhan.
Bahan peledak yang sensitif belum tentu dinilai sebagai
bahan peledak yang baik. Bahan peledak yang tidak peka
tetapi mudah penyebaran reaksinya adalah lebih
menguntungkan dan dari segi keselamatan terbukti lebih
aman dalam penggunaannya di lapangan.
E. Ketahanan terhadap air (water resistance)
Ketahanan terhadap air dari suatu bahan peledak adalah
ukuran dan kemampuan suatu bahan peledak untuk tahan
terhadap air dengan tidak merusak, merubah atau mengurangi
kepekaannya, dinyatakan dalam jam. Dikenal dalam tingkatan
ketahanan air, yaitu sempurna (excellent) jika tahan terhadap air
lebih dari 12 jam, sangat bagus (very good) jika tahan terhadap
air 8 12 jam, bagus (good) jika tahan terhadap air 4 8 jam,
22
cukup (fair) jika tahan terhadap air. Pada dasarnya bahan
peledak Heavy ANFO mempunyai kekuatan terhadap air sangat
bagus, sedang bahan peledak ANFO kurang mempunyai
ketahanan terhadap air buruk.
F. Sifat Gas Beracun
Bahan peledak yang meledak dapat menghasilkan dua
jenis gas yang saling berbeda sifatnya yaitu smoke dan fumes.
Smoke terjadi apabila di dalam bahan peledak terdapat jumlah
oksigen yang tepat sehingga selama reaksi seluruh hidrogen
akan membentuk uap air (H2O), karbon bereaksi membentuk
karbon dioksida (CO2) dan nitrogen menjadi N2 bebas. Fumes
adalah gas beracun yang merupakan hasil dari suatu proses
peledakan yang tidak Zero Oxygen balance karbon monoksida
(CO), nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen oksida (NO2).
Dari detonasi suatu bahan peledak diharapkan tidak
menghasilkan gas-gas beracun, namun kenyataan dilapangan
hal tersebut sulit dihindari akibat beberapa faktor berikut ini :
1) Pencampuran ramuan bahan peledak yang meliputi faktor
oksida dan bahan bakar (fuel) tidak tepat atau seimbang,
sehingga tidak mencapai zero aksigen balance.
2) Letak primer yang tidak tepat
3) Keterkungkungan pada stemming kurang baik
4) Adanya air dalam lubang ledak
5) Sistem waktu tunda tidak tepat
6) Kemungkinan adanya reaksi antara bahan peledak dengan
batuan (sulfida atau karbonat).

2.3.2 Pengisian Bahan Peledak


23
Jumlah pemakaian bahan peledak sangat mempengaruhi
terhadap fragmentasi batuan hasil peledakan. Bila pengisian bahan
peledak terlalu banyak akan mengakibatkan jarak stemming akan kecil
sehingga mengakibatkan terjadinya lontaran batuan (flyrock) dan
ledakan tekanan udara (airblast). Sedangkan bila pengisian terlalu
sedikit maka jarak stemming akan besar sehingga menimbulkan
bongkahan dan backbreak disekitar dinding jenjang. Jumlah
pemakaian bahan peledakan dapat diketahui dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut :

de = 0,508 x D x SG

Dimana,

de = loading density bahan peledak (lb/ft)

D = diameter lubang tembak (inch)

SG = spesifik gravity bahan peledak

Loding density atau kerapatan pengisian (de) merupakan berat


bahan peledak dalam lubang ledak persatuan panjang kolom bahan
peledakan dalam satuan feet. Maka jumlah bahan peledak untuk setip
lubang ledak (E) adalah :

E = Pc x de

Dimana,

Pc = Panjang kolom isian (ft)

De = loding density bahan peledak

A. Powder Factor (PF)


24
Powder factor atau spesific charge merupakan suatu
bilangan untuk menyatakan berat bahan peledak yang
dibutuhkan untuk menghancurkan batuan (kg/m).

Nilai powder factor dipengaruhi oleh jumlah bidang


bebas, geometri peledakan, pola peledakan, struktur geologi
batuan dan karakteristik massa batuan itu sendiri.

Untuk perhitungan berdasarkan volume (m3) tiap lubang


ledak dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut
:

E
PF = dinyatakan dalam kg/m3
W

Dimana,

PF = Powder Factor, kg/m3

E = berat bahan peledak yang digunakan, kg.

W = volume batuan yang berhasil diledakkan, m3.

2.4 Batuan
2.4.1. Mekanisme Pecahnya Batuan

2.4.2 Kuat Tekan Batuan


Kuat tekan batuan dapat digunakan untuk mengetahui
mudah tidaknya suatu batuan untuk pecah, baik dengan
menggunakan penggalian biasa maupun dengan operasi peledakan.
Batuan memiliki kuat tekan yang selalu jauh lebih besar dari pada
kuat tariknya, tetapi kuat tarik batuan memiliki peranan yang sangat
penting dalam proses pemberaian batuan. Batuan dengan kuat tarik
yang rendah akan lebih mudah hancur dibandingkan dengan batuan

25
yang memiliki kuat tarik yang besar. Kuat tarik suatu batuan
menurut Jumikis (1983) hanya sebesar 10% dri kuat tekannya (table
3.1).

Tabel 3.1.
Klasifikasi Brittleness Index (Kramadibrata, 1996)
Brittleness Index Keterangan
6-7 Sangat Taough & Plastik
7-8 Tough & Plastik
8-12 Rata-rata jenis batuan
12-15 Sangat Brittle tak plastic
15-20 Sangat Brittle

Perbandingan antara kuat tekan batuan terhadap kuat tarik


batuan sering disebut Toughness Ratio atau Brittleness Index yang
memberikan keterangan berbagai selang nilai Brittleness Index yang
menunjukan suatu proses pecahnya batuan.

2.4.3 Rock Blastability

Ditentukan sebagai tahanan batuan terhadap peledakan dan


sangat dipengaruhi oleh keadaan massa batuan. Menurut C.L.
Jimeno (1995), pembobotan massa batuan yang berhubungan
dengan peledakan adalah pembobotan batuan berdasarkan nilai
indeks peledakan. Nilai indeks peledakan ini dapat digunakan untuk
mencari besarnya faktor batuan, yang nantinya digunakan untuk
menentukan tingkat fragmentasi batuan hasil peledakan secara
teoritis. Parameter-parameter untuk pembobotan tersebut meliputi:

a. Rock Mass Description (RMD)

26
RMD merupakan parameter yang digunakan untuk
menunjukkan kualitas massa batuan dengan melakukan
pengamatan terhadap struktur batuan dan hancurannya
(muckpile). RMD dapat dikategorikan ke dalam 3 kelas, yaitu
rapuh (powdery/friable), struktur blok terkekarkan (blocky), dan
sangat pejal (totally massive).
b. Joint Plane Spacing (JPS)
JPS adalah jarak tegak lurus antar dua bidang lemah yang
berurutan. Attewel mengklasifikasikan jarak antar bidang lemah
seperti terlihat pada Tabel 3.2. Semakin jauh jarak antar bidang
lemah (> 2000 mm) batuan dapat dikatakan memiliki perlapisan
yang sangat tebal. Sedangkan bila jarak antar bidang lemah kecil
(< 20 mm), maka batuan dikatakan terdiri dari laminasi tipis atau
sedimentasi. Dari nilai RQD dapat ditentukan jarak antar bidang
lemah dengan menghitung nilai frekuensi bidang lemah per meter
() menggunakan persamaan Prist & Hudson. Adapun klasifikasi
jarak antar bidang lemah, dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2
Klasifikasi Jarak Antar Bidang Lemah
Deskripsi Struktur Bidang Jarak (mm)

Spasi sangat lebar Perlapisan sangat tebal > 2000

Spasi lebar Perlapisan tebal 600 2000

Spasi moderat lebar Perlapisan sedang 200 600

Spasi dekat Perlapisan tipis 60 - 200

Spasi sangat dekat Perlapisan sangat tipis 20 - 60

27
Laminasi tipis
Spasi ekstrim dekat (sedimentasi) < 20

Sumber : Sitanggang, 2008; 17

c. Joint Plane Orientation(JPO)

Dalam operasi peledakan, orientasi bidang lemah pada massa


batuan dapat mengakibatkan hal-hal seperti berikut :
1) Horizontal (orientasi bidang diskontinuitas sejajar bidang
bebas), menghasilkan kemantapan lereng dan arah
lemparan yang terkontrol.
2) Dip out of face (orientasi bidang ke arah pit),
menyebabkan ketidakmantapan lereng dan menghasilkan
backbreak berlebih.
3) Strike normal to face (orientasi bidang diskontinuitas
menyudut terhadap bidang bebas), akan menghasilkan
muka jenjang berblok-blok dan terjadi hancuran yang
berlebih
4) Dip into face (orientasi bidang diskontinuitas ke arah
massa batuan), menyebabkan toe tidak hancur dan potensi
batuan akan menggantung (Sitanggang, 2008; 18).

1 2

3 4

28
Sumber : Sitanggang, 2008; 18
d. Specific Gravity Influence (SGI)
SGI adalah sifat batuan terkait berat jenis dan porositasnya.
Batuan dengan bobot isi kecil pada umumnya lebih mudah
mengalami deformasi dan memerlukan energi peledakan yang
rendah untuk pemecahannya. Sedangkan porositas menyatakan
banyaknya jumlah pori dalam batuan. Porositas batuan yang besar
mengindikasikan banyaknya ruang antar butir dalam batuan.
Peningkatan porositas akan menghambat penjalaran gelombang
kejut didalam massa batuan, menghambat terbentuknya rekahan-
rekahan baru, dan secara dominan menghasilkan bongkah-bongkah
berukuran besar.

e. Hardness (H)
Sifat mekanik batuan yang berhubungan dengan
kekuatannya adalah kuat tekan uniaksial dan kekerasan batuan. Kuat
tekan uniaksial batuan merupakan ukuran kemampuan batuan untuk
menahan beban atau gaya yang bekerja pada arah uniaksial.
Kekerasan dapat dipakai dalam menyatakan besarnya tegangan yang
diperlukan untuk menyebabkan kerusakan pada batuan. Misalnya
pada proses peledakan, batuan dengan kekerasan yang tinggi dan
kuat tekan uniaksial yang besar akan cenderung lebih sukar hancur
atau rusak daripada sebaliknya, sehingga diperlukan bahan peledak
berdaya ledak lebih besar dalam upaya pemberaiannya.
Skala Mohs merupakan ukuran daya tahan mineral terhadap
goresan (scratching). Kekerasan relatif dari suatu mineral dapat
ditetapkan dengan membandingkan mineral tersebut dengan urutan
mineral yang dipakai sebagai standar kekerasan. Mohs telah
membuat skala kekerasan mineral secara kualitatif (scale of relative
hardness).
Tabel 3.1.
Skala Mohs
29
Kekerasan Nama Mineral Unsur/Senyawa Alat Penguji
Kimia
1 Talc (Talk) Hydrat Magnesium Sangat Lunak
Silikat
2 Gypsum (Gipsum) Hydrat Kalsium Tergores kuku
Fosfat manusia
3 Calcite (Kalsit) Kalsium Karbonat Tergores koin
perunggu
4 Fluorspar Kalsium Flour Tergores paku besi
(Fluorit)
5 Apatite (Apatit) Kalsium Fosfat Tergores kaca
6 Feldspar/Ortoklas Alkali Silikat Tergores pisau lipat
7 Quartz (Kuarsa) Silika Tergores pisau baja
8 Topaz Alumina Silikat Tergores amplas
9 Corondum Alumina
10 Diamond (Intan) Karbon
Sumber : Hustrulid ,1996; 107

Tabel 3.1

Pembobotan massa batuan untuk peledakan4)

PARAMETER PEMBOBOTAN
1. Rock mass description (RMD)
1.1. Powdery/friable 10
1.2. Blocky 20
1.3. Totally massive 50
2. Joint plane spacing (JPS)
2.1. Close (spasi < 0,1 m) 10
2.2. Intermediate (spasi 0,1 1 m) 20
2.3. Wide (spasi > 1 m) 50
3. Joint plane orientation (JPO)
3.1. Horizontal 10
3.2. Dip out of face 20
3.3. Strike normal to face 30
3.4. Dip into face 40
4. Specific grafity influence ( SGI ) SGI = 25 x SG 50
5. Hardness ( H ) 1 10
30
Nilai blastibbility index (BI) :
BI = 0,5 x ( RMD + JPS + JPO + SGI + H ) ........... (3.1)
Nilai Rock Faktor (RF) :
RF = 0,12 x BI......................................................... (3.2)

2.4.4 Fragmentasi Batuan


Salah satu tujuan utama dari kegiatan peledakan adalah untuk
memberaikan batuan hingga menghasilkan ukuran atau
fragmentasi yang dapat digali dengan menggunakan alat muat.
Pengukuran terhadap fragmentasi dan tumpukan yang terbentuk
akan memberikan masukan dalam penentuan desain peledakan dan
pemilihan bahan peledak yang cocok untuk kondisi tambang
tertentu.

Berdasarkan V.M.KUZNETSOV, 1973 , ukuran fragmen


batuan, bahan peledak, dan struktur geologi batuan dapat
digunakan untuk mencari powder factor. Dalam menentukan
tingkat ukuran fragmen batuan hasil peledakan digunakan
persamaan sebagai berikut :

0 ,8 0, 63
V E
x = A Q 0,17

Q 115

Dimana :

x = Ukuran rata-rata fragmen batuan (cm).

A = Rock factor.

V = Volume batuan yang terbongkar, (m3).

Q = Berat bahan peledak tiap lubang ledak (kg).

31
E = Relatif weight strength (RWS) bahan
peledak.

Didalam berbagai penerapan yang lebih luas, Persamaan


KUZNETSOV, 1973, membuktikan sebagai metode yang mudah
dan cukup realistik untuk dipakai di industri pertambangan dengan
berbagai perubahan ukuran lubang ledak dan jenis bahan peledak.
Ukuran ratarata fragmen batuan itu sendiri tidak cukup, sehingga
perlu kemampuan untuk memperoleh secara perkiraan kasar suatu
kisaran untuk ukuran fragmen batuan yang dibutuhkan tanpa
menjalankan program analisis pecah.

Kurva ROSIN - RAMLER secara umum telah diakui sebagai


rujukan penggambaran tingkat ukuran fragmen batuan hasil
peledakan. Suatu titik pada kurva tersebut, yaitu ukuran mesh 50 %
kelolosan diberikan oleh Persamaan Kuznetsov. Faktorfaktor yang
diperlukan untuk menentukan kurva ROSIN RAMLER adalah
eksponen n dalam persamaan ) berikut :

x
Xc = 1

0,693 n

x Xc n
R = e
Dimana :

R = Bagian material yang tertahan pada ayakan.

x = Ukuran ayakan (m).

Xc = Karakteristik Ukuran (m).

n = Indeks keseragaman.

32
Untuk mendapatkan nilai tersebut, hasil perhitungan dengan
persamaan LOWNDS dianalisis dan digambarkan berdasarkan
persamaan regresinya dan nilai n sangat tergantung pada ketepatan
pemboran, ukuran lubang ledak, pola pemboran, nisbah spasi dan
burden, nisbah panjang isian dan tinggi jenjang.

Kombinasi Algoritma diatas selanjutnya dikembangkan


dengan Persamaan KUZNETSOV oleh CLAUDE CUNNINGHAM
yang dikenal sebagai KUZ RAM Model , Persamaan tersebut
sebagai berikut :

B W A 1 L
n 2,2 14 1 1
d B 2 H

Dimana :

n = indeks keseragaman.

B = burden (m).

D = standar deviasi pemboran

A = spasi / burden

L = panjang isian bahan peledak ( m )

H = tinggi jenjang (m).

Peledakan dikatakan berhasil apabila banyaknya ukuran

fragmen batuan hasil peledakan yang berukuran lebih besar dari

ukuran rata rata (boulder) > 100 cm yang harus dihasilkan kurang

dari 15 % ( McGregor, 1967)8).

Didalam persamaan yang dikemukakan oleh KUZNETZOV


(1973), yang dimodifikasi oleh CUNNINGHAM (1983), ada
batasan-batasan yang harus diperhatikan. Adapun batasan-batasan
tersebut sebagai berikut :
33
a. Penerapan nisbah S/B untuk pemboran, tanpa ada waktu tunda
tidak boleh lebih dari dua.
b. Penyalaan dan pengaturan waktu tunda peledakan harus
disusun sedemikian rupa, sehingga upaya untuk mendapatkan
hasil peledakan (fragmentasi) yang baik, dan tidak terjadi
misfire.
c. Bahan peledak harus menghasilkan energi yang cukup serta
dalam perhitungan menggunakan relative weight strength.
d. Perlu dilakukannya penyelidikan terhadap bidang
ketidakmenerusan secara teliti. Hal ini disebabkan karena
tingkat fragmentasi sangat tergantung pada bidang
ketidakmenerusan, khususnya pada bidang ketidakmenerusan
yang lebih rapat dibandingkan dengan pola pemborannya.

2.5. Geometri Calvin J Konya


Perhitungan geometri peledakan menurut C. J. Konya (1990) tidak
hanya mempertimbangkan faktor bahan peledak, sifat batuan dan diameter
lubang ledak tetapi juga memperhatikan faktor koreksi terhadap posisi lapisan
batuan, keadaan struktur geologi serta koreksi terhadap jumlah lubang ledak
yang diledakkan. Faktor terpenting untuk dikoreksi menurut Konya (1990)
adalah masalah penentuan besarnya nilai burden (B).

34
B

Keterangan

B = Burden

T = Stemming

J = Subdrilling

L Pc = Kolom isian

Gambar 3.7.
Geometri Peledakan menurut teori C.J. Konya

2.5.1 Burden (B)


Burden adalah jarak tegak lurus antara lubang ledak terhadap
bidang bebas terdekat, dan merupakan arah pemindahan batuan
(displacement) akan terjadi.

Jarak burden yang baik adalah jarak yang memungkinkan energi


ledakan bisa secara maksimal bergerak keluar dari kolom isian
menuju bidang bebas dan dipantulkan kembali dengan kekuatan yang
cukup untuk melampaui kuat tarik batuan sehingga akan terjadi
penghancuran batuan.

Pada penentuan jarak burden, ada beberapa faktor yang harus


diperhitungkan seperti diameter lubang tembak, densitas batuan dan
struktur geologi dari batuan tersebut. Semakin besar diameter
lubang ledak maka akan semakin besar jarak burdennya, karena

35
dengan diameter lubang ledak yang semakin besar maka bahan
peledak yang digunakan akan semakin banyak pada setiap
lubangnya sehingga akan menghasilkan energi ledakan yang
semakin besar. Sedangkan apabila densitas batuannya yang semakin
besar, maka agar energi ledakan berkontraksi maksimal dilakukan
dengan memperkecil ukuran burden, sehingga fragmentasi batuan
yang dihasilkan akan baik (Tabel 3.1.). Sedangkan struktur geologi
batuan digunakan sebagai faktor koreksi pada penentuan burden.

Tabel 3.1.
7)
Rock Density

No Rock Type Density No Rock type Density


(g/cm3) (g/cm3)

1 Basalt 2.8 3.0 9 Marble 2.1 2.9

2 Diabase 2.6 3.0 10 Micaschist 2.5 2.9

3 Diorite 2.8 3.0 11 Quartzite 2.0 2.8

4 Dolomite 2.8 2.9 12 Sandstone 2.0 2.8

5 Gneiss 2.6 2.9 13 Shale 2.4 2.8

6 Granite 2.6 2.9 14 Slate 2.5 2.8

7 Hematite 4.5 5.3 15 Trap rock 2.6 3.0

8 Limestone 2.4 2.9

Secara sistematis besarnya burden dan hubungannya dengan


faktor-faktor tersebut dinyatakan sebagai berikut 6) :

B 3,15De SGe / SGr


0 , 33

B 2SGe / SGr 1,5De


B 0,67 De St v / SGr
0 , 33

36
Dimana :

B = burden

De = diameter lubang ledak (inch)

SGe = speecific gravity bahan peledak

SGr = speecific gravity batuan

Stv= relative bulk strength (% to ANFO)

Menurut C.J. Konya, burden dapat dikoreksi dengan banyaknya


baris yang akan diledakkan serta kondisi geologi setempat. Secara
sistematis persamaan burden terkoreksi dapat ditulis 6) :

Bc Kr Kd Ks B

Dimana :

Bc = burden terkoreksi, ft

Kr = Faktor terhadap jumlah baris lubang ledak (Tabel 3.2.)

Kd = Faktor terhadap posisi lapisan batuan (Tabel 3.3.)

Ks = Faktor terhadap struktur geologinya (table 3.4.)

Tabel 3.2.

Faktor koreksi terhadap jumlah baris dalam lubang ledak 6)

Corection for number of row Kr


One or two rows of holes 1,00
Third and subsequent rows or buffer blast 0,9

37
Tabel 3.3.

Faktor koreksi terhadap posisi lapisan batuan 6)

Corection for number of row Kr


Bedding steeply dipping into cut 1,18
Bedding steeply dipping into face 0,95
Other cases of deposition 1,00

Tabel 3.4.

Faktor Koreksi Terhadap Struktur Geologi 6)

Corection for geologic structure Kr


Heavy cracked, frequent with joint, weakly cemented layers 1,30
Thin well cemented layers with tight joint 1,10
Massive intact rock 0,95

Jarak burden yang baik adalah jarak dimana energi ledakan bisa
menekan batuan secara maksimal sehingga pecahnya batuan sesuai
dengan fragmentasi yang direncanakan dengan mengupayakan sekecil
mungkin terjadinya batuan terbang, bongkah, dan retaknya batuan pada
batas akhir jenjang.

2.5.2. Spacing (S)

38
Jenis Detonator L/B < 4 L/B 4
Instantaneos S = (l + 2B) / 3 S = 2B
Delay S = (1 + 7B) / 8 S = 1,4B
Menurut C.J. Konya persamaan untuk menentukan spacing
dipengaruhi oleh jarak burden dan tinggi jenjang. Bila perbandingan
antara tinggi jenjang dengan burden lebih kecil dari empat, maka
digolongkan ke dalam jenjang rendah, sedangkan bila hasil
perbandingan lebih besar atau sama dengan empat, maka digolongkan
sebagai jenjang tinggi.

Adapun persamaan yang diberikan C.J. Konya dapat untuk


memperoleh jarak spacing dapat dilihat pada tabel 3.5. sebagai berikut
:

Tabel 3.5.

Persamaan Untuk Menentukan Jarak Spacing6)

2)
Menurut Dyno Nobel untuk pola staggered pattern akan
menghasilkan distribusi energi peledakan yang optimal jika
menggunakan harga spacing sebagai berikut :

S = 1,15 x B

Dimana,

S = spasi (m).

B = burden (m).

L = tinggi jenjang (m).

39
2.5.3 Stemming (T)
Stemming adalah tempat material penutup didalam lubang
bor, dan letaknya diatas kolom isian bahan peledak. Fungsi
stemming adalah agar terjadi keseimbangan tekanan dan mengurung
gasgas hasil ledakan sehingga dapat menekan batuan dengan energi
yang maksimal. Disamping itu stemming juga berfungsi untuk
mencegah agar tidak terjadi batuan terbang (flyrock) dan ledakan
tekanan udara (airblast) saat peledakan.

Pada penentuan tinggi stemming C.J. Konya merumuskan


seperti yang tertera dibawah ini :

T = 0,7 x B
Atau

T 0,45 De Stv / SGr


0,33

Dimana :

T = stemming (m)

B = burden (m)

De = diameter lubang ledak (inch)

SGr = spesifik gravity batuan

Ukuran material stemming sangat berpengaruh terhadap batuan


hasil peledakan. Apabila bahan stemming terdiri dari bahanbahan
halus hasil pemboran, maka kurang memiliki gaya gesek terhadap
lubang ledak sehingga udara yang bertekanan tinggi akan mudah
mendorong stemming tersebut keluar. Sehingga energi yang
seharusnya terkurung dengan baik dalam lubang ledak akan hilang
keluar bersamaan dengan terbongkarnya stemming.

40
Untuk mengatasi tersebut diatas maka digunakan bahan yang
memiliki karakteristik susunan butir saling berkaitan dan berbutir
kasar serta keras.

Persamaan yang digunakan untuk menentukan ukuran material


stemming adalah :

Sz = 0,05 x Dh
Dimana :

Dh = diameter lubang tembak (mm)

Sz = ukuran material stemming (mm)

2.5.4. Subdrilling (J)

Subdrilling adalah tambahan kedalaman pada lubang bor di


bawah lantai jenjang yang dibuat dengan maksud agar batuan dapat
terbongkar sebatas lantai jenjangnya.

Bila jarak subdrilling terlalu besar maka akan menghasilkan


getaran tanah, sebaliknya jika subdrilling terlalu kecil maka akan
mengakibatkan tonjolan (toe) pada lantai jenjang karena batuan
tidak terbongkar pada batas lantai jenjangnya.

Dalam penentuan tinggi subdrilling yang baik untuk


memperoleh lantai jenjang yang rata maka digunakan rumusan
sebagai berikut :

J = 0,3 x B

Dimana :

J = subdrilling (m)

B = burden (m)
41
2.5.5. Tinggi jejang (L)

Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh


peralatan lubang bor dan alat muat yang tersedia. Tinggi jenjang
berpengaruh terhadap hasil peledakan seperti fragmentasi batuan,
ledakan udara, batu terbang dan getaran tanah. Hal ini dipengaruhi
oleh jarak burden. Berdasarkan perbandingan tinggi jenjang dan
jarak burden yang diterapkan (stiffness ratio), maka akan diketahui
hasil dari peledakan tersebut (Tabel 3.4).

Tabel 3.4

Masalah potensial yang berhubungan dengan Stiffness Ratio (L/B)8)

Stiffnes Fragmenta
Airblast Flyrock Vibrasi Keterangan
s Ratio si

Potensi terjadinya
Berpote Berpote Berpote backbreak dan toe.
1 Jelek
nsi nsi nsi Harus dihindari dan
dirancang ulang

2 Sedang Sedang Sedang Sedang Sebaiknya dirancang


ulang

Terkontrol dan
3 Baik Baik Baik Baik fragmentasi
memuaskan

Tidak menguntungkan
Sempur Sempur Sempur
4 Sempurna lagi bila Stiffness Ratio
na na na
lebih dari 4

Penentuan ukuran tinggi jenjang berdasarkan stiffness ratio digunakan


rumus sebagai berikut :

42
L = 5 x De ........................................................................................ (3.38)

Dimana :
L = Tinggi jenjang minimum (ft)

De = Diameter lubang ledak (inchi)

2.5.6. Kedalaman Lubang Ledak (H)

Kedalaman lubang ledak dipengaruhi oleh tinggi jenjeng


dan kedalamannya tidak boleh lebih kecil dari burden untuk
menghindari retakan yang melewati batas jenjang (over break).
Sebaliknya kedalaman lubang ledak yang terlalu dalam
mengakibatkan penghancuran batuan ke arah horizontal lebih besar
dibandingkan dengan penghancuran batuan ke arah vertikal
sehingga banyak menghasilkan boulder dan menimbulkan lubang
pada lantai jenjang

Secara teoritis kedalaman lubang ledak dapat diketahui dengan


menggunakan persamaan berikut :

H = L+J
Dimana :

H = kedalaman lubang ledak (m)

L = tinggi jenjang (m)

J = subdrilling (m)

2.5.7 Panjang Kolom Isian (PC)


Panjang kolom isian dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

PC = H - T

Dimana :
43
PC = panjang kolom isian, (m)

H = kedalaman lubang ledak, (m)

T = stemming, (m)

2.5.8 Loading Density (de)


Loading density adalah jumlah isian bahan peledak per meter
panjang kolom isian.
de = 0,508 x De2 x (SG) (3.39)

Keterangan :

de = loading density (kg/m)

De = diameter lubang tembak (inchi)

SG = berat jenis bahan peledak

Jumlah bahan peledak dalam satu lubang tembak

E = PC x de (kg) ..... (3.40)

2.5.9 Powder Factor


Powder factor atau specific charge merupakan perbandingan
antara jumlah bahan peledak yang digunakan terhadap jumlah batuan
yang diledakkan. Dalam menentukan powder factor ada empat macam
satuan yang dapat digunakan, yaitu:

a. Berat bahan peledak per volume batuan yang diledakkan


(kg/m3).
b. Berat bahan peledak per berat batuan yang diledakkan
(kg/ton).
c. Volume batuan yang diledakkan per berat bahan peledak
(m3/kg).

44
d. Berat batuan yang diledakkan per berat bahan peledak
(ton/kg).
Nilai powder factor dipengaruhi oleh jumlah bidang bebas,
geometri peledakan, struktur geologi dan karakteristik massa batuan
itu sendiri. Pada Tabel 3.5 dapat diketahui hubungan antar bobot isi
batuan dan kuat tekan uniaksial dengan nilai powder factor.

E
Pf = ............................................................... (3.41)
W

Dimana :

Pf = powder factor (kg/ton)

W = berat batuan yang diledakkan (ton)

E = berat bahan peledak yang digunakan (kg)

Tabel 3.5

Hubungan nilai powder factor dengan bobot isi batuan dan kuat tekan uniaksial4)

Powder Factor
Kuat tekan Uniaksial
Class Limit Nilai Rata-rata (Mpa) Bobot isi batuan
(kg/m3) (kg/m3)

0,12 - 0,18 0,150 10 - 30 1,40 - 1,80

0,18 - 0,27 0,225 20 - 45 1,75 - 2,35

0,27 - 0,38 0,320 30 - 60 2,25 - 2,55

0,38 - 0,52 0,450 50 - 90 2,50 - 2,80

0,52 - 0,68 0,600 70 - 120 2,75 - 2,90

0,68 - 0,88 0,780 110 - 160 2,85 - 3,00

0,88 - 1,10 0,990 145 - 205 2,95 - 3,20

45
1,10 - 1,37 1,235 195 - 250 3,15 - 3,40

1,37 - 1,68 1,525 235 - 300 3,35 - 3,60

1,68 - 2,03 1,855 > 285 > 3,35

2.5.10 Waktu Tunda


Waktu tunda merupakan penundaan waktu peledakan antara
baris yang depan dengan baris dibelakangnya atau antar lubang ledak
dengan menggunakan delay detonator.

Keuntungan melakukan peledakan dengan waktu tunda ialah :

Fragmentasi batuan hasil peledakan akan lebih seragam dan baik


Mengurangi timbulnya getaran tanah, flyrock dan airblast.
Menyediakan bidang bebas baru untuk peledakan berikutnya.
Arah lemparan dapat diatur.
Batuan hasil peledakan (muckpile) tidak menumpuk terlalu
tinggi.
Pada peledakan yang menerapkan waktu tunda antar baris
terlalu pendek maka beban muatan dalam baris depan akan
menghalangi pergeseran dari baris berikutnya, sehingga
kemungkinan material pada baris kedua akan tersembur ke arah
vertikal membentuk tumpukan. Akibatnya tumpukan material hasil
peledakan (muckpile) menjadi sangat tinggi dan kurang stabil dan
akan menyulitkan dalam kegiatan pemuatan. Tetapi bila waktu
tundanya terlalu lama maka produk hasil bongkaran akan terlempar
jauh ke depan serta kemungkinan besar akan terjadi flyrock. Hal ini
disebabkan tidak ada dinding batuan yang berfungsi sebagai penahan
lemparan batuan di depannya.

46
a. Waktu tunda antar lubang ledak
Menentukan waktu tunda antar lubang ledak dalam satu
baris dapat di hitung dengan menggunakan persamaan di bawah
ini.
tH= TH x S ......................................................................... (3.42)

Keterangan :

tH = Waktu tunda antar lubang ledak dalam satu baris (ms)

TH = Nilai konstan tunda, (tabel 3.6)

S = Spasi (m)

Tabel 3.6

Waktu tunda antar lubang ledak8)

Rock type TH Constant


(ms/m)
Sands, loams, marls, coals 6,5
Some Limestone, rock salt, some shales 5,5
Compact limestones an marbles, some granites and basalts, 4,5
quartzite rocks, some gneisses and gabbroe
Biabase, diabase porphyrites, compact gneisses and 3,5
micashist, magnetites

b. Waktu tunda antar baris


Menentukan waktu tunda antar baris dapat di hitung
dengan menggunakan persamaan di bawah ini.
tr=Tr x B ......................................................................................
(3.43)

Keterangan :

tr= interval waktu antar baris, ms

47
Tr=konstanta waktu antar baris (tabel 3.7)

B=burden, m

Tabel 3.7

Interval waktu antar baris

TR Result
Constant ( ms / m )
6,5 Violet, excessive air blast, backbreak,etc.
8,0 High pile close to face, moderate air blast,
backbreak
11,5 Average pile height, average air blast and backbreak
16,5 Scattered pile with minimum backbreak

3.4 Bucket Fill Factor Alat Gali Muat

48
Karakteristik ukuran material memiliki peranan penting dalam
menentukan proses pemuatan. Produksi dari alat muat sangat dipengaruhi
oleh material yang dimuatnya. Disini dikenal istilah faktor pengisian bucket
yaitu perbandingan antara volume material nyata yang dimuat bucket dengan
kapasitas munjung bucket dan dinyatakan dalam persen (%).
Faktor pengisian mangkuk alat muat (F) dapat dinyatakan sebagai
perbandingan volume nyata (Vn) dengan volume munjung teoritis (Vt),
seperti yang dinyatakan dalam persamaan:

Dimana :
F = Faktor pengisian mangkuk (%)
Vn = Volume nyata atau kapasitas nyata mangkuk (m3)
Vt = Volume munjung teoritis mangkuk (m3)

Sedangkan berdasarkan teoritis bucket fill factor dapat diperoleh


dengan mengacu pada parameter kondisi penggalian, yang terlihat pada tabel
3.10.
Tabel. 3.10
Bucket Fill Factor Standar untuk Berbagai Tipe Material
Condition Excavating Conditions Bucket
Fill
Easy Excavating natural ground of clayey soil, clay, or 1.1 1.2
Factor
Average Excavating
soft soil natural ground of soil such as sandy 1.0 1.1
Rather Excavating
soil and dry natural
soil ground of sandy soil with 0.8 0.9
Difficult Loading
gravel Blasted Rock 0.7 0.8
Sumber : Komatsu Performance Handbook (Anonim, 2002:16A-9)

2.4

49
2.5.11 Produksi Pemboran
2.5.11.1 Waktu Edar Pemboran
Merupakan waktu yang diperlukan untuk membuat satu lubang ledak
dengan kedalaman tertentu, termasuk adanya hambatan-hambatan yang terjadi
selama kegiatan pemboran berlangsung.
Persamaan waktu edar pemboran untuk batang bor tunggal yaitu :

Ct = Pt + Bt + St + Dt .........................................................................(3.5)
Keterangan :
Ct = Waktu edar pemboran
Pt = Waktu untuk mengambil posisi mesin bor ke titik pemboran
Bt = Waktu untuk membor
St = Waktu untuk meniup cutting, mengangkat, melepas dan
menyambung batang bor
Dt = Waktu untuk mengatasi hambatan
(komponen waktu dinyatakan dalam menit)

Pengamatan siklus pemboran dilakukan berkali-kali sampai diperoleh data


yang cukup. Semakin banyak jumlah pengamatan (n), hasilnya akan memberikan
gambaran kondisi nyata di lapangan.
Persamaan siklus pemboran rata-rata :
Ctr = Ct / n....................................................................................... (3.6)
Kedalaman ratarata lubang bor :
Hr = H / n ........................................................................................ (3.7)

2.5.11.2 Kecepatan Pemboran Rata-Rata


Dari hasil pengamatan akan diperoleh kecepatan pemboran ratarata, yaitu
kecepatan pemboran yang dicapai per satuan waktu dengan memperhitungkan
seluruh elemen waktu yang diperlukan untuk kegiatan pemboran dalam satu
putaran peledakan, dinyatakan dalam m/menit.

50
Persamaan kecepatan pemboran rata-rata :
Drr = Hrr/Crr ..................................................................................... (3.8)
Keterangan :
Drr = Kecepatan pemboran rata-rata (meter/menit)
Hrr = Kedalaman lubang bor rata-rata (m)
Ctr = Waktu siklus pemboran rata-rata (menit)

2.5.11.3 Efisiensi Kerja Pemboran


Efisiensi kerja pemboran dinyatakan dalam persen waktu produktif terhadap
waktu kerja terjadwal. Waktu produktif adalah waktu yang digunakan untuk kerja
pemboran.
Persamaan efisiensi kerja dinyatakan :
Wp
Ek = 100% ............................................................................(3.9)
Wt
Keterangan :
Ek = Efisiensi waktu pemboran (%)
Wp = Waktu yang digunakan untuk kerja pemboran (menit)
Wt = Jumlah waktu kerja terjadwal (menit)

2.5.11.4 Volume Setara


Volume setara (equivalent volume, Veq) menyatakan volume batuan yang
diharapkan terbongkar untuk setiap meter kedalaman lubang ledak yang dinyatakan
dalam m3/m.
Persamaan volume setara :
V
Veq = ............(3.10)
H

Keterangan :
Veq = Volume setara (m3/m)
V = Volume batuan yang diharapkan terbongkar (m3)
H = Kedalaman lubang ledak (m)

51
Berat batuan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
W = A x L x dr..........(3.11)
V = A x L .....(3.12)
Keterangan :
W = Berat batuan yang akan diledakkan (ton)
A = Luas daerah yang akan diledakkan (m)
L = Tinggi jenjang (m)
dr = Bobot isi batuan (ton/m)

2.5.11.5 Produksi Mesin Bor


Produksi mesin bor tergantung pada kecepatan pemboran mesin bor, volume
setara dan penggunaan effektif mesin bor. Produksi mesin bor dinyatakan dalam
satuan m3/jam.
Persamaan produksi mesin bor adalah :
P = Vt Veq Eff 60 ...................................................................... (3.13)
Keterangan :
P = produksi mesin bor (m3/jam)
Vt = kecepatan pemboran rata-rata (m/menit)
Veq = volume setara (m3/m)
Eff = effisiensi kerja pemboran (%)
60 = 1 jam dinyatakan dalam menit.

Pemboran adalah suatu kegiatan untuk membuat suatu lubang ledak


terhadap batuan yang akan dibongkar dengan menggunakan alat bor yang sesuai
karakteristik massa bataun. Tujuan dari pekerjaan pemboran adalah membuat
lubang ledak sebagai tempat isian bahan peledak. Untuk melakukan pembongkaran
dengan peledakan perlu diperhatikan beberapa variabel yang mempengaruhi hasil
peledakan yaitu : yaitu variabel yang dapat dikontrol dan variable yang tidak dapat
dikontrol.

52

Anda mungkin juga menyukai